Share

Bab 3

"Oh ya, maksudnya saya mau ke dapur, kamu itu pembantu, jangan banyak tanya deh." Aku coba bertindak tegas meskipun dada ini bergetar kala bicara dengan mata-mata Mas Firman.

"Hem, tapi, Non, ah sudahlah, saya mau siapin obat buat Nyonya Giska," timpal Mbok Tuti.

Aku terdiam, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Sebab harta sebagian sudah atas nama Mas Firman. 

Akhirnya aku ke kamar dan mengunci pintu. Berharap obat yang kugenggam dapat menyelidiki semua. Namun, aku kepikiran Mbak Giska yang tengah diberikan obat oleh Mbok Tuti.

"Apa aku ke kamar Mbak Giska ya?" Di depan kaca rias aku bertanya pada diri sendiri. Kamar ini tempat biasa aku dan Mas Firman memadu kasih, rasanya jijik sekali setelah tahu bahwa ada wanita lain yang juga merasakan belaiannya.

Tiba-tiba telepon masuk dari orang tuaku. Dengan cepat aku pun mengangkat panggilan darinya.

"Halo, Mah."

"Nurma, apa kabar, Nak? Lalu Giska bagaimana kondisinya? Mama tiba-tiba kepikiran Giska." Aku tahu Mama ini sudah peka terhadap apa yang kami rasakan. Jadi tiba-tiba saja ia ingin menghubungiku dan menanyakan Mbak Giska.

"Nurma baik, Mbak Giska masih sama seperti dulu, barangkali Mama punya kenalan pengobatan alternatif atau medis di daerah Semarang, rekomendasikan ke aku dong, Mah." 

Aku duduk supaya lebih enak bicara dengan mama, kaki kanan diangkat dan kuletakkan di atas pangkal paha sebelah kiri.

"Apa Giska biar Mama yang rawat di Semarang? Rumah sakit di sini juga cukup recommended, gimana?" Usulan Mama sangat bagus, dengan begitu aku tidak perlu was-was saat berangkat ke kantor, sebab pembantu dan satpam di rumah adalah pengkhianat yang disewa oleh Mas Firman.

"Aku minta persetujuan pengacara dulu, kalau jadi, sore ini akan langsung berangkat," timpalku kemudian berpamitan pada Mama, sebab dadaku tak berhenti berdetak kencang, wajah Mbak Giska selalu bersemayam di dalam pikiran ini.

Setelah memastikan panggilan masuk dari mama, aku langsung ke kamar Mbak Giska kembali dan memastikan bahwa dirinya baik-baik saja. Namun, saat kubuka handle pintu, Mbok Tuti tengah memarahinya, aku terkejut sampai berlari menghampiri mereka.

"Mbok! Kenapa marah-marah ke Mbak Giska?" sentakku kesal sambil duduk di sebelahnya. Lalu membelai rambut Mbak Giska yang berantakan.

"Susah disuruh minum obatnya, Non," sahut Mbok Tuti.

"Jangan dipaksa, aku nggak mau ya kamu kasar padanya, awas kamu!" ancamku. "Sekarang pergi sana! Aku nggak mau dengar ya seorang pembantu memarahi majikannya," tambahku lagi. 

Terdengar jelas tadi Mbok Tuti kasar dan memaksa Mbak Giska untuk minum obat. Mbok Tuti pun pergi dengan menghentakkan kakinya seraya kesal.

Setelah itu, Mbak Giska menangis, dia menggunakan bahasa isyarat lagi saat bicara denganku. "Obat itu bukan obat untuk orang sakit," kata Mbak Giska, jari jemarinya menunjukkan isyarat yang mudah kupahami.

Aku keluarkan botol obat yang kutemukan di dalam laci. "Apa ini obat yang sebenarnya?" tanyaku padanya. 

Seketika itu juga Mbak Giska tersenyum semringah, matanya pun berbinar-binar. "Itu bukan obatku juga, tapi itu vitamin yang dikasih dokter." Mbak Giska memberikan isyarat yang kali ini membuatku bingung.

"Maksudnya, dokter itu nggak ngasih obat, tapi kasih vitamin?" tanyaku memastikan. Mbak Giska pun mengangguk.

"Kalau yang diberikan Mbok Tuti tadi obatnya bikin aku lemas, kalau dokter yang berikan, selalu vitamin, karena dokter itu disewa untuk pura-pura memeriksaku, dan memberikan vitamin saja, dia mau nolak permintaan Mas Firman, tapi diancam." Kali ini isyarat yang di layangkan dari sepuluh jari Mbak Giska sangat lama, tapi aku paham dengan maksudnya.

"Mbak, kalau begitu, sore ini juga Mbak Giska berangkat ke Semarang ya, supaya Mbok Tuti tidak cekokin Mbak Giska dengan obat-obatan yang palsu. Meskipun yang kupegang ini vitamin, tapi kelumpuhan dan bisu Mbak Giska tidak akan ada perubahan," jawabku dengan memberikan usulan.

"Karena yang sering diberikan Mbok Tuti itu obat yang membuat Mbak lemas, vitamin itu yang dari dokter, diberikan setelah Mbak diperiksa aja. Selebihnya ditukar Mbok Tuti." Mbak Giska menerangkan lagi dengan jari jemarinya.

Aku menghela napas, tidak ada jalan lain selain membawa Mbak Giska pergi dari sini, supaya aku lebih mudah mensiasati ubah kepemilikan surat-surat.

Aku raih telepon genggam, lalu menghubungi Mas Firman. Ini kulakukan dengan sengaja, supaya ia tidak curiga bahwa aku akan membawa Mbak Giska pergi.

"Halo, Mas," ucapku lebih dulu. 

"Ya, Sayang. Kamu jadi berangkat?" tanya Mas Firman.

"Gini, Mas, jadi mendadak jadwal pertemuan dengan klien itu dipecah jadi dua, apa kamu bisa wakilkan yang di Bali, Mas?" Aku sengaja memilihkan tempat Mas Firman yang jauh. Urusan klien yang belum ada, bisa diurus oleh Adnan nantinya.

"Wah, Bali ya? Mau deh, sekalian aku mau liburan, tiket gimana?" tanya Mas Firman.

"Nanti diurus Adnan."

"Jangan deh, biar aku aja ya yang beli tiket, Adnan suruh urus keberangkatan kamu aja, oke, Sayang?" 

Aku tahu betul maksud dan tujuannya. Ia pasti mau memboyong perempuan itu juga ke Bali.

Akhirnya telepon aku putus setelah Mas Firman menyetujui untuk ke Bali sore ini juga.

Baru saja menutup telepon, Mbok Tuti mengetuk pintu lagi. Aku menyuruhnya masuk, ternyata dia tengah bersama dokter yang biasa memeriksa Mbak Giska. Mbok Tuti kembali ke dapur dan menutup teleponnya, sedangkan dokter yang berjenis kelamin laki-laki itu menghampiri, namanya Dokter Hans.

"Pagi, Dok. Seorang dokter yang mengikat janji bahwa akan memberikan pelayanan pada orang sakit, tapi ini apa? Malah hanya memberikan vitamin," celetukku dengan sengaja, membuat wajah dokter yang baru saja melangkah tercengang kaku.

"Nyonya Nurma sudah tahu?" tanyanya sambil meletakkan tasnya. Aku pun mengangguk pada Dokter Hans. "Maaf, Bu. Makanya saya tidak memberikan obat yang membahayakan pada Nyonya Giska, saya berikan vitamin," terangnya.

"Tapi kakak saya dikasih obat yang bikin tulang dan tubuh Mbak Giska semakin lemas, apa dokter tidak mengetahuinya juga?" cecarku. "Lantas yang dokter periksa selama ini apa? Kenapa tidak mengetahui bahwa kakak saya itu kondisinya semakin memburuk," hardikku sudah teramat kesal.

"Sa-saya sudah tahu, tapi diancam akan dicabut izin prakteknya oleh Tuan Firman," jawabnya sambil menunduk.

"Sekarang, kalau saya tuntut Anda gimana? Hah!" 

"Ja-jangan, Nyonya Nurma, tolong," lirihnya seraya memohon.

"Kalau begitu, ikuti kata-kata saya, dan ikuti semua rencana saya!" Gantian aku yang mengancamnya.

"Ba-baik, Nyonya, apa rencana Nyonya sekarang?" 

To be continue

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Ini dokternya penakut banget sih
goodnovel comment avatar
pengendaliair
haduh dkter kok engk ada wibawax, bs diancam dn diajak krjasama sana sini
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status