Share

Bab 4

Aku melirik sebentar ke arah Mbak Giska, tapi dari tempatnya berbaring aku lihat dia menggerakkan tangannya. Lalu mengayunkan dan memberikan bahasa isyarat. "Jangan mudah percaya."

Aku paham sekarang, apa itu artinya dokter yang bersamaku saat ini pun pengkhianat? 

"Maaf, Dok. Memang Dokter Hans praktek di mana ya?" Bola mata dokter yang menangani Mbak Giska berputar seraya mencari jawaban.

"Saya, saya." Aku sampai geram nunggu jawabannya.

"Kenapa gugup? Bukankah tadi dokter bilang bahwa Mas Firman telah mengancam akan mencabut izin praktek? Memangnya seorang direktur utama perusahaan bisa ya?" sindirku kena telak dan membuat Dokter Hans terdiam.

Dokter itu menghela napas panjang, banyak kejanggalan yang terjadi selama ini, tapi sekarang satu persatu terkuak olehku. Ternyata semua memakai topeng saat berhadapan denganku, dan ketika aku ke luar kota, mereka lebih leluasa memainkan perannya.

"Saya akan laporkan ini pada pihak yang berwajib," ancamku sekali lagi.

"Jangan Nyonya, saya janji akan berpihak pada Nyonya Giska dan Nyonya Nurma, tolong saya," lirihnya lagi.

Hal apa yang bisa membuatku mempercayainya kalau bertahun-tahun sudah berani membohongiku?

"Jangan bilang pada Mas Firman kalau saya sudah mengetahuinya, itu saja tugas kamu, apa bisa?" Aku mengancamnya lagi. "Kalau Anda sampai bicara, maka akan saya tuntut karena telah membantu suami saya," tambahku lagi.

"I-iya, Nyonya, tapi sebenarnya saya ini bukan dokter," jawabnya sambil menunduk.

Aku mengernyitkan kening. Aneh saja dia punya perlengkapan dokter dari mana?

"Saya akan ceritakan, tapi saya mohon jangan libatkan saya dari kejadian tiga tahun silam," lirihnya lagi.

Aku menoleh ke arah Mbak Giska, dia menganggukkan kepalanya, lalu aku pun melakukan hal yang sama dengannya.

"Silakan kamu ceritakan apa yang kamu ketahui," suruhku.

Hening, saat itu Hans juga diam sejenak sambil terdengar menghela napas.

"Saya ini orang yang menabrak Nyonya Giska tiga tahun silam," terang Hans.

Aku meneliti gerak-gerik mulutnya, khawatir ia berbohong.

"Lantas kecelakaan itu juga direncanakan?" Aku memotong dia bercerita.

"Kecelakaan itu tidak direncanakan, semua terjadi memang karena musibah dan karena saya lalai, mengendalikan mobil saat menerima panggilan masuk, saat itu sopir Nyonya Giska meninggal dunia, dan Nyonya Giska sendiri mengalami lumpuh dan bisu karena benturan keras," terang Hans yang ternyata bukan seorang dokter.

Aku masih menyimak cerita darinya, menunggu dia bercerita penuh, terutama alasan menjadi dokter gadungan.

"Tuan Firman melaporkan kecelakaan ini, karena saya menghilangkan nyawa sopir dan mencelakai istrinya, tapi tiba-tiba dia berubah pikiran, entah angin apa saya dibebaskan. Saat itu kata-kata yang keluar dari mulut Tuan Firman adalah utang budi," terang Hans lagi.

"Lantas karena hal ini kamu mau disuruh jadi dokter gadungan? Kamu itu utang budi dengan Mbak Giska, bukan Mas Firman," cetusku kesal. Emosi yang sudah kutahan ternyata tidak bisa dibendung.

Gara-gara dokter gadungan, Mbak Giska jadi tidak ada perubahan kondisi kesehatannya. Padahal jika ia ditangani dan terapi, kemungkinan besar bisa sembuh bisu juga lumpuhnya. Sekarang, sudah tiga tahun, apa masih ada peluang untuk kesembuhan?

Aku menatap wajah sendu Mbak Giska, rasa sakit pun teriris mengingat jasanya terhadapku sungguh luar biasa.

"Tapi, Nyonya, awalnya kan Nyonya Giska ditangani oleh Dokter ahli, dan saya juga kan hanya berikan vitamin, karena nggak berani," ungkap Hans.

"Ya, kamu nggak berani, selama ini Mbok Tuti lah yang berani berikan obat yang membuat Mbak Giska terkapar lemah," timpalku dengan posisi kedua tangan di atas dada.

"Saya mohon maaf, Nyonya, ini semua saya lakukan supaya tidak dipenjara. Tapi, jujur saja saya simpatik dengan Nyonya Giska, beliau begitu tegar menghadapi hidup ini, rela dimadu dan tinggal satu atap dengan madunya," tutur Hans.

Mbak Giska memang wanita berhati malaikat, aku pun sangat mengagumi sosoknya. Bagiku, dia adalah kakak terbaik.

Kami tengah berbicara dengan serius, tapi kedengaran deru mobil terparkir di halaman depan.

"Kamu tetap bersandiwara ya,aku yakin itu Mas Firman yang mau ambil bajunya di kamarku," ucapku sambil bersiap-siap untuk tidak bicara lagi mengenai masa lalu.

Selang beberapa menit kemudian, Mas Firman masuk dengan membuka handle pintu.

"Kamu di sini, Sayang? Kok nggak siap-siap?" Mas Firman melangkah ke arah tempat kami berdua, tangannya membawa koper yang sudah berisikan baju. Ia mencium kening Mbak Giska, lalu mengulurkan tangannya untuk aku kecup juga. 

"Kamu sudah siapin baju? Kok bisa secepat itu?" Aku berpura-pura heran padanya.

"Tadi sudah telepon Mbok Tuti," jawabnya.

"Kenapa nggak telepon aku? Kan aku istrimu," timpalku lagi.

"Kamu kan lagi sibuk urus Giska, jadi aku takut ganggu," jawab Mas Firman. "Dok, bagaimana istri saya? Dia tadi nggak mau minum obat kata Mbok Tuti, tolong paksa ya, Dok. Saya ada tugas ke Bali," tambahnya.

Hans mengangguk sambil tersenyum. Ia sudah memainkan perannya.

Setelah itu, Mas Firman bergegas pergi, dia pamit dengan wajah yang semringah. Jelas bahagia, dia ke Bali dengan wanita selingkuhannya.

"Saya pamit, Nyonya, saya janji akan merahasiakan ini," ucapnya sebelum beranjak pergi. 

"Tunggu sebentar, ingat ya, kalau semua terbongkar, itu artinya kamu yang buka mulut," ancamku.

Setelah semua pergi meninggalkan kamar, aku dan Mbak Giska musyawarah kembali. Namun, aku masih kepikiran rencana awal yang mau membawa Mbak Giska ke Semarang, khawatir Mbok Tuti mengadukan hal ini pada bos-nya. 

"Mbak, tadinya aku mau ajak Mbak Giska ke Semarang, tapi khawatir Mbok Tuti tahu," ucapku. "Bagaimana kalau mamaku di sini untuk menjaga Mbak Giska di saat aku urus masalah kantor dan surat-surat yang akan dipindah alih," ungkapku sambil menumpuk tangan Mbak Giska di atas telapak tangan ini.

Dia mengangguk dengan disertai senyuman. Lalu mengayunkan tangannya lagi. "Adnan suruh carikan dokter untukku, tolong aku, Nurma. Mbak kepingin sembuh."

Aku pun tersenyum mendengar antusias Mbak Giska yang ingin sembuh.

"Insyaallah, Mbak Giska akan sembuh, kita akan balas semuanya berdua, secepatnya akan ada pelajaran yang pedih untuk Mas Firman dan gundiknya," paparku dengan menggunakan bahasa isyarat.

Telepon genggamku berdering, nama Adnan yang terlihat di layar ponsel.

"Halo, Bu," ucap Adnan lebih dulu.

"Kata Pak Firman, Ibu mau ke luar kota, apa benar, Bu?" tanyanya.

"Kalau Bapak sudah tiba di Bali, tolong informasikan padanya bahwa klien membatalkan pertemuan denganku ya, dan jangan lupa kamu siapkan klien palsu di Bali, nanti Pak Firman curiga kalau semua ini rekayasa," pesanku pada Adnan. "Oh ya, satu lagi, tolong carikan dokter terbaik yang bisa ke rumah, berapa pun akan saya bayar," tambahku. 

"Baik, Bu, saya akan cari yang direkomendasikan," ucap Adnan.

"Satu lagi, kamu hubungi pengacara untuk urus semua harta kepemilikan Bu Giska yang dibalik nama oleh Pak Firman, tolong dengan segera diurus dan dikembalikan seperti sediakala, ingat ya, Adnan, tanpa sepengetahuan Pak Firman." Aku bicara dengan penuh penekanan.

Telepon pun terputus, setelah itu aku hubungi mama untuk membatalkan keberangkatan ke Semarang dan meminta beliau yang ke sini membantuku.

Mama setuju dengan apa yang menjadi keputusanku. Ia akan segera berangkat ke rumah ini esok hari.

'Setidaknya, kecelakaan terjadi bukan karena sabotase Mas Firman, mungkin dia tergoda wanita lain dan dipengaruhi oleh wanita itu,' batinku bicara dalam hati di sebelah Mbak Giska.

Aku keluar kamar sebentar, ingin melihat kerjaan Mbok Tuti. Ternyata ia tidak ada di dapur dan kamarnya, aku penasaran dengannya lalu segera mencari di mana keberadaan Mbok Tuti.

Namun, tiba-tiba suara ponsel terdengar. Aku melihat telepon genggam Mbok Tuti tertinggal di atas lemari es, ada panggilan masuk dari Mas Firman, tapi sudah keburu mati karena aku tak berani mengangkatnya.

Kemudian, disusul dengan pesan chat dikirim oleh Mas Firman. Aku sempat membacanya dari layar jendela.

[Kalau bisa jangan kasih Giska makan, selama saya dan Nurma berada di luar kota. Biar cepat mati!]

Aku terkejut dengan pesan yang dikirim olehnya. Setega itu Mas Firman pada Mbak Giska? Astaga, aku mengelus-elus dada saat tak sengaja membaca pesannya.

Bersambung 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Jahat banget firman
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status