Hari Minggu ke dua bulan Juli, Eline sedang duduk minum teh di beranda lantai dua rumahnya. Eline baru pulang dari Amerika tiga hari yang lalu. Tini membawa secangkir teh beraroma melati dan dua potong roti bakar untuk Eline. Handphone Eline yang diletakkannya di atas meja berbunyi. Bu Sudarmaji menelpon Eline."Hallo Tante.""Kamu dimana?" tanya Bu Sudarmaji."Lagi d rumah, Tante." Bu Sudarmaji sudah tahu Eline telah pulang dari Amerika. Evan suami Eline masih di sana menyelesaikan kuliah doktoralnya."Kamu nggak ada rencana ke luar rumah? Pergi jalan-jalan gitu?""Belum ada, Tante.""Oke sekitar dua jam lagi aku ke rumahmu. Bagaimana kalau nanti kita pergi ke salon atau shoping?""Terserah Tante saja.""Oke, sebentar lagi aku hubungi Sri Astuti dan Lisa, siapa tahu mereka ingin ikut bersama kita.""Oke, Tante."Selesai Bu Sudarmaji menelpon, tiba-tiba terpikir oleh Eline untuk meminta laporan dari Jolien dan Miranda. Ia segera menghubungi ke dua anak buahnya itu."Hallo, kamu dima
Kedua sahabat itu bertemu kembali di kafe tempat mereka biasa nongkrong.“Hai Nona cantik. Terlihat lebih segar sekarang,” kata Wika saat ia melihat Natasya telah ada di kafe itu lebih dulu. Wika duduk di hadapan Natasya dan memperhatikan wajah sahabatnya. Seakan Natasya lepas dari satu beban yang selama ini menghimpitnya.“Ah itu perasaanmu saja Nona. Aku seperti biasa saja kok,” tanggap Natasya sambil tersenyum. “Bagaimana kabarmu beberapa hari ini?” lanjut Natasya.“Eh, kesepian. Aku kehilangan seorang sahabat tempat curhat. Ada saat-saatnya aku ingin mencurahkan kegelisahan hatiku. Beberapa waktu yang lalu, aku punya itu di dekatku.” Wika berbicara panjang disertai helaan nafas dan ekspresi wajah yang sedikit muram.“Ah kan sahabatmu itu selalu siap sedia, walau sekarang dia tak satu kantor lagi denganmu,” kata Natasya sambil tersenyum dan memandang mata Wika. “Eh, sebelum kita lanjut. Kamu mau pesan minum apa? Aku sudah pesan minum tadi duluan, tapi belum diantar juga sih,” lanju
Lena dan Wika sampai di kantor Pak Dunan sudah pukul delapan belas lewat tiga puluh.“Hai, apa kabar Mbak Lena?” sapa Talisa saat melihat kedatangan Lena dan Wika.“Kabar baik, Mbak Talisa gimana kabarnya?”“Baik juga.”Keduanya saling cium pipi kiri dan kanan.“Ada apa ya, Mbak? Tiba-tiba ingin ketemu?” kata Talisa sambil mempersilahkan Bu Lena dan Wika duduk di sofa ruang tamunya. Talisa memiliki ruangan khusus untuk para tamu. Ia merupakan direktur bagian perencanaan dan anggaran di perusahaan Pak Dunan.“Yang jelas kali ini bukan urusan proyek, Mbak,” kata Bu Lena sambil tersenyum.“Sebentar, Mbak Lena mau minum apa? Kopi instan? teh melati atau yang lainnya?” Talisa menawarkan minuman pada Lena dan Wika.“Terserah Mbak Talisa saja deh,” jawab Lena.“Kalau begitu teh saja ya,” kata Mbak Talisa sambil tersenyum. “Mita bikin teh untuk tamu kita!” kata Talisa pada salah seorang staf yang ada di ruangannya.“Baik, Bu,” jawab staf cewek yang bernama Mita. Mita kemudian keluar dari ruan
Bu Lena memarkir mobilnya di restoran yang sudah jadi langganannya. Petugas parkir membantu Bu Lena mencarikan tempat parkir yang masih kosong. Restoran memang tidak terlalu ramai sore itu. Bu Lena dan Wika keluar dari mobil dan melangkah ke arah restoran.“Kita duduk di lesehan yang ada gazebo di belakang itu!” kata Bu Lena pada Natasya. Kebetulan tempat duduk yang selalu jadi favorit Bu Lena itu masih kosong.“Baik, Bu.” Wika melangkah mengikuti Bu Lena. Bu Lena merasa nyaman kalau harus berbicara hal-hal yang bersifat rahasia di restoran ini. Apalagi tempat duduk lesehan yang terdiri dari gazebo-gazebo itu letaknya terpisah-pisah. Jadi kalau berbicara hal yang rahasia atau sensitif tidak akan terdengar pengunjung lain. Suara bising pelayan dan peralatan makan juga tak terlalu berisik seperti di ruangan utama.Sesaat setelah mereka duduk dan mencatat menu yang hendak dipesan, seorang pelayan restoran menghampiri.“Kamu ada tambahan pesanan lainya?” tanya Bu Lena pada Wika.“Emm, say
Bu Lena kembali ke ruangannya. Ia kembali melanjutkan pekerjaan. Ia kemudian mengirim pesan pada Wika.“Habis kerja nanti kita nongkrong di kafe yang dulu. Kita pergi dengan mobil saya,”“Baik, Bu,” jawab Wika. Wika menduga-duga tentang hal penting apa yang membuat Bu Lena ingin ngobrol di luar. Wika kembali melanjutkan pekerjaannya.Saat jam pulang kerja, Wika telah dihubungi Bu Lena agar langsung ke parkiran belakang. Wika melihat Bu Lena telah memasuki mobilnya. Ia melambaikan tangan pada Wika. Sekretaris Jayadi itu telah menyalakan mesin mobilnya. Mobil berwarna merah yang dia beli sepuluh tahun yang lalu.Wika segera bergegas ke arah mobil Bu lena. Ia naik dan duduk di sebelah Bu Lena.“Motor kamu dititip saja sama, Pak Gunadi. Bilang sama dia besok diambil”“Baik, Bu.” Wika kembali turun dan menemui Pak Gunadi yang lagi asyik minum kopi dan merokok.“Pak saya nitip motor di kantor. Besok saya ambil. Soalnya sekarang mau pergi sama Bu Lena.”“Baik, Mbak,” jawab Gunadi sambil ters
Lena melangkah menuju pintu ruangan Jayadi. Ia mengetuk pintu dan tak mendengar jawaban dari dalam. Lena membuka sendiri pintu. Ia melihat Jayadi ketiduran di kursi eksekutifnya. Terbersit rasa kasihan di hatinya melihat bos nya itu. Ia tetap saja masuk dan duduk pada salah satu kursi yang ada dimeja bundar besar. Ia menunggu Big Bos terbangun sambil memainkan handphone. Sekitar sepuluh menit Lena duduk menunggu Jayadi terbangun. Ruangan itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Handphone Lena juga disenyapkan sehingga tak ada bunyi notifikasi.Jayadi membuka mata perlahan dan melihat Lena duduk tanpa bersuara. Jayadi mengusap matanya. Ia tersenyum pada Lena. “O, aku ketiduran. Entah kenapa beberapa hari bawaannya capek dan mudah ketiduran,” kata Jayadi sambil meluruskan punggungnya. “Kamu sudah lama masuk?” tanya Jayadi.“Baru sepuluh menit, Pak,” jawab Lena sambil tersenyum.“Oh, ya bagaimana kabar Natasya? Jadi Wika bertemu dengannya?” kata Jayadi membersihkan layar handphonenya dengan