Aku mencoba tampil percaya diri. Meski tidak ada satu pun yang kukenal di sini selain Mas Aqsal, setidaknya aku tidak pulang dalam keadaan mengenaskan. Maksudnya, aku harus menikmati pesta mewah ini karena kesempatan ini belum tentu datang lagi.
Aku berjalan dengan hati-hati.
Beginilah acara orang-orang penting. Saat pesta pun, telingaku selalu menangkap pembahasan tentang pekerjaan. Mas Aqsal dan wanita tadi terlihat ke sana kemari menghampiri setiap orang. Entah apa yang dibicarakan. Mungkin acara bisnis, atau mungkin sebuah undangan pernikahan keduanya nanti? Entahlah.
Aku sendiri tidak tahu apa wanita yang bersamanya kini, sama dengan wanita yang diajak Mas Aqsal ke rumah dulu atau bukan.
Aku tengah duduk di kursi sambil menikmati segelas es krim rasa cokelat yang aku ambil dari meja prasmanan. Berharap, dengan menikmati ini, enzim yang terkandung di dalamnya mampu mengurangi kadar stres yang tengah menekan jiwa ragaku.
“Boleh duduk di sini?” Suara bariton seseorang memecah kesendirian yang dari tadi menemaniku.
Aku hanya tersenyum kikuk ke arahnya. Ingin menolak, tetapi ini bukan acara pribadiku. Di sini bisa dibilang tempat umum. Ingin mengiakan, tetapi aku tahu batasan antara perempuan dan laki-laki. Takut timbul fitnah.
“Kamu ke sini sendirian?” tanya pria itu lagi setelah duduk sempurna di seberangku. Ia tengah menyesap minuman entah apa.
Aku menggeleng. Entahlah, aku bingung harus menjawab dan berbuat apa. Aku pun menunduk.
“Oh, ya. Kenalkan, nama saya Arjuna. Kamu?” Pria ini tak gentar mengajakku berbicara. Aku mengembuskan napas panjang dan mengembuskan pelan. Mau tidak mau, aku mendongak menatapnya. Pandangan kami beradu. Manik mata kelam itu menyorot ke arahku, disertai lengkungan senyum dari bibirnya.
“Saya Niha, Pak,” jawabku pada akhirnya. Kukatupkan kedua tangan di dada. Aku kembali menyuapkan es krim ke mulut untuk mengurangi rasa grogi. Rasa tidak nyaman menyambangi hatiku.
Pria itu tersenyum, lalu menarik kembali tangannya yang terulur.
“Kamu ke sini sama siapa? Sudah makan? Mau saya ambilkan?” cecarnya lagi. Aduh, apa, sih, mau pria ini?
“Saya ke sini sama Pak Aqsal. Tidak perlu repot-repot, nanti saya ambil sendiri,” tolakku pada akhirnya.
“Baiklah. Tapi jangan sungkan mengambil makanan. Ini acara orang tua saya. Jadi, saya tidak mau kalau sampai ada yang kelaparan di sini.”
Aku mengangguk. Oh, jadi pria ini anak Pak Hendrawan?
“Saya permisi dulu,” pamitku lagi karena merasa situasi sudah tidak nyaman. Pria ini seperti mengulitiku. Dari tadi dia selalu memandang dengan pandangan yang menurutku menakutkan.
Aku pun berdiri, berniat meninggalkannya. Namun, saat hendak melangkah, kakiku menginjak gamis hingga tubuh ini oleng. Ketika akan terjatuh, sebuah tangan menangkap tubuhku. Sontak, aku melihat ke arah empunya tangan. Lagi-lagi pandangan kami tersimpul.
“Ehm!”
Suara orang berdeham, membuatku tersadar dan berusaha berdiri tegak. Pria penolong, yang tak lain adalah Arjuna, melepas tangannya dari tubuhku.
“Ayo pulang!” tegas Mas Aqsal sambil meraih tanganku. Aku mengangguk.
“Eh, Aqsal. Niha siapamu?” tanya Arjuna. Aku masih setia menunggu jawaban. Namun, Mas Aqsal membisu. Mungkin dia juga bingung harus menjawab apa. Mengaku aku ini istrinya? Mungkin tidak kira-kira?
“Saudara, iya saudara,” jawab wanita yang dari tadi masih bersama Mas Aqsal.
Ada yang lagi-lagi terkoyak di dalam sana. Hati. Sebatas itu ternyata Mas Aqsal mengenalkanku pada orang-orang. Walaupun jawaban itu bukan dari mulut Mas Aqsal sendiri, tetapi aku yakin di luaran sana dia mengaku bahwa aku saudaranya. Mungkin wanita ini sudah di-briefing terlebih dulu. Wanita itu jelas tahu aku ini istri Mas Aqsal. Ah, atau dia juga tidak tahu? Baiklah, aku terima.
“Lusi, kamu di sini dulu. Nanti saya kembali,” ujar Mas Aqsal pada wanita tadi. Lusi, ternyata namanya Lusi. Wanita berbaju merah muda itu mengangguk.
Masih dengan mulut mengatup, Mas Aqsal menggenggam tanganku dan membawa berlalu dari Arjuna dan Lusi.
“Seperti ini kelakuanmu saat diajak ke pesta, hah!” bentaknya saat kami sudah berada di luar hotel. Tubuhku diempaskan kuat olehnya. Aku limbung. Kaki yang mencoba mengimbangi tubuh akhirnya tertekuk dan terkilir. Aku terduduk sambil memegangi kaki yang sakitnya luar biasa.
“Mau kamu apa, sih, Mas? Tadi katanya mau mati pun terserah aku asal sudah ketemu sama pemilik acara. Apa kamu amnesia mendadak? Kamu juga bilang aku bisa ngapain aja asal tidak bikin malu. Apa tadi aku mempermalukanmu? Sekarang kenapa kamu ngamuk gini? Aneh!”
Aku lantas mendesis sambil melepas wedges.
“Nyesel ngajak kamu tadi. Dasar wanita tak punya malu. Ditinggal sebentar sudah menjadi menggoda pria. Mau cari mangsa baru?” Bentakan bertubi-tubi masih dilayangkan.
“Tuan Aqsal yang terhormat. Puluhan kali aku menolak datang ke acara ini, tapi kamu selalu memaksa! Kalau aku kamu tuduh menggoda pria, lantas kamu apa? Penggoda wanita? Kalau begitu kita sama, bukan?”
Tangan Mas Aqsal terangkat. Aku sudah terpejam, tetapi tidak kurasakan adanya pukulan.
“Aku benci sama kamu, Niha!”
Aku membuka mata dan menatapnya nyalang. “Bunuh aja aku kalau kamu benci. Ayo!”
“Tidak. Aku masih ingin menyakitimu. Tapi kalau sampai kamu masih berani menjadi penggoda, kupatahkan kakimu biar kamu nggak bisa melakukan itu lagi.”
Tak ada niatan membela diri, percuma. Biarlah dia bertindak semaunya. Aku terus mendesis, menahan sakit pada kaki.
“Terserah kamu mau apa. Dari tadi siapa yang menggoda sebenarnya? Kamu, Mas. Di depanku bermesraan dengan wanita lain, ke sana kemari bergandengan tangan dengan perempuan lain. Apa aku pernah protes? Enggak, ‘kan?” lirihku.
“Kamu!” Dia menendang kakiku yang terkilir.
“Aw! Sakit!” Aku berteriak kesakitan. Air mata terpaksa lolos dari pelupuk. Sungguh, pria ini tak punya hati.
Dengan dada naik turun, Mas Aqsal pergi meninggalkanku yang terduduk sendirian di parkiran hotel. Kupandangi tubuhnya hingga menghilang dari sorot mata. Demi Allah, aku akan selalu mengingat kejadian ini seumur hidup.
Aku mencoba berdiri, tetapi selalu gagal. Wedges sialan ini aku lempar begitu saja sambil menangis. Kupijat sebisanya pada kaki yang terkilir tadi, tetapi rasanya malah bertambah sakit.
Beruntung keadaannya sedang sepi. Sehingga aku tidak perlu menahan malu. Kedua tangan aku letakkan di depan wajah, menyembunyikan tangis.
Saat kondisi hati sudah agak membaik, aku melihat sekeliling area parkir ini, ada sebuah bangku tak jauh dari sini. Dengan hati-hati, aku pun mengesot menuju ke sana sambil tersedu-sedu. Baru beberapa gerakan, sebuah tangan mencekal lenganku.
Aku menoleh ke pemilik tangan. Tampak Arjuna melihat ke arahku dengan pandangan seperti iba. Merasa tidak benar, aku mengurai lenganku dari cekalannya. Dia terlihat kikuk.
“Kamu kenapa?” tanyanya.
“Tidak kenapa-napa.”
“Kamu bohong. Kamu nangis, terlihat kesakitan, itu berarti sedang tidak baik-baik saja.” Tatapannya masih mengunciku.
“Kaki saya terkilir, Pak.”
“Bukankah kamu tadi keluar sama Aqsal? Mana sekarang dia?”
Mulutku mengatup, bingung harus menjawab apa.
“Ya sudah, ayo saya antar masuk lagi. Atau mau diantar pulang?”
Kali ini aku menggeleng dengan ide konyolnya. “Tidak perlu. Saya akan menelepon Mas Aqsal saja.”
Aku pun mengeluarkan ponsel dari tas, bukan untuk menelepon Mas Aqsal, tetapi berniat memesan ojek online. Sayang, ponsel mati. Aku kembali memasukkan ke dalam tas.
“Kenapa?”
“Ponsel saya mati. Pak, tolong tinggalkan saya di sini sendiri. Takut kalau ada yang lihat, takut salah paham.”
Lebih-lebih aku takut kalau dilihat Mas Aqsal. Bisa-bisa dihajar kalau sampai rumah.
“Meninggalkanmu dalam kondisi seperti ini? Gila kali saya.”
“Tapi saya takut nanti timbul fitnah.”
“Atau mau saya panggilkan Aqsal di dalam?”
“Jangan!”
“Lalu kamu mau apa? Ngesot sampai rumah?”
Aku terdiam.
“Baiklah, begini saja. Saya antar ke rumah sakit saja dulu. Sepertinya kakimu sedang tidak baik-baik saja. Saya sendiri tidak ahli dalam urusan memijat soalnya. Nanti kalau masih ada waktu, kita kembali ke sini lagi jika tidak perlu opname. Kalau sudah malam, saya antar kamu pulang.”
Aku bingung harus bagaimana. Terima atau tidak tawarannya?
Aku masih bergeming saat Arjuna menawarkan bantuan. Pria itu terlihat mengoperasikan ponselnya. Sementara aku masih duduk bersimpuh di atas pavingblock.Tidak ingin suasana makin canggung, aku kembali mengesot, menahan sakit agar bisa sampai di bangku yang dari tadi aku incar. Biarlah aku menunggu sampai Mas Aqsal datang menjemput. Semoga dia tak sejahat itu meninggalkanku sendirian di sini.Baru sedikit digerakkan, kakiku terasa makin sakit. Aku mendesis. “Auh.”“Hey, cukup diam, jangan bergerak. Itu hanya akan membuat kakimu tambah parah!” teriak Arjun saat dia selesai dengan ponselnya. Dia mendekat dan berjongkok di hadapanku.Aku pun menghentikan aksi. Ya Allah, aku malu sudah menangis di depan orang asing.“Jangan takut sama saya. Saya tahu batasan. Tunggu sebentar lagi. Saya sedang menyuruh seseorang membawa mobil kemari. Kita obati kakimu,” lanjutnya.“Jangan, Pak. Nanti merepotkan. Bapak ke dalam saja karena acara pasti belum selesai.”Pria itu terkekeh. “Siapa namamu tadi? Bi
Aku meremas tangan untuk mengurai gugup. Tak mungkin aku berlari dalam kondisi seperti ini. Sungguh, aku takut Arjuna akan melakukan hal buruk kepadaku.“Niha,” panggilnya. Kali ini lebih lembut.“I-iya.”“Maaf tidak jadi membawamu ke rumah sakit. Ini rumah tukang urut langganan papa saya. Kemarin adik saya cedera bahu karena jatuh dari motor, saya disuruh antar ke sini. Katanya, adik saya sudah kedua kalinya datang. Dan katanya cepat pulih sakitnya. Di sini insyaallah lebih cepat sembuh tanpa operasi kalau cederanya tidak berat. Kalau kakimu, sepertinya masih bisa diatasi di sini,” jelasnya.Kuberanikan diri menatap ke arahnya. Dia tersenyum dan mengangguk. “Percayalah sama saya. Saya tidak akan macam-macam. Kalau sampai macam-macam laporkan ke Pak Hendrawan tadi. Atau lapor polisi. Silakan. Ini kartu nama saya.”Pria itu mengeluarkan dompet, lantas memberikan satu kartu kepadaku.Arjuna Dwino Hendrawan, 28 tahun. Manajer operasional Hotel Grand Himalaya dan beberapa nama hotel lain.
“Niha, turunlah.” Suara seseorang itu akhirnya membuatku menoleh. Ada Arjuna yang berdiri di belakangku.“P-pak Arjuna.” Aku tergagap.“Pak Heru bohong sama saya?” Arjuna menatap satpam tajam.“I-itu, Tuan–““Saya yang memintanya berbohong. Jadi, jangan salahkan beliau, jangan hukum beliau. Saya minta maaf. Salahkan saja saya. Saya hanya tidak mau terus merepotkan Pak Arjuna.” Aku memotong ucapan Pak Heru.“Saya maafkan asal turunlah dari motor. Saya yang akan mengantarmu pulang.”Aku pun menurut. Arjuna memberikan uang kepada pengemudi ojek. Aku makin merasa tidak enak.“Sebagai hukuman karena kamu sudah bohong, ayo saya antar. Saya tidak mau mendengar alasan apa pun lagi.”Aku bernapas panjang, lalu mengangguk. Terpaksa kuikuti langkahnya menuju mobil dan masuk."Pak, tolong jangan pecat Pak Heru, ya. Beliau bohong karena saya yang meminta.""Tergantung.""Hah? Maksudnya?""Asal kamu kasih nomor ponsel kamu."Aku pun akhirnya mengangguk dan mengeluarkan ponsel dari tas. Kembali pons
“Astagfirullah, Asti. Sepertinya ketinggalan di mobil pria tadi!” pekikku.Antara sadar dan tidak, antara ingat dan tidak, aku merasa ponsel belum aku cabut.“Pria tadi kayaknya tampan, Ha. Hayo, siapa tahu dia jodoh lu selanjutnya.”Aku memukul pelan lengan Asti. “Sembarangan kalo ngomong.”“Kenalin, dong, pan kapan. Siapa tahu dia cocok sama gue kalo lu nggak mau.”“Eling, Ti. Katanya lu udah punya cowok? Cowok lu, tuh, yang harus lu kenalin sama gue.”Ah, aku sampai lupa dengan kesedihanku gara-gara ponsel.Asti beberapa kali cerita kalau dia punya pacar. Namun, sejauh ini aku belum bertemu dan berkenalan.“Jangan dulu. Tunggu sampai dia lamar gue dan kami tunangan. Takut doi naksir sama lu. Karena jujur, gue kalah tampang sama lu.”“Heh, ngomong apaan lu ini! Gini-gini gue udah nikah meski pernikahan gue nggak normal. Udah, pokoknya gue tunggu kapan lu bakal ngenalin ke gue.”“Ya. Udah nikah, tapi belum kawin. Ngenes banget sumpah nasib lu.”Kami tergelak.“Siapa namanya pria tadi
“Tidak boleh pacaran, apalagi di tempat umum seperti ini. Nggak malu kamu! Ayo ikut Ustaz.” Pria itu mencekal pergelangan tangan Nizam.“Ini kakak kandung saya, Ustaz. Kami tidak pacaran.”Pria itu terlihat melotot dan gugup. Sepertinya dia terkejut. “A-apa? Kakak?”“Iya.”“Dia ustaz baru, ya, Zam? Kok, Mbak baru lihat?” bisikku pada remaja yang memakai baju koko warna navy ini. Nizam mengangguk.“Maaf, Ustaz. Apa ada peraturan yang kami langgar? Apa peraturan lama sudah berubah? Bahwa adik kakak dilarang berduaan? Seperti itu?” tanyaku. Dia tampak gelagapan. Ah, lucu sekali melihat dia salah tingkah.Wajahku dan Nizam memang tidak ada kemiripan. Tinggi Nizam pun melebihi tinggi badanku. Jadi, tidak sekali dua kali orang menganggap kami pasangan kekasih padahal kami ini mahram.“Ya sudah, saya minta maaf karena sudah salah sangka. Lain kali, Zam. Jangan bersikap berlebihan. Jika memang kalian ini saudara, tapi kedekatan dan keakraban kalian tadi bisa menimbulkan salah paham.”“Baik, U
“Aqsal, tolong jangan marahi saudaramu seperti itu. Dan Niha, maaf. Semalam kamu lupa mengambil ponselmu. Saya pun lupa karena kita keasyikan kayaknya,” ucap Arjuna.Mati aku! Pasti Mas Aqsal berpikir yang bukan-bukan. Kulirik suamiku itu. Rahangnya tampak mengeras, matanya membola.“Niha, ini ponselmu. Oh, ya, Sal. Saya semalam bertanya banyak hal ke Niha. Katanya dia tinggal di sini. Lantas saya meminta alamat rumah ini ke papa dan diberikan. Maaf baru mengembalikan sekarang. Tadi pagi saya masih sibuk.” Arjuna tersenyum sopan.Ingin rasanya aku mengecil menjadi semut agar bisa melarikan diri dari. Kedatangan Arjuna membuat situasi antara aku dan Mas Aqsal makin memanas.“Aqsal, saya ingin–““Kamu bayar berapa istri saya semalam?” potong Mas Aqsal pada ucapan Arjuna.Arjuna yang tak tahu menahu hanya menggeleng. Oh, tumben pria itu menyebutku istri.“Is-tri? Maksudnya?” Arjuna balik bertanya dengan alis bertaut.“Niha istri saya, breng*ek!”“A-apa? Bukannya semalam katanya dia–““Ap
“Ambil handuk sama baju di kamar Mbak Niha, Si.” Suara itu lamat-lamat terdengar. Kesadaranku perlahan terkumpul. Telinga ini sedikit demi sedikit sudah mampu merekam suara sayup-sayup orang bercakap-cakap. Namun, mata rasanya masih berat untuk dibuka, juga tubuh yang terasa lemas. “Sadarlah. Buka matamu, Mbak ” Suara seseorang terdengar lagi. Terasa sebuah tangan membelai kening dan menepuk pelan pipiku. Dari yang tertangkap telinga, itu seperti suara Mbak Sa. “Sasi lama amat, sih.” Suara itu makin jelas, tetapi belum ada kekuatan sekadar membuka mata atau menggerakkan anggota badan. “Ini, Mbak.” Suara lain terdengar. “Ayo bantu mengeringkan tubuh Mbak Niha. Habis itu kita pakaikan pakaian.” Dua suara wanita berbeda itu terdengar lagi. Tubuhku yang kedinginan mulai merasakan hangat. “Untung tadi ketahuan, Mbak. Kalo enggak, aku nggak bisa bayangin gimana keadaan Mbak Niha.” Aku mencoba menggetarkan pita suara. Sekali, dua kali, tidak berhasil. Saat salah satu titik di tubuhku
“Bahaya kalau robekannya parah dan sampai terjadi pendarahan hebat. Ada kasus yang dulu pernah viral. Pengantin baru, sampai transfusi darah. Tapi, kalau pendarahan tidak banyak dan segera ditangani, tidak perlu khawatir. Penting juga komunikasi antar suami istri mengenai teknik berhubungan agar aman dan tidak menyakiti pasangan.”“Apa kasus saya ini, saya bisa subur dan suatu saat bisa hamil?”“Bisa, insyaallah bisa. Robekan tidak sampai mempengaruhi rahim. Rahim Ibu normal dan sehat, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.”Aku mengangguk. “Terima kasih, Dok.”Dokter itu lalu menyudahi pemeriksaan, lalu meresepkan obat.Aku lega. Setidaknya aku masih normal dan suatu saat rahimku bisa menerima kehadiran anak. Semoga. Entah bersama Mas Aqsal atau suami lain. Entahlah nanti akan seperti apa takdirku.**Dua hari sudah aku berada di rumah sakit. Selama itu pula, sekali pun Mas Aqsal tidak pernah mengunjungiku. Hanya Asti dan Mbak Sa yang datang saat pekerjaan mereka selesai. Sisanya, aku b