Share

2. Cemburu

Penulis: Renata Respati
last update Terakhir Diperbarui: 2025-11-29 02:33:40

“Kak Kara, hari ini jadi nemenin gue keliling sekolah?” seorang gadis tiba-tiba menghampiri Kara, berbicara padanya dengan suara lembut dan cenderung manja.

Senyum cantik di wajah Diandra memudar, alisnya berkerut, dan matanya menatap tajam pada dua orang yang tengah berbicara santai tak jauh darinya.

Itu adalah Salsa, seorang siswi pertukaran pelajar dari sekolah lain. Yang entah bagaimana bisa menjadi tanggung jawab Kara selama Salsa berada di sekolah ini.

Sure,” jawab Kara singkat, namun… Diandra bersumpah ia melihat seulas senyum tipis di sudut bibir lelaki itu.

Diandra kesal bukan main saat melihat Kara bisa setenang itu berbicara dengan gadis lain. Bahkan tersenyum. Tersenyum!

Diandra merasa iri luar biasa. Merasakan panas perlahan menjalar ke seluruh tubuhnya saat melihat kedekatan mereka berdua, berjalan bersama keluar lapangan, meninggalkan Diandra sendiri di sana.

Gadis itu mendesah menatap punggung Kara yang perlahan menjauh, lalu menghilang.

See?” Ujar Lavie yang berdiri di sisi kanannya.

“Beneran cewek dari sekolah lain?” lanjut Claudia yang berdiri di sisi kirinya.

“Astaga, kalian berdua ngagetin aja. Muncul dari mana sih?” Diandra mengelus dada sambil menatap sahabatnya itu dengan dramatis.

“Dari tadi juga kita di sini, elo-nya aja yang sibuk liatin crush sampe nggak sadar,” Lavie memutar bola matanya malas.

“Hehe, sorry. Habisnya Kara tuh ganteng banget. Gue mana sempet merhatiin yang lain kalo ada dia di depan gue,” Diandra mencoba tersenyum, meskipun sorot matanya jelas menunjukkan kesedihan.

“Jadi gimana?” tanya Claudia.

“Apanya?”

“Mundur atau lanjut?”

“Meski pun kayaknya dia udah muak banget sama gue., tapi gue masih sanggup buat lanjut,” jawab Diandra penuh tekad.

Lavie merangkul Diandra.

“Semangat ya, babe.”

Always,” lanjutnya diakhiri desahan kecil.

I hope, someday Kara akan punya perasaan yang sama ke elo.”

I hope so.

“Pokoknya Diandra harus tetap semangat mengejar cinta Kara,” sahut Claudia sambil mengangkat satu tangannya ke udara.

Mereka tertawa bersama, lalu berpelukan untuk menunjukkan dukungan sepenuhnya pada Diandra.

“Lo sendiri gimana?” Diandra menoleh pada Lavie.

“Hah?” tanya Lavie bingung.

“Seno.”

“Kenapa dia?”

“Lo udah move on atau ada niat lanjut part dua?”

“Dih, kenapa jadi malah bahas gue?” Lavie mengernyit.

“Seno itu masa lalu, ya. Udah mantan,” lanjutnya.

“Kan bisa balikan. Lagian mantan mana yang ke mana-mana masih barengan, yang dikit-dikit minta peluk, minta puk-puk,” ucap Diandra lagi.

“Ih, kok jadi ngeledekin gue sih? Mikir tuh gimana cara buat deketin Sangkara lagi. Karena saingan lo bukanya berkurang, tapi malah nambah tiap harinya,” sahut Lavie tak mau kalah.

“Tau deh, gue juga bingung. Kenapa banyak banget sih yang suka sama dia tuh. Padahal kan masih banyak cowok keren lain di sekolah ini. Seno misalnya—”

Stop bawa-bawa Seno dalam urusan percintaan lo ya, Di,” Diandra tertawa puas saat melihat Lavie melotot kesal padanya.

Diandra berjalan cepat menuju kelasnya, sementara Lavie dan Claudia menyusul di belakangnya. Mereka hendak kembali ke kelas karena bel masuk sudah berbunyi.

Setelah ini adalah jam mata pelajaran Mr. Jo, kalau sampai terlambat, tamatlah mereka semua.

“Lo dari mana?” tanya Gavin—satu-satunya—sahabat cowok Diandra, saat gadis itu baru saja duduk di bangku sebelahnya.

“Biasa,” Diandra tersenyum sambil memainkan alisnya naik turun.

“Sangkara lagi?”

Diandra tersenyum melihat wajah malas Gavin. Ia sudah terbiasa dengan respons teman-temannya tiap kali dirinya menghabiskan waktu untuk mengejar cinta Sangkara selama tiga tahun masa SMA-nya.

“Mundur deh kata gue, Sangkara udah terang-terangan nunjukin kalo dia nggak tertarik sama lo,” ujar Gavin.

“Masih ada waktu, Vin.”

“Mau sampai kapan?”

“Sampai gue capek, maybe.”

Diandra mengedikkan bahu, merasa tidak yakin dengan jawabannya sendiri.

“Lo cantik, baik, nyengin. Nggak pantes ngejar-ngejar cowok sampai segitunya,” lanjut Gavin, masih belum menyerah dalam misi menyadarkan sahabatnya.

“Semua itu percuma kalo Kara sendiri nggak suka,” Diandra mendengus pelan, lalu menekuk tangannya dan menyandarkan kepala di atasnya.

“Terserah lo deh,” Gavin menatap malas sebelum akhirnya memfokuskan diri pada mata pelajaran matematika yang akan segera dimulai.

Cantik, kaya, dan populer, adalah tiga kata penting yang menggambarkan sosok Diandra Wiratama. Selain terkenal karena parasnya yang cantik dan mencolok, Diandra juga adalah seorang putri tunggal dari pengusaha kaya raya—Rasya Wiratama. Tak heran penampilannya selalu menjadi nomor satu, sekaligus trendsetter di antara teman-temannya yang lain.

Selain itu, Diandra sendiri memiliki kepribadian extrovert yang menyenangkan, ramah, dan mudah bergaul. Diandra kenal dan berteman dengan siapa saja, sama sekali tidak membatasi diri soal lingkup pergaulannya. Hanya saja untuk sahabat, ia memang cukup selektif, tidak ingin menambah orang lain selain Laviena, Claudia, dan Gavin.

Soal akademik, namanya masih selalu masuk ke dalam lima puluh besar peringkat sekolah. Kedua orang tuanya juga tidak terlalu mempermasalahkan soal nilai pelajarannya. Mereka selalu mendukung apa pun yang ingin dilakukan oleh putrinya.

Dan hal tersibuk serta paling menyita masa muda Diandra adalah…. Kara—Sangkara Adhiyatsa, si introvert jenius, yang mampu memikat hati para gadis seantero sekolah.

“Dia baca teks gue nggak, ya?” Diandra mengetuk-ketukkan jarinya di atas meja.

Ia lalu menoleh ke samping dan mendapati Claudia yang juga tengah menatap ke arahnya dan bertanya, “kenapa?”, tanpa suara. Namun Diandra masih dapat dengan jelas membaca gerakan bibir Claudia.

“Kara,” jawab Diandra dengan bahasa bibir yang sama.

Diandra meringis tanpa dosa saat melihat wajah muak Claudia.

Tring.

Senyumnya merekah saat akhirnya ponselnya bergetar, menunjukkan sebuah notifikasi masuk. Diandra buru-buru melihat ponselnya, matanya mengernyit… itu bukan Kara, melainkan mommy-nya.

Dan saat bel pulang sekolah akhirnya berbunyi, Diandra buru-buru memasukkan buku dan peralatan sekolahnya ke dalam tas, lalu menjadi orang pertama yang meninggalkan kelas. Ia melangkah cepat menuju parkiran, mengabaikan langkah kaki teman-temannya yang menyusul di belakangnya.

“Buru-buru banget, mau ke mana sih?” tanya Lavie yang berhasil menyamai langkah kakinya.

“Jemput mommy. Mobilnya bermasalah katanya, jadi gue yang disuruh jemput deh.”

“Oh.”

“Gue duluan, ya. Bye!”

Diandra kembali melangkah cepat, menuju Mercedes-AMG GTR maroon miliknya. Lalu melesat secepat kilat ke tempat arisan mommy-nya.

***

“Diandra, kita nganterin temen mommy dulu, ya? Nggak apa-apa, kan?”

“It’s oke, mom.”

Diandra mengedikkan bahu. Setuju-setuju saja dengan permintaan mommy-nya.

“Mir, ini Diandra anak aku,” ucap Helena—mommy Diandra—pada teman sejawatnya.

“Halo, Diandra. Miranda, nice to meet you,” wanita itu tersenyum ramah.

Diandra ikut tersenyum dan balas memperkenalkan diri.

“Halo, tante. Diandra.”

“Anak kamu cantik, ya,” puji Miranda.

“Iya, dong. Siapa dulu mommy-nya.”

Mereka bertiga pulang bersama satu mobil, sambil sesekali mengobrol untuk mencairkan suasana.

“Diandra pulang sekolah, ya?” tanya Miranda.

“Iya, tante.”

“Sekolah di mana?” tanyanya lagi.

“Central School, tante.”

“Waaah, sama dong kayak anak tante. Anak laki-laki tante juga sekolah di sana loh.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Si Tampan yang Posesif   6. Pesta Kelulusan

    “Sorry, kenapa tiba-tiba banget, ya? Pertama, gue nggak gitu kenal sama lo. Kedua, udah pasti gue dateng sama temen-temen gue. Tapi makasih udah ngajakin,” Diandra berusaha menolak dengan sopan.“Bukan sama Kara?” tanyanya lagi, kali ini dengan nada mencurigai.Kening Diandra mengerut, dia tidak suka ketika orang lain mencoba mengusik privasinya.“Kok jadi Kara?”“Ya… semua orang juga tau kalo selama ini lo ngejar dia banget, cuma akhir-akhir ini aja agak beda.”“Itu sama sekali bukan urusan lo.”“Ada yang mau gue omongin nanti malem.”“Yaudah tinggal ngomong aja sekarang, kenapa harus nunggu nanti malem?”“Nggak bisa, moment-nya nggak tepat kalo sekarang. Gue juga belom siap.”Diandra melihat ke sekeliling, tempat di mana teman-teman satu angkatannya masih sibuk merayakan kelulusan.“Yaudah, nanti malem aja. Tapi nggak harus berangkat bareng juga, kan? Ketemu di sana kan bisa.”“Oke. See you tonight.”Diandra mengangguk, dan membiarkan laki-laki bernama Alvaro itu pergi dari hadapann

  • Si Tampan yang Posesif   5. Patah Hati

    Mata mereka bertemu dan saling menatap beberapa saat sebelum akhirnya Kara berpaling dan mengembuskan napas berat.“Gue nggak bisa,” tiga kata dari Kara itu sontak membuat napas Diandra tercekat.Jantungnya seperti berhenti berdetak sepersekian detik, dan udara di sekitarnya terasa menipis, membuat Diandra kesulitan bernapas.“But, thanks karena udah suka sama gue selama tiga tahun ini,” lanjutnya.Kalimat itu terdengar sangat menyakitkan bagi Diandra. Rasa cinta yang dia simpan selama tiga tahun ini sia-sia. Perasaannya tak berbalas.“Apa ada sesuatu didiri gue yang bikin lo nggak suka? Atau belum? Gue bisa nunggu.”Diandra tahu kata-katanya itu terdengar konyol, tapi tubuhnya bergetar saat memikirkan kemungkinan itu.Kara tidak langsung menjawab. Ia hanya melirik sekilas, tatapannya dingin namun… ada sedikit kilatan yang sulit ditebak.“Enggak.”“Kenapa?”“Lo kelewat populer, kayaknya bakal ribet banget kalo menjalin hubungan sama tipe cewek kayak lo gitu. Selalu jadi spotlight dan

  • Si Tampan yang Posesif   4. Pendekatan Jalur Calon Mertua

    “Ya,” Miranda mengangguk.“Kara masih SMA kan, ya? Kok udah… punya PA?” tanyanya lagi.“Kara itu cover-nya aja yang anak SMA.”“Hah? Gimana, tante?”Miranda tersenyum, seperti tengah menggoda gadis itu.“Nanti juga kamu tahu.”“Len, Di, besok malam kalian bisa kan datang ke sini untuk makan malam?”“Ada acara apa nih?” tanya Helena.“Makan malam biasa aja. Sebagai perayaan karena hari ini akhirnya kita ketemu lagi setelah sekian lama, dan juga ucapan terima kasih karena Diandra udah mau nganterin aku pulang.”“Tante… aku ikhlas loh, serius.”“Iya, tante percaya.”Diandra tersenyum hingga kedua matanya menyipit.“Gimana? Kalian bisa, kan?”“Aku sih bisa aja, ya. Kebetulan lagi nggak ada acara juga. Kalo kamu gimana, Di? Biasanya kan kamu yang paling jarang ada di rumah?”“Hm? Aku bisa kok, mom. Bisa banget!” jawabnya cepat.“Oke kalo gitu, besok aku tunggu ya buat makan malam di rumah.”“Iya, Mir.”“Iya, tante.”Jawab ibu dan anak itu berbarengan.***Setelah selesai berkeliling dan me

  • Si Tampan yang Posesif   3. Pertemanan Orang Tua

    “Oh, iya?”“Iya. Namanya Sangkara, kamu kenal?”Diandra spontan menginjak pedal rem begitu nama itu disebutkan dengan ringan oleh Miranda.“Diandra, hati-hati dong bawa mobilnya.” Seru mommy-nya karena kaget.“Sorry, mom. Kaget dikit tadi.”“Hm?”“Anak tante Miranda siapa tadi? Sangkara?” tanya Diandra memastikan.“Iya. Sangkara Adhiyatsa. Kamu tahu dia?”‘Bukan cuma tahu, tan,’ Diandra meringis dalam hati.Bagaimana bisa ada kebetulan semacam ini dalam hidupnya. Sangkara, cowok yang tiga tahun ini menjadi gebetannya, dan selalu menolaknya. Sekarang dia malah duduk satu mobil dengan ibu dari lelaki itu?Tante Miranda bahkan adalah teman baik mommy-nya sejak jaman kuliah di Auckland.‘Takdir macam apa ini?’ batinnya girang.“Voila!” serunya.“Kenapa, Di?” tanya mommy-nya penasaran.“Hehehe… nggak apa-apa,” Diandra tersenyum canggung saat kedua orang tua itu menangkap basah perilaku anehnya.Setelah berhasil menguasai diri, Diandra kembali menjalankan mobilnya dan melaju untuk mengantar

  • Si Tampan yang Posesif   2. Cemburu

    “Kak Kara, hari ini jadi nemenin gue keliling sekolah?” seorang gadis tiba-tiba menghampiri Kara, berbicara padanya dengan suara lembut dan cenderung manja.Senyum cantik di wajah Diandra memudar, alisnya berkerut, dan matanya menatap tajam pada dua orang yang tengah berbicara santai tak jauh darinya.Itu adalah Salsa, seorang siswi pertukaran pelajar dari sekolah lain. Yang entah bagaimana bisa menjadi tanggung jawab Kara selama Salsa berada di sekolah ini.“Sure,” jawab Kara singkat, namun… Diandra bersumpah ia melihat seulas senyum tipis di sudut bibir lelaki itu.Diandra kesal bukan main saat melihat Kara bisa setenang itu berbicara dengan gadis lain. Bahkan tersenyum. Tersenyum!Diandra merasa iri luar biasa. Merasakan panas perlahan menjalar ke seluruh tubuhnya saat melihat kedekatan mereka berdua, berjalan bersama keluar lapangan, meninggalkan Diandra sendiri di sana.Gadis itu mendesah menatap punggung Kara yang perlahan menjauh, lalu menghilang.“See?” Ujar Lavie yang berdiri

  • Si Tampan yang Posesif   1. Mimpi Ciuman

    “Kita emang nggak punya hubungan apa pun. Tapi… kamu milik aku,” setelah mengatakan kalimat itu, Kara—cowok yang tiga tahun ini menjadi crush Diandra—menyeringai sebelum akhirnya mendekatkan wajahnya ke arah Diandra.Menciumnya.Pelan… dan dalam.Diandra yang awalnya melotot karena terkejut, berakhir memejamkan mata, menenangkan diri sendiri, dan perlahan menikmati ciuman lelaki itu di bibirnya.Diandra menggantungkan tangannya di leher Kara, menarik lelaki itu agar lebih mendekat padanya.‘Akhirnya… setelah tiga tahun… cinta gue nggak lagi bertepuk sebelah tangan,’ batin Diandra senang.‘Ini menyenangkan. Ciuman ini… aku menyukainya’.‘Rasanya… aku tidak ingin terbangun dari mimpi ini.’Diandra seketika membuka mata di tengah ciuman mereka.Mimpi.Mimpi.“Arrrgh! Kenapa gue harus kebangun di saat-saat kayak gini sih? Padahal lagi hot banget mimpi gue barusan!” serunya saat kesadarannya sudah pulih sepenuhnya.Diandra melihat ke sekeliling dan menemukan dirinya masih berada di kamarny

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status