Setelah kepergian Nalendra, wanita paruh baya itu kembali melanjutkan kegiatannya di dapur. Memasak adalah hobby nya, dan sekarang Emely tengah mempersiapkan alat dan bahan untuk membuat adonan cookies. Sambil bersenandung ria ia mulai untuk membuat adonan, hingga kedatangan suaminya Rafa, "Apa yang terjadi?"
"Apanya yah?" tanya Emely menatap suaminya. Rafa menghembuskan nafas kasar, ia sungguh tidak enak rasanya dengan Nalendra. "Leana! Apa yang terjadi pada gadis itu? Apa dia tidak punya sopan santun, Nalendra sudah datang pagi - pagi kesini hanya untuk menemui anak pemalas itu. Tapi gadis itu malah mendekam di dalam kamarnya!" ujar Rafa menatap istrinya yang masih sibuk membuat adonan, dari kata - katanya terlihat sekali bahwa lelaki paruh baya itu tengah marah.Melihat kemarahan suaminya, Emely segera mencuci tangannya dan mendekati Rafa "Biarkan saja yah, mungkin Leana masih lelah," ujarnya lembut, sambil mengelus lengan suaminya. Ia tahu, suaminya ini adalah orang yang tegas."Lain kali jika Nalendra datang lagi, dan gadis itu masih mendekam dalam kamarnya seret saja keluar!" Rafa mendengus, dan segera pergi dari dapur untuk siap - siap pergi ke kantornya.Emely menggelengkan kepalanya pelan, sambil tersenyum kecut. Ia tahu jika putrinya tidak setuju dengan semua ini, tapi apakah ia berhak bersuara?***Seorang gadis terlihat menutup mulutnya sendiri sambil menahan buliran air mata yang hendak keluar, mendengar suara langkah kaki datang dengan cepat ia berlari dan bersembunyi di bawah tangga. Leana menyandarkan dirinya ke dinding lalu luruh begitu saja ke lantai, dengan isak tangisnya ia memukuli dirinya sendiri. Kenapa, kenapa harus dirinya?Pagi ini setelah mendengar suara mobil menjauh, Leana segera bangkit dari tidurnya dan mengintip dari celah jendela. Terlihat mobil Nalendra telah menjauhi pekarangan rumahnya, gadis itu berjingkat senang. Kemudian ia pergi ke kamar mandi untuk ritual paginya. Hari ini ia ada kelas siang, Leana mengikat rambutnya dan segera mengambil tas nya. Tidak seperti gadis lain yang ribet dalam berdandan, Leana begitu simple karna ia tidak suka hal - hal yang merepotkan. Meski hari masih pagi, dan kuliah nya di siang hari tapi tetap saja gadis itu berangkat pagi - pagi. Karena menurutnya berada di luar rumah, jauh lebih menyenangkan.Setelah memakai sepatu, kaki jenjangnya mulai menuruni anak tangga dan berjalan ke dapur. Tapi sebelum sampai dapur, Leana menghentikan langkahnya ketika mendengar suara kedua orang tuanya yang tengah membicarakan kejadian tadi. Leana mengepalkan tangannya erat, bicara pun percuma karna tidak akan ada yang mengerti dirinya. Apalagi bagaimana lelaki yang bernama Nalendra itu memperlakukan dirinya. Leana cukup tersentak ketika mendengar ayahnya berkata seperti itu, kenapa seakan ayah nya sendiri malah berpihak pada lelaki itu?Leana mengusap sudut matanya kasar yang tiba - tiba saja mengeluarkan bulir bening. Kemudian ketika mendengar langkah kaki ayahnya mendekat ia pun berlari dan bersembunyi di bawah tangga seraya terisak.Disinilah dirinya berada sekarang, di bawah tangga sendirian dengan hati yang berkecamuk. Leana mengusap matanya kasar, berusaha menghilangkan jejak tangis nya. Ia pun menormalkan nafasnya sejenak kemudian berjalan kembali menuju dapur."Bunda...""Eh anak bunda udah bangun, mau kemana sayang? Kan kuliah kamu siang." ujar Emely ketika melihat anaknya sudah rapi pagi - pagi begini."Kampus bunda, Lea ada tugas juga makannya berangkat pagi!""Iya hati - hati sayang..." ujar Emely ketika melihat anaknya melenggang begitu saja, namun merasa ada yang aneh Emely segera menghampiri Leana yang sudah menghidupkan mobil."Lea...""Leana!" teriak Emely, namun putrinya sepertinya tidak mendengarnya dan pergi begitu saja. Emely menatap kepergian putrinya yang mengendarai mobilnya di atas rata - rata. Lalu tadi putrinya juga seperti sengaja tidak mendengar panggilannya. Serta mata Leana yang sembab, apa putrinya menangis?Emely berjalan kembali menuju dapur, lalu melihat suaminya yang sudah rapi. "Ayah berangkat sekarang?""Iya bun, kemana anak itu? Ayah tadi dengar suara mobil begitu keras, Dasar!" ujar Rafa sambil membenarkan dasinya."Ke kampus yah, katanya ada tugas makannya berangkat pagi."Rafa tidak menjawab, lelaki paruh baya itu beralih mencium kening istrinya, "Ayah berangkat bun.""Iya hati - hati!"Setelah kepergian suami dan putrinya, Emely kembali membuat cookies nya. Ia tahu putrinya itu sedang marah, dan semoga Leana tidak membuat ulah dalam kemarahannya. Karna ia tahu bahwa putri dan suaminya itu memiliki kemarahan yang sama.***Matahari belum menampakkan sinarnya, tetesan hujan tak kunjung berhenti membasahi bumi. Namun Jakarta terlihat begitu sibuk dalam aktivitasnya masing - masing. Mobil sport berwarna hitam mengkilap itu terlihat membelah jalanan raya. Seorang gadis yang mengendarainya terlihat begitu menikmati alunan musik, dan mengacuhkan segala umpatan serta makian oleh para penghuni jalanan. Leana begitu menikmatinya, rasanya dirinya seperti burung yang terbang bebas. Melihat tulisan Universitas Arsyanendra, Leana menghembuskan nafasnya pelan ternyata ia telah sampai. Mengapa rasanya begitu dekat? Leana mulai memasuki area kampus, dan ternyata masih begitu sepi.Kerleeanna Alina Allison seorang gadis yang tengah menempuh bangku perkuliahan semester 4. Gadis tinggi semampai, dengan kulit putih bersih serta rambut hitam legam seperti iris matanya. Pandangannya yang tajam dan begitu misterius membuat begitu banyak laki - laki yang mencoba mendekatinya. Seperti arti dari namanya Alina, terang dan bersinar. Aura gadis itu begitu dominan, namun tetap kalah dihadapan seorang Nalendra.Leana keluar dari mobilnya dan membanting pintunya kasar. Gadis itu melihat sekeliling, dan merasa heran mengapa keadaan kampus begitu sepi. "Ck, apa ini kuburan? Mengapa tidak ada orang?" Leana berdecak, lalu mengambil ponselnya. Ia akan menghubungi sahabatnya, dan tentu saja gadis itu tidak akan bangun jam segini apalagi mengetahui ada kuliah siang dan benar saja, sahabatnya tidak mengangkat telfon darinya.Melihat sepertinya tidak ada orang, Leana berjalan menuju kelasnya. Lebih baik ia menunggu disana, dan melanjutkan mimpi indahnya. Tidak ada yang lebih menyenangkan selain tidur dalam kelas. "Hoamm," Leana menguap sambil melangkahkan kakinya menuju kelas."Ngantuk by?""Kenapa malah ke kampus pagi - pagi hm?"Leana memutar tubuhnya dan membelakkan matanya ketika melihat lelaki yang ia hindari kini tengah berdiri dihadapannya. Nalendra tersenyum dan berjalan mendekat. Tanpa menunggu lelaki itu, Leana melangkahkan kakinya kembali menuju kelas. Seharusnya ia tidak terkejut lagi. Karna sekarang ia tengah berada di sangkar lekaki itu.Leana mempercepat langkahnya, bahkan terlihat setengah berlari ketika lelaki itu terus saja mengikutinya. Luka dikakinya pun tak lagi ia hiraukan, karna sudah tidak terasa sakit. Gadis itu pun dengan cepat memasuki kelasnya, sepanjang koridor kampus tak henti - hentinya ia merasa heran. Mengapa tidak, kampus yang tengah ia pijaki ini lebih sepi dari sebuah kuburan.Gadis itu menoleh kebelakang dan menghela nafas lega, ketika melihat Nalendra tidak mengikutinya lagi. Leana megedikkan bahunya acuh mungkin lelaki itu sudah pulang. Ia lalu berbalik dan berniat melanjutkan langkahnya untuk ke kelas namun seketika ia mematung di tempat. Bagaimana bisa?"Kenapa pucat by? Apa wajahku menakutkan?" tanya Nalendra dengan senyuman manis yang menghiasi wajahnya.Apa lelaki itu hantu?"Al, kenapa kau mengikutiku?"Nalendra tersenyum dan meraih tangan gadis itu lalu menggandengnya menuju ruangannya. "Kenapa? Kau kan milikku!""Tapi aku butuh ruangku sendiri! Hidupku tidak selalu tentangmu," desis Lea
Tanpa memperhatikan sekitar gadis itu terus memakan buburnya dengan lahap, dan mengindahkan tatapan para mahasiswa lain yang menatapnya heran sekaligus ngeri. Bagaimana tidak, jika disamping gadis itu terdapat seorang lelaki gagah berjas, lengkap dengan dasinya tengah mengasah pisau. Leana meminum jus alpukatnya, suara dari asahan pisau itu terus mengalun merdu di telinganya.Benar - benar tidak waras.Suapan terakhir leana menyantapnya dengan cepat dan segera beranjak dari duduknya. Namun goresan di lengannya yang berasal dari pisau itu seketika membuatnya mendesis."Melangkah sekali lagi aku akan memotong tanganmu!"Leana memutar bola matanya malas, entah apa lagi yang diinginkan oleh lelaki ini darinya. "Ck. Apa lagi? Gu- a-aku sudah mengatakan tadi pagi untuk jangan menggangguku kali ini saja." ujar Leana, gadis itu terlihat memelas sambil menahan sakit di pergelangan tangannya. Dengan tidak berperasaannya Nalendra menekan pisau itu ketika mendengar gadisnya akan berkata lo - gue.
Suara jam dinding terus berbunyi, bau khas dari obat - obatan menguar kuat. Di pojokan brankar UKS sana terdapat seorang gadis yang tertidur lelap. Hujan telah berhenti, menyisakan setitik embun diujung daun yang terus membasahi bumi. Tangan lelaki itu terus tergerak untuk mengelus surai gadisnya, mata yang biasanya menatapnya tajam dan penuh kemarahan kini tengah terpejam. Nalendra tersenyum sambil memainkan sehelai rambut Leana, "Baby, apa yang kau lakukan padaku?" gumamnya dengan tatapan yang tidak berhenti menatap wajah damai gadisnya, "Mengapa aku bisa mencintaimu sampai seperti ini, rasanya aku bisa gila jika kau pergi." lirih lelaki itu, mata tajam sebiru lautan yang tidak pernah ada orang yang berani menatapnya kini meneteskan air matanya. Ia tidak bisa membayangkan hidupnya tanpa kehadiran seorang Leana.Tidak peduli gadisnya mencintainya atau tidak, itu tidak penting. Jika Leana tetap bersamanya, itu sudah lebih dari cukup.Nalendra tersentak ketika mendapati raut wajah Leana
Keringat dingin terus mengalir di pelipisnya, jantungnya berpacu cepat. Leana terus mengikuti langkah besar lelaki itu sembari memegang dadanya.Rasanya sesak, amat sesak. Tidak kah lelaki itu mengerti penderitaannya?"Al, please jangan lalukan ini padaku," lirih Leana pelan, namun sepertinya lelaki itu tuli dan tidak mendengarkannya. Melihat itu membuat darahnya mendidih, rasanya ia ingin sekali mencabik - cabik lelaki yang tengah menyeretnya itu.Sekuat tenaganya Leana berusaha melepaskan tangannya dari Nalendra, namun ia tidak berdaya cengkraman lelaki itu begitu kuat hingga tulangnya pun terasa ngilu."Al!""Nalendra!!" teriak Leana keras yang seketika membuat lelaki itu menoleh.Nalendra berbalik dan menyentak tangan gadisnya kasar. "Berani sekali kau!" desis Nalendra tajam sambil mencengkram dagu leana. "Hari ini, kau sudah melewati batasan yang ada," smirk lelaki itu menatap tajam iris pekat yang menatapnya penuh kebencian, tapi tidak apa - apa. Karena ia suka itu. "Dan aku beba
"Arrghh...."Timah panas itu tepat mengenai betis kanannya, gadis itu tersungkur sambil memegangi kakinya. Rasanya panas, dan seketika kakinya terasa mati rasa dengan darah segar yang terus mengalir. Leana mencengkram kakinya erat, ini menyakitkan namun tidak semenyakitkan hatinya. Lelaki itu memang tidak pantas disebut sebagai manusia, dengan tidak berperasaannya iblis itu menatapnya dengan kekehan disertai seringaian. Dengan susah payah, Leana berusaha berdiri dan mencoba lari meski itu mustahil tapi ia akan mencobanya. Bukankah tidak ada yang tidak mungkin?Teriakan itu begitu mengalun merdu ditelinga Nalendra, ia meniup pelan ujung pistolnya yang tidak pernah mengecewakannya dan selalu tepat sasaran. Kaki jenjangnya melangkah pelan mendekati gadisnya yang masih berusaha melarikan diri dengan menyeret kaki kanannya."Bajingan, keparat, bangsat, manusia hina! Lo bukan manusia Nalendra!!" teriak Leana kesal, keringat bercucuran di pelipisnya dan sudut matanya yang mengeluarkan bulir b
Senandung kecil terus terlantun dari seorang gadis yang tengah berjalan itu, sesekali ia berjingkrak senang. Hari ini adalah hari pertamanya kuliah, universitas impian dan jurusan yang ia inginkan semuanya tercapai dan hal itu membuatnya tak berhenti tersenyum. Karena ia sangat bahagia. Tas yang gadis itu sampirkan di bahunya ia turunkan pelan dan mengambil sebuah permen lolipop dan wortel.Gadis itu tertawa, pasti kelinci kesayangannya tengah menunggunya sekarang. "Hallo manis, kau merindukanku tidak? Hehehe, hari ini aku bawakan kau wortel terenak di dunia karena ini aku beli dari uang jajanku," ujar gadis itu senang sambil berjongkok dan mengelus kelinci putih yang ia beri nama manis.Pembicaraan terus berlanjut, gadis itu sangat senang melihat si manis kesayangannya makan begitu lahap. Namun saking fokusnya pada satu titik, tanpa gadis itu sadari sesuatu telah menunggunya di dalam sana. Melihat beberapa mobil mewah yang berjejer rapi di halaman rumahnya, tidak membuatnya peka akan
Rintik hujan turun perlahan, hawa udara semakin terasa dingin. Jemari kokoh itu menyentuh kaca balkon yang berembun itu perlahan, lalu bergerak seperti menulis sesuatu. Dalam hidupnya, dalam hatinya hanya ada satu nama, dan nafasnya berembus pun hanya untuk satu nama. Satu nama yang ia perjuangkan hingga kini. Satu nama yang berhasil merubah hidupnya, satu nama yang mampu membuat emosinya bergejolak cepat. Hanya dia, tidak ada yang lain. Nalendra tersenyum, sembari menghisap nikotin yang terselip di jarinya dengan pelan lalu dihembuskannya ia menulis nama lengkap gadis yang belum sadarkan diri itu dengan indah.Kerleeanna Alina"Secantik orangnya.." gumamnya sambil tersenyum lalu ia menoleh pada seorang gadis yang selalu memenuhi pikirannya. Nalendra berjalan pelan, hari sudah larut dan Leana belum memakan apapun selain bubur tadi pagi. Tangannya tergerak mengelus pipi yang sedikit tirus itu, keduanya memar. Apa ia terlalu keras menamparnya?Nalendra tersenyum, sepertinya tidak. Jika i
Matahari semakin tinggi hingga tenggelam untuk kembali ke peraduan. Seorang gadis bergerak gelisah, dari pagi ia hanya berbaring di tempat tidur saja. Ini sangat membuatnya tidak nyaman, rasanya ia hampir mati kebosanan. Leana menghela nafas gusar lalu bangkit dan mencepol rambutnya asal. Gadis itu berjalan menuju pintu, dengan satu kaki yang ia seret. Sepertinya hari sudah sore, rasanya ia seperti berada di penjara bawah tanah. "Bangsat!" desis nya ketika merasakan pintu itu masih terkunci dari luar. Lelaki itu telah meninggalkannya sejak selesai menyuapi nya bubur tadi siang. Entah kemana dan yang jelas ia tidak peduli. Lelah rebahan sepanjang hari Leana menuju balkon, dan nyatanya kembali membuatnya emosi. "Pintu balkon pun ia kunci?" beo Leana sambil menatap datar keluar, ia benar-benar seperti tahanan sekarang. Gadis itu kembali berjalan, sambil menyeret kaki kanannya. Dengan sekuat tenaga ia mengambil sebuah kursi lalu menghantamkannya ke jendela balkon. Leana tersenyum puas, k