Daerah Zona Terlarang, adalah desa yang berada di pedalaman daratan bagian Barat Kerajaan. Semula desa ini dipimpin oleh seorang kepala suku, awalnya ayahnya Arga yang memimpin suku. Namun karena Ayah Arga sudah tiada, maka tugas mengelola desa diberikan kepada tetua desa,yang bernama Eyang Abimayu.
"Ibu, Arga pulang!, Arga tadi menemukan beberapa tanaman herbal yang bisa mengurangi sakit ibu." Arga pun lekas membongkar keranjang bawaannya mengeluarkan beberapa tanaman, dan segera meraciknya.
"Uhuk... Uhuk... Nanti saja membuat obatnya nak, uhukk... Uhuk makan dulu sini... Uhukk." Ajak sang ibu, walaupun dalam kondisi lemas Ibu Arga masih memaksakan dirinya.
Ibu Arga menjadi sakit-sakitan, Semenjak Ayah Arga meninggal dunia 14 tahun yang lalu, karena memenuhi tanggung jawabnya untuk melindungi desa dari pembangkangan yang dilakukan oleh paman Arga sendiri.
Paman Arga melakukan penyergapan, karena ia menginginkan posisi Ayah Arga sebagai kepala suku, lantas paman Arga dengan pasukan hewan-hewan liar yang dimilikinya menghancurkan desa dalam sekejap. Saat itu keadaan desa menjadi kacau-balau, api berkobar dimana-mana, sangat mengerikan.
Ayah Arga yang terdesak, demi menghentikan kekacauan, terpaksa melawan saudara kandungnya sendiri. perkelahian pun tak terbendung, mereka terus bertarung mengeluarkan kesaktian masing-masing untuk mencari yang terunggul di antara mereka, hingga keduanya sama-sama kehabisan tenaga.
Hampir sampai pada batasnya, Ayah Arga mengeluarkan tanduk Markhor warisan leluhur. Kemudian menusukkan nya ke dada sang kembaran. Paman Arga pun tumbang, lalu menghembuskan nafas terakhirnya.
Sedangkan, Ayah Arga yang merasa dirinya tidak dapat tertolong lagi, dalam keadaan hampir sekarat, memaksakan diri melakukan ritual guna mewariskan semua ilmu saktinya kepada Arga.
Arga yang saat itu berumur 4 tahun, masih tidak mengerti apa-apa hanya menangis ketakutan. Ia menjadi tak sadarkan diri, setelah menerima kekuatan sang ayah.
Sejak saat itulah, kepemimpinan suku sementara beralih ke Eyang Abimayu, namun ketika Arga sudah dewasa kelak, ia sebagai penerus sah akan kembali meneruskan jejak sang Ayah, sebagai kepala suku.
Arga lekas menghampiri sang ibu, ia dengan lahap memakan masakan lezat dari sang ibu. Namun sesekali tatapan khawatir ia berikan, ketika ibunya batuk keras, dan memuntahkan darah.
Namun Ibu Arga yang menyadari kekhawatiran sang anak, lekas membersihkan darah yang membanjiri bibirnya menggunakan sapu tangan. Lalu memasang senyum hangat seolah semuanya baik-baik saja. Namun tetap saja Arga merasa cemas.
Kemarin ia menguping pembicaraan sang ibu dengan Tabib Manika. Kata tabib, Ibunya hanya bisa bertahan selama 6 bulan lagi. Dan satu-satunya obat untuk menyembuhkannya hanyalah Anggrek Berlian. Anggrek ini hanya bisa ditemui dalam lautan dengan ke dalaman antara 19.690 kaki (6 km) hingga 35.797 kaki (11 km), di 'trenches zone'.
Dalam zona itu, Suhunya bisa mencapai titik beku dan memiliki tekanan hingga 8 ton per inci persegi. Meskipun berada dalam lingkungan yang ekstrem, nyatanya Anggrek ini banyak tumbuh subur disana.
Karena habitatnya dalam keadaan sedingin es, menjadikan kelopak Anggrek ini membeku dan mengkristal, sehingga tampilannya tampak seperti berlian.
Konon katanya, Anggrek Berlian ini hanya pernah sekali berhasil di bawa kedaratan. Yakni oleh Raja Maheswara ke-IV, dia mendapatkan tanaman ini sebagai imbalan dari Orang Laut.
Jadi hanya ada tiga cara untuk bisa mendapatkan bunga Anggrek Berlian. Pertama dengan mengambilnya sendiri ke dalam laut, yang sedingin es itu. Kedua memintanya dari Orang Laut, atau ketiga memohon kepada Raja agar memberikannya.
Cara pertama tidak mungkin bisa dilakukan, karena Arga tidak ingin berakhir dengan mati membeku disana. Cara kedua sepertinya juga tidak bisa, karena keberadaan Orang Laut yang hampir mustahil dijumpai. Jadi cara, Satu-satunya yang tersisa, yaitu dengan memintanya kepada Raja Ganendra.
Tiba-tiba Arga terpikirkan, tawaran Raja yang mengundangnya ke Kerajaan. Mungkin hanya ini kesempatannya untuk bisa mendapatkan obat penyembuh untuk Sang Ibu.
"Ibu, tadi Arga bertemu Raja Maheswara. Ia menawari Arga posisi seorang Banding Agung di kerajaannya. Jadi boleh kah Arga kesana, bu?." Tanya Arga ragu.
"Apa?!, Raja Maheswara?!, Banding Agung?!." Ibu Arga tampak terkejut, dia menghentikan kegiatan makannya. "Nak, kamu tahu sendiri kan. Uhuk...uhuk... Orang Darat sangat tidak mendukung masyarakat kerajaan." Jawab Sang Ibu.
"Tapi bu... Arga hanya ing--."
"kelak kau akan menjadi, uhuk...uhuk... Kepala Suku disini. Kami tidak bisa, uhuk...uhuk... kehilangan mu Arga." potong Sang Ibu cepat.
"Tapi, bagaimana dengan penyakit ibu?, Arga juga tidak mau kehilangan Ibu." Balas Arga lirih.
sambil mengepalkan tangannya geram, Ibu menjawab. "Cukup Arga!, keputusan ibu sudah mutlak, kau tidak boleh meninggalkan desa ini!, Jika kau memilih pergi ke kerajaan, maka kau bukan anak ku lagi!." Sanggah Ibu Arga murka.
Namun, Arga sudah membulatkan tekad, ia berdiri memberi hormat kepada Ibunya, "Maafkan Arga bu." Lalu ia berbalik pergi meninggalkan rumah.
"Arga kembali!."
"ARGA!."
◇❖❖◇
Kali ini, Arga sengaja tidak memberitahu Eyang Abimayu jika dia akan berpergian. Karena jika sampai kepala suku, sekaligus gurunya itu mengetahuinya, Arga bisa diusir selama-lamanya dari suku.
Setelah sehari dua malam melakukan perjalanan dengan Nehan, Arga pun tiba di depan gerbang istana. Namun ketika dia ingin masuk. Pengawal yang berjaga langsung mencegatnya, "Orang luar yang belum membuat janji tidak bisa masuk, dan dilarang membawa hewan peliharaan." ucap pengawal tegas.
"Tapi pak, Raja Ganendra sendiri yang mengundang saya, anda bisa menanyakannya." Jelas Arga.
"Tidak bisa nak, karena kau tidak memiliki surat resmi." pengawal itu tetap bersikukuh.
"Ini perintah langsung dari Raja, biarkan dia masuk." Tukas Manggala yang kebetulan juga ingin memasuki istana. pengawal itu pun buru-buru mempersilahkan. "Ba-baiklah anda boleh masuk."
Dua orang pria, beserta seekor harimau tampak menyusuri Koridor putih berkeramik luas yang menyebar ke Sekeliling kerajaan, "Jadi apa kau sudah memutuskannya anak muda?." Tanya Manggala yang berjalan cepat di depan mereka, memandu jalan.
"Hmm, tapi saya memerlukan sesuatu." Balas Arga kurang yakin, ia tengah mempersiapkan diri, merangkai Kata-kata yang sekiranya pantas untuk diucapkan nanti. "Baiklah, kau bisa menyampaikan nya sendiri kepada Raja, Ia tengah menunggumu di Aula pertemuan" Manggala memberikan jalan untuk Arga dan Nehan, membiarkan mereka memasuki Ruangan.
Sebuah aula bundar megah berada dibawah langit-langit kubah kristal. Di terangi dengan pancaran sinar matahari, cahaya matahari itu berubah warna-warni, karena pantulan dari panel-panel jendela yang terukir kaca patri.
Raja menanti, di singgasana emas bertahtakan permata berkilap-kilap. Ia kelihatan berwibawa dengan balutan baju silver-biru yang berkilauan alih-alih warna hitam seperti yang ia pakai di hutan.
"Salam kepada Matahari kerajaan, saya Arga Giandra Bratajaya, menghadap Raja ingin menyampaikan suatu perihal." Salam Arga sambil menundukan badannya memberi hormat.
"Berdirilah Arga, katakanlah jangan sungkan." Raja membalas sembari melambaikan tangannya, menyuruh Arga menyudahi hormatnya.
Arga kembali berdiri tegak, lalu melanjutkan "Saya bersedia menjadi seorang Banding Agung, tetapi dengan satu syarat, yakni saya menginginkan Anggrek Berlian, paduka." Arga menyelesaikan kalimatnya dengan menatap lurus Kaisar, matanya memancarkan kesungguhan mendalam.
Entah karena alasan apa, ekspresi di mata keemasan Raja berubah lembut. "Kalau begitu, acara penobatan akan diadakan besok, setelahnya jika kau berhasil menjalankan tugasmu dengan baik sebagai Banding Agung, maka akanku berikan bunga Anggrek Berlian kepadamu."
|Arga|Sepanjang perjalanan ke Kerajaan, aku sibuk memikirkan rencana mendapatkan obat untuk Ibu. Ketika aku dan Nehan sampai, hari sudah menjelang siang, sedangkan Raja, langsung menjamuku dengan makan siang setelah menemuinya.Dini hari kulewatkan dengan memandangi pinggiran tirai di kamar istana, menyaksikan cahaya biru semakin pekat seiring datangnya fajar. Sekarang aku bahkan tidak bisa duduk diam selagi menunggu di teras Aula, sibuk merapikan pinggiran jasku sendiri.Aku mengenakan pakaian sutra sehitam bulu gagak dan jas biru terang. Kerah berbentuk V menampakkan pinggiran cap Kerajaan, sedangkan rambutku kusisir ke belakang agar tidak menutupi wajah. Tanpa hiasan batu berharga, tanpa ornamen kompleks. Hanya di lengkapi Pedang besi sederhana yang tersemat di pinggang ku.Di dalam Aula, suara terompet berkumandang. Khalayak merespon dengan membalikkan badan ke arah altar secara serempak, menjadi lautan mata. Aku merasakan tiap tata
|Arga| Suka cita masyarakat menyambut kami di kerajaan, selepas pulang. Raja Ganendra menggelar pesta sebagai hadiah kemenangan, merayakannya dengan meriah. Semua merasa senang, dan terlihat menikmati perjamuan yang diberikan, Terkecuali aku yang masih berkubang karena kepergiannya. Kupegang lembut kalung yang tersemat di leherku, berbandul putih berkilauan di bawah cahaya. Ya, itu adalah inti kehidupan Nehan. Sebagai majikan aku akan mendapatkan inti itu ketika hewan peliharaan sudah tiada. Inti kehidupan itu berguna agar aku bisa berubah menjadi sosok Nehan, ke wujud harimau putih. Nehan ku makamkan di sekitaran riak sungai, agar ia bisa bermain dengan bebas di seluas hamparan. dengan keindahan alam yang masih terjaga. ◇❖❖◇ Tengah malam datang dan pergi, seiring menit demi menit yang berlalu, aku semakin bergerak-gerak gelisah. Tidurku tidak nyeyak, padahal aku Kecapean. Di luar masih gelap ketika aku terjaga, diba
Arga diawasi siang malam tak kurang dari dua belas penjaga, masing-masingselalu awas dan siap siaga di balik jeruji sel. Hanya Arga seorang yang ditahan di sini. Tak seorang pun bicara atau sekedar menyapanya, termasuk para penjaga. Deru pintu besi bergeser di luar bungker. Para prajurit sedang bertukar sif. Kegaduhan merembes ke dalam dari jendela-jendela yang berposisi tinggi di dinding beton. Ruangan ini sejuk, sebagian dibangun di bawah tanah, dan dibelah oleh koridor panjang yang memisahkan dua deret sel berjeruji. Derap langkah kaki mendekat, terdengar bergema dari luar jeruji, Arga lekas memasang posisi siaga, berekspresi garang menampilkan taring-taring nan runcing. Beberapa prajurit berpelindung baju tempur memasuki penjara, "Raja ingin menemuimu." kata salah satu dari mereka terburu-buru. Mereka mengeluarkan Arga dari sel tanpa melepaskan ikatan rantai. Memaksanya berjalan di istana dalam keadaan terantai. Sebagai tawanan. Pu
◇❖❖◇ |Arga|Cahaya matahari yang nampak dari balik jendela sel kian memudar, mulai menyongsong kegelapan menandakan malam kembali.Sudah genap dua hari aku di kurung di balik kandang dingin nan membekukan ini, besok aku akan membantai sukuku sendiri, tempat lahirku, keluargaku. Jika dipiki-pikir, bukankah kelakuanku tidak lebih bejat dari pamanku sendiri, bukankah usaha ayahku akan sia-sia jika anaknya berakhir kelam seperti saudaranya sendiri?. Rasa bersalah terus menghantui ku.Dalam kegelapan nan hampa, aku terus memikirkan Jika bukan karena mereka menculik ibuku, mengancamku dengan ibuku. Aku terus merutuki kebodohan ku yang awalnya ingin mencari Anggrek Berlian untuk menyembuhkan ibuku, malah jatuh terjebak dalam kemunafikan mereka."Makam malam." Seonggok daging memenuhi nampan diselipkan melalui celah sel. Setelahnya prajurit itu berlalu meninggalkan ku kembali bersama kegelapan. Aku kembali meringkuk membenamkan kepalaku,
|Arga| Seiring jam demi jam berlalu, udara seolah membakar paru-paru dan mengeringkan tenggorokanku. Sensasi tersebut hanya disamai oleh ototku yang serasa dijalari api. Ototku yang pegal menjerit-jerit seiring tiap langkah, seiring tiap ayunan kaki ke depan dan ke atas untuk mendaki batu-batu terjal, yang mengarah ke puncak tebing. Udara semakin dingin semakin tinggi aku naik, sedangkan kakiku sesekali terpeleset di tanah licin berselimut kubangan lumpur dan permukaan cadas berkerikil. Meskipun ngilu, aku terus maju. Lautan berombak membentang di hadapanku. Uap air di udara berkondensasi dan jatuh, membasahiku. Kabut disusul oleh hujan, yang menderas dalam sekejap. Bagaikan hujan badai yang tiba-tiba. Aku sudah basah kuyup dalam hitungan detik, di tengah terpaan hujan. Aku menghirup udara dalam-dalam, membiarkan bau tajam hujan berbaur tanah menusuk indraku. Di atas, langit mendung berair menyembunyikan matahari. Seaka
|Arga|"Nak bangun." kurasakan suara yang kelewat lembut, mengusik pendengaranku memaksaku untuk terbangun, mataku menyipit tak kala terkena silauan cahaya mentari pagi. Aku terpaku, nafasku tersengal. Ku pandangi sekitarku, untuk mencari tahu keberadaan nya.Semua tata letak perabotan, lukisan, pahatan terlihat akrab dan nampak sama dengan rumahku. 'Apakah aku kembali ke rumah, Bukankah aku sudah tenggelam di lautan?, tapi siapa yang membawaku pulang?.' Batinku bertanya-tanya. Aku tersadarkan oleh riuhnya suara burung, yang berkicau di bawah langit kebiruan bertabur sinar keemasan.Mataku tertumbuk ke asal suara ramah yang membangunkan ku tadi. Aku mendapati sebuah wajah yang malah lebih ramah lagi. "Ibu?!." Kagetku. "Apa benar ini ibuku?, Nyonya Arjanti Baratajaya?." merasa tak percaya, aku menampar kedua pipiku keras. Aku melenguh tak kala merasakan nyeri di kedua pipiku. Orang yang kuyakini sebagai ibuku terheran-heran, "Ada apa denganmu, nak?. Apakah
Sinar matahari terbit menerangi awan tipis jarang-jarang di langit. Hari ini sepertinya akan cerah. Angin masih bertiup dari Danau, mengacak-acak rambut Arga dengan lembut. Wangi air danau yang basah menggelitik indra pembau, membawa kesegaran hijau musim panas.Arga tengah menyusuri jalanan desa bersama Nehan. Kakinya mengarahkannya menuju jalanan setapak yang sudah sangat di ingatnya. Rumah-rumah keluarga yang sudah hafal di luar kepala menyembul dari balik dinding, jendela-jendelanya dibuka untuk mengalirkan udara pagi ke dalam.Di tiap rumah, panji-panji dinasti aneka warna berkibar-kibar ditiup angin. Merah darah marga Kumara, hijau zamrud marga kuno Pratmatya yang tiada tanding, hitam-silver marga terkemuka Wibisana.Gapura tinggi dan mulus, membentang lebar dari dinding-dinding pirus-emas di sektor desa. Setelah sampai di suatu pekarangan Arga secara menyelinap memasuki sebuah rumah tersudut di ujung gang.Rumah itu sendiri,
"Oh jadi itulah sebabnya, suku kita tidak mau bekerjasama dan mematuhi peraturan kerajaan Maheswara." Celutuk Barra, pemuda tampan bersurai perak, sembari mengusap-usap Sigung peliharaan di pangkuannya.Arga tersenyum tipis, sesuai perkiraannya, Orang Kerajaan memang sudah bertindak. "Itulah sebabnya aku mengumpulkan kalian disini, karena aku tidak ingin jika suatu saat nanti, suku kita akan berakhir hancur, hanya karena kita menganggap remeh dan menutup sebelah mata atas penyabotasean ini.""Menurutku kita sebagai generasi muda dalam suku, memang harus melakukan tindakan secepat mungkin." Komentar Farra serius.Arga bangkit dengan keluwesan nan anggun. Ekspresinya tak terbaca,"Oleh sebabnya, disini aku sangat mengharapkan dedikasi kalian, sebagian sudahku rancangkan upaya apa saja yang harus kita lakukan." Arga membuka buku agendanya, dia tampak memilah-milah, "pertama, Melakukan pengamanan, dengan berjaga-jaga dan mengingat kapan saja jadwal penyer