Selama di perjalanan, mobil terasa sepi. Baik Mas Aqsal maupun wanita yang tidak kuketahui namanya itu diam. Pun tidak menunjukkan kemesraan di hadapanku. Baguslah, setidaknya mataku terhindar dari noda dosa mereka.
Aku memilih membuka ponsel untuk membuang jenuh. Sesekali membuka laman F* dan melihat video lucu di sana. Tidak sengaja, bibirku kadang tertarik karena menahan tawa.
Dari spion tengah, bisa kulihat Mas Aqsal kadang melirikku. Bodoh amat.
Beberapa saat kemudian, kami sampai. Mas Aqsal turun dan membuka pintu untuk wanita tersayangnya itu. Ide nakalku mendadak muncul. Aku ingin mengerjai pria itu.
Mas Aqsal dan wanita itu sudah berjalan sambil bergandengan, sedangkan aku masih di dalam. Aku terus memperhatikan. Beberapa langkah, Mas Aqsal terlihat berhenti dan menatap ke arah mobil ini. Dia berbicara dengan wanita tadi, lantas berjalan ke arahku. Karena takut pria itu marah dan menghajar, aku pura-pura tidur.
Terdengar bunyi pintu mobil dibuka.
“Ck, menyusahkan sekali kamu! Niha, bangun!” bentaknya.
Ya ampun, enggak ada lembut-lembutnya sama sekali pria ini.
“Niha!” bentaknya lagi.
Aku berjingkat, lantas membuka mata.
“Aku ngantuk, Mas. Aku di sini saja, ya.” Kurebahkan tubuh di kursi. Namun, belum sempurna tubuhku menyentuh kursi, tanganku ditarik kuat.
“Kamu harus tetap ikut! Cepat turun!” Mas Aqsal menarik tanganku kasar.
“Jangan kasar kenapa, sih, Mas! Sekali-kali yang lembut, kek! Ini tempat umum. Nggak malu sama sikap kasarmu kalau dilihat orang!”
Mumpung di tempat umum, mungkin dia tidak berani memukulku jika aku berani.
“Wanita kayak kamu nggak pantes diperlakukan lembut. Cepat turun atau kamu aku kunci dalam mobil. Biar mati sekalian!”
“Alhamdulillah kalau aku mati. Bisa bebas dari siksaanmu. Dan aku akan menghantuimu karena kamu penyebab aku mati.”
“Jangan banyak omong! Turun!” Aqsal membopong tubuhku turun. Aku menahan senyum.
Kenapa baru kepikiran sekarang mengerjai pria ini? Kenapa nggak dari dulu saja? Ah, dulu yang kupikirkan adalah rasa takut saat berdekatan dengannya.
Tubuh kami menempel sempurna, sampai-sampai aku bisa menghidu aroma parfumnya yang manly.
Begitu sampai luar, aku diturunkan, lantas pria itu mengunci mobilnya dengan remote.
“Ayo!” Mas Aqsal menggenggam telapak tanganku dan kami berjalan bersisian.
“Pelan-pelan! Kalau aku jatuh dan terkilir, kamu juga yang repot. Mau gendong aku?”
“Berisik!”
Aku tergemap, tetapi dia lebih memelankan langkah. Wanita tadi seperti tidak suka melihat Mas Aqsal menggandengku. Duh, bahagianya bisa memanas-manasi pacar suamiku.
Kami pun tiba di lobi, lantas menuju lift. Saat masih menunggu lift terbuka, pegangan tangan Mas Aqsal terurai karena merangkul wanita tadi, aku memilih memutar badan dan beranjak pergi.
“Hey, mau ke mana kamu!” teriak Aqsal.
“Mas, sejak kemarin aku sebenernya nggak mau datang ke acara ini. Tapi terus kamu paksa. Aku mau pulang aja sekarang. Lagian, sudah ada yang menemanimu, ‘kan?” Aku menimpali dengan masih membelakangi.
“Ikut, kamu tetap ikut!” Per sekian detik, Mas Aqsal sudah ada di sampingku dan menyatukan jari-jari tangan kami. Kondisi yang pas karena lift sudah terbuka. Kami bertiga pun masuk. Pria itu menekan angka tujuh.
Di lift, pria itu tidak mengurai genggaman tangannya. Aku terus menahan senyum.
Bukan senyum bahagia karena bisa sedekat ini dengan suami, melainkan puas bisa mengerjainya. Biasanya aku yang diperlakukan seperti samsak. Sekarang, ganti aku yang membuat situasi seperti dia sangat membutuhkanku.
Apalagi saat melihat wanita tadi terus cemberut. Puasku bertumpuk-tumpuk.
“Pemilik acara ini namanya Pak Hendrawan. Beliau rekan Mama sekaligus rekan bisnisku. Beliau juga salah satu pemegang saham terbesar di perusahaanku. Jadi, harusnya kamu si Upik Abu bangga berada di acara penting ini. Apalagi statusmu sebagai istriku. Nanti jangan membuat ulah, jangan bikin malu,” jelas Mas Aqsal saat masih ada dalam lift.
Aku hanya mengangguk-angguk. “Oke. Tapi kalau aku sudah bosan, aku mau pulang.”
“Asalkan sudah bertemu dengan orangnya, mau kamu bunuh diri, mabuk, atau mati pun, aku nggak peduli.”
“Astagfirullah. Pedes amat mulutmu, Mas. Dan semoga doamu tadi balik ke kamu sendiri! Dasar pria kejam!”
Pria itu diam.
Sabar, Niha, sabar!
Kami pun akhirnya tiba di ballroom acara setelah perang adu suara yang melelahkan selama di lift.
Acaranya ternyata adalah sebuah anniversary pernikahan.
“Selamat malam, Bos Besar. Suatu kehormatan tersendiri acara ini bisa dihadiri orang penting seperti Pak Aqsal. Ngomong-ngomong, kalian ini pasangan yang serasi,” seru Pak Hendrawan saat kami tiba. Aku hanya tersenyum sekilas ke arahnya. Kusalami perempuan bersahaja di sampingnya yang kutaksir itu istrinya, dan mengatupkan tangan di depan dada saat di depan pria yang rambutnya sudah memutih itu.
Dengan akting yang mumpuni, pria ini memeluk pinggangku mesra. Aku hanya terus mengucapkan istigfar berulang kali dalam hati. Agar hati ini tidak terlena dengan sikapnya yang fana ini.
Haram baper.
Mendengar pujian dari rekannya, Mas Aqsal hanya tertawa. “Pak Wawan bisa saja. Oh, ya, selamat atas perayaan pernikahannya. Saya salut, pernikahannya bisa langgeng sampai 40 tahun. Semoga kebahagiaan terus menyertai pernikahan Pak Wawan,” puji Mas Aqsal.
“Wah, terima kasih. Intinya, pernikahan itu bukan masalah mencari kesempurnaan dari pasangan kita, tapi bagaimana kita saling menerima dan melengkapi ketidaksempurnaan itu. Sama satu lagi, saat mata dan hati sudah tidak bisa dikendalikan lagi, cukup datangi istri, jangan malah sibuk mencari pengganti,” tutur pria tambun itu panjang lebar.
“Tuh, dengerin, Mas. Jangan malah KDRT terus,” bisikku kepada Mas Aqsal. Pria itu hanya berdeham.
Tak sampai di situ, Pak Hendrawan mengecup tangan istrinya mesra.
Bagaimanapun juga, ucapan dan perlakuan Pak Hendrawan membuatku tersentil. Aku dan Mas Aqsal terlalu menyepelekan simpul suci pernikahan hingga hubungan kami harus disebut apa ini. Entah.
Mas Aqsal dengan sikap kasarnya, aku dengan rasa sakit hati atas perlakuannya hingga membuatku menjadi tak acuh. Kami berdua sama-sama berjalan menjauh. Entah sampai kapan akhirnya kami bisa bertahan dalam kondisi seperti ini.
Ingin, aku ingin seperti pasangan lain yang hidup bahagia dengan pasangannya. Namun, jika pasanganku tak menginginkan itu, aku bisa apa?
Awal pernikahan, sudah cukup aku menghamba cinta, ramah dengannya meski yang kudapat hanya lara. Sekarang tidak lagi. Aku tinggal menunggu kapan waktunya pergi.
Setelah berbasa-basi sebentar, kami undur diri dari hadapan Pak Hendrawan dan bergabung dengan tamu lain.
Wanita yang tadi yang tadi ikut ternyata adalah sekretaris Mas Aqsal di kantor, dia mengekor di belakang kami.
Setelah jauh dari Pak Hendrawan, Mas Aqsal menyentak tubuhku kasar.
“Sekarang kamu baru boleh kabur atau pergi terserah!” desisnya. Dia meninggalkanku seorang diri.
Di antara orang-orang besar ini, aku merasa seperti debu di antara kemilau emas. Ada rasa menyesal kenapa tadi aku tidak kabur saja saat masih di lobi.
Kulihat punggung Mas Aqsal yang makin menjauh. Kebetulan dia juga tengah menoleh. Pandangan kami bertemu. Dia tersenyum penuh ejekan. Tangannya lantas merangkul pinggang sekretarisnya.
What the hell?
Aku dipaksa diajak kemari, lantas membuangku begitu saja seperti sampah.
Aku mencoba tampil percaya diri. Meski tidak ada satu pun yang kukenal di sini selain Mas Aqsal, setidaknya aku tidak pulang dalam keadaan mengenaskan. Maksudnya, aku harus menikmati pesta mewah ini karena kesempatan ini belum tentu datang lagi.Aku berjalan dengan hati-hati.Beginilah acara orang-orang penting. Saat pesta pun, telingaku selalu menangkap pembahasan tentang pekerjaan. Mas Aqsal dan wanita tadi terlihat ke sana kemari menghampiri setiap orang. Entah apa yang dibicarakan. Mungkin acara bisnis, atau mungkin sebuah undangan pernikahan keduanya nanti? Entahlah.Aku sendiri tidak tahu apa wanita yang bersamanya kini, sama dengan wanita yang diajak Mas Aqsal ke rumah dulu atau bukan.Aku tengah duduk di kursi sambil menikmati segelas es krim rasa cokelat yang aku ambil dari meja prasmanan. Berharap, dengan menikmati ini, enzim yang terkandung di dalamnya mampu mengurangi kadar stres yang tengah menekan jiwa ragaku.“Boleh duduk di sini?” Suara bariton seseorang memecah kesend
Aku masih bergeming saat Arjuna menawarkan bantuan. Pria itu terlihat mengoperasikan ponselnya. Sementara aku masih duduk bersimpuh di atas pavingblock.Tidak ingin suasana makin canggung, aku kembali mengesot, menahan sakit agar bisa sampai di bangku yang dari tadi aku incar. Biarlah aku menunggu sampai Mas Aqsal datang menjemput. Semoga dia tak sejahat itu meninggalkanku sendirian di sini.Baru sedikit digerakkan, kakiku terasa makin sakit. Aku mendesis. “Auh.”“Hey, cukup diam, jangan bergerak. Itu hanya akan membuat kakimu tambah parah!” teriak Arjun saat dia selesai dengan ponselnya. Dia mendekat dan berjongkok di hadapanku.Aku pun menghentikan aksi. Ya Allah, aku malu sudah menangis di depan orang asing.“Jangan takut sama saya. Saya tahu batasan. Tunggu sebentar lagi. Saya sedang menyuruh seseorang membawa mobil kemari. Kita obati kakimu,” lanjutnya.“Jangan, Pak. Nanti merepotkan. Bapak ke dalam saja karena acara pasti belum selesai.”Pria itu terkekeh. “Siapa namamu tadi? Bi
Aku meremas tangan untuk mengurai gugup. Tak mungkin aku berlari dalam kondisi seperti ini. Sungguh, aku takut Arjuna akan melakukan hal buruk kepadaku.“Niha,” panggilnya. Kali ini lebih lembut.“I-iya.”“Maaf tidak jadi membawamu ke rumah sakit. Ini rumah tukang urut langganan papa saya. Kemarin adik saya cedera bahu karena jatuh dari motor, saya disuruh antar ke sini. Katanya, adik saya sudah kedua kalinya datang. Dan katanya cepat pulih sakitnya. Di sini insyaallah lebih cepat sembuh tanpa operasi kalau cederanya tidak berat. Kalau kakimu, sepertinya masih bisa diatasi di sini,” jelasnya.Kuberanikan diri menatap ke arahnya. Dia tersenyum dan mengangguk. “Percayalah sama saya. Saya tidak akan macam-macam. Kalau sampai macam-macam laporkan ke Pak Hendrawan tadi. Atau lapor polisi. Silakan. Ini kartu nama saya.”Pria itu mengeluarkan dompet, lantas memberikan satu kartu kepadaku.Arjuna Dwino Hendrawan, 28 tahun. Manajer operasional Hotel Grand Himalaya dan beberapa nama hotel lain.
“Niha, turunlah.” Suara seseorang itu akhirnya membuatku menoleh. Ada Arjuna yang berdiri di belakangku.“P-pak Arjuna.” Aku tergagap.“Pak Heru bohong sama saya?” Arjuna menatap satpam tajam.“I-itu, Tuan–““Saya yang memintanya berbohong. Jadi, jangan salahkan beliau, jangan hukum beliau. Saya minta maaf. Salahkan saja saya. Saya hanya tidak mau terus merepotkan Pak Arjuna.” Aku memotong ucapan Pak Heru.“Saya maafkan asal turunlah dari motor. Saya yang akan mengantarmu pulang.”Aku pun menurut. Arjuna memberikan uang kepada pengemudi ojek. Aku makin merasa tidak enak.“Sebagai hukuman karena kamu sudah bohong, ayo saya antar. Saya tidak mau mendengar alasan apa pun lagi.”Aku bernapas panjang, lalu mengangguk. Terpaksa kuikuti langkahnya menuju mobil dan masuk."Pak, tolong jangan pecat Pak Heru, ya. Beliau bohong karena saya yang meminta.""Tergantung.""Hah? Maksudnya?""Asal kamu kasih nomor ponsel kamu."Aku pun akhirnya mengangguk dan mengeluarkan ponsel dari tas. Kembali pons
“Astagfirullah, Asti. Sepertinya ketinggalan di mobil pria tadi!” pekikku.Antara sadar dan tidak, antara ingat dan tidak, aku merasa ponsel belum aku cabut.“Pria tadi kayaknya tampan, Ha. Hayo, siapa tahu dia jodoh lu selanjutnya.”Aku memukul pelan lengan Asti. “Sembarangan kalo ngomong.”“Kenalin, dong, pan kapan. Siapa tahu dia cocok sama gue kalo lu nggak mau.”“Eling, Ti. Katanya lu udah punya cowok? Cowok lu, tuh, yang harus lu kenalin sama gue.”Ah, aku sampai lupa dengan kesedihanku gara-gara ponsel.Asti beberapa kali cerita kalau dia punya pacar. Namun, sejauh ini aku belum bertemu dan berkenalan.“Jangan dulu. Tunggu sampai dia lamar gue dan kami tunangan. Takut doi naksir sama lu. Karena jujur, gue kalah tampang sama lu.”“Heh, ngomong apaan lu ini! Gini-gini gue udah nikah meski pernikahan gue nggak normal. Udah, pokoknya gue tunggu kapan lu bakal ngenalin ke gue.”“Ya. Udah nikah, tapi belum kawin. Ngenes banget sumpah nasib lu.”Kami tergelak.“Siapa namanya pria tadi
“Tidak boleh pacaran, apalagi di tempat umum seperti ini. Nggak malu kamu! Ayo ikut Ustaz.” Pria itu mencekal pergelangan tangan Nizam.“Ini kakak kandung saya, Ustaz. Kami tidak pacaran.”Pria itu terlihat melotot dan gugup. Sepertinya dia terkejut. “A-apa? Kakak?”“Iya.”“Dia ustaz baru, ya, Zam? Kok, Mbak baru lihat?” bisikku pada remaja yang memakai baju koko warna navy ini. Nizam mengangguk.“Maaf, Ustaz. Apa ada peraturan yang kami langgar? Apa peraturan lama sudah berubah? Bahwa adik kakak dilarang berduaan? Seperti itu?” tanyaku. Dia tampak gelagapan. Ah, lucu sekali melihat dia salah tingkah.Wajahku dan Nizam memang tidak ada kemiripan. Tinggi Nizam pun melebihi tinggi badanku. Jadi, tidak sekali dua kali orang menganggap kami pasangan kekasih padahal kami ini mahram.“Ya sudah, saya minta maaf karena sudah salah sangka. Lain kali, Zam. Jangan bersikap berlebihan. Jika memang kalian ini saudara, tapi kedekatan dan keakraban kalian tadi bisa menimbulkan salah paham.”“Baik, U
“Aqsal, tolong jangan marahi saudaramu seperti itu. Dan Niha, maaf. Semalam kamu lupa mengambil ponselmu. Saya pun lupa karena kita keasyikan kayaknya,” ucap Arjuna.Mati aku! Pasti Mas Aqsal berpikir yang bukan-bukan. Kulirik suamiku itu. Rahangnya tampak mengeras, matanya membola.“Niha, ini ponselmu. Oh, ya, Sal. Saya semalam bertanya banyak hal ke Niha. Katanya dia tinggal di sini. Lantas saya meminta alamat rumah ini ke papa dan diberikan. Maaf baru mengembalikan sekarang. Tadi pagi saya masih sibuk.” Arjuna tersenyum sopan.Ingin rasanya aku mengecil menjadi semut agar bisa melarikan diri dari. Kedatangan Arjuna membuat situasi antara aku dan Mas Aqsal makin memanas.“Aqsal, saya ingin–““Kamu bayar berapa istri saya semalam?” potong Mas Aqsal pada ucapan Arjuna.Arjuna yang tak tahu menahu hanya menggeleng. Oh, tumben pria itu menyebutku istri.“Is-tri? Maksudnya?” Arjuna balik bertanya dengan alis bertaut.“Niha istri saya, breng*ek!”“A-apa? Bukannya semalam katanya dia–““Ap
“Ambil handuk sama baju di kamar Mbak Niha, Si.” Suara itu lamat-lamat terdengar. Kesadaranku perlahan terkumpul. Telinga ini sedikit demi sedikit sudah mampu merekam suara sayup-sayup orang bercakap-cakap. Namun, mata rasanya masih berat untuk dibuka, juga tubuh yang terasa lemas. “Sadarlah. Buka matamu, Mbak ” Suara seseorang terdengar lagi. Terasa sebuah tangan membelai kening dan menepuk pelan pipiku. Dari yang tertangkap telinga, itu seperti suara Mbak Sa. “Sasi lama amat, sih.” Suara itu makin jelas, tetapi belum ada kekuatan sekadar membuka mata atau menggerakkan anggota badan. “Ini, Mbak.” Suara lain terdengar. “Ayo bantu mengeringkan tubuh Mbak Niha. Habis itu kita pakaikan pakaian.” Dua suara wanita berbeda itu terdengar lagi. Tubuhku yang kedinginan mulai merasakan hangat. “Untung tadi ketahuan, Mbak. Kalo enggak, aku nggak bisa bayangin gimana keadaan Mbak Niha.” Aku mencoba menggetarkan pita suara. Sekali, dua kali, tidak berhasil. Saat salah satu titik di tubuhku