Leana mempercepat langkahnya, bahkan terlihat setengah berlari ketika lelaki itu terus saja mengikutinya. Luka dikakinya pun tak lagi ia hiraukan, karna sudah tidak terasa sakit. Gadis itu pun dengan cepat memasuki kelasnya, sepanjang koridor kampus tak henti - hentinya ia merasa heran. Mengapa tidak, kampus yang tengah ia pijaki ini lebih sepi dari sebuah kuburan.
Gadis itu menoleh kebelakang dan menghela nafas lega, ketika melihat Nalendra tidak mengikutinya lagi. Leana megedikkan bahunya acuh mungkin lelaki itu sudah pulang. Ia lalu berbalik dan berniat melanjutkan langkahnya untuk ke kelas namun seketika ia mematung di tempat. Bagaimana bisa?"Kenapa pucat by? Apa wajahku menakutkan?" tanya Nalendra dengan senyuman manis yang menghiasi wajahnya.Apa lelaki itu hantu?"Al, kenapa kau mengikutiku?"Nalendra tersenyum dan meraih tangan gadis itu lalu menggandengnya menuju ruangannya. "Kenapa? Kau kan milikku!""Tapi aku butuh ruangku sendiri! Hidupku tidak selalu tentangmu," desis Leana dan menyentak tangan Nalendra kasar. Lelaki itu menatap Leana datar, menjinakkan gadis ini bagaikan menjinakkan singa."Masih pagi baby, aku tidak mau berdebat!""Itu yang aku coba katakan Nalendra! Tinggalkan aku, dan jangan mengikutiku!""Aku benci melihatmu!" lanjut Leana dengan gumaman, namun masih terdengar jelas di telinga lelaki itu.Nalendra mendekat, dan mengelus pipi gadisnya pelan. Amarah gadisnya begitu terpancar dimatanya, tapi tidak apa - apa yang penting ia mencintainya itu sudah cukup. Ia menurunkan tangannya, namun masih menatap Leana dengan senyuman, dan seketika gadis itu terhuyung ke samping.Plak!Leana memegang pipinya yang terasa kebas, sudah ia duga ini yang akan terjadi. Karena sebelum menamparnya, lelaki itu akan mengelus pipinya dengan lembut. Leana tersenyum sambil memegang pipinya, lalu gadis itu maju dan membogem wajah Nalendra yang tidak berhenti tersenyum.Bugh!"Lumayan," desis Nalendra tersenyum sambil memegang rahangnya yang dibogem kekasihnya.Pukulannya tidak terasa, tapi cukup membuat lelaki itu terhuyung. Ternyata tenaga gadisnya lumayan, dan ia suka keberanian itu."Impas! Jangan ikuti aku lagi!" ujar Leana menatap datar Nalendra, "Atau kita batalkan pertunangan menjijikkan itu."Nalendra mengepalkan tangannya erat, sungguh mulut gadisnya begitu tajam. Jika bukan atas nama cinta ia akan menembak kepala gadisnya hingga pecah. Nalendra mendekat dan tersenyum pada gadisnya, "Coba saja jika kau bisa," Smirk nya dan mengecup kening Leana pelan, "Aku pergi by, dan pukulan tadi aku menyukainya." ujarnya sebelum melambaikan tangan dan pergi. Kali ini ia akan mengikuti keinginan gadisnya, tapi tidak untuk lain kali. Anggap saja ini bonus."Menjijikkan!" desis Leana dan mengusap kasar keningnya yang telah di cium lelaki itu. Setelah lelaki itu pergi ia pun melangkahkan kakinya memasuki kelas, cukup sepi dan itu menguntungkannya untuk melanjutkan mimpinya yang tertunda.Selama beberapa tahun terakhir, hubungan pahit ini selalu menghantui dirinya. Tidak ada cinta ataupun kasih sayang, dan hanya ada kekerasan. Kejadian tadi hampir setiap hari terjadi, dan itu sudah biasa ia lewati. Lelaki kasar yang berstatus kekasihnya, juga pemilik Universitas yang tengah ia pijaki ini. Miris bukan, pantas saja ayahnya memaksanya untuk kuliah di Universitas ini dan sekarang ia tidak heran lagi. Sudah hampir 2 tahun ia kuliah disini, dan sekarang Leana menempuh semester 4 dengan jurusan psikologi.Kelas masih sepi, Leana celingukan sungguh membosankan. Tapi tetap berada di rumah juga bukan hal yang tepat. Niat melanjutkan mimpinya juga urung ia lakukan, bertemu lelaki itu tadi telah menghilangkan rasa kantuknya. Leana mengambil hp nya dan berniat menelfon sahabatnya, "Huh, pasti dia masih ngorok!" gumamnya, dan benar saja sahabatnya itu memang tidak bisa dihubungi. Leana berdecak kesal, daripada membuang waktu lebih baik ia melanjutkan tugasnya yang tertunda dulu. Ia pun mengambil laptop dari tasnya dan melanjutkan membuat tugasnya. Sambil mengetik, gadis itu mengambil sebatang nikotin dan menyalakannya lalu menghisapnya dan menghembuskannya perlahan. Kelas yang sepi, hanya ada dirinya dan kepulan asap rokok.Selama empat tahun terakhir, nikotin itu adalah temannya dan juga candunya. Ketika menyesapnya ada kelegaan yang tidak bisa ia ungkapkan. Rasanya tiada beban yang terus menghantuinya.Hujan mulai reda, dan sang surya mulai menampakkan sinarnya. Sekarang sudah jam 9 pagi, dan para mahasiswa sudah mulai berdatangan. Leana menutup laptopnya, dan segera berdiri. Ia akan pergi ke cafetaria untuk mengisi perutnya.Leana melangkahkan kakinya menuju cafetaria sambil sesekali mengecek ponselnya, gadis itu berdecak tidak satupun pesannya dibalas oleh sahabatnya. Kelasnya akan dimulai sebentar lagi, "Dia mati atau tidur sih?" gerutunya pelan, ia melirik sekitar cafetaria yang cukup sepi dan itu menguntungkan dirinya. Jika tidak, semua mahasiswa lain akan bergosip ketika melihatnya.Gadis berandalan, simpanan om - om.Julukan yang ia terima setiap harinya. Tapi ia tidak peduli semua itu, jika ia harus mengurusi hal seperti itu berapa mulut yang harus bungkam. Leana memanggil pelayan dan memesan bubur ayam dan segelas jus alpukat. Menyantap bubur ayam hangat di pagi yang dingin, tanpa gangguan dari lelaki itu. Rasanya sungguh surga dunia.Entah apa alasan para mahasiswa menyebutnya seperti itu, tapi yang pasti jika itu tidak benar ia tidak peduli sama sekali. Sambil menunggu pesanannya Leana memainkan ponselnya, sesekali mengecek sosmednya dan mengacuhkan pesan - pesan tidak jelas yang terus ia terima. Nalendra tahu atau tidaknya apa yang terjadi padanya dikampus, ia tidak tahu. Tapi yang jelas ia tidak butuh bantuan lelaki brengsek itu, karna Nalendra lah yang selalu membuat rumor itu terlihat bahwa hal itu adalah benar.Leana tersenyum ketika pelayan menyajikan pesanannya, ia pun mengaduknya perlahan dan sesekali meniupnya. Setelah dirasa dingin Leana menyuapi dirinya, namun ia tersentak ketika ada yang memeluknya dari samping."Hey baby..."Leana menoleh, dan tanpa sengaja ia menjatuhkan sendoknya."Kenapa mulutmu bau rokok?"Tanpa memperhatikan sekitar gadis itu terus memakan buburnya dengan lahap, dan mengindahkan tatapan para mahasiswa lain yang menatapnya heran sekaligus ngeri. Bagaimana tidak, jika disamping gadis itu terdapat seorang lelaki gagah berjas, lengkap dengan dasinya tengah mengasah pisau. Leana meminum jus alpukatnya, suara dari asahan pisau itu terus mengalun merdu di telinganya.Benar - benar tidak waras.Suapan terakhir leana menyantapnya dengan cepat dan segera beranjak dari duduknya. Namun goresan di lengannya yang berasal dari pisau itu seketika membuatnya mendesis."Melangkah sekali lagi aku akan memotong tanganmu!"Leana memutar bola matanya malas, entah apa lagi yang diinginkan oleh lelaki ini darinya. "Ck. Apa lagi? Gu- a-aku sudah mengatakan tadi pagi untuk jangan menggangguku kali ini saja." ujar Leana, gadis itu terlihat memelas sambil menahan sakit di pergelangan tangannya. Dengan tidak berperasaannya Nalendra menekan pisau itu ketika mendengar gadisnya akan berkata lo - gue.
Suara jam dinding terus berbunyi, bau khas dari obat - obatan menguar kuat. Di pojokan brankar UKS sana terdapat seorang gadis yang tertidur lelap. Hujan telah berhenti, menyisakan setitik embun diujung daun yang terus membasahi bumi. Tangan lelaki itu terus tergerak untuk mengelus surai gadisnya, mata yang biasanya menatapnya tajam dan penuh kemarahan kini tengah terpejam. Nalendra tersenyum sambil memainkan sehelai rambut Leana, "Baby, apa yang kau lakukan padaku?" gumamnya dengan tatapan yang tidak berhenti menatap wajah damai gadisnya, "Mengapa aku bisa mencintaimu sampai seperti ini, rasanya aku bisa gila jika kau pergi." lirih lelaki itu, mata tajam sebiru lautan yang tidak pernah ada orang yang berani menatapnya kini meneteskan air matanya. Ia tidak bisa membayangkan hidupnya tanpa kehadiran seorang Leana.Tidak peduli gadisnya mencintainya atau tidak, itu tidak penting. Jika Leana tetap bersamanya, itu sudah lebih dari cukup.Nalendra tersentak ketika mendapati raut wajah Leana
Keringat dingin terus mengalir di pelipisnya, jantungnya berpacu cepat. Leana terus mengikuti langkah besar lelaki itu sembari memegang dadanya.Rasanya sesak, amat sesak. Tidak kah lelaki itu mengerti penderitaannya?"Al, please jangan lalukan ini padaku," lirih Leana pelan, namun sepertinya lelaki itu tuli dan tidak mendengarkannya. Melihat itu membuat darahnya mendidih, rasanya ia ingin sekali mencabik - cabik lelaki yang tengah menyeretnya itu.Sekuat tenaganya Leana berusaha melepaskan tangannya dari Nalendra, namun ia tidak berdaya cengkraman lelaki itu begitu kuat hingga tulangnya pun terasa ngilu."Al!""Nalendra!!" teriak Leana keras yang seketika membuat lelaki itu menoleh.Nalendra berbalik dan menyentak tangan gadisnya kasar. "Berani sekali kau!" desis Nalendra tajam sambil mencengkram dagu leana. "Hari ini, kau sudah melewati batasan yang ada," smirk lelaki itu menatap tajam iris pekat yang menatapnya penuh kebencian, tapi tidak apa - apa. Karena ia suka itu. "Dan aku beba
"Arrghh...."Timah panas itu tepat mengenai betis kanannya, gadis itu tersungkur sambil memegangi kakinya. Rasanya panas, dan seketika kakinya terasa mati rasa dengan darah segar yang terus mengalir. Leana mencengkram kakinya erat, ini menyakitkan namun tidak semenyakitkan hatinya. Lelaki itu memang tidak pantas disebut sebagai manusia, dengan tidak berperasaannya iblis itu menatapnya dengan kekehan disertai seringaian. Dengan susah payah, Leana berusaha berdiri dan mencoba lari meski itu mustahil tapi ia akan mencobanya. Bukankah tidak ada yang tidak mungkin?Teriakan itu begitu mengalun merdu ditelinga Nalendra, ia meniup pelan ujung pistolnya yang tidak pernah mengecewakannya dan selalu tepat sasaran. Kaki jenjangnya melangkah pelan mendekati gadisnya yang masih berusaha melarikan diri dengan menyeret kaki kanannya."Bajingan, keparat, bangsat, manusia hina! Lo bukan manusia Nalendra!!" teriak Leana kesal, keringat bercucuran di pelipisnya dan sudut matanya yang mengeluarkan bulir b
Senandung kecil terus terlantun dari seorang gadis yang tengah berjalan itu, sesekali ia berjingkrak senang. Hari ini adalah hari pertamanya kuliah, universitas impian dan jurusan yang ia inginkan semuanya tercapai dan hal itu membuatnya tak berhenti tersenyum. Karena ia sangat bahagia. Tas yang gadis itu sampirkan di bahunya ia turunkan pelan dan mengambil sebuah permen lolipop dan wortel.Gadis itu tertawa, pasti kelinci kesayangannya tengah menunggunya sekarang. "Hallo manis, kau merindukanku tidak? Hehehe, hari ini aku bawakan kau wortel terenak di dunia karena ini aku beli dari uang jajanku," ujar gadis itu senang sambil berjongkok dan mengelus kelinci putih yang ia beri nama manis.Pembicaraan terus berlanjut, gadis itu sangat senang melihat si manis kesayangannya makan begitu lahap. Namun saking fokusnya pada satu titik, tanpa gadis itu sadari sesuatu telah menunggunya di dalam sana. Melihat beberapa mobil mewah yang berjejer rapi di halaman rumahnya, tidak membuatnya peka akan
Rintik hujan turun perlahan, hawa udara semakin terasa dingin. Jemari kokoh itu menyentuh kaca balkon yang berembun itu perlahan, lalu bergerak seperti menulis sesuatu. Dalam hidupnya, dalam hatinya hanya ada satu nama, dan nafasnya berembus pun hanya untuk satu nama. Satu nama yang ia perjuangkan hingga kini. Satu nama yang berhasil merubah hidupnya, satu nama yang mampu membuat emosinya bergejolak cepat. Hanya dia, tidak ada yang lain. Nalendra tersenyum, sembari menghisap nikotin yang terselip di jarinya dengan pelan lalu dihembuskannya ia menulis nama lengkap gadis yang belum sadarkan diri itu dengan indah.Kerleeanna Alina"Secantik orangnya.." gumamnya sambil tersenyum lalu ia menoleh pada seorang gadis yang selalu memenuhi pikirannya. Nalendra berjalan pelan, hari sudah larut dan Leana belum memakan apapun selain bubur tadi pagi. Tangannya tergerak mengelus pipi yang sedikit tirus itu, keduanya memar. Apa ia terlalu keras menamparnya?Nalendra tersenyum, sepertinya tidak. Jika i
Matahari semakin tinggi hingga tenggelam untuk kembali ke peraduan. Seorang gadis bergerak gelisah, dari pagi ia hanya berbaring di tempat tidur saja. Ini sangat membuatnya tidak nyaman, rasanya ia hampir mati kebosanan. Leana menghela nafas gusar lalu bangkit dan mencepol rambutnya asal. Gadis itu berjalan menuju pintu, dengan satu kaki yang ia seret. Sepertinya hari sudah sore, rasanya ia seperti berada di penjara bawah tanah. "Bangsat!" desis nya ketika merasakan pintu itu masih terkunci dari luar. Lelaki itu telah meninggalkannya sejak selesai menyuapi nya bubur tadi siang. Entah kemana dan yang jelas ia tidak peduli. Lelah rebahan sepanjang hari Leana menuju balkon, dan nyatanya kembali membuatnya emosi. "Pintu balkon pun ia kunci?" beo Leana sambil menatap datar keluar, ia benar-benar seperti tahanan sekarang. Gadis itu kembali berjalan, sambil menyeret kaki kanannya. Dengan sekuat tenaga ia mengambil sebuah kursi lalu menghantamkannya ke jendela balkon. Leana tersenyum puas, k
"Uh..."Gadis itu terbangun sambil meringis pelan, ia memegang keningnya dan ternyata sudah ada perban yang menempel. Leana menengok ke samping lalu ia mendesah pelan sambil menyingkirkan sebuah tangan kekar yang berada di atas perutnya. Perlahan gadis itu bangkit tanpa menimbulkan suara apapun, hari masih gelap tapi sepertinya ini sudah pagi. Sebelum melangkahkan kakinya Leana mendekat pada seorang lelaki yang masih mendekur halus. Leana mendekat dan memperhatikan wajah Nalendra dari dekat, seketika ia menutup mulutnya ketika mencium aroma alkohol yang menguar kuat. Sepertinya lelaki itu mabuk berat semalam, Leana kembali menyentuh keningnya seketika ia terdiam. Apa dalam keadaan mabuk lelaki itu mengobatinya."Lo itu aneh Al," Leana tersenyum getir sambil mengelus kepala lelaki yang berstatus tunangannya itu yang membuat Nalendra bergerak mencari posisi ternyaman. "Lo yang memberi luka, tapi lo yang ngobatin." Lanjutnya lagi sambil berjongkok disamping lelaki itu masih dengan menge