Inyiak Mudo harus menghentikan semadinya. Suara-suara halus yang berbisik ke dalam hati dan pikirannya cukup mengganggu meditasi yang telah ia mulai semenjak beberapa purnama yang lalu. Meditasi yang sesungguhnya tidak akan mungkin diganggu oleh orang lain sebab ia tinggal nun di sebuah pulau kecil nan terpencil.
Pulau Sinaka, sebuah pulau yang berada di lepas pantai sebelah barat Pulau Swarnadwipa yang bermakna Pulau Emas. Atau setidaknya, begitulah kata para pedagang dari Gujarat dan Tiongkok Selatan.
Namun, penduduk yang mendiami pulau besar itu lebih mengenal daratan tersebut dengan nama Andalas—kelak, nama itu akan berganti menjadi Sumatra.
“Ada apakah gerangan?” gumam Inyiak Mudo setelah ia membuka matanya. “Mengapa suara-suara tak berwujud itu mengiang-ngiang dalam pikiranku?”
Dan ketika ia memutuskan untuk berdiri, barulah terlihat bahwa pria yang berperawakan seperti seorang yang sudah berusia 70 tahun itu cukup pendek, hanya memiliki tinggi sekitar satu tombak[1] saja.
Hanya saja, wajah itu memiliki kulit seperti kulit bayi, halus dan kemerah-merahan meski kumis dan jenggot menyatu menjadi cambang yang lebat berwarna keabu-abuan, begitu juga dengan rambutnya yang sebahu itu.
Tidak ada yang tahu usia pria tersebut yang sebenarnya, itu juga alasannya orang-orang lebih mengenal dia dengan julukan Inyiak Mudo.
Inyiak Mudo berdiri hening dengan kedua tangan berada di belakang pinggangnya. Wajah yang menengadah itu terlihat tidak terlalu tenang, dengan mata terpejam, di tepian pantai. Cambang dan rambutnya riap-riapan dipermainkan angin malam.
‘Duhai para Dewa dan Dewi si Suwarga,’ bisik hati kecilnya, ‘gerangan apakah yang Kalian pertandakan padaku?’
Ia membuka matanya, memandangi cakrawala malam yang bertabur bintang gemintang laksana butiran-butiran berlian di pasir hitam. Sesaat, Inyiak Mudo menghela napas lebih dalam sebelum tatapannya tertuju ke seberang lautan. Bayangan tipis dari Pulau Andalas sedikit memberi petunjuk pada dirinya, tentang bisikan-bisikan tak berwujud yang mengganggu semadinya tadi.
Tidak mungkin untuk mengulang semadi yang telah terganggu itu, akan membutuhkan satu prosesi untuk memulainya lagi. Jadi, Inyiak Mudo memutuskan untuk tidur-tidur ayam[2] saja sembari menunggu fajar menyingsing.
Akan tetapi, Inyiak Mudo justru benar-benar tertidur dengan posisi miring ke kanan. Dan kembali suara-suara gaib itu menggoda mimpinya. Dan kembali ia terjaga.
Pria tua sama sekali tidak paham dengan suara-suara dalam mimpinya itu. Masalahnya, tidak ada kata-kata yang jelas yang bisa ia ingat. Hanya suara-suara berbisik halus yang lebih sering terdengar seperti suara tawa seorang bayi, atau rintihan kesakitan dari seorang wanita.
“Rasian macam apa pula ini?” gumam Inyiak Mudo setelah bangun dari tidurnya.
Di awal pagi itu, Inyiak Mudo akhirnya memutuskan untuk meninggalkan Pulau Sinaka. Dengan menaiki sebuah sampan kecil, ia mendayung menuju daratan utama Andalas.
Meski pria tua dan pendek itu mendayung dengan begitu santai tanpa terlihat terburu-buru, namun sampan itu justru meluncur sangat cepat di permukaan laut yang cukup berangin di pagi ini.
Tidak membutuhkan waktu yang lama bagi Inyiak Mudo untuk bisa mencapai daratan utama Andalas meski hanya dengan sebuah sampan kecil. Ia sudah melihat keramaian dari sebuah bandar di tepi laut, namun ia memilih untuk melabuhkan sampannya jauh di sisi kanan dari bandar tersebut.
Bandar itu bernama Bangkahulu, kelak akan menjadi sebuah ibukota penting bagi Provinsi Bengkulu.
Setelah berlabuh dan menambatkan perahunya di satu titik di antara kelebatan tanaman di tepi laut, Inyiak Mudo meneruskan tujuannya dengan berjalan kaki. Yah, meskipun tidak bisa disebut sebagai berjalan sebab kenyataannya, pria tua seolah seekor burung yang terbang dengan sangat ringannya, melesat ke arah utara. Ia sengaja mengambil jalur di antara kerapatan pepohonan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Menjelang tengah hari, Inyiak Mudo telah sampai di kawasan Bukik Siriah, secara harfiah berarti Bukit Sirih. Kawasan itu berada di ujung utara sisi barat Ngarai Sianok. Di sana, terdapat sebuah goa alami yang tidak terlalu besar.
Hanya ada satu orang saja yang mendiami goa itu, dan orang itulah yang sekarang akan ditemui oleh Inyiak Mudo.
Dia adalah seorang wanita sepuh yang sama tuanya seperti Inyiak Mudo sendiri, bernama Sabai Nan Manih. Hanya saja, sebagaimana dengan Inyiak Mudo, wanita itu pun memiliki kulit wajah selayaknya kulit bayi yang halus dan kemerah-merahan. Rambutnya pun telah hampir memutih keseluruhannya.
Di dalam goa itu Sabai Nan Manih yang kecantikan masa mudanya masih membayang jelas di wajahnya itu dalam kondisi bersemadi. Duduk bersila dengan tenang di atas sebuah bongkahan batu.
Inyiak Mudo berhenti sejenak di depan mulut goa, ia menghela napas lebih dalam sebelum akhirnya memutuskan untuk memasuki goa tersebut. Ia sedikit tersenyum ketika melihat wanita sepuh itu duduk dengan sangat tenang.
Lima langkah di hadapan Sabai Nan Manih, Inyiak Mudo lalu duduk bersila. Ia memutuskan untuk menunggu wanita itu saja mengakhiri semadinya daripada harus dengan sengaja mengganggunya.
Hanya sekejap saja sebelum wanita sepuh yang dikenal oleh masyarakat dengan julukan Inyiak Gadih tersebut terdengar menghela napas dalam-dalam. Ia mendapat panggilan seperti itu bukan berarti dia masih gadis, itu disebabkan wajah dan bentuk tubuhnya itu, meskipun sudah berusia sangat tua sebagaimana dengan Inyiak Mudo, namun wajah dan tubuhnya masihlah terlihat seperti seorang gadis remaja.
“Kau datang sebelum waktu perjanjian kita, Akhirali,” meski bibirnya hampir tidak bergerak sama sekali, namun suara itu cukup terdengar jelas di telinga Inyiak Mudo.
Inyiak Mudo tersenyum, “Aku tahu.”
“Cih!” Inyiak Gadih akhirnya membuka matanya, menyudahi semadinya. “Kau sama sekali tidak berubah, padahal kita sudah hidup sangat lama di dunia ini.”
Lagi-lagi Inyiak Mudo menanggapi kekesalan ucapan Inyiak Gadih dengan senyuman. Bagaimanapun, suara dan gaya ucapan wanita yang satu itu sama sekali tidak berubah. Masih sama seperti ketika mereka muda dahulu, pikirnya.
“Ada hal yang ingin aku tanyakan padamu, Sabai.”
CATATAN:
[1] Ukuran panjang/tinggi kira-kira 1,5 meter.
[2] Istilah untuk berbaring bermalas-malasan.
[3] Rasian = mimpi yang biasanya merupakan firasat akan kejadian sesuatu.
Puti Bungo Satangkai duduk sembari memerhatikan Antaguna dengan dagunya bertopang pada telapak tangannya, dan sikunya bertopang pada lutut yang menekuk ke atas, di bagian depan sampan yang sedang meluncur ke arah barat.Sementara Antaguna, duduk di bagian ujung lain sampan, bagian belakang, sembari mendayung dan membawa sampan ke tengah-tengah laut.Pria besar dan berotot menjadi malu sendiri sebab selalu diperhatikan sang gadis, bahkan sembari tersenyum-senyum menatapnya.“Hei, ermm … apakah pulau itu masih jauh?” Antaguna membuang pandangan ke samping. Terlalu jengah diperhatikan seperti ini, pikirnya.Dan sang gadis hanya mengangguk saja sembari tetap tersenyum-senyum manja.“Kupikir tadinya kau bilang di seberang laut,” Antaguna mendesah panjang. “Ini bukan laut, tapi sebuah samudra, dasar gadis bodoh. Kau mengerjaiku!”Bungo terkikik dan menggeleng-geleng kecil yang semakin membuat Antaguna menjadi jengah dan bimbang. Bimbang sebab ingin saja pada saat itu dia menerkam sang gadis
Puti Bungo Satangkai, Antaguna, dan Sondang Tiur akhirnya tiba di Istana Minanga, di Batang Kuantan.Ketiganya disambut dengan cukup meriah oleh Rajo Bungsu dan orang-orang istana. Terlebih lagi, dengan keberhasilan Bungo yang mendapatkan semua kepingan Teratai Abadi. Meskipun, kegembiraan mereka sedikit terusik dengan kematian si Kumbang Janti.Hanya saja, baik Antaguna maupun Bungo sendiri tak hendak membicarakan tentang keburukan yang pernah dilakukan si Kumbang Janti sehingga membuat Antaguna cacat wajahnya. Tidak pula oleh Sondang Tiur yang juga mengetahui alasan di balik hal tersebut.Sama seperti jawaban Antaguna kepada Mantiko Sati dan Puti Pandan Sahalai di Ngarai Sianok, begitu pula yang mereka sampaikan keduanya kepada Rajo Bungsu dan orang banyak ketika sang raja bertanya perihal perubahan di wajah si pria tinggi besar.Rajo Bungsu dan Ratu Nan Sabatang, juga Gadih Cimpago sangat bersuka cita ketika mereka mendengar bahwa Bungo dan dua orang yang menemaninya bertemu dengan
‘Katakan padaku,’ Puti Bungo Satangkai menatap ke dalam mata Antaguna. ‘Kenapa kau merahasiakan tentang lukamu itu dariku?’“Bungo …” Antaguna menghela napas dalam-dalam. “Tidak ada gunanya diungkit-ungkit lagi. Aku sudah memberi tahu alasan di balik lukaku ini. Bahkan di depan abangmu, ingat?”‘Apakah kau pikir abangku dan aku sendiri begitu buta untuk tidak menyadari bahwa kau sengaja berbohong?’Sementara itu, Sondang Tiur sengaja menjauh dengan alasan mencari ikan untuk makan mereka di siang itu, di satu aliran sungai kecil yang jernih. Dia tahu dengan baik bahwa Bungo hanya ingin berbicara empat mata saja dengan Antaguna. Tentang, sesuatu yang bersifat sangat pribadi, mungkin, pikirnya.Antaguna mendesah halus dan menunduk.‘Hei!’ Bungo mendorong pelan bahu pria besar. ‘Katakan padaku! Kenapa?’Akan tetapi, sampai beberapa saat lamanya, Antaguna tak hendak memberi tahu alasan sesungguhnya kepada sang gadis.‘Hei, katakan padaku! Apakah kau masih menganggapku temanmu? Beri tahu ak
Kicau burung liar terdengar cukup menenangkan pikiran. Ditambah dengan pekik hewan dan suara aliran air di sungai, semua itu menemani sekumpulan orang yang sedang berdiri di satu titik, di sisi timur aliran sungai, di tengah-tengah lembah Ngarai Sianok.Puti Bungo Satangkai berlutut dengan menggenggam sejumput bunga liar yang indah dan masih basah oleh embun. Lalu disusul pula oleh sang kakak, Mantiko Sati, yang berlutut di samping kirinya.Sementara yang lainnya berdiri hening dengan kepala tertunduk.Kakak beradik itu meletakkan bunga-bunga liar di satu titik di permukaan tanah, di antara batu-batu kerikil yang lebih mencolok dengan warna kehitam-hitaman di antara lainnya.Di titik itulah di mana Zuraya pernah tergeletak tak berdaya dan mati. Di titik itu pula Bungo dilahirkan dengan sangat terpaksa. Di titik yang sama pula Inyiak Mudo lantas membakar jasad Zuraya.Mantiko Sati tidak pernah bisa menemukan jasad Zuraya ketika malam jahanam itu terjadi. Dia tidak tahu bahwa di titik i
Mantiko Sati lantas tersenyum lebar dengan gelengan kepalanya, membuat semua orang menjadi bertanya-tanya. Terutama, bagi Antaguna sendiri.“Uda?”“Wajahmu, Tarigan. Wajahmu.”Antaguna mulai merasakan sesuatu yang mungkin akan menyakitkan beberapa orang di antara mereka. Lagi, dia mereguk ludah sembari melirik Puti Bungo Satangkai dari sudut matanya, lalu tertunduk.“Terakhir kali kita bertemu,” kata Mantiko Sati. “Wajahmu masih terlihat gagah. Dan aku yakin, bekas luka di wajahmu itu adalah akibat dari terkena Cakar Kucing Emas, bukan?”Degh!Tidak Antaguna saja yang berdegup kencang jantungnya, tapi juga Bungo.Sang gadis yang dalam waktu belakangan ini cukup penasaran dengan kecacatan yang didapat Antaguna pada wajahnya memang ingin mengetahui cerita di balik itu semua. Hanya saja, semenjak kembali dari Pulau Telaga Tujuh, Antaguna sama sekali tidak mau menyinggung perihal bekas lukanya tersebut.“Uda, aku―”“Bisakah kau melepas bajumu, Tarigan?”Antaguna semakin menggigil. Bukan l
Puti Pandan Sahalai tertawa halus seraya mengusap bahu Sondang Tiur.“Baiklah, baiklah,” ucapnya. “Tapi, jangan sampai terdengar oleh suamiku.”“Kenapa?”Kebingungan si gadis Batak juga menjadi kebingungan Antaguna yang tentu saja mendengar percakapan keduanya.“Sejauh yang aku tahu,” lanjut Sondang Tiur. “Seluruh masyarakat di Minanga ini mengetahui bahwa seorang Mantiko Sati adalah pria rupawan yang sangat sopan dan halus budi bahasa. Kurasa dia tidak akan keberatan.”Lagi, mantan Ratu Minanga itu tertawa halus dan sangat merdu. “Oh, Tiur … kau hanya belum tahu saja bagaimana dalamannya!”“Oops …” Sondang Tiur terkikik.Dan Antaguna hanya bisa tersenyum sembari membuang muka. Dasar perempuan, pikirnya.Dan kemudian si pria berbadan besar membantu Sondang Tiur dan Puti Pandan Sahalai untuk memanggang daging yang tersedia di atas nampan kayu lebar, mempersiapkan makan malam bagi mereka semua.Malam itu berlalu dengan banyak kegembiraan. Sekaligus, ini adalah makan malam paling membaha