Erhan berdiri seketika. Tanpa aba-aba ia menarik tangan Nadira dengan gerakan cepat. Membawanya ke salah satu ruangan dan menguncinya dari dalam. "Apa yang kamu lakukan?!" Nadira menyentakkan tangannya dari pegangan Erhan. Matanya memandang pria itu tajam.
"Aku yang seharusnya bertanya. Apa yang kamu lakukan? Bagaimana bisa kamu menolak kontrak ekslusif itu tanpa sejenak pun memikirkannya?" tanya Erhan tajam.
"Karena itu mauku dan itu hak ku!" jawab Nadira tak kalah tajamnya.
"Tapi itu bukan hal yang main-main.”
“Aku tahu itu bukan hal yang main-main, makanya aku menolaknya. Bukankah kalian semua sudah mendengar alasannya?”
“Itu hanyalah alasan bodoh.” Elak Erhan. “Setidaknya pikirkan dulu sebelum membuat keputusan. Jangan sampai kamu menyesalinya? Atau semua ini ada urusannya denganku?"
"Apa maksudmu?" Nadira menatap Erhan
Sementara itu. Fera bin Feri berusaha mengejar dan mencari keberadaan Nadira. Wanita satu itu memang punya emosi yang menggebu-gebu. Namun biasanya, jika urusannya dengan pekerjaan, dia selalu menjadi orang yang paling masuk akal. Tapi ada apa dengannya kali ini?Kontrak ekslusif yang diajukan Levent itu nilainya tidak main-main. Seperti yang sudah Fera bin Feri katakan sebelumnya, bahwa nilai kontrak itu bisa menutupi seluruh biaya sekolah yang selama ini Nadira inginkan. Tapi wanita itu.. Fera hanya bisa menggelengkan kepala tak paham.Nadira ternyata masih berada di lantai yang sama. Gadis itu tengah berbicara dengan pasangan catwalk-nya. Siapa lagi jika bukan William Chandra.Pria berkebangsaan Indonesia Inggris itu sudah beberapa kali dipasangkan dengan Nadira. Dan sebenarnya chemistry diantara keduanya itu sangat cocok. Banyak orang yang menduga keduanya menjalin hubungan di belakang layar. Padahal sebenarnya
"Dimana kalian?" Tanyanya. Ia lantas bangkit berdiri dan berjalan ke ruang ganti dengan cepat. Erhan menyebutkan nama sebuah rumah sakit. Dan tanpa basa-basi Nadira menutup telepon.Fera masih berdiri mengekorinya. Pria setengah matang itu tampak bingung dengan kekalutan yang ditunjukkan Nadira. "Loe mau kemana?""Pemotretan udah kelar, kan? Gue ada urusan." Jawabnya. Ia bahkan tak segan mengganti pakaiannya di depan Fera."Tapi ada acara makan bareng, Ra." Ucap Fera dengan ragu-ragu."Loe wakilin aja. Gue mesti ke RS sekarang." Ia kemudian meraih tas nya dan berlalu pergi meninggalkan Fera yang masih harus membereskan wardrobe.Masuk ke mobilnya dan menginjak gas dalam-dalam, Nadira berdoa dalam hati semoga keadaan sahabatnya baik-baik saja.Rumah sakit yang ditujunya ia datangi dalam waktu kurang dari lima belas menit. Lima menit lebih cepat dari jangka wak
Nadira termenung di kamarnya. Malam semakin larut tapi ia tak bisa juga memejamkan mata.Membayangkan bagaimana kondisi Gisna saat ini membuat hatinya dirundung duka. Akankah sahabatnya itu kembali pada mereka? Jangan sampai Tuhan membawanya. Tidak, jangan sekarang. Jangan ambil sahabat baiknya saat ini ya Tuhan. Doanya dalam hati.Gisna, Lucas, Caliana, Adskhan. Menyebutkan keempat nama tersebut kembali menyayat hatinya. Kecemburuan mau tak mau melandanya. Ia merasa iri pada mereka yang bisa menemukan seseorang dan berakhir dengan melabuhkan hatinya pada orang yang tepat. Sementara dirinya?Mungkinkah ia juga akan mendapatkan sosok yang mencintainya seperti halnya Caliana yang begitu dicintai Adskhan dan Gisna yang begitu dipuja Lucas.Satu nama terselip dalam pikirannya.Erhan?Nama itu yang seketika terlintas di kepalanya. Tapi kemudian Nadira tepis.
Nadira mengerutkan dahi. Rasa-rasanya dia tidak menaruh informasi apapun tentang Alden di ponselnya. "Gisna yang memberitahuku sebelum kecelakaan itu." Lanjutnya seolah menjawab pertanyaan Nadira."Kau!" Nadira menatapnya tajam.Erhan meletakkan ponsel itu di nakas dan bangkit berdiri mendekati Nadira yang masih mematung di tempatnya sejak keluar dari kamar mandi. Erhan memegang lengan atas Nadira dan mengusapnya perlahan. Sentuhan Erhan berdampak buruk bagi Nadira, karena memberikan sengatan listrik di tubuhnya."Sama halnya seperti Alden untukmu. Ezgi pun begitu buatku. Bedanya, dia sepupu dari pihak ibu." Jawabnya dengan lemah lembut.Nadira mendongak, mencoba mencari kebohongan di mata pria itu."Tapi kau bilang.. dulu..kalian? Kau menyebut namanya waktu itu!" Nadira menepis tangan Erhan dan berjalan menjauh.Erhan membuntutinya. "Iya, aku tahu. Aku salah
Setelah menerima permintaan Erhan untuk menikah. Semuanya terasa berjalan dengan begitu mudah bagi Nadira.Apakah ini semua hanya euiforia? Atau memang faktanya demikian. Karena segalanya tampak begiu lancar bagi Nadira.Ketika ia membawa Erhan ke rumahnya untuk ia kenalkan pada ibu dan adik laki-lakinya. Ekspresi di wajah mereka terkesan datar. Tidak ada rasa kaget seperti yang Nadira perkirakan sebelumnya. Erhan dan Randu bertegur sapa layaknya mereka adalah kenalan lama. Dan ibunya memperlakukan Erhan seolah Erhan adalah anaknya yang baru saja kembali setelah melakukan perjalanan jauh. Menyuguhinya dengan segala makanan favoritnya layaknya Erhan itu seorang raja.Semua ini terkesan aneh, bagi Nadira khususnya.Ibunya memang sejak lama meminta Nadira untuk mengenalkannya dengan laki-laki. Jadi tidak aneh kalau misalkan dia tampak antusias. Tapi setidaknya wanita itu sedikitnya merasa curiga pada Erhan. Tapi ini tidak.Lantas adiknya, Randu. Biasa
Semua orang berkumpul di kamar Erhan. Semuanya tampak tertunduk. Tidak ada seorangpun yang bisa memberikan Erhan berita yang membuatnya puas. Si pemberi bunga itu jelas tidak ditemukan. Dalam rekaman CCTV pun tidak ada yang mencurigakan. Hal ini semakin membuat Erhan cemas.Pada akhirnya dia mengusir semua orang dan kembali ke kamar dimana Nadira terlelap puas setelah mendapatkan obat penenang dari dokter yang sengaja Erhan panggil."Siapa yang dengan sengaja melakukan hal ini?" tanya Erhan pada dirinya sendiri. ia mengusap kepala Nadira dengan lembut, mengecupnya sebelum turut membaringkan tubuhnya di sisi gadis itu. ia meletakkan lengannya di bawah kepala Nadira dan kemudian semakin medekat kearah tubuh wanitanya dan memeluknya.Dalam ketidaksadarannya, Nadira balas memeluknya. 'Aku akan menemukannya. Siapapun dia.' Sumpahnya dalam hati.Erhan terbangun karena seseorang menggoyang tubuhnya tanpa henti. "Erhan, bangun. Sholat!" perintah itu memb
Bahagia? Itukah yang Nadira rasakan? Ya, dia bahagia. Bahkan sangat.Karena siapa?Siapa lagi kalau bukan karena Erhan.Setelah Gisna sadar dari komanya setelah kasus penusukan itu. Nadira akhirnya memikirkan kembali permintaan Erhan untuk mempercepat proses pernikahan mereka. Terlebih ia mendapatkan dorongan dari orang-orang di sekitarnya. Siapa lagi kalau bukan ibu dan adiknya, Gisna dan juga Meta sahabatnya. Orang-orang itu meyakinkan Nadira bahwa pernikahan adalah pilihan terbaik. Dan meskipun Erhan tak pernah mendesaknya lagi, ekspresi pria itu jelas tampak sangat girang saat Nadira mengatakan bahwa dia berubah pikiran dan mengatakan bahwa dia akan menikah dengan pria itu secepat mungkin.Saking tergesanya, pria itu bahkan dengan segera memesankan tiket pesawat untuk kedua orangtuanya dan juga satu-satunya kakak perempuan yang dimilikinya. Kontrak Nadira dijadikannya alasan untuk tidak pergi sendiri ke Turki dan meminta restu langsung disana. Padahal
Erhan terduduk dengan mata menerawang jauh. Entah kenapa, menjelang hari pernikahannya ia merasa ada yang salah dengan perasaannya. Semacam ada sesuatu yang mengganjal di dadanya. Dan ia tidak bisa mengartikan kenapa.Ia merasa bahagia, itu tentu. Antusias, itu pasti. Tapi ada perasaan lain saat ini yang mengganjal di hatinya, seolah ia merasa ada sesuatu yang hilang. Mencelos kosong. Tapi apa itu?“Apa kau merasa takut karena sebentar lagi statusmu tidak lagi lajang?” Erhan melirik Ganjar yang memandang ke arahnya dengan tatapan mengejek.“Kenapa aku harus merasa seperti itu?” Erhan balik bertanya.Ganjar mengedikkan bahu. “Mungkin karena setelah menikah dengan Nadira kau tidak bisa lagi tebar pesona pada wanita lajang lainnya? Atau mungkin kau takut menjadi s