Share

Bagian 8. Arjuna

Author: Zuya
last update Last Updated: 2023-07-06 19:35:40

Aku mencoba tampil percaya diri. Meski tidak ada satu pun yang kukenal di sini selain Mas Aqsal, setidaknya aku tidak pulang dalam keadaan mengenaskan. Maksudnya, aku harus menikmati pesta mewah ini karena kesempatan ini belum tentu datang lagi.

Aku berjalan dengan hati-hati.

Beginilah acara orang-orang penting. Saat pesta pun, telingaku selalu menangkap pembahasan tentang pekerjaan. Mas Aqsal dan wanita tadi terlihat ke sana kemari menghampiri setiap orang. Entah apa yang dibicarakan. Mungkin acara bisnis, atau mungkin sebuah undangan pernikahan keduanya nanti? Entahlah.

Aku sendiri tidak tahu apa wanita yang bersamanya kini, sama dengan wanita yang diajak Mas Aqsal ke rumah dulu atau bukan.

Aku tengah duduk di kursi sambil menikmati segelas es krim rasa cokelat yang aku ambil dari meja prasmanan. Berharap, dengan menikmati ini, enzim yang terkandung di dalamnya mampu mengurangi kadar stres yang tengah menekan jiwa ragaku.

“Boleh duduk di sini?” Suara bariton seseorang memecah kesendirian yang dari tadi menemaniku.

Aku hanya tersenyum kikuk ke arahnya. Ingin menolak, tetapi ini bukan acara pribadiku. Di sini bisa dibilang tempat umum. Ingin mengiakan, tetapi aku tahu batasan antara perempuan dan laki-laki. Takut timbul fitnah.

“Kamu ke sini sendirian?” tanya pria itu lagi setelah duduk sempurna di seberangku. Ia tengah menyesap minuman entah apa.

Aku menggeleng. Entahlah, aku bingung harus menjawab dan berbuat apa. Aku pun menunduk.

“Oh, ya. Kenalkan, nama saya Arjuna. Kamu?” Pria ini tak gentar mengajakku berbicara. Aku mengembuskan napas panjang dan mengembuskan pelan. Mau tidak mau, aku mendongak menatapnya. Pandangan kami beradu. Manik mata kelam itu menyorot ke arahku, disertai lengkungan senyum dari bibirnya.

“Saya Niha, Pak,” jawabku pada akhirnya. Kukatupkan kedua tangan di dada. Aku kembali menyuapkan es krim ke mulut untuk mengurangi rasa grogi. Rasa tidak nyaman menyambangi hatiku.

Pria itu tersenyum, lalu menarik kembali tangannya yang terulur.

“Kamu ke sini sama siapa? Sudah makan? Mau saya ambilkan?” cecarnya lagi. Aduh, apa, sih, mau pria ini?

“Saya ke sini sama Pak Aqsal. Tidak perlu repot-repot, nanti saya ambil sendiri,” tolakku pada akhirnya.

“Baiklah. Tapi jangan sungkan mengambil makanan. Ini acara orang tua saya. Jadi, saya tidak mau kalau sampai ada yang kelaparan di sini.”

Aku mengangguk. Oh, jadi pria ini anak Pak Hendrawan?

“Saya permisi dulu,” pamitku lagi karena merasa situasi sudah tidak nyaman. Pria ini seperti mengulitiku. Dari tadi dia selalu memandang dengan pandangan yang menurutku menakutkan.

Aku pun berdiri, berniat meninggalkannya. Namun, saat hendak melangkah, kakiku menginjak gamis hingga tubuh ini oleng. Ketika akan terjatuh, sebuah tangan menangkap tubuhku. Sontak, aku melihat ke arah empunya tangan. Lagi-lagi pandangan kami tersimpul.

“Ehm!”

Suara orang berdeham, membuatku tersadar dan berusaha berdiri tegak. Pria penolong, yang tak lain adalah Arjuna, melepas tangannya dari tubuhku.

“Ayo pulang!” tegas Mas Aqsal sambil meraih tanganku. Aku mengangguk.

“Eh, Aqsal. Niha siapamu?” tanya Arjuna. Aku masih setia menunggu jawaban. Namun, Mas Aqsal membisu. Mungkin dia juga bingung harus menjawab apa. Mengaku aku ini istrinya? Mungkin tidak kira-kira?

“Saudara, iya saudara,” jawab wanita yang dari tadi masih bersama Mas Aqsal.

Ada yang lagi-lagi terkoyak di dalam sana. Hati. Sebatas itu ternyata Mas Aqsal mengenalkanku pada orang-orang. Walaupun jawaban itu bukan dari mulut Mas Aqsal sendiri, tetapi aku yakin di luaran sana dia mengaku bahwa aku saudaranya. Mungkin wanita ini sudah di-briefing terlebih dulu. Wanita itu jelas tahu aku ini istri Mas Aqsal. Ah, atau dia juga tidak tahu? Baiklah, aku terima.

“Lusi, kamu di sini dulu. Nanti saya kembali,” ujar Mas Aqsal pada wanita tadi. Lusi, ternyata namanya Lusi. Wanita berbaju merah muda itu mengangguk.

Masih dengan mulut mengatup, Mas Aqsal menggenggam tanganku dan membawa berlalu dari Arjuna dan Lusi.

“Seperti ini kelakuanmu saat diajak ke pesta, hah!” bentaknya saat kami sudah berada di luar hotel. Tubuhku diempaskan kuat olehnya. Aku limbung. Kaki yang mencoba mengimbangi tubuh akhirnya tertekuk dan terkilir. Aku terduduk sambil memegangi kaki yang sakitnya luar biasa.

“Mau kamu apa, sih, Mas? Tadi katanya mau mati pun terserah aku asal sudah ketemu sama pemilik acara. Apa kamu amnesia mendadak? Kamu juga bilang aku bisa ngapain aja asal tidak bikin malu. Apa tadi aku mempermalukanmu? Sekarang kenapa kamu ngamuk gini? Aneh!”

Aku lantas mendesis sambil melepas wedges.

“Nyesel ngajak kamu tadi. Dasar wanita tak punya malu. Ditinggal sebentar sudah menjadi menggoda pria. Mau cari mangsa baru?” Bentakan bertubi-tubi masih dilayangkan.

“Tuan Aqsal yang terhormat. Puluhan kali aku menolak datang ke acara ini, tapi kamu selalu memaksa! Kalau aku kamu tuduh menggoda pria, lantas kamu apa? Penggoda wanita? Kalau begitu kita sama, bukan?”

Tangan Mas Aqsal terangkat. Aku sudah terpejam, tetapi tidak kurasakan adanya pukulan.

“Aku benci sama kamu, Niha!”

Aku membuka mata dan menatapnya nyalang. “Bunuh aja aku kalau kamu benci. Ayo!”

“Tidak. Aku masih ingin menyakitimu. Tapi kalau sampai kamu masih berani menjadi penggoda, kupatahkan kakimu biar kamu nggak bisa melakukan itu lagi.”

Tak ada niatan membela diri, percuma. Biarlah dia bertindak semaunya. Aku terus mendesis, menahan sakit pada kaki.

“Terserah kamu mau apa. Dari tadi siapa yang menggoda sebenarnya? Kamu, Mas. Di depanku bermesraan dengan wanita lain, ke sana kemari bergandengan tangan dengan perempuan lain. Apa aku pernah protes? Enggak, ‘kan?” lirihku.

“Kamu!” Dia menendang kakiku yang terkilir.

“Aw! Sakit!” Aku berteriak kesakitan. Air mata terpaksa lolos dari pelupuk. Sungguh, pria ini tak punya hati.

Dengan dada naik turun, Mas Aqsal pergi meninggalkanku yang terduduk sendirian di parkiran hotel. Kupandangi tubuhnya hingga menghilang dari sorot mata. Demi Allah, aku akan selalu mengingat kejadian ini seumur hidup.

Aku mencoba berdiri, tetapi selalu gagal. Wedges sialan ini aku lempar begitu saja sambil menangis. Kupijat sebisanya pada kaki yang terkilir tadi, tetapi rasanya malah bertambah sakit.

Beruntung keadaannya sedang sepi. Sehingga aku tidak perlu menahan malu. Kedua tangan aku letakkan di depan wajah, menyembunyikan tangis.

Saat kondisi hati sudah agak membaik, aku melihat sekeliling area parkir ini, ada sebuah bangku tak jauh dari sini. Dengan hati-hati, aku pun mengesot menuju ke sana sambil tersedu-sedu. Baru beberapa gerakan, sebuah tangan mencekal lenganku.

Aku menoleh ke pemilik tangan. Tampak Arjuna melihat ke arahku dengan pandangan seperti iba. Merasa tidak benar, aku mengurai lenganku dari cekalannya. Dia terlihat kikuk.

“Kamu kenapa?” tanyanya.

“Tidak kenapa-napa.”

“Kamu bohong. Kamu nangis, terlihat kesakitan, itu berarti sedang tidak baik-baik saja.” Tatapannya masih mengunciku.

“Kaki saya terkilir, Pak.”

“Bukankah kamu tadi keluar sama Aqsal? Mana sekarang dia?”

Mulutku mengatup, bingung harus menjawab apa.

“Ya sudah, ayo saya antar masuk lagi. Atau mau diantar pulang?”

Kali ini aku menggeleng dengan ide konyolnya. “Tidak perlu. Saya akan menelepon Mas Aqsal saja.”

Aku pun mengeluarkan ponsel dari tas, bukan untuk menelepon Mas Aqsal, tetapi berniat memesan ojek online. Sayang, ponsel mati. Aku kembali memasukkan ke dalam tas.

“Kenapa?”

“Ponsel saya mati. Pak, tolong tinggalkan saya di sini sendiri. Takut kalau ada yang lihat, takut salah paham.”

Lebih-lebih aku takut kalau dilihat Mas Aqsal. Bisa-bisa dihajar kalau sampai rumah.

“Meninggalkanmu dalam kondisi seperti ini? Gila kali saya.”

“Tapi saya takut nanti timbul fitnah.”

“Atau mau saya panggilkan Aqsal di dalam?”

“Jangan!”

“Lalu kamu mau apa? Ngesot sampai rumah?”

Aku terdiam.

“Baiklah, begini saja. Saya antar ke rumah sakit saja dulu. Sepertinya kakimu sedang tidak baik-baik saja. Saya sendiri tidak ahli dalam urusan memijat soalnya. Nanti kalau masih ada waktu, kita kembali ke sini lagi jika tidak perlu opname. Kalau sudah malam, saya antar kamu pulang.”

Aku bingung harus bagaimana. Terima atau tidak tawarannya? 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Napsiah Dc
terus membuat kita pembaca penasaran dan ingin terus mengikuti alur ceritanya
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Silakan Menikah Lagi, Mas!   27. Sempurna

    “Mas, dingin,” keluh Niha sambil menyatukan kedua tangan di depan dada. Aqsal terkekeh. “Kamu terlalu keras kepala, Sayang. Baru pulih, sudah nyari penyakit lagi. Sini, aku peluk.” Pria itu duduk di belakang istrinya, memeluk erat dari belakang. Niha leluasa menyandarkan kepalanya di dada bidang sang suami. Atau meletakkan di lemgan suaminya. Baginya, tidak ada tempat bersandar terbaik selain di sana. Aqsal tiada bosan menciumi puncak kepala istrinya yang terbungkus kupluk jaket. Keduanya sedang menunggu sunrise di gunung Bromo. Tepatnya di Love Hill atau spot sunrise point pananjakan 3. Niha kukuh merengek mengajak ke sana padahal baru saja pulih dari sakit. Terpaksa Aqsal menuruti meski dengan berat hati. Mereka tidak jadi dinikahkan ulang oleh warga sebab Niha dan Aqsal berhasil menjelaskan jika mereka memang pasangan suami istri. Keduanya memilih pergi dari lingkungan itu dan mencari tempat tinggal baru. Aqsal membeli sebuah rumah di kota Batu, berdekatan dengan kota sebelumny

  • Silakan Menikah Lagi, Mas!   26. Bertahan atau Pergi

    Niha mendorong dada Arif agar menjauh dari hadapannya. Wanita itu menghapus air matanya kasar, lalu mengembuskan napas panjang. Ia menatap Arif sungguh-sungguh. “Mas, pernikahan itu bukan permainan. Pun identitas. Aku nggak tahu apa hukumnya menikah lagi denganmu, dengan identitasmu yang berbeda padahal kita masih suami istri. Lalu misal jika kita menikah lagi, siapa walinya? Sementara Nizam jauh di Mesir. Kemudian tentang identitas. Jangan sembarangan menggunakan identitas orang. Meskipun dosa ditanggung masing-masing kepala, tapi aku tetap takut jika dosa dan kesalahan yang kamu perbuat, Arif di alam sana ikut menanggungnya. Ya, meskipun itu kedengarannya tidak mungkin, setidaknya untuk berjaga-jaga. Cukup jadilah Aqsal, bukan orang lain. Setidaknya hormati almarhum Arif. Biarkan dia di sana hidup damai dan tenang, jangan mengusik dengan menggunakan identitasnya,” ucap Niha panjang lebar. Arif terdiam. Ia tidak pernah berpikir sejauh itu. Baginya, ia nyaman dengan identitas itu kar

  • Silakan Menikah Lagi, Mas!   25. Kebenarannya

    “Omong kosong apa lagi ini hah!” teriak Niha. “Sayang, kumohon percayalah. Aku–“ “Tolo–“ Keduanya saling memotong ucapan sebelum akhirnya Arif membekap mulut Niha yang hendak berteriak minta tolong. “Sumpah demi Allah kalau aku ini Aqsal, suamimu. Aku bisa menjelaskan. Aku akan melepaskan bekapan, tapi tolong jangan teriak. Oke?” Suara Arif berubah. Suara itu membuat degup jantung Niha berdetak menggila. Suara Arif yang biasanya berat, berubah menjadi suara yang lama dirindukan. Suara itu suara Aqsal. Wanita itu membeku. Merasa Niha tidak bereaksi, Arif melepaskan telapak tangannya di mulut Niha. “Arif, jangan bercanda! Ini nggak lucu!” bentak Niha. “Aku nggak bohong, Sayang. Aku sudah menyebut sumpah atas nama Allah. Bukankah sumpah atas nama suci itu sumpah tertinggi?" Niha menatung. “Rif, aku sakit, jadi jangan mempermainkanku.” Niha menunduk, lelah berbicara dengan nada tinggi pada pria itu. “Sayang, lihat mataku. Apa kamu tidak mengenali mata suamimu? Apa kamu sudah lup

  • Silakan Menikah Lagi, Mas!   24. Sebenarnya ....

    “Arif! Selamanya aku nggak akan pernah mau nikah sama kamu!” teriak Niha.“Sudah, tenang dulu.” Ketua RT menengahi.“Saya siap jika harus diarak keliling kota, Pak. Atau jika didenda berapa pun akan saya bayar. Saya juga janji akan pergi selamanya dari kota ini. Asal saya tidak dinikahkan dengan pria menjijikkan itu. Saya masih punya suami,” ujar Niha dengan napas tersengal-sengal sambil menatap Arif.“Arif, sebenarnya di sini kuncinya hanya kamu. Kamu tinggal jujur apa yang terjadi semalam. Dan saya yakin tidak terjadi apa-apa. Niha dalam kondisi sakit dan saya rasa kamu tidak tega melakukan hal buruk padanya. Kecuali kalau kamu pria bej*t,” ujar Gita.Arif memilih bungkam. Baginya, entah mengapa disuruh menikahi Niha terdengar lebih seru daripada jujur tentang kejadian semalam.“Andai semua orang di sini berpikiran sama denganmu, Mbak, pasti tidak akan ada fitnah dan semua tidak serumit ini,” sahut Arif akhirnya.“Kamu yang membuat semuanya rumit! Kalau kamu ingin menjebakku, carany

  • Silakan Menikah Lagi, Mas!   23. Bertanggung Jawab

    Tubuh Niha panas jika disentuh, tetapi ia merasa kedinginan. Arif memeluknya erat dari belakang sambil terus menahan diri agar tidak melewati batas. Apalagi aroma rambut Niha begitu menggelitik hidung, membuatnya harus ekstra menjinakkan gejolak khas orang dewasa dalam dirinya. Niha yang biasa tampil dengan penutup kepala, kini hanya mengenakan baju dan celana pendek. Tidak dipungkiri, Arif tergoda dengan kecantikannya. Pria itu terus mengendalikan sesuatu yang tiba-tiba mengeras di salah satu tubuhnya. “Jangan pergi, Mas.” “Aku rindu.” “Mas Aqsal.” Niha terus mengigau, tubuhnya masih menggigil, giginya bergemeletuk. Tangannya memegangi tangan Arif di perutnya, seolah-olah tidak ingin pria itu pergi. Arif merutuki diri sendiri. Yang dilakukan ini tidak sepatutnya dilakukan, ia tahu itu. Namun, hawa nafsu berbisik bahwa ini bukan hal yang salah. Toh, semua untuk menolong Niha dan tidak sampai menodai. Mana mungkin juga menodai seorang wanita yang kondisinya memprihatinkan seperti

  • Silakan Menikah Lagi, Mas!   22. Peluk Aku

    “B-bu Endang!" Niha tergagap sambil berusaha bangkit dari atas tubuh Arif.Endang, pemilik rumah bergaya minimalis yang ditempati Niha mendekat dan menatap dua manusia di hadapannya nyalang.“B-bu, ta-tadi saya nggak sengaja jatuh ka-karena tadi.” Niha berdiri, lalu menggeleng, mendadak lidahnya kelu.“Rif! Jelaskan ke Bu Endang!” teriak Niha. Sementara Arif masih menepuk-nepuk pantatnya yang sakit sambil mendesis.“Mata saya masih normal melihat mana yang sengaja dan tidak. Arif tadi memelukmu! Apa kalian berzina?” bentak Endang.“Eng-enggak, Bu. Ta-tadi kata Arif–““Bu Endang nyium bau gas nggak?” potong Arif.Endang mengendus-endus ruangan.“Hidung Niha mati rasa, Bu. Dia nggak bisa nyium segala bau. Gas bocor pun dia nggak tahu. Daripada nanti rumah Ibu terbakar, saya ingin memperingatkan dia agar tidak menyalakan kompor. Saya tarik tubuhnya, dan terjadilah yang tadi. Telat sedetik, beneran ada ledakan tadi,” jelas Arif panjang lebar.Niha memicing. Arif sedetail itu tahu tentang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status