"Oh ya, maksudnya saya mau ke dapur, kamu itu pembantu, jangan banyak tanya deh." Aku coba bertindak tegas meskipun dada ini bergetar kala bicara dengan mata-mata Mas Firman.
"Hem, tapi, Non, ah sudahlah, saya mau siapin obat buat Nyonya Giska," timpal Mbok Tuti.
Aku terdiam, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Sebab harta sebagian sudah atas nama Mas Firman.
Akhirnya aku ke kamar dan mengunci pintu. Berharap obat yang kugenggam dapat menyelidiki semua. Namun, aku kepikiran Mbak Giska yang tengah diberikan obat oleh Mbok Tuti.
"Apa aku ke kamar Mbak Giska ya?" Di depan kaca rias aku bertanya pada diri sendiri. Kamar ini tempat biasa aku dan Mas Firman memadu kasih, rasanya jijik sekali setelah tahu bahwa ada wanita lain yang juga merasakan belaiannya.
Tiba-tiba telepon masuk dari orang tuaku. Dengan cepat aku pun mengangkat panggilan darinya.
"Halo, Mah."
"Nurma, apa kabar, Nak? Lalu Giska bagaimana kondisinya? Mama tiba-tiba kepikiran Giska." Aku tahu Mama ini sudah peka terhadap apa yang kami rasakan. Jadi tiba-tiba saja ia ingin menghubungiku dan menanyakan Mbak Giska.
"Nurma baik, Mbak Giska masih sama seperti dulu, barangkali Mama punya kenalan pengobatan alternatif atau medis di daerah Semarang, rekomendasikan ke aku dong, Mah."
Aku duduk supaya lebih enak bicara dengan mama, kaki kanan diangkat dan kuletakkan di atas pangkal paha sebelah kiri.
"Apa Giska biar Mama yang rawat di Semarang? Rumah sakit di sini juga cukup recommended, gimana?" Usulan Mama sangat bagus, dengan begitu aku tidak perlu was-was saat berangkat ke kantor, sebab pembantu dan satpam di rumah adalah pengkhianat yang disewa oleh Mas Firman.
"Aku minta persetujuan pengacara dulu, kalau jadi, sore ini akan langsung berangkat," timpalku kemudian berpamitan pada Mama, sebab dadaku tak berhenti berdetak kencang, wajah Mbak Giska selalu bersemayam di dalam pikiran ini.
Setelah memastikan panggilan masuk dari mama, aku langsung ke kamar Mbak Giska kembali dan memastikan bahwa dirinya baik-baik saja. Namun, saat kubuka handle pintu, Mbok Tuti tengah memarahinya, aku terkejut sampai berlari menghampiri mereka.
"Mbok! Kenapa marah-marah ke Mbak Giska?" sentakku kesal sambil duduk di sebelahnya. Lalu membelai rambut Mbak Giska yang berantakan.
"Susah disuruh minum obatnya, Non," sahut Mbok Tuti.
"Jangan dipaksa, aku nggak mau ya kamu kasar padanya, awas kamu!" ancamku. "Sekarang pergi sana! Aku nggak mau dengar ya seorang pembantu memarahi majikannya," tambahku lagi.
Terdengar jelas tadi Mbok Tuti kasar dan memaksa Mbak Giska untuk minum obat. Mbok Tuti pun pergi dengan menghentakkan kakinya seraya kesal.
Setelah itu, Mbak Giska menangis, dia menggunakan bahasa isyarat lagi saat bicara denganku. "Obat itu bukan obat untuk orang sakit," kata Mbak Giska, jari jemarinya menunjukkan isyarat yang mudah kupahami.
Aku keluarkan botol obat yang kutemukan di dalam laci. "Apa ini obat yang sebenarnya?" tanyaku padanya.
Seketika itu juga Mbak Giska tersenyum semringah, matanya pun berbinar-binar. "Itu bukan obatku juga, tapi itu vitamin yang dikasih dokter." Mbak Giska memberikan isyarat yang kali ini membuatku bingung.
"Maksudnya, dokter itu nggak ngasih obat, tapi kasih vitamin?" tanyaku memastikan. Mbak Giska pun mengangguk.
"Kalau yang diberikan Mbok Tuti tadi obatnya bikin aku lemas, kalau dokter yang berikan, selalu vitamin, karena dokter itu disewa untuk pura-pura memeriksaku, dan memberikan vitamin saja, dia mau nolak permintaan Mas Firman, tapi diancam." Kali ini isyarat yang di layangkan dari sepuluh jari Mbak Giska sangat lama, tapi aku paham dengan maksudnya.
"Mbak, kalau begitu, sore ini juga Mbak Giska berangkat ke Semarang ya, supaya Mbok Tuti tidak cekokin Mbak Giska dengan obat-obatan yang palsu. Meskipun yang kupegang ini vitamin, tapi kelumpuhan dan bisu Mbak Giska tidak akan ada perubahan," jawabku dengan memberikan usulan.
"Karena yang sering diberikan Mbok Tuti itu obat yang membuat Mbak lemas, vitamin itu yang dari dokter, diberikan setelah Mbak diperiksa aja. Selebihnya ditukar Mbok Tuti." Mbak Giska menerangkan lagi dengan jari jemarinya.
Aku menghela napas, tidak ada jalan lain selain membawa Mbak Giska pergi dari sini, supaya aku lebih mudah mensiasati ubah kepemilikan surat-surat.
Aku raih telepon genggam, lalu menghubungi Mas Firman. Ini kulakukan dengan sengaja, supaya ia tidak curiga bahwa aku akan membawa Mbak Giska pergi.
"Halo, Mas," ucapku lebih dulu.
"Ya, Sayang. Kamu jadi berangkat?" tanya Mas Firman.
"Gini, Mas, jadi mendadak jadwal pertemuan dengan klien itu dipecah jadi dua, apa kamu bisa wakilkan yang di Bali, Mas?" Aku sengaja memilihkan tempat Mas Firman yang jauh. Urusan klien yang belum ada, bisa diurus oleh Adnan nantinya.
"Wah, Bali ya? Mau deh, sekalian aku mau liburan, tiket gimana?" tanya Mas Firman.
"Nanti diurus Adnan."
"Jangan deh, biar aku aja ya yang beli tiket, Adnan suruh urus keberangkatan kamu aja, oke, Sayang?"
Aku tahu betul maksud dan tujuannya. Ia pasti mau memboyong perempuan itu juga ke Bali.
Akhirnya telepon aku putus setelah Mas Firman menyetujui untuk ke Bali sore ini juga.
Baru saja menutup telepon, Mbok Tuti mengetuk pintu lagi. Aku menyuruhnya masuk, ternyata dia tengah bersama dokter yang biasa memeriksa Mbak Giska. Mbok Tuti kembali ke dapur dan menutup teleponnya, sedangkan dokter yang berjenis kelamin laki-laki itu menghampiri, namanya Dokter Hans.
"Pagi, Dok. Seorang dokter yang mengikat janji bahwa akan memberikan pelayanan pada orang sakit, tapi ini apa? Malah hanya memberikan vitamin," celetukku dengan sengaja, membuat wajah dokter yang baru saja melangkah tercengang kaku.
"Nyonya Nurma sudah tahu?" tanyanya sambil meletakkan tasnya. Aku pun mengangguk pada Dokter Hans. "Maaf, Bu. Makanya saya tidak memberikan obat yang membahayakan pada Nyonya Giska, saya berikan vitamin," terangnya.
"Tapi kakak saya dikasih obat yang bikin tulang dan tubuh Mbak Giska semakin lemas, apa dokter tidak mengetahuinya juga?" cecarku. "Lantas yang dokter periksa selama ini apa? Kenapa tidak mengetahui bahwa kakak saya itu kondisinya semakin memburuk," hardikku sudah teramat kesal.
"Sa-saya sudah tahu, tapi diancam akan dicabut izin prakteknya oleh Tuan Firman," jawabnya sambil menunduk.
"Sekarang, kalau saya tuntut Anda gimana? Hah!"
"Ja-jangan, Nyonya Nurma, tolong," lirihnya seraya memohon.
"Kalau begitu, ikuti kata-kata saya, dan ikuti semua rencana saya!" Gantian aku yang mengancamnya.
"Ba-baik, Nyonya, apa rencana Nyonya sekarang?"
To be continue
"Jadi Helen adalah dalang kecelakaan ambulance. Percayalah, percakapan ini menjadi bukti bahwa ambulance mengalami rem blong itu dengan sengaja," ungkap Mbak Giska. Kini mata Eric menatap Mbak Giska sambil menggelengkan kepalanya. Bukan hanya itu bibirnya terlihat menganga ketika Mbak Giska benar-benar mengungkapkan semuanya."Dugaanku benar, kita harus laporkan Helen," ucap Eric tidak sabaran."Kata Adnan jangan sekarang," jawab Mbak Giska.Kini kami berpikir untuk menyelidiki semua dengan cara kami sendiri. Heran dengan Helen yang sudah dibebaskan masih saja bertindak kriminal. Otaknya sudah tidak lagi dipakai, yang ada hanya cinta dan dendam."Kita nggak bisa diam aja, harus cepat menangkap Helen," ucap Eric kembali.Namun, tiba-tiba ponselku berdering. Ada telepon dari Adnan. Aku segera mengangkatnya."Nurma, ajak Bu Giska ke kantor polisi, aku sudah berhasil mengamankan pria yang tadi bertemu dengan Helen, tapi wanita itu masih dalam proses pencarian." Aku terkejut mendengarnya.
Kemudian turunlah orang yang berada di dalam mobil. Ternyata itu Eric, biasanya dia tak pernah menggunakan mobil yang sekarang berada di halaman rumah. Jadi kami tidak menyadari bahwa itu adalah Eric."Mobil yang biasa ke mana?" tanya Mbak Giska. Awal yang menurutku datar-datar saja. Padahal aku sangat menginginkan ada sesuatu yang terjadi di antara keduanya."Ini mobil kesayangan, jarang dipakai karena khawatir lecet," timpal Eric dengan satu candaan.Kami pun mengangguk seraya berbarengan."Mau ke mana?" tanya Eric.Kami saling beradu pandang. Aku khawatir Mbak Giska keceplosan bicara dengan Eric, dan jika ia tahu tentang rekaman itu, pasti sangat marah, sebab yang dicelakai oleh Helen adalah kekasihnya yang sebenarnya akan menjadi istri."Nggak, Ric, kami justru mau masuk, baru saja pulang dari ketemu Adnan," jawabku sekenanya. Di situ Eric terdiam, ia menatap kami berdua secara bergantian."Kenapa kok lihatnya seperti itu?" Mbak Giska mengibaskan kerudungnya ke arah wajah Eric."A
"Benar nih, kamu yakin?" Suara Helen membuatku penasaran dan mendekatkan ponsel ke telinga ini."Iya, Bu. Saya yakin sekali," ucap seorang laki-laki yang diduga adalah orang suruhan Helen."Sekarang ada tugas baru lagi untuk kamu, setelah berhasil membinasakan Giska, tenang aja, hidupmu terjamin, ingat ya caranya harus mulus seperti saat kamu memutus rem ambulance."Deg!Saat itu juga kami saling beradu pandang. Pesan pun muncul dari Adnan ketika aku tengah fokus mendengarkan.[Fix kan, ini sabotase. Jangan sampai hilang rekamannya.]Padahal jantung ini sudah sangat berdebar kencang, detakannya saling berkejaran saat mendengar penuturan Helen barusan."Saya akan sewa orang yang sama untuk hal ini, dan dengan cara yang sama pula." Ternyata laki-laki itu masih lanjut berbicara."Aku sangat acungkan jempol untuk kamu, keren pokoknya," ucap Helen. "Kamu boleh pergi, saya masih ingin di sini."Suara lalu lalang orang lewat pun terdengar dari penyadap suara itu. Kami masih dikirimkan oleh A
Aku ingat betul orang itu adalah laki-laki yang selalu mengintai kami di rumah sakit sewaktu di Jogjakarta. Mendengar mama dan Mbak Giska bertanya padaku aku dengan cepat meletakkan ponsel yang telah aku genggam."Adnan bilang, Helen tengah bertemu dengan seseorang, dan seseorang yang dimaksud Adnan adalah pria yang pernah mengintai kita sewaktu di rumah sakit Yogyakarta," ungkapku pada Mbak Giska."Loh kok bisa di Jakarta? Lagian preman itu bukankah sudah pernah ditangkap juga?" Mbak Giska ingat juga dengan laki-laki tersebut."Iya, orang itu kan juga dibebaskan karena laporan dicabut," ucapku."Terus ngapain mereka ada di sini lagi?" Mbak Giska mengernyitkan dahi."Sebentar, aku kirim pesan pada Adnan dulu," timpalku.Mereka mengangguk, kemudian aku segera menggulir ponsel ke kontak Adnan, dikarenakan ia sedang memantau Helen, jadi aku putuskan hanya dengan mengirim pesan padanya.[Orang itu bukankah orang kepercayaan Helen yang pernah tertangkap juga?] Aku mengetukkan jari seraya
"Ide bagus, tapi kita harus bicarakan ini pada Mbak Giska. Tapi bukankah polisi bilang waktu itu kecelakaan karena rem blong? Sopir juga meninggal dalam kecelakaan tersebut," ungkapku."Intinya kalau ada yang janggal pasti akan ada titik terang," balasku. "Sekarang mendingan kamu pulang," suruhku."Iya, jangan lupa selalu pikirkan juga masa depan, lamaran dariku cepat diterima," suruh Adnan.Aku menggelengkan kepala. Kemudian memutar badan lalu meninggalkan Adnan.Adnan memang ada benarnya juga. Sudah seharusnya aku memikirkan masa depan yang membuatku bahagia, namun terkadang kita butuh waktu untuk berpikir supaya tidak jatuh ke lubang yang sama.Aku memutuskan untuk masuk ke kamar. Ya, membersihkan badan yang sudah lengket itu caraku menghilangkan kepenatan.Aku mandi di bawah shower, gemericik air yang jatuh ke kepala membuatku lebih fresh. Setelah mandi, aku menggosok rambut yang basah. Kemudian berpakaian tidur karena sudah sangat lelah.Setelah itu, aku duduk sambil bersantai di
"Pasien kondisinya baik, boleh dibawa pulang, saya akan resepkan untuk matanya yang iritasi terkena pasir," ucap dokter membuat napasku kembali lega. "Terima kasih, Dok." Dengan antusias aku meraih tangan dokter dan mengucapkan terima kasih dengan berjabat tangan."Eh, yang cowok nggak boleh masuk ya, karena pasien tidak memakai hijab," cegah dokter menahan Eric yang sudah siap melangkah. "Kecuali Anda suaminya, dan menurut pasien, suaminya sudah meninggal," sambung dokter.Aku ingin tertawa ketika dokter mengatakan hal tersebut. Sebab, Eric kena mental sendiri karena ucapannya tadi."Dokter seneng becanda ya, tapi terima kasih sudah dengan cepat menangani Giska," tutur Eric.Kemudian, dokter itu pergi sambil menepuk pelan pundak Eric. Sementara Adnan, ia mengajaknya untuk menunggu di kursi tunggu. "Adnan, jangan lupa, pesan pakaian set hijab di online, pakai ojek, aku tunggu di dalam ya," pesanku. Ia pun mengangguk sambil mengeluarkan ponselnya.Aku melanjutkan langkah ke arah pint