Lima tahun kemudian, Inyiak Mudo menepati janjinya terhadap istrinya, Sabai Nan Manih alias Inyiak Gadih. Hanya saja, kali ini ia datang ke Bukik Siriah dengan membawa seorang gadis kecil yang berusia lima tahun.
“Kau pasti akan senang bertemu dengan Inyiak Gadih,” ujar Inyiak Mudo pada gadis kecil itu ketika mereka berada di atas sampan.
Dan ya, sebagaimana dengan yang telah diperkirakan oleh Inyiak Mudo ketika ia menolong kelahiran gadis kecil itu, dia terlahir dengan kekurangan. Gadis kecil yang bahkan dalam usia semuda itu telah terlihat akan menjadi seorang gadis yang sangat cantik, sayangnya ia tidak bisa bicara. Bahkan, ia hanya bisa mendengar dengan sebelah telinga kanannya saja.
Sebab itulah, ia membalas ucapan Inyiak Mudo hanya dengan gerakan isyarat tangannya.
‘Benarkah, Inyiak?’
Inyiak Mudo terkekeh seraya mengusap kepala gadis kecil. Ia mendayung sampannya hanya sesekali saja, namun itu sudah lebih daripada cukup untuk membuat sampan itu meluncur dengan sangat cepat.
Dalam masa lima tahun ia mengasuh gadis kecil itu semenjak kelahirannya, Inyiak Mudo telah melakukan banyak hal agar anak tersebut mampu melakukan dan memahami apa pun yang bisa dilakukan dan dipahami oleh anak-anak lain pada umumnya.
Inyiak Mudo sudah berjanji kepada mendiang ibu anak tersebut. Lagi pula, hal ini sejalan dengan rasian yang ia terima ketika itu. Dengan kata lain, sudah jalan takdir yang harus ia ambil.
“Kau tahu,” ujar Inyiak Mudo setelah mereka berada di daratan utama Andalas. Ia bahkan melesat sembari menggendong gadis kecil itu di bahunya. “Inyiak Gadih itu dulunya adalah gadis yang sangat cantik. Kurasa, kau akan menjelma menjadi gadis jelita juga nantinya.”
Gadis kecil tersipu malu di bahu Inyiak Mudo. Dibawa dengan cara tak lazim itu bukanlah hal yang baru bagi si gadis kecil. Paling tidak, semenjak usia dini Inyiak Mudo memang telah memperkenalkannya dengan berbagai ilmu silat dan kesaktian.
Gadis kecil menepuk-nepuk pundak Inyiak Mudo, lalu bertanya dengan gerakan isyarat.
‘Apakah aku boleh minta digendong oleh Inyiak Gadih nantinya?’
Inyiak Mudo terkekeh-kekeh. “Tentu saja, Anakku. Tentu saja!”
Di depan mulut goa yang ada di Bukik Siriah, Inyiak Gadih telah menunggu kedatangan Inyiak Mudo semenjak pagi. Ia bertekad bahwa hari ini ia harus mengalahkan pria tua yang adalah suaminya sendiri itu.
Inyiak Gadih bahkan terlihat begitu percaya diri dengan semangat yang membara di dalam dadanya.
Hanya saja, ketika orang yang telah ia tunggu-tunggu akhirnya muncul di tempat itu, ia hanya bisa tertegun. Tatapannya justru tertuju dan tak beranjak dari sosok gadis kecil di bahu Inyiak Mudo.
“K—Kau…!”
Inyiak Mudo tersenyum lebar sembari menurunkan gadis kecil itu dari bahunya, sementara Inyiak Gadih hanya bisa terpaku dengan telunjuk yang terarah pada si gadis kecil.
‘Inyiak,’ ujar gadis kecil dengan bahasa isyaratnya. ‘Apakah benar tidak akan apa-apa?’
“Tenang saja, Anakku,” ujar Inyiak Mudo seraya mengusap-usap kepala si anak. “Pergilah! Temui Inyiak Gadih.”
Dengan segala keluguan bocah lima tahun, gadis kecil itu melangkah mendekati Inyiak Gadih yang seperti sebuah patung batu.
Berbagai perasaan muncul di dalam dada Inyiak Gadih demi menyaksian sang suami membawa gadis kecil tersebut.
Gadis kecil berhenti sesaat, dua langkah di hadapan Inyiak Gadih yang jangkung. Ia menoleh ke arah Inyiak Mudo, pria tua itu menganggukkan kepalanya.
Dengan ragu-ragu, gadis kecil menyentuh pakaian Inyiak Gadih tepat di bagian lututnya, seolah sebuah salam perkenalan.
“B—Bukan ini!” gumam Inyiak Gadih setengah tergagap. “Bukan ini yang aku inginkan!”
Inyiak Mudo tahu itu, istrinya menginginkan pertarungan. Dan ia sama sekali tidak khawatir membiarkan gadis kecil itu mendekati Inyiak Gadih. Bagaimanapun, ia sangat tahu kelemahan istrinya tersebut.
Dan benar saja, hanya beberapa saat Inyiak Gadih masih berdiri seperti itu. Selanjutnya, demi melihat tatapan bening tak berdosa di wajah si gadis kecil, Inyiak Gadih jatuh berlutut.
“N—Namamu siapa, Sayang?” tanya Inyiak Gadih dengan mata yang berkaca-kaca.
Gadis kecil sejenak tampak bingung. Bingung sebab ia tidak tahu mengapa wanita sepuh itu justru menangis sembari memeluknya?
“Dia tidak bisa bicara,” ucap Inyiak Mudo. “Bahkan hanya telinga sebelah kanannya saja yang bisa mendengar.”
“J—Jadi?” Inyiak Gadih menatap lama pada suaminya tersebut, lalu kembali beralih pada si gadis kecil di hadapannya.
“Lima tahun yang lalu,” ucap Inyiak Mudo, “saat aku kembali dari sini. Di lembah Ngarai Sianok, aku menemukan seorang wanita muda dalam kondisi yang mengenaskan. Dan yah, dia sedang hamil besar. Anak di hadapanmu itulah bayinya.”
“Oh, Dewata…”
Inyiak Gadih kembali memeluk si gadis kecil. Hilang sudah nafsu untuk berkelahi mengadu kesaktian dengan suaminya. Kini beralih menjadi satu perasaan yang sangat lembut, sangat alami. Perasaan seorang ibu kepada putrinya.
“Ternyata,” ujar wanita sepuh tersebut, sembari tersenyum ia mengusap lembut pipi si gadis kecil meski air mata bergulir di pipinya. “S—Semua menjadi kenyataan…”
‘Inyiak Gadih kenapa menangis?’ tanya si gadis kecil dengan isyarat tangannya.
Inyiak Gadih mendengus pelan, bukan karena kesal tapi lantaran harus menahan tawa yang tiba-tiba muncul akibat pertanyaan dari si gadil kecil. Sungguh bukan situasi yang menyenangkan menahan tawa di tengah tangis haru.
Kembali ia memeluk anak kecil itu. “Tidak kenapa-kenapa, Sayang. Inyiak Gadih hanya senang bertemu denganmu.”
“Aku memberi dia nama Puti Angin-Angin,” ujar Inyiak Mudo.
“Nama macam apa pula yang kau berikan pada anak ini, Akhirali?”
Inyiak Gadih bersungut-sungut memandang pada suaminya. Dan Inyiak Mudo hanya tersenyam-senyum saja menanggapi.
Lalu ia memegang kedua bahu si gadis kecil. “Tidak,” ujarnya. “Jangan nama itu,” Inyiak Gadih tersenyum sembari menelisik setiap inci wajah si gadis kecil. “Puti Bungo Satangkai. Ya! nama itu lebih cocok untukmu, Anakku.”
“Hei,” sergah Inyiak Mudo. “Dia anakku. Aku yang menemukannya. Lagi pula, kenapa kau memberikannya nama anak kita yang sudah lama mati?”
“Diam kau, Tua Bangka!”“Oh, Dewata Yang Agung,” keluh Inyiak Mudo berpura-pura bersedih hati. “Padahal aku yang merawatnya.”“Apakah kau juga tidak akan mengalah padaku untuk yang satu ini?”Inyiak Mudo hanya bisa tersenyum menahan tawa di dalam hatinya. Sesungguhnya, memang itulah yang ia inginkan, ketenangan sang istri. Lagi pula, sudah tidak terhitung entah berapa kali ia mengalah kepada istrinya tersebut. Termasuk, dengan harus hidup berjauhan.“Baiklah, baiklah,” ucap Inyiak Mudo. “Puti Bungo Satangkai. Kau puas?”“Sudah seharusnya!” balas Inyiak Gadih seraya menggendong si gadis kecil. “Kau suka nama pemberianku itu, Sayang?”Gadis kecil tersenyum dan mengangguk-angguk.“Anak pintar!” Inyiak Gadih tertawa pelan. “Kelak, jangan jadi seperti si Tua Bangka itu! Dia tidak bisa diandalkan!”“Hei, hei,” Inyiak Mudo menahan tawanya. “Jangan menjelek-jelekkanku di hadapan anak asuhku sendiri!”“Mari, Bungo,” ujar Inyiak Gadih dengan tidak menggubris ucapan sang suami. “Kita akan pergi
Semenjak kehadiran Puti Bungo Satangkai di pulau di mana Inyiak Mudo tinggal, maka semenjak itu pula ia selalu bisa menghindari pertarungannya dengan Inyiak Gadih. Selalu saja ada alasan yang bisa ia kemukakan untuk menghindari pertikaiannya dengan istrinya tersebut.Pendek kata, Puti Bungo Satangkai menjadi penengah di antara Inyiak Mudo dan Inyiak Gadih.Terhitung sudah tiga kali pertarungan itu dibatalkan. Yang pertama tepat ketika Puti Bungo Satangkai berusia lima tahun, lalu yang kedua ketika ia berusia lima belas tahun, dan yang ketiga ketika Puti Bungo Satangkai telah berusia 25 tahun.Usaha Inyiak Gadih untuk memulihkan kebisuan dan pendengaran telinga kiri sang gadis tidak membuahkan hasil. Puti Bungo Satangkai memang mengalami kecacatan semenjak di dalam kandungan ibunya, imbas dari terjatuhnya sang ibu ketika itu ke dasar ngarai.Tapi semua kekurangan itu bukanlah penghalang bagi Puti Bungo Satangkai untuk melakukan banyak hal sebagaimana manusia lainnya. Ia belajar menulis
“Kau tahu, Anakku,” kata Inyiak Mudo seraya menghela napas begitu dalam. “Kau sudah tidak mungkin lagi aku tahan-tahan untuk melihat dunia luar.‘Tapi, aku masih suka menemani Inyiak Mudo di sini.’“Aku tahu,” Inyiak Mudo tersenyum. “Terima kasih, dalam masa tiga puluh tahun ini kau telah menemaniku di sini. Kau menjadi penengah kemelut di antara aku dan Sabai Nan Manih sehingga kami berdua tidak perlu bertarung.”‘Aku merasa tidak melakukan apa-apa.’Inyiak Mudo terkekeh seraya mengangguk-angguk kecil. “Kau tahu, ada sebagian orang yang patut mendapat pujian, namun lebih banyak lagi yang tidak meski sudah berusaha dengan segala cara. Kau gadis yang baik, Anakku. Kuharap, kelak kau tetaplah berpendirian seperti sekarang ini. Jangan biarkan buruknya dunia mengelabuimu.”‘Terima kasih, Inyiak. Aku pasti akan mengingat nasihat Inyiak.’“Kau harus ingat satu hal lagi, Bungo,” kata Inyiak Mudo. “Aku memberitahukan tentang ibumu bukan berarti aku memintamu untuk mencari penyebab semua perka
“Bungo, pergilah…!” ucap Inyiak Mudo tanpa berpaling sedikitpun kepada Puti Bungo Satangkai.Tapi sang gadis tak hendak beranjak dari sana. Bagaimanapun, ia melihat hal berbeda pada Inyiak Gadih yang masih berada jauh di depan sana, di atas sampan yang melaju sangat cepat.‘Itukah aura asli dari Inyiak Gadih?’ tanya sang gadis di dalam hati.Selama ini, Puti Bungo Satangkai tidak sekalipun melihat perubahan pada Sabai Nan Manih. Perjanjian perkelahian wanita sepuh itu dengan sang suami selalu tidak terjadi selama adanya Puti Bungo Satangkai.Lalu, apa yang membawa Inyiak Gadih mendatangi Pulau Sinaka ini? Bukankah perjanjian itu sendiri sekali dalam sepuluh tahun, dan itu terhitung masih ada lima tahun lagi? Lagi pula, bila memang mereka akan bertarung, bukankah selalu Inyiak Mudo yang datang ke Bukik Siriah?Apa pun penjelasan di balik kemunculan Sabai Nan Manih ke pulau itu, yang pasti, itu bukanlah sesuatu yang baik. Puti Bungo Satangkai dapat merasakan hawa panas yang luar biasa b
Sayangnya seribu kali disayang, Sabai Nan Manih pulih dengan membawa kepribadian lain yang muncul di dalam dirinya. Dan semenjak itulah, pertarungan selalu terjadi di antara keduanya. Sampai suatu ketika, Inyiak Mudo berhasil merayu istrinya agar mereka bertemu sekali dalam sepuluh tahun.Dengan alasan untuk saling memperkuat kesaktian masing-masing, lalu mengadu kesaktian itu pada penghujung di setiap sepuluh tahun.Dan sepertinya, untuk kali ini, Puti Bungo Satangkai tidak akan mungkin bisa mencegah pertempuran keduanya seperti di tahun-tahun sebelumnya.Kali ini semua harus berakhir di sini, pikir Inyiak Mudo. Mungkin, inilah alasannya mengapa dalam seminggu ini ia selalu merasa ada yang salah di dalam dirinya. Alasan yang sama mengapa ia mengatakan bahwa kematiannya sudah semakin dekat kepada Puti Bungo Satangkai sebelumnya.Angin kencang membawa hawa panas seiring semakin dekatnya Sabai Nan Manih ke tepian pantai. Hanya belasan langkah lagi saja, ia melontarkan tubuhnya lebih tin
Setiap kali keduanya berpindah tempat dalam perkelahian mereka, setiap kali itu pula Puti Bungo Satangkai mengikuti. Tujuannya hanya satu, mengamati setiap gerakan kedua sesepuh itu agar kemampuan dan kesaktian yang telah ia warisi bisa mencapai tahap seperti keduanya.Permukaan air laut di sekitar mereka membuncah seiring pergerakan silat keduanya, seolah-olah permukaan air adalah sesuatu yang padat bagi kaki-kaki mereka sehingga dengan mudahnya mereka bergerak bebas dalam melakukan serangan demi serangan.Pertarungan di antara pasangan suami-istri itu terus terjadi, dari pagi hingga rembang petang. Dan selama itu pula Puti Bungo Satangkai setia mengawasi keduanya.Tidak ada keletihan yang terlihat oleh sang dara pada kedua sesepuh tersebut, tidak pula masing-masing mau mengalah—setidaknya, menghentikan pertarungan itu sendiri. Atau mungkin beristirahat barang sejenak sebelum melanjutkan pertarungan mengingat keduanya sudah bertarung lebih dari setengah hari.Ada kalanya Puti Bungo S
Sang dara ingin protes pada kedua sesepuh itu yang menjadikan tubuhnya sebagai sarana dalam mereka mengadu kesaktian. Hanya saja, ia yang bisu menyebabkan suara yang keluar dari mulutnya hanya berupa ha-hu ha-hu saja. Sementara, ia seolah kehilangan kendali atas kedua tangannya sendiri.“Tenangkan dirimu!” ucap Inyiak Mudo terhadap Puti Bungo Satangkai. “Kosongkan pikiran. Jangan memikirkan tentang apa pun, Bungo!”Bersamaan dengan berakhirnya ucapan Inyiak Mudo, ia lantas menyalurkan tenaga dalamnya ke dalam tubuh sang dara dengan kekuatan penuh. Dan hal tersebut bersamaan dengan Sabai Nan Manih yang juga melakukan hal yang sama dengan Inyiak Mudo.Dalam keadaan tidak tahu apa-apa dan tiba-tiba terseret menjadi sarana bagi kedua sesepuh itu, Puti Bungo Satangkai dengan cepat melakukan apa yang dikatakan oleh Inyiak Mudo, meskipun harus dengan sedikit kesulitan.Sang gadis mengernyit hebat dengan mata terpejam, hanya dalam hitungan detik keringat sebesar bulir-bulir padi telah muncul
Sang dara membuka mata setelah ia menenangkan diri dan menenangkan dua tenaga dalam yang sebelumnya berkecamuk di dalam dirinya. Ia menemukan bahwa Inyiak Mudo sedang menatap kepada Inyiak Gadih, pun begitu sebaliknya.“Sabai, istriku…” ucap Inyiak Mudo dengan begitu lirih dan lelehan darah dari sudut bibir, juga dari dua lubang hidung.“Suamiku…” sahut Inyiak Gadih dengan kondisi nyaris serupa.Dan detik selanjutnya, kedua sesepuh itu sama hening dengan kepala terkulai, menekuk. Namun yang pasti, Puti Bungo Satangkai sama menemukan satu senyuman di bibir kedua sesepuh tersebut.Ia segera bangkit, dan mendekati Inyiak Gadih, mencoba mencari tahu apakah wanita sepuh itu hanya pingsan saja, atau justru telah meninggal dunia.Meskipun tubuh wanita sepuh itu masih terasa hangat bagi Puti Bungo Satangkai, namun ia tidak menemukan denyut kehidupan pada nadi di pergelangan tangannya, tidak pula di lehernya. Sang dara memastikan sekali lagi dengan mencoba merasakan embusan napas di sekitar lu