“Nyonya, Anda tidak bercanda, kan?”
Deasy terkejut dengan permintaan Nyonya Emilia dan spontan bertanya seperti itu. Sementara wanita itu hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala menatap Deasy dengan lembut.
Serta merta Deasy terperangah kaget. Matanya melebar dengan mulut yang setengah terbuka.
“Saya suka kamu, Deasy. Kamu baik, manis dan juga sangat mandiri. Semua yang ada pada dirimu adalah tipe yang aku inginkan untuk menjadi pendamping cucuku.”
Deasy tidak percaya dengan ucapan Nyonya Emilia, tapi matanya sudah berbinar dan menunjukkan banyak kebahagiaan di sana.
“Apa itu artinya kamu bersedia, Deasy? Kamu menyetujui perjodohan ini?”
Deasy tersenyum dan langsung menganggukkan kepala. Ghalib adalah pria impiannya. Pria yang bisa mengobati luka hatinya setelah ditinggal Kenan. Meski awalnya Deasy menyerah tak bisa mendapatkannya.
Kini tiba-tiba Nyonya Emilia malah meminangnya untuk Ghalib. Ini
Mata Ghalib sontak mengerjap dengan senyum indah terkembang di wajahnya usai mendengar jawaban Lea.Lea memperhatikan reaksinya dan langsung tersenyum.“Kenapa ekspresimu seperti itu? Apa kamu mengenal mereka?”Ghalib tersenyum cengengesan sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.“Enggak. Hanya saja nama ibumu gak asing di telingaku. Sepertinya aku sudah terlalu sering mendengarnya.”“Sebenarnya nama ibuku Tatiana Kintara lalu saat menikah dengan Ayah berubah menjadi Tatiana Lesmana. Aku rasa kamu sudah pernah melihat namanya di nisan tempo hari.”Ghalib manggut-manggut sambil tersenyum ke arah Lea. Kini dia tahu kenapa nama kedua orang tua Lea tidak asing baginya. Ghalib memang sudah pernah membaca nama itu di batu nisan saat mereka bertemu di pemakaman tempo hari.Pantas saja, Ghalib merasa sudah mengenal nama itu saat Tuan Iwan menyebut kedua nama orang tua Lea tempo hari. Sayangnya Tuan Iwan
“Kenapa kalian gak bilang kalau mau ke sini?” tanya Tuan Iwan.Hari hampir pagi saat Ghalib dan Lea tiba di rumah Tuan Iwan. Mereka memang sengaja berhenti berulang kali di rest area untuk beristirahat, sehingga tiba saat hari menjelang pagi.“Iya, Paman. Kami tidak berencana ke sini tadinya, tapi karena sedang senggang dan tidak ada kesibukan. Jadi memutuskan untk menghabiskan akhir pekan di sini.”Kini Ghalib yang menjelaskan. Tuan Iwan hanya manggut-manggut kemudian menyilakan mereka untuk beristirahat. Lea langsung masuk kamarnya untuk beristirahat sedangkan Ghalib memilih berbincang bersama Tuan Iwan di ruang tamu.“Apa maksud kedatanganmu ke sini untuk melanjutkan rencanamu yang tempo hari, Ghalib?” tanya Tuan Iwan.Ghalib tersenyum sambil menganggukkan kepala.“Iya, saya juga ingin mengenal keluarga Lea yang lain dengan lebih dekat.”Tuan Iwan tersenyum dengan kepala yang terus me
Seketika mata Nyonya Emilia melebar dengan mulut setengah terbuka dan ekspresi terkejut. Ia tidak menduga cucu kesayangannya akan benar-benar menentangnya kali ini.“Selamat malam.”Ghalib berpamitan dan langsung keluar dari ruangan itu. Semua penghuni di dalam ruangan semakin kebingungan dibuatnya dan tak berani bereaksi sedikit pun.Tuan Fandi melihat Nyonya Emilia dengan tajam. Sementara wanita itu hanya diam dan terlihat linglung. Tubuh wanita itu tiba-tiba limbung dan dalam hitungan detik sudah tak sadarkan diri.“MAMA!!!”Untung saja Tuan Fandi dengan sigap menangkapnya sehingga tubuh Nyonya Emilia tidak langsung jatuh ke lantai.Sementara itu Lea hanya terdiam sambil sesekali melirik Ghalib yang fokus mengemudi di sampingnya. Lea tidak menduga jika Ghalib berani menentang Nyonya Emilia dan menerima ancamannya.Lea menghela napas perlahan sambil menyandarkan punggungnya ke kursi. Sedikit banyak ia merasa
“Maaf, kami terjebak macet tadi,” ucap Ghalib dengan ramah.Ia tersenyum lebar sambil menganggukkan kepala memberi salam kepada semua orang yang ada di dalam ruangan tersebut. Hal yang sama juga dilakukan Lea.Namun, tentu saja ulah mereka berdua membuat Nyonya Emilia marah. Wanita itu terus menatap Ghalib dengan mata menyalang dan wajah tegang. Seolah bersiap meletuskan amarah yang sudah ia pendam.Berbanding terbalik dengan Tuan Fandi yang langsung tersenyum melihat kehadiran putra dan calon menantunya. Bahkan Tuan Fandi meminta pelayan untuk membawakan kursi lagi untuk Lea.“Ayo, duduk, Ghalib, Lea!!”Tuan Fandi memberi perintah. Tak ayal mereka berdua sudah duduk berdampingan, Tuan Fandi memilih menggeser duduknya hingga kini posisinya berhadapan dengan Deasy.Sementara Deasy berserta kedua orang tuanya terlihat bingung dengan kehadiran mereka. Tuan Henry dan Nyonya Ana tampak beberapa kali saling berpandangan den
Sontak Lea terdiam. Matanya mengunci Ghalib dan beberapa kali mengerjap untuk memastikan yang ia dengar ini bukan mimpi.Ghalib tersenyum, meraih tangan Lea dan menggenggamnya erat.“Aku serius, Lea. Aku tidak suka pacaran terlalu lama. Selain itu, aku juga ingin selalu di sampingmu. 24 jam, 7 hari, selamanya.”Belum ada jawaban dari Lea. Wanita cantik itu hanya bergeming di posisinya tanpa sedikit pun menjeda pandangannya.“Aku tahu kamu masih ragu mengenai keluargaku, tapi aku gak peduli. Yang menikah aku, yang menjalani hidup aku. Jadi untuk apa aku harus pedulikan mereka.”Lea mengulum senyum sambil menggelengkan kepala.“Namun, mereka yang bisa membuatmu seperti sekarang, Ghalib. Apa kamu lupa?”Ghalib tersenyum dan menggeleng. “Aku tidak lupa. Hanya saja, aku tidak akan melakukan apa yang tidak sesuai dengan keinginanku, Lea. Meski itu atas permintaan mereka.”Lea menghela n
“Kenapa kamu bisa berpikiran seperti itu, Lea?” sergah Ghalib.Ghalib selalu kesal jika Lea membahas Kenan. Kenan masa lalunya dan tidak seharusnya terus menghantui Lea.“Apa kamu merasa bersalah dengan semua yang terjadi pada Kenan? Kamu menyesal melakukan itu semua?”Lea menatap Ghalib dengan mata membola dan langsung menggelengkan kepala.“Aku tidak menyesal dengan semua yang kulakukan padanya. Dia yang lebih dulu menyakitiku. Dia yang menghancurkan semua hal yang kita bangun bersama. Aku sama sekali tidak menyesal, Ghalib.”Ghalib langsung terdiam. Helaan napas keluar masuk dengan memburu dari bibir pria tampan berdagu belah itu.Lea tersenyum, mengelus lembut lengan Ghalib sambil menatapnya dengan sendu.“Aku hanya merasa … harusnya Mas Kenan tidak secepat itu menyerah. Bisa jadi dia sengaja pura-pura mati dan merahasiakan hal ini. Kemudian menunggu waktu yang tepat untuk membalas