Share

Puti Bungo Satangkai

Author: Minang KW
last update Last Updated: 2022-05-08 16:39:52

Lima tahun kemudian, Inyiak Mudo menepati janjinya terhadap istrinya, Sabai Nan Manih alias Inyiak Gadih. Hanya saja, kali ini ia datang ke Bukik Siriah dengan membawa seorang gadis kecil yang berusia lima tahun.

“Kau pasti akan senang bertemu dengan Inyiak Gadih,” ujar Inyiak Mudo pada gadis kecil itu ketika mereka berada di atas sampan.

Dan ya, sebagaimana dengan yang telah diperkirakan oleh Inyiak Mudo ketika ia menolong kelahiran gadis kecil itu, dia terlahir dengan kekurangan. Gadis kecil yang bahkan dalam usia semuda itu telah terlihat akan menjadi seorang gadis yang sangat cantik, sayangnya ia tidak bisa bicara. Bahkan, ia hanya bisa mendengar dengan sebelah telinga kanannya saja.

Sebab itulah, ia membalas ucapan Inyiak Mudo hanya dengan gerakan isyarat tangannya.

‘Benarkah, Inyiak?’

Inyiak Mudo terkekeh seraya mengusap kepala gadis kecil. Ia mendayung sampannya hanya sesekali saja, namun itu sudah lebih daripada cukup untuk membuat sampan itu meluncur dengan sangat cepat.

Dalam masa lima tahun ia mengasuh gadis kecil itu semenjak kelahirannya, Inyiak Mudo telah melakukan banyak hal agar anak tersebut mampu melakukan dan memahami apa pun yang bisa dilakukan dan dipahami oleh anak-anak lain pada umumnya.

Inyiak Mudo sudah berjanji kepada mendiang ibu anak tersebut. Lagi pula, hal ini sejalan dengan rasian yang ia terima ketika itu. Dengan kata lain, sudah jalan takdir yang harus ia ambil.

“Kau tahu,” ujar Inyiak Mudo setelah mereka berada di daratan utama Andalas. Ia bahkan melesat sembari menggendong gadis kecil itu di bahunya. “Inyiak Gadih itu dulunya adalah gadis yang sangat cantik. Kurasa, kau akan menjelma menjadi gadis jelita juga nantinya.”

Gadis kecil tersipu malu di bahu Inyiak Mudo. Dibawa dengan cara tak lazim itu bukanlah hal yang baru bagi si gadis kecil. Paling tidak, semenjak usia dini Inyiak Mudo memang telah memperkenalkannya dengan berbagai ilmu silat dan kesaktian.

Gadis kecil menepuk-nepuk pundak Inyiak Mudo, lalu bertanya dengan gerakan isyarat.

‘Apakah aku boleh minta digendong oleh Inyiak Gadih nantinya?’

Inyiak Mudo terkekeh-kekeh. “Tentu saja, Anakku. Tentu saja!”

Di depan mulut goa yang ada di Bukik Siriah, Inyiak Gadih telah menunggu kedatangan Inyiak Mudo semenjak pagi. Ia bertekad bahwa hari ini ia harus mengalahkan pria tua yang adalah suaminya sendiri itu.

Inyiak Gadih bahkan terlihat begitu percaya diri dengan semangat yang membara di dalam dadanya.

Hanya saja, ketika orang yang telah ia tunggu-tunggu akhirnya muncul di tempat itu, ia hanya bisa tertegun. Tatapannya justru tertuju dan tak beranjak dari sosok gadis kecil di bahu Inyiak Mudo.

“K—Kau…!”

Inyiak Mudo tersenyum lebar sembari menurunkan gadis kecil itu dari bahunya, sementara Inyiak Gadih hanya bisa terpaku dengan telunjuk yang terarah pada si gadis kecil.

‘Inyiak,’ ujar gadis kecil dengan bahasa isyaratnya. ‘Apakah benar tidak akan apa-apa?’

“Tenang saja, Anakku,” ujar Inyiak Mudo seraya mengusap-usap kepala si anak. “Pergilah! Temui Inyiak Gadih.”

Dengan segala keluguan bocah lima tahun, gadis kecil itu melangkah mendekati Inyiak Gadih yang seperti sebuah patung batu.

Berbagai perasaan muncul di dalam dada Inyiak Gadih demi menyaksian sang suami membawa gadis kecil tersebut.

Gadis kecil berhenti sesaat, dua langkah di hadapan Inyiak Gadih yang jangkung. Ia menoleh ke arah Inyiak Mudo, pria tua itu menganggukkan kepalanya.

Dengan ragu-ragu, gadis kecil menyentuh pakaian Inyiak Gadih tepat di bagian lututnya, seolah sebuah salam perkenalan.

“B—Bukan ini!” gumam Inyiak Gadih setengah tergagap. “Bukan ini yang aku inginkan!”

Inyiak Mudo tahu itu, istrinya menginginkan pertarungan. Dan ia sama sekali tidak khawatir membiarkan gadis kecil itu mendekati Inyiak Gadih. Bagaimanapun, ia sangat tahu kelemahan istrinya tersebut.

Dan benar saja, hanya beberapa saat Inyiak Gadih masih berdiri seperti itu. Selanjutnya, demi melihat tatapan bening tak berdosa di wajah si gadis kecil, Inyiak Gadih jatuh berlutut.

“N—Namamu siapa, Sayang?” tanya Inyiak Gadih dengan mata yang berkaca-kaca.

Gadis kecil sejenak tampak bingung. Bingung sebab ia tidak tahu mengapa wanita sepuh itu justru menangis sembari memeluknya?

“Dia tidak bisa bicara,” ucap Inyiak Mudo. “Bahkan hanya telinga sebelah kanannya saja yang bisa mendengar.”

“J—Jadi?” Inyiak Gadih menatap lama pada suaminya tersebut, lalu kembali beralih pada si gadis kecil di hadapannya.

“Lima tahun yang lalu,” ucap Inyiak Mudo, “saat aku kembali dari sini. Di lembah Ngarai Sianok, aku menemukan seorang wanita muda dalam kondisi yang mengenaskan. Dan yah, dia sedang hamil besar. Anak di hadapanmu itulah bayinya.”

“Oh, Dewata…”

Inyiak Gadih kembali memeluk si gadis kecil. Hilang sudah nafsu untuk berkelahi mengadu kesaktian dengan suaminya. Kini beralih menjadi satu perasaan yang sangat lembut, sangat alami. Perasaan seorang ibu kepada putrinya.

“Ternyata,” ujar wanita sepuh tersebut, sembari tersenyum ia mengusap lembut pipi si gadis kecil meski air mata bergulir di pipinya. “S—Semua menjadi kenyataan…”

‘Inyiak Gadih kenapa menangis?’ tanya si gadis kecil dengan isyarat tangannya.

Inyiak Gadih mendengus pelan, bukan karena kesal tapi lantaran harus menahan tawa yang tiba-tiba muncul akibat pertanyaan dari si gadil kecil. Sungguh bukan situasi yang menyenangkan menahan tawa di tengah tangis haru.

Kembali ia memeluk anak kecil itu. “Tidak kenapa-kenapa, Sayang. Inyiak Gadih hanya senang bertemu denganmu.”

“Aku memberi dia nama Puti Angin-Angin,” ujar Inyiak Mudo.

“Nama macam apa pula yang kau berikan pada anak ini, Akhirali?”

Inyiak Gadih bersungut-sungut memandang pada suaminya. Dan Inyiak Mudo hanya tersenyam-senyum saja menanggapi.

Lalu ia memegang kedua bahu si gadis kecil. “Tidak,” ujarnya. “Jangan nama itu,” Inyiak Gadih tersenyum sembari menelisik setiap inci wajah si gadis kecil. “Puti Bungo Satangkai. Ya! nama itu lebih cocok untukmu, Anakku.”

“Hei,” sergah Inyiak Mudo. “Dia anakku. Aku yang menemukannya. Lagi pula, kenapa kau memberikannya nama anak kita yang sudah lama mati?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Epilog

    Puti Bungo Satangkai duduk sembari memerhatikan Antaguna dengan dagunya bertopang pada telapak tangannya, dan sikunya bertopang pada lutut yang menekuk ke atas, di bagian depan sampan yang sedang meluncur ke arah barat.Sementara Antaguna, duduk di bagian ujung lain sampan, bagian belakang, sembari mendayung dan membawa sampan ke tengah-tengah laut.Pria besar dan berotot menjadi malu sendiri sebab selalu diperhatikan sang gadis, bahkan sembari tersenyum-senyum menatapnya.“Hei, ermm … apakah pulau itu masih jauh?” Antaguna membuang pandangan ke samping. Terlalu jengah diperhatikan seperti ini, pikirnya.Dan sang gadis hanya mengangguk saja sembari tetap tersenyum-senyum manja.“Kupikir tadinya kau bilang di seberang laut,” Antaguna mendesah panjang. “Ini bukan laut, tapi sebuah samudra, dasar gadis bodoh. Kau mengerjaiku!”Bungo terkikik dan menggeleng-geleng kecil yang semakin membuat Antaguna menjadi jengah dan bimbang. Bimbang sebab ingin saja pada saat itu dia menerkam sang gadis

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Yang Hilang Telah Kembali

    Puti Bungo Satangkai, Antaguna, dan Sondang Tiur akhirnya tiba di Istana Minanga, di Batang Kuantan.Ketiganya disambut dengan cukup meriah oleh Rajo Bungsu dan orang-orang istana. Terlebih lagi, dengan keberhasilan Bungo yang mendapatkan semua kepingan Teratai Abadi. Meskipun, kegembiraan mereka sedikit terusik dengan kematian si Kumbang Janti.Hanya saja, baik Antaguna maupun Bungo sendiri tak hendak membicarakan tentang keburukan yang pernah dilakukan si Kumbang Janti sehingga membuat Antaguna cacat wajahnya. Tidak pula oleh Sondang Tiur yang juga mengetahui alasan di balik hal tersebut.Sama seperti jawaban Antaguna kepada Mantiko Sati dan Puti Pandan Sahalai di Ngarai Sianok, begitu pula yang mereka sampaikan keduanya kepada Rajo Bungsu dan orang banyak ketika sang raja bertanya perihal perubahan di wajah si pria tinggi besar.Rajo Bungsu dan Ratu Nan Sabatang, juga Gadih Cimpago sangat bersuka cita ketika mereka mendengar bahwa Bungo dan dua orang yang menemaninya bertemu dengan

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Demi Kamu

    ‘Katakan padaku,’ Puti Bungo Satangkai menatap ke dalam mata Antaguna. ‘Kenapa kau merahasiakan tentang lukamu itu dariku?’“Bungo …” Antaguna menghela napas dalam-dalam. “Tidak ada gunanya diungkit-ungkit lagi. Aku sudah memberi tahu alasan di balik lukaku ini. Bahkan di depan abangmu, ingat?”‘Apakah kau pikir abangku dan aku sendiri begitu buta untuk tidak menyadari bahwa kau sengaja berbohong?’Sementara itu, Sondang Tiur sengaja menjauh dengan alasan mencari ikan untuk makan mereka di siang itu, di satu aliran sungai kecil yang jernih. Dia tahu dengan baik bahwa Bungo hanya ingin berbicara empat mata saja dengan Antaguna. Tentang, sesuatu yang bersifat sangat pribadi, mungkin, pikirnya.Antaguna mendesah halus dan menunduk.‘Hei!’ Bungo mendorong pelan bahu pria besar. ‘Katakan padaku! Kenapa?’Akan tetapi, sampai beberapa saat lamanya, Antaguna tak hendak memberi tahu alasan sesungguhnya kepada sang gadis.‘Hei, katakan padaku! Apakah kau masih menganggapku temanmu? Beri tahu ak

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Berpisah Bukan Bercerai

    Kicau burung liar terdengar cukup menenangkan pikiran. Ditambah dengan pekik hewan dan suara aliran air di sungai, semua itu menemani sekumpulan orang yang sedang berdiri di satu titik, di sisi timur aliran sungai, di tengah-tengah lembah Ngarai Sianok.Puti Bungo Satangkai berlutut dengan menggenggam sejumput bunga liar yang indah dan masih basah oleh embun. Lalu disusul pula oleh sang kakak, Mantiko Sati, yang berlutut di samping kirinya.Sementara yang lainnya berdiri hening dengan kepala tertunduk.Kakak beradik itu meletakkan bunga-bunga liar di satu titik di permukaan tanah, di antara batu-batu kerikil yang lebih mencolok dengan warna kehitam-hitaman di antara lainnya.Di titik itulah di mana Zuraya pernah tergeletak tak berdaya dan mati. Di titik itu pula Bungo dilahirkan dengan sangat terpaksa. Di titik yang sama pula Inyiak Mudo lantas membakar jasad Zuraya.Mantiko Sati tidak pernah bisa menemukan jasad Zuraya ketika malam jahanam itu terjadi. Dia tidak tahu bahwa di titik i

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Luka yang Terkuak

    Mantiko Sati lantas tersenyum lebar dengan gelengan kepalanya, membuat semua orang menjadi bertanya-tanya. Terutama, bagi Antaguna sendiri.“Uda?”“Wajahmu, Tarigan. Wajahmu.”Antaguna mulai merasakan sesuatu yang mungkin akan menyakitkan beberapa orang di antara mereka. Lagi, dia mereguk ludah sembari melirik Puti Bungo Satangkai dari sudut matanya, lalu tertunduk.“Terakhir kali kita bertemu,” kata Mantiko Sati. “Wajahmu masih terlihat gagah. Dan aku yakin, bekas luka di wajahmu itu adalah akibat dari terkena Cakar Kucing Emas, bukan?”Degh!Tidak Antaguna saja yang berdegup kencang jantungnya, tapi juga Bungo.Sang gadis yang dalam waktu belakangan ini cukup penasaran dengan kecacatan yang didapat Antaguna pada wajahnya memang ingin mengetahui cerita di balik itu semua. Hanya saja, semenjak kembali dari Pulau Telaga Tujuh, Antaguna sama sekali tidak mau menyinggung perihal bekas lukanya tersebut.“Uda, aku―”“Bisakah kau melepas bajumu, Tarigan?”Antaguna semakin menggigil. Bukan l

  • Sibunian Tongga - Kitab 2: Teratai Abadi   Kebahagiaan

    Puti Pandan Sahalai tertawa halus seraya mengusap bahu Sondang Tiur.“Baiklah, baiklah,” ucapnya. “Tapi, jangan sampai terdengar oleh suamiku.”“Kenapa?”Kebingungan si gadis Batak juga menjadi kebingungan Antaguna yang tentu saja mendengar percakapan keduanya.“Sejauh yang aku tahu,” lanjut Sondang Tiur. “Seluruh masyarakat di Minanga ini mengetahui bahwa seorang Mantiko Sati adalah pria rupawan yang sangat sopan dan halus budi bahasa. Kurasa dia tidak akan keberatan.”Lagi, mantan Ratu Minanga itu tertawa halus dan sangat merdu. “Oh, Tiur … kau hanya belum tahu saja bagaimana dalamannya!”“Oops …” Sondang Tiur terkikik.Dan Antaguna hanya bisa tersenyum sembari membuang muka. Dasar perempuan, pikirnya.Dan kemudian si pria berbadan besar membantu Sondang Tiur dan Puti Pandan Sahalai untuk memanggang daging yang tersedia di atas nampan kayu lebar, mempersiapkan makan malam bagi mereka semua.Malam itu berlalu dengan banyak kegembiraan. Sekaligus, ini adalah makan malam paling membaha

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status