“Tidak. Tidak mungkin. Tidak mungkin itu Kenan,” gumam Deasy.
Ia masih shock usai melihat sosok yang disinyalir Kenan. Bahkan gara-gara itu, mobil yang di belakang Deasy terus membunyikan klakson. Mau tak mau Deasy harus melajukan mobilnya.
Kini ia menjalankan mobil sambil memperhatikan keluar jendela untuk mencari sosok yang mirip Kenan tadi.
“Aku pasti salah lihat. Kenan sudah mati. Mana mungkin dia bisa jalan-jalan di sini.”
Deasy bermonolog sendiri dan terlihat seperti orang bingung. Berulang kali Deasy menggelengkan kepala dengan kening yang berkerut. Terlihat sekali jika ia masih belum bisa mencerna kejadian yang baru saja ia alami.
“Bisa jadi ia hanya mirip dan itu tadi bukan Kenan.”
Akhirnya Deasy memutuskan bersuara seperti itu untuk menyakinkan hatinya. Kalau mau jujur, sampai sekarang ia masih mencintai Kenan. Hanya saja pria itu tidak pernah mau menoleh padanya.
Bahkan Kenan hanya mengan
Sontak Lea terdiam. Matanya mengunci Ghalib dan beberapa kali mengerjap untuk memastikan yang ia dengar ini bukan mimpi.Ghalib tersenyum, meraih tangan Lea dan menggenggamnya erat.“Aku serius, Lea. Aku tidak suka pacaran terlalu lama. Selain itu, aku juga ingin selalu di sampingmu. 24 jam, 7 hari, selamanya.”Belum ada jawaban dari Lea. Wanita cantik itu hanya bergeming di posisinya tanpa sedikit pun menjeda pandangannya.“Aku tahu kamu masih ragu mengenai keluargaku, tapi aku gak peduli. Yang menikah aku, yang menjalani hidup aku. Jadi untuk apa aku harus pedulikan mereka.”Lea mengulum senyum sambil menggelengkan kepala.“Namun, mereka yang bisa membuatmu seperti sekarang, Ghalib. Apa kamu lupa?”Ghalib tersenyum dan menggeleng. “Aku tidak lupa. Hanya saja, aku tidak akan melakukan apa yang tidak sesuai dengan keinginanku, Lea. Meski itu atas permintaan mereka.”Lea menghela n
“Kenapa kamu bisa berpikiran seperti itu, Lea?” sergah Ghalib.Ghalib selalu kesal jika Lea membahas Kenan. Kenan masa lalunya dan tidak seharusnya terus menghantui Lea.“Apa kamu merasa bersalah dengan semua yang terjadi pada Kenan? Kamu menyesal melakukan itu semua?”Lea menatap Ghalib dengan mata membola dan langsung menggelengkan kepala.“Aku tidak menyesal dengan semua yang kulakukan padanya. Dia yang lebih dulu menyakitiku. Dia yang menghancurkan semua hal yang kita bangun bersama. Aku sama sekali tidak menyesal, Ghalib.”Ghalib langsung terdiam. Helaan napas keluar masuk dengan memburu dari bibir pria tampan berdagu belah itu.Lea tersenyum, mengelus lembut lengan Ghalib sambil menatapnya dengan sendu.“Aku hanya merasa … harusnya Mas Kenan tidak secepat itu menyerah. Bisa jadi dia sengaja pura-pura mati dan merahasiakan hal ini. Kemudian menunggu waktu yang tepat untuk membalas
“Maaf, Nona. Kami tidak bisa menmberikan nama pelanggan kami begitu saja kepada Anda,” ujar seorang wanita paruh baya.Usai keluar dari kantor, Lea bersama Ghalib langsung menuju toko bunga yang dimaksud. Saat ini mereka sudah bertemu dengan pemiliknya dan Lea sedang berusaha untuk mencari tahu siapa pengirim bunga untuknya.Namun, sepertinya sang Pemilik Toko tidak bisa diajak bekerja sama dan menentang keinginan Lea.Lea mendengkus, menyugar rambut panjangnya sambil menatap wanita paruh baya di depannya itu dengan datar.“Saya tahu yang Anda lakukan demi kenyamanan pelanggan Anda. Saya sama sekali tidak menyalahkan Anda. Hanya saja orang yang saya cari ini sedang melakukan pelanggaran hukum.”Wanita paruh baya pemilik toko bunga itu tampak terkejut mendengar penjelasan Lea. Lea tersenyum manis, mencondongkan tubuh dan memberi perhatian penuh pada wanita paruh baya itu.Sesekali tatapan matanya menyapu dengan lembut
“Tidak. Tidak mungkin. Tidak mungkin itu Kenan,” gumam Deasy.Ia masih shock usai melihat sosok yang disinyalir Kenan. Bahkan gara-gara itu, mobil yang di belakang Deasy terus membunyikan klakson. Mau tak mau Deasy harus melajukan mobilnya.Kini ia menjalankan mobil sambil memperhatikan keluar jendela untuk mencari sosok yang mirip Kenan tadi.“Aku pasti salah lihat. Kenan sudah mati. Mana mungkin dia bisa jalan-jalan di sini.”Deasy bermonolog sendiri dan terlihat seperti orang bingung. Berulang kali Deasy menggelengkan kepala dengan kening yang berkerut. Terlihat sekali jika ia masih belum bisa mencerna kejadian yang baru saja ia alami.“Bisa jadi ia hanya mirip dan itu tadi bukan Kenan.”Akhirnya Deasy memutuskan bersuara seperti itu untuk menyakinkan hatinya. Kalau mau jujur, sampai sekarang ia masih mencintai Kenan. Hanya saja pria itu tidak pernah mau menoleh padanya.Bahkan Kenan hanya mengan
“Apa Nenek setega itu padaku?” gumam Ghalib.Hampir separuh masa kecil dan masa remaja Ghalib dihabiskan bersama Nyonya Emilia. Ia sangat mengenal betul neneknya.Sikap Nyonya Emilia memang sangat keras dan penuh tuntutan, tapi Ghalib tahu batasan mana yang akan dilakukan neneknya. Rasanya tidak mungkin Nyonya Emilia melakukan hal yang diluar nalar.Udara panas sontak berjejalan keluar dengan tergesa dari mulut Ghalib. Sesekali kepalanya menggeleng dengan tangan yang memijit kening.Ia harus menyelesaikan masalah kemunculan Kenan ini. Ghalib tidak mau membuat Lea merasa terancam dan tidak tenang. Hanya saja, ia tidak tahu harus mulai dari mana.Di waktu yang sama dengan jarak ratusan kilometer, tampak seorang wanita sedang duduk anggun di salah satu kursi. Penampilannya sangat menawan. Meski usianya sudah tidak muda lagi, tapi gurat kecantikan terlihat jelas di wajahnya.“Nyonya, sepertinya ada yang sedang menyelidiki Anda
“Jonas, apa Ghalib sudah datang?” tanya Nyonya Emilia pagi itu.Tidak biasanya sepagi ini Nyonya Emilia menghubungi Pak Jonas. Pak Jonas melirik jam di pergelangan tangannya. Masih pukul setengah delapan pagi dan jam kantor belum dimulai. Mengapa Nyonya Emilia menghubunginya?“Maaf, Nyonya. Tuan Ghalib belum datang.”Nyonya Emilia berdecak. “Belum datang? Lalu kenapa ponselnya sejak tadi malam tidak bisa aku hubungi. Apa dia keluar kota?”Pak Jonas terdiam sesaat. Jakunnya naik turun menelan saliva. Ia yakin Ghalib pasti sengaja mengalihkan panggilan neneknya.“Tidak, Nyonya. Tuan Tidak keluar kota, hanya saja memang belakangan ini Tuan sangat sibuk.”Lagi-lagi terdengar decakan penuh kekesalan Nyonya Emilia di seberang sana.“Memangnya apa yang dia lakukan? Aku juga pernah di posisi Ghalib. Rasanya aku masih bisa membagi waktu saat itu.”Pak Jonas tidak menjawab, hany