|Arga|
Sepanjang perjalanan ke Kerajaan, aku sibuk memikirkan rencana mendapatkan obat untuk Ibu. Ketika aku dan Nehan sampai, hari sudah menjelang siang, sedangkan Raja, langsung menjamuku dengan makan siang setelah menemuinya.
Dini hari kulewatkan dengan memandangi pinggiran tirai di kamar istana, menyaksikan cahaya biru semakin pekat seiring datangnya fajar. Sekarang aku bahkan tidak bisa duduk diam selagi menunggu di teras Aula, sibuk merapikan pinggiran jasku sendiri.
Aku mengenakan pakaian sutra sehitam bulu gagak dan jas biru terang. Kerah berbentuk V menampakkan pinggiran cap Kerajaan, sedangkan rambutku kusisir ke belakang agar tidak menutupi wajah. Tanpa hiasan batu berharga, tanpa ornamen kompleks. Hanya di lengkapi Pedang besi sederhana yang tersemat di pinggang ku.
Di dalam Aula, suara terompet berkumandang. Khalayak merespon dengan membalikkan badan ke arah altar secara serempak, menjadi lautan mata. Aku merasakan tiap tatapan ketika melangkah maju memasuki Aula, menapaki karpet merah, berhenti di depan Raja yang sudah menanti. "Ksatria yang akan melakukan sumpah, silahkan melangkah maju. Dan berlututlah di hadapan kaisar."
Raja mulai melakukan acara penobatan, ia membacakan aturan-aturan, dan tugas yang harus aku lakukan sebagai seorang Banding Agung kelak, hingga sampai giliranku.
"Sejak hari ini sampai hari terakhirku, aku bersumpah setia kepadamu, paduka Ganendra Syaron, Raja ke-IX dari kerajaan Maheswara." kataku tulus, masih dalam posisi hormatku. Setelahnya, Aku diberikan lambang-lambang kehormatan, dadaku disematkan pangkat Banding Agung. Nehan juga diberikan baju perisai perang.
Upacara yang memakan waktu hampir sejam itu, diakhiri dengan tepuk tangan meriah dari masyarakat dengan Serpihan-serpihan kertas, dan kelopak bunga melayang-layang berhamburan hingga mendarat memenuhi lantai Aula.
◇❖❖◇
Sudah sebulan aku tinggal di istana ini, Setiap harinya ku lalui dengan melatih prajurit militer. Ada beberapa prajurit khusus yang ku siapkan.
Sebab para prajurit hanya manusia biasa yang tidak memiliki kesaktian layaknya orang Darat. Karenanya Latihan yang hanya membutuhkan waktu seminggu bagi Orang Darat, diselesaikan dalam waktu sebulan oleh Prajurit Kerajaan.
Hari ini kami akan melaksanakan perang di perbatasan Barat, Jadi aku sebagai Banding Agung kerajaan bertugas memimpin jalannya perang. Ditemani oleh wakil perang yang menjadi pimpinan perang terdahulu, Nawang Birawa.
Selama berjam-jam, berulang-ulang aku mengulas rencana di dalam kepalaku. Rintangan demi rintangan yang mesti dilalui. Menyeberangi perbatasan. Itu bisa dilakukan dengan mudah. Nawang mengenal rute di sini dan ia mengetahui titik-titik kelemahan musuh. Namun, yang menjadikan kita kuat sering kali juga menjadikan kita lemah.
Pegunungan terjal nan rawan melindungi kota-kota di lembah dari pengepungan atau serbuan pasukan musuh. Deretan rapat pohon pinus menyulitkan kendaraan mana pun yang berani coba-coba untuk lewat ke sana alih-alih melalui jalan raya.
Letaknya yang tinggi saja niscaya menggentarkan hati siapa pun yang ingin masuk dengan cara mendaki. Para penduduk mengira diri mereka aman, dibentengi tebing-tebing dan angkasa. Di mata mereka, tidak ada bahaya dan tidak ada musuh yang mampu berderap sampai ke pintu depan mereka.
Pegunungan di kejauhan kian lama kian dekat. Penampakannya lebih mirip dinding daripada gunung mana pun yang pernah kulihat. Ketakutan coba-coba menggerogoti tekadku, mungkin karena aku belum tentu bisa kembali dalam keadaan hidup-hidup. Tetapi aku pantang dikalahkan oleh rasa jeri. Aku justru menyipitkan mata dan mencurahkan fokus kepada tugas yang sudah di depan mata, supaya tidak tersedia ruang untuk hal lain.
Kami menyusuri kali yang membelah hutan pinus rimbun, dan ketika kami mulai memanjat kaki bukit, barulah aku tersadar bahwa kami sudah melewati batas tak kasat mata yang memisahkan kerajaan dengan wilayah musuh. Kami memulai pendakian dari barat kota, alhasil kami mesti kembali ke selatan lagi untuk mencapai sungai.
Sungai tersebut dibendung di hilir, di lembah tempat berdirinya Perbatasan, sehingga terciptalah sebuah danau bengkok. Sebagian beban seolah terangkat dari pundakku ketika kami mencapai bantaran lengang perairan. Aku bersama para prajurit membenamkan diri ke bawah permukaan air bersama-sama, tidak meninggalkan jejak barang sedikit pun di belakang.
Aku berenang ke arus air, untuk menciptakan pusaran yang mengalir di dasar sungai. Gelembung terbentuk di seputar kepala kami masing-masing, Kemudian, kami menyusuri pusaran air diam-diam, meluncur bersama arus seturut lekukan lembah. Suasana hampir gelap gulita, tetapi aku memercayai air.
Satu setengah kilometer terakhir berlalu dalam kesunyian nan menegangkan, hanya diramaikan oleh bunyi pernapasanku sendiri dan detak jantungku yang bertalu-talu.
Danau di perbatasan ternyata dalam dan penuh ikan. Aku terlompat satu atau dua kali gara-gara tersenggol sisik di kegelapan sementara kami mengarungi perairan untuk menuju pinggiran. Kutepis sensasi itu, buru-buru memusatkan perhatian kepada tahap berikut dalam rencanaku.
Sejumlah griya megah memiliki dermaga sendiri di danau dan kami memanfaatkan dermaga-dermaga itu untuk berlindung. Aku naik duluan, memunculkan mataku sedikit saja di atas permukaan air. Setelah berjam-jam di alam liar dan di bawah air, cahaya lembut lampu-lampu kota terasa menyilaukan. Aku tidak berkedip ataupun berjengit.
Kupaksa penglihatanku supaya menyesuaikan diri secepat mungkin. Ada jadwal yang harus kami tepati. Belum ada alarm. Tidak ada sinyal peringatan. Bagus.
kami sudah sampai di lembah tinggi saat bintang-bintang mulai berkelap-kelip di langit. Walau begitu, perjalanan tetap saja berat. Udara menipis dan pernapasanku menjadi dangkal, menyebabkan langkah kian sulit ketika kami kian naik.
Aku bisa mendengar harimau peliharaan ku bernapas, silih berganti menghirup dan mengembuskan udara dengan cepat sementara kami mendaki. Walaupun aku bersyukur didampingi oleh Nehan dalam perang pertamaku, namun aku berharap tidak perlu mengajaknya ikut merasakan penderitaan ini. Aku lagi-lagi menepis pemikiran takut nan menggigilkan.
Aku merasa seperti sedang meniti tali di atas sarang serigala, mesti bersusah payah menjaga keseimbangan. Satu langkah keliru dan matilah kami, dicabik-cabik oleh taringnya.
Lembah tadi tergantikan tebing tinggi nan terjal, berhimpitan membentuk sebuah jalanan sempit, lokasi ini pas jika dijadikan medan penyergapan musuh, lalu kami mengatur beberapa strategi untuk penyerangan sembari menunggu pasukan musuh datang.
Instingku tidak keliru.
Setelah menunggu beberapa saat, bendera berlambangkan banteng terlihat dari kejauhan mendekati daerah tebing. Sesuai dugaan, mereka berniat menyerang daerah perbatasan pada saat tengah malam. Segera, Anak-anak panah kami luncurkan dari arah kanan dan kiri tebing menembaki pasukan musuh. Mereka yang mendapat serangan tiba-tiba segera membentuk formasi perlindungan.
Pasukan kami segera menyerang mereka, pertempuran tak terbendung, meskipun mendapat penyerangan tiba-tiba mereka tak goyah, mereka unggul dalam jumlah, namun kami unggul dalam strategi.
Aku segera memberikan sinyal, untuk mengeluarkan kartu As yang sudah disiapkan. Pasukanku yang mengerti, segera mneyingkir dari jalanan, memberikan ruang sementara, membiarkan musuh untuk bernafas sejenak, sebelum batu-batu besar yang sudah disiapkan menggelinding dari atas tebing, siap menggilas mereka. Pasukan musuh yang sempat kebingungan, segera berlarian menyelamatkan diri, meninggalkan formasi.
Aku tak melewatkan kesempatan itu, segeraku terjang pimpinan musuh, dan ku tancapkan pedangku ke perutnya, ia mengerang, semakin ku perdalam tusukan, semakin banyak darah segar menciprati wajahku, tangannya yang semula menahan pedangku perlahan mengendor, perlawanan juga tak terlihat lagi darinya, menandakan bahwa tubuh itu telah kehilangan nyawanya.
Namun, mendadak ada yang menerjang perutku, mengimpit demikian kuat hingga napasku terkuras dari paru-paru. Aku kehilangan keseimbangan jatuh dari tubuh Nehan, lalu menggelinding ke tanah. Penglihatanku berkunang-kunang. Jika begini terus, bisa-bisa aku pingsan.
Sekujur tubuhku menegang dan, ketika membentur sesuatu yang padat, aku mengira seluruh tulangku akan remuk menjadi debu. Aku mengembuskan napas dan melemaskan pundakku. Gerakan itu memedihkan luka sayat di punggungku. Aku mendesis sambil berjengit, kemudian mengulurkan tangan untuk meraba luka. Luka sayat itu panjang, tetapi tidak terlalu dalam.
Mataku terbuka serta-merta dan melihat bahwa didepanku Nehan tersungkur kehilangan banyak darah, ia tertimpa batu besar.
Aku serta-merta melupakan rasa ngilu di otot-ototku sendiri, darah di pundakku, bahkan efek berputar tadi, dan bergegas menghampirinya. “Jangan bergerak,”
Aku menggeser batu berhati-hati agar tidak menggerakkan tungkai kanannya. Penglihatanku sekejap berkunang-kunang. Aku sudah melihat banyak jenis cedera, tetapi posisi lututnya yang terpelintir, kakinya yang terputar seratus delapan puluh derajat, membuat perutku melilit-lilit.
Nehan terlihat kesakitan, ia mengaum dan mendorong tanganku yang bercucuran darah, karena mencoba memindahkan batu besar itu, mencegahku untuk memperdalam luka.
Nehan lalu menatapku dalam, aku mengerti maksudnya, ia mencoba memberitahukan bahwa usahaku sia-sia, ia sudah sekarat, dan nyawanya sudah tidak tertolong lagi.
"Kau bisa selamat Nehan!," Sanggahku cepat menolak untuk percaya. Aku tetap berusaha memindahkan batu itu sekuat tenagaku. Namun nihil, nafas Nehan mulai melemah, di helaan Nafas terakhirnya, Nehan menjilati air mataku menyuruhku untuk tidak bersedih.
Namun sebaliknya, tangisanku semakin deras, saat ku sadari Nehan mulai menutup matanya. Ia sudah pergi. Aku memeluk jasadnya yang masih terasa hangat, "Tidak!... Tidak Nehan!,".
Beberapa meter dari tempatku berada, Nawang Barawa, memperhatikan dari kejauhan, senyum licik tersungging di wajahnya yang pucat.
"Arga Giandra Bratajaya!." "Tuan Arga!." "Tuan Guru!." Teriakan demi teriakan terus terdengar saling sahut menyahut, menciptakan kebisangan dalam suatu lembah yang letaknya agak ke pedalaman, sehingga dulunya jarang terjamah oleh kumpulan manusia awam. Walau tenggorokan sudah terasa kering, dan suara mulai terdengar serak pun. upaya mereka belum juga terlihat tanda-tanda akan membuahkan hasil. Padahal seluruh Anggota prajurit, termasuk pimpinan jendral sudah menghabiskan waktu hampir seharian penuh untuk melakukan pencarian terhadap sang pimpinan. "Anda ada dimana, tuan Arga?." Seru Jendral lirih, Tak terbilang sudah berapa banyak pikiran yang tidak-tidak terus berseliwiran mengundang kecemasannya. Hingga Pergerakan kedua kakinya mulai melemah, sang pemilik tubuh dirasa tak mampu lagi meneruskan berjalannya. Walau lemah, dengan susah payah Jendral mencoba berpegangan pada tepian batang kayu didekat aliran, berusaha menahan bobot tubuhnya supaya tidak langsung meluncur jatuh. Na
Syrenka berusaha mati-matian menahan pergerakannya saat Arga berjalan mendekati tempat persembunyiannya. Nyawa Syrenka seakan ikut mengambang. Saat Arga sudah sampai tepat di depannya, keberadaan mereka berdua hanya terhalang oleh dinding batu karang saja saat ini. Hampir selangkah lagi, Arga tiba-tiba berhenti. pemuda itu menunduk, tangannya perlahan turun, lalu jemarinya menggapai sebatang tangkai Anggrek berlian dan lantas mencabutnya. "Kurasa cuma bunga ini yang ukurannya paling besar." Gumam Arga sembari menyelipkan lagi bunga dengan bentukan spesial itu. Selanjutnya Arga lekas memutar arah, pemuda itu menelusuri lagi setiap bunga guna memastikan suoaya tak ada yang terlewat. sebelum pemuda itu memutuskan untuk meninggalkan ladang Anggrek Berlian itu, dan berenang pergi ke daratan. Sedangkan syrenka hanya bisa menatapi sosok yang mulai menghilang ke permukaan itu tanpa bergeming. Dia masih tidak bisa menyangka, jika baru saja berkesempatan untuk melihat orang yang dicintainya
Selepas mendapatkan pusaka, lantas semakin menyelam menuju ke kedalaman air. Arga sudah lama berubah pikiran, Alih-alih meminta kepunyaan milik Raja. Jika di berikan kesempatan. Walau harus mengeluarkan tenaga lebih, Arga lebih memilih mengandalkan kemampuannya untuk mengambil sendiri Anggrek Berlian itu. Karena perbandingan kualitas kesegaran Anggrek Berlian yang lama jauh berbeda di bandingkan dengan yang baru di petik. Di tambah alasan lain mengenai harga diri, ia tak sudi jika harus mendapatkan rasa iba dari Sang Raja berhati busuk itu. Arga yang sekarang sudah berubah total, dia tak sepolos dulu. Pastilah ada maksud tersembunyi, jika Arga meminta Anggrek Berlian kepadanya, dan Raja mau memberikan dengan gamplang kepunyaannya itu. Jadi Tentu saja, Arga harus memanfaatkan waktunya sekarang ini sebaik mungkin agar bisa mendapatkan obat untuk sang Ibunda. "Aku harus menemukan Anggrek Berlian itu!." Gumamnya penuh tekad. Tepat setelah Arga mengakhiri kalimatnya, pemuda itu mera
Beberapa saat Lalu... |Syrenka| Dulu Ayah sering menceritakan banyak kisah mengenai legenda kaum kami. Ada satu kisah yang sangat membekas di ingatanku, yakni mengenai nasib hidup seorang putri duyung yang berakhir tragis. Karena dia berani menentang takdir, jatuh cinta dengan bangsa manusia. Setelah berkorban banyak, hingga akhirnya harus menukar suaranya yang indah dengan sepasang kaki. Ia malah harus melihat orang yang ia cintai menikah dengan orang lain. Merasa Putus asa ia pun memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan melompat ke laut. Dan detik berikutnya... Ia menjadi buih. Begitulah kisah cinta melegenda para duyung yang sewaktu kecil pernah sangat aku sukai. Dulu aku sangat ingin mencoba bagaimana rasanya jatuh cinta itu. Dan kini walau dengan versi agak berbeda, berkat tak sengaja menyelamatkan seorang pemuda, diriku mulai merasakan jatuh cinta itu. Bahagia saat memikirkannya, Berdebar-debar setiap kali di dekatnya, Tersipu malu saat di perhatikannya. Perasaan seder
|Pararryon| Aku pandangi seonggok tubuh tak berdaya yang tergeletak di depanku, sudah hampir seharian kondisi Asrai belum juga ada kemajuan. Aku sudah memberikannya perawatan terbaik semampuku. "Teman terbaik... sangat susah untuk ditemukan, sukar untuk di tinggalkan, dan sulit untuk dilupakan." Aku mengedarkan pandangan berusaha mencari dari mana asal suara itu berasal. Tapi tak kutemukan siapapun, yang aku dapat hanya kehampaan. Hingga kenyataan, kembali menyadarkanku. Suara itu hanyalah bekas kenangan yang merambat keluar dari memori lamaku. Entah kenapa, dalam keadaan seperti ini. aku malah teringat akan Kata-kata polos Asrai di waktu dulu. Hatiku bergejolak, aku merasakan seperti ada sesuatu mendorong untuk keluar dari kedua mataku yang mulai memanas. Mungkin beginilah rasa kesedihan yang biasanya muncul pada diri manusia yang putus asa dan kecewa. Aku baru tahu, jika rasa kesedihan itu bisa sampai membuat perasaanku semenderita ini. Andai saja, dengan penderitaan i
Sejak dahulu kala, Tuhan sudah mengatur segalanya dengan penuh keseimbangan. Begitupun dengan makhluk-makhluk ciptaan-Nya. Tak ada yang berakhir sia-sia. Semuanya diberikan kelebihan, namun juga tak luput dari kekurangan. Itulah sebabnya, kita akan saling membutuhkan, saling berpasangan, saling bantu bahu- membahu, juga saling menguntungkan. Begitu juga dengan benda-benda yang tak bernyawa, masing-masing dari mereka yang memiliki manfaat, juga pasti memiliki kemudaratan. Itulah konsep keseimbangan. Hingga suatu masa, keseimbangan itu pernah hampir musnah. Pada zamannya, Alam semesta pernah berada di saat-saat tergelap dan tersuram.Semua hal itu semata-mata, disebabkan karena rasa keserakahan manusia. Awalnya semuanya berjalan dengan semestinya di dukung dengan ekosistem alam yang sempurna. Namun di antara sejuta keberadaan manusia berhati baik, pastilah ada satu manusia berhati licik. Perlahan Para manusia dengan kecerdasan mereka berlomba-lomba ingin mendominasi seisi dunia, bahk
"Bisa nanti saja bertanya nya?, selamatkan aku terlebih dulu." Jawabku ketus. Walau begitu, sebenarnya di dalam diri, hatiku ini tengah was-was. Sebab Ini kali pertamaku bertatapan langsung dan berani meminta tolong kepada manusia."Kau bisa bicara?!." Tukas anak itu, seraya memandangiku dengan tatapan terkejut, bercampur takjub seakan tak percaya.Aku mendengus, "Tentu saja, aku ini binatang suci tahu." Ucapku menyombong. Kau pasti tambah terkejut kan?. Ya, teruslah kagum padaku.•°Setelah berhasil melepaskan tandukku dengan jerih payah dan sedikit bantuan darinya. Anak itu tak langsung pulang, dia malah duduk di tepian sembari menyerangku dengan banyak pertanyaan."Oh, jadi tak sembarangan binatang bisa berbicara sepertimu ya?." Tanya anak itu lagi, matanya masih menatapku dengan berbinar-binar, seakan baru saja di pertemukan dengan sebuah benda langka yang jika di perhitungkan akan bernilai jutaan berlia
|Flashback On||Pararryon|Sebagai Satu-satunya hewan yang diberikan karunia untuk bisa berbicara dan memahami bahasa manusia. Tak banyak yang bisa dilakukan oleh naga air seperti aku ini, hanya bisa sesekali berkeliling atau mungkin mendengarkan aktivitas ramai dari pedagang dan nelayan di atas sana. Aku yakin saat kalian membaca satu paragraf di atas. Di dalam benak, kalian pasti bertanya-tanya kemana keluarga dan koloniku?. Akan aku jawab, sebenarnya aku tak memiliki keluarga. Aku adalah satu-satunya naga air yang hidup di perairan ini, karena sejak kecil aku terpisah oleh rombongan koloniku yang bermigrasi, dan aku tertinggal disini. Hari demi hari, aku lalui seperti biasanya. Hingga di suatu hari yang cerah, "Shiela akan jaga disitu, dan kalian di bagian sana." Aku mengenali, suara cempreng itu berasal dari seorang anak manusia. "Jangan berbalik ya!." Setelah ucapan itu, aku mendengar ada suara menyerukan angka seperti sedang menghitung, juga ada yang berbicara singkat dengan
|Arga|Namun tiba-tiba instingku menyuruhku untuk berbalik melawannya, dan aku mengandalkan waktu yang tepat ini untuk mengenai titik lemah Pararryon yang tengah lengah. DRAAKK!Gerakanku itu jelas, terlalu cepat dan terlalu sekilas untuk bisa di lihat oleh mata berusia tiga juta tahun miliknya. Tangan kiriku yang bebas meninju mahkota di atas kepala Pararryon, meretakkannya dengan gampang.Si naga kembali beringsut ke belakang hingga karena terkejut, meskipun punggungnya sebenarnya sudah mepet ke dinding terowongan. Kepalanya bergetar beberapa kali seperti orang menggigil. "Boleh juga, manusia. Kekuatan yang mengerikan sekali. Aku tidak pernah jadi manusia, tapi menurut penilaianku kau terhitung manusia dengan kemampuan langka, pemuda yang sangat cerdik."Aku tak terlalu mendengarkan semua kata-kata semanis madu itu, karena pandanganku masih teralihkan. Aku kini mengamati fenomena menakjubkan yang baru pertama kali aku temui di kehidupanku ini, atau bahkan satu-satunya dan tak akan