Share

Bagian 7. Petuah Pak Hendrawan

Selama di perjalanan, mobil terasa sepi. Baik Mas Aqsal maupun wanita yang tidak kuketahui namanya itu diam. Pun tidak menunjukkan kemesraan di hadapanku. Baguslah, setidaknya mataku terhindar dari noda dosa mereka.

Aku memilih membuka ponsel untuk membuang jenuh. Sesekali membuka laman F* dan melihat video lucu di sana. Tidak sengaja, bibirku kadang tertarik karena menahan tawa.

Dari spion tengah, bisa kulihat Mas Aqsal kadang melirikku. Bodoh amat.

Beberapa saat kemudian, kami sampai. Mas Aqsal turun dan membuka pintu untuk wanita tersayangnya itu. Ide nakalku mendadak muncul. Aku ingin mengerjai pria itu.

Mas Aqsal dan wanita itu sudah berjalan sambil bergandengan, sedangkan aku masih di dalam. Aku terus memperhatikan. Beberapa langkah, Mas Aqsal terlihat berhenti dan menatap ke arah mobil ini. Dia berbicara dengan wanita tadi, lantas berjalan ke arahku. Karena takut pria itu marah dan menghajar, aku pura-pura tidur.

Terdengar bunyi pintu mobil dibuka.

“Ck, menyusahkan sekali kamu! Niha, bangun!” bentaknya.

Ya ampun, enggak ada lembut-lembutnya sama sekali pria ini.

“Niha!” bentaknya lagi.

Aku berjingkat, lantas membuka mata.

“Aku ngantuk, Mas. Aku di sini saja, ya.” Kurebahkan tubuh di kursi. Namun, belum sempurna tubuhku menyentuh kursi, tanganku ditarik kuat.

“Kamu harus tetap ikut! Cepat turun!” Mas Aqsal menarik tanganku kasar.

“Jangan kasar kenapa, sih, Mas! Sekali-kali yang lembut, kek! Ini tempat umum. Nggak malu sama sikap kasarmu kalau dilihat orang!”

Mumpung di tempat umum, mungkin dia tidak berani memukulku jika aku berani.

“Wanita kayak kamu nggak pantes diperlakukan lembut. Cepat turun atau kamu aku kunci dalam mobil. Biar mati sekalian!”

“Alhamdulillah kalau aku mati. Bisa bebas dari siksaanmu. Dan aku akan menghantuimu karena kamu penyebab aku mati.”

“Jangan banyak omong! Turun!” Aqsal membopong tubuhku turun. Aku menahan senyum.

Kenapa baru kepikiran sekarang mengerjai pria ini? Kenapa nggak dari dulu saja? Ah, dulu yang kupikirkan adalah rasa takut saat berdekatan dengannya.

Tubuh kami menempel sempurna, sampai-sampai aku bisa menghidu aroma parfumnya yang manly.

Begitu sampai luar, aku diturunkan, lantas pria itu mengunci mobilnya dengan remote.

“Ayo!” Mas Aqsal menggenggam telapak tanganku dan kami berjalan bersisian.

“Pelan-pelan! Kalau aku jatuh dan terkilir, kamu juga yang repot. Mau gendong aku?”

“Berisik!”

Aku tergemap, tetapi dia lebih memelankan langkah. Wanita tadi seperti tidak suka melihat Mas Aqsal menggandengku. Duh, bahagianya bisa memanas-manasi pacar suamiku.

Kami pun tiba di lobi, lantas menuju lift. Saat masih menunggu lift terbuka, pegangan tangan Mas Aqsal terurai karena merangkul wanita tadi, aku memilih memutar badan dan beranjak pergi.

“Hey, mau ke mana kamu!” teriak Aqsal.

“Mas, sejak kemarin aku sebenernya nggak mau datang ke acara ini. Tapi terus kamu paksa. Aku mau pulang aja sekarang. Lagian, sudah ada yang menemanimu, ‘kan?” Aku menimpali dengan masih membelakangi.

“Ikut, kamu tetap ikut!” Per sekian detik, Mas Aqsal sudah ada di sampingku dan menyatukan jari-jari tangan kami. Kondisi yang pas karena lift sudah terbuka. Kami bertiga pun masuk. Pria itu menekan angka tujuh.

Di lift, pria itu tidak mengurai genggaman tangannya. Aku terus menahan senyum.

Bukan senyum bahagia karena bisa sedekat ini dengan suami, melainkan puas bisa mengerjainya. Biasanya aku yang diperlakukan seperti samsak. Sekarang, ganti aku yang membuat situasi seperti dia sangat membutuhkanku.

Apalagi saat melihat wanita tadi terus cemberut. Puasku bertumpuk-tumpuk.

“Pemilik acara ini namanya Pak Hendrawan. Beliau rekan Mama sekaligus rekan bisnisku. Beliau juga salah satu pemegang saham terbesar di perusahaanku. Jadi, harusnya kamu si Upik Abu bangga berada di acara penting ini. Apalagi statusmu sebagai istriku. Nanti jangan membuat ulah, jangan bikin malu,” jelas Mas Aqsal saat masih ada dalam lift.

Aku hanya mengangguk-angguk. “Oke. Tapi kalau aku sudah bosan, aku mau pulang.”

“Asalkan sudah bertemu dengan orangnya, mau kamu bunuh diri, mabuk, atau mati pun, aku nggak peduli.”

“Astagfirullah. Pedes amat mulutmu, Mas. Dan semoga doamu tadi balik ke kamu sendiri! Dasar pria kejam!”

Pria itu diam.

Sabar, Niha, sabar!

Kami pun akhirnya tiba di ballroom acara setelah perang adu suara yang melelahkan selama di lift.

Acaranya ternyata adalah sebuah anniversary pernikahan.

“Selamat malam, Bos Besar. Suatu kehormatan tersendiri acara ini bisa dihadiri orang penting seperti Pak Aqsal. Ngomong-ngomong, kalian ini pasangan yang serasi,” seru Pak Hendrawan saat kami tiba. Aku hanya tersenyum sekilas ke arahnya. Kusalami perempuan bersahaja di sampingnya yang kutaksir itu istrinya, dan mengatupkan tangan di depan dada saat di depan pria yang rambutnya sudah memutih itu.

Dengan akting yang mumpuni, pria ini memeluk pinggangku mesra. Aku hanya terus mengucapkan istigfar berulang kali dalam hati. Agar hati ini tidak terlena dengan sikapnya yang fana ini.

Haram baper.

Mendengar pujian dari rekannya, Mas Aqsal hanya tertawa. “Pak Wawan bisa saja. Oh, ya, selamat atas perayaan pernikahannya. Saya salut, pernikahannya bisa langgeng sampai 40 tahun. Semoga kebahagiaan terus menyertai pernikahan Pak Wawan,” puji Mas Aqsal.

“Wah, terima kasih. Intinya, pernikahan itu bukan masalah mencari kesempurnaan dari pasangan kita, tapi bagaimana kita saling menerima dan melengkapi ketidaksempurnaan itu. Sama satu lagi, saat mata dan hati sudah tidak bisa dikendalikan lagi, cukup datangi istri, jangan malah sibuk mencari pengganti,” tutur pria tambun itu panjang lebar.

“Tuh, dengerin, Mas. Jangan malah KDRT terus,” bisikku kepada Mas Aqsal. Pria itu hanya berdeham.

Tak sampai di situ, Pak Hendrawan mengecup tangan istrinya mesra.

Bagaimanapun juga, ucapan dan perlakuan Pak Hendrawan membuatku tersentil. Aku dan Mas Aqsal terlalu menyepelekan simpul suci pernikahan hingga hubungan kami harus disebut apa ini. Entah.

Mas Aqsal dengan sikap kasarnya, aku dengan rasa sakit hati atas perlakuannya hingga membuatku menjadi tak acuh. Kami berdua sama-sama berjalan menjauh. Entah sampai kapan akhirnya kami bisa bertahan dalam kondisi seperti ini.

Ingin, aku ingin seperti pasangan lain yang hidup bahagia dengan pasangannya. Namun, jika pasanganku tak menginginkan itu, aku bisa apa?

Awal pernikahan, sudah cukup aku menghamba cinta, ramah dengannya meski yang kudapat hanya lara. Sekarang tidak lagi. Aku tinggal menunggu kapan waktunya pergi.

Setelah berbasa-basi sebentar, kami undur diri dari hadapan Pak Hendrawan dan bergabung dengan tamu lain.

Wanita yang tadi yang tadi ikut ternyata adalah sekretaris Mas Aqsal di kantor, dia mengekor di belakang kami.

Setelah jauh dari Pak Hendrawan, Mas Aqsal menyentak tubuhku kasar.

“Sekarang kamu baru boleh kabur atau pergi terserah!” desisnya. Dia meninggalkanku seorang diri.

Di antara orang-orang besar ini, aku merasa seperti debu di antara kemilau emas. Ada rasa menyesal kenapa tadi aku tidak kabur saja saat masih di lobi.

Kulihat punggung Mas Aqsal yang makin menjauh. Kebetulan dia juga tengah menoleh. Pandangan kami bertemu. Dia tersenyum penuh ejekan. Tangannya lantas merangkul pinggang sekretarisnya.

What the hell?

Aku dipaksa diajak kemari, lantas membuangku begitu saja seperti sampah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status