"Jadi Helen adalah dalang kecelakaan ambulance. Percayalah, percakapan ini menjadi bukti bahwa ambulance mengalami rem blong itu dengan sengaja," ungkap Mbak Giska. Kini mata Eric menatap Mbak Giska sambil menggelengkan kepalanya. Bukan hanya itu bibirnya terlihat menganga ketika Mbak Giska benar-benar mengungkapkan semuanya."Dugaanku benar, kita harus laporkan Helen," ucap Eric tidak sabaran."Kata Adnan jangan sekarang," jawab Mbak Giska.Kini kami berpikir untuk menyelidiki semua dengan cara kami sendiri. Heran dengan Helen yang sudah dibebaskan masih saja bertindak kriminal. Otaknya sudah tidak lagi dipakai, yang ada hanya cinta dan dendam."Kita nggak bisa diam aja, harus cepat menangkap Helen," ucap Eric kembali.Namun, tiba-tiba ponselku berdering. Ada telepon dari Adnan. Aku segera mengangkatnya."Nurma, ajak Bu Giska ke kantor polisi, aku sudah berhasil mengamankan pria yang tadi bertemu dengan Helen, tapi wanita itu masih dalam proses pencarian." Aku terkejut mendengarnya.
"Jangan pergi, lelaki itu berkhianat." Mata Mbak Giska berembun saat aku hendak pamit ke luar kota mengurus bisnisnya seperti biasa. Dia bicara dengan bahasa isyarat karena istri pertama suamiku itu bisu. Bukan hanya itu, tubuhnya hanya mampu berada di atas ranjang, ia tak berdaya."Kenapa, Mbak? Khianat bagaimana?" tanyaku padanya. Namun, hanya uraian air mata yang jatuh membasahi pipi kakak maduku tersebut. Tiga tahun yang lalu aku memutuskan untuk menjadi madu. Kala itu permintaan secara tertulis hitam di atas putih yang menjadi saksi bahwa pernikahan kedua ini atas restu istri pertama suamiku.Giska, nama wanita yang begitu anggun dan baik hatinya, usianya terpaut lima tahun lebih tua dariku, dia 27 tahun, sedangkan aku 22 tahun. Namun, di usia mudanya, Mbak Giska Yolantika mengalami kelumpuhan dan bisu akibat kecelakaan yang terjadi tiga tahun lalu.Dia terus menggelengkan kepalanya, hal ini membuatku semakin berat meninggalkan orang yang telah kuanggap sebagai malaikat. Ya, kar
Aku kembali ke kamarnya Mbak Giska setelah yakin Mas Firman benar-benar pergi. Dengan pelan-pelan aku menutup pintu kamar, lalu memeluk saudara seiman."Mbak," lirihku sambil memeluk tubuhnya yang sudah tiga tahun berbaring.Aku tahu Mbak Giska lebih sakit, dia tidak bisa apa-apa dengan perlakuan suaminya, sedangkan aku, bisa membalas semua jika mau.Teringat ruangan ini penuh alat sadap yang Mas Firman pasang untuk memata-matai Mbak Giska, akhirnya aku cari dulu dan memusnahkan benda itu. Setelah yakin sudah tidak ada penyadap barulah aku mencari tahu bagaimana istri pertama suamiku ini bisa mengetahui kebusukan suami kami.Aku tahu letak penyadap itu, dulu tidak pernah curiga karena menganggap penyadapan yang dilakukan Mas Firman adalah sebagai bentuk mengawasi Mbak Giska, aku berpikiran ia khawatir pada istrinya. Namun, kenyataannya salah, suamiku begitu licin dan otaknya kotor.Kemudian, aku duduk kembali menatap wajah sendu Mbak Giska. Lalu dengan tangan bergetar aku gunakan baha
"Oh ya, maksudnya saya mau ke dapur, kamu itu pembantu, jangan banyak tanya deh." Aku coba bertindak tegas meskipun dada ini bergetar kala bicara dengan mata-mata Mas Firman."Hem, tapi, Non, ah sudahlah, saya mau siapin obat buat Nyonya Giska," timpal Mbok Tuti.Aku terdiam, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Sebab harta sebagian sudah atas nama Mas Firman. Akhirnya aku ke kamar dan mengunci pintu. Berharap obat yang kugenggam dapat menyelidiki semua. Namun, aku kepikiran Mbak Giska yang tengah diberikan obat oleh Mbok Tuti."Apa aku ke kamar Mbak Giska ya?" Di depan kaca rias aku bertanya pada diri sendiri. Kamar ini tempat biasa aku dan Mas Firman memadu kasih, rasanya jijik sekali setelah tahu bahwa ada wanita lain yang juga merasakan belaiannya.Tiba-tiba telepon masuk dari orang tuaku. Dengan cepat aku pun mengangkat panggilan darinya."Halo, Mah.""Nurma, apa kabar, Nak? Lalu Giska bagaimana kondisinya? Mama tiba-tiba kepikiran Giska." Aku tahu Mama ini sudah peka terhadap apa y
Aku melirik sebentar ke arah Mbak Giska, tapi dari tempatnya berbaring aku lihat dia menggerakkan tangannya. Lalu mengayunkan dan memberikan bahasa isyarat. "Jangan mudah percaya."Aku paham sekarang, apa itu artinya dokter yang bersamaku saat ini pun pengkhianat? "Maaf, Dok. Memang Dokter Hans praktek di mana ya?" Bola mata dokter yang menangani Mbak Giska berputar seraya mencari jawaban."Saya, saya." Aku sampai geram nunggu jawabannya."Kenapa gugup? Bukankah tadi dokter bilang bahwa Mas Firman telah mengancam akan mencabut izin praktek? Memangnya seorang direktur utama perusahaan bisa ya?" sindirku kena telak dan membuat Dokter Hans terdiam.Dokter itu menghela napas panjang, banyak kejanggalan yang terjadi selama ini, tapi sekarang satu persatu terkuak olehku. Ternyata semua memakai topeng saat berhadapan denganku, dan ketika aku ke luar kota, mereka lebih leluasa memainkan perannya."Saya akan laporkan ini pada pihak yang berwajib," ancamku sekali lagi."Jangan Nyonya, saya jan
Aku menghela napas kasar lalu meletakkan ponsel Mbok Tuti kembali. Kemudian, aku beranjak ke kamar Mbak Giska. Kaki ini melangkah begitu cepat, aku ingin sekali memeluk raga Mbak Giska, seorang kakak madu yang sangat baik tapi dikhianati oleh suaminya. Kubuka pintu lebar-lebar lalu mengayunkan kaki ini dengan setengah berlari. "Mbak, kamu akan baik-baik saja, aku akan jamin itu semua, sebagaimana dulu kau telah menjamin orang tuaku akan kembali pulang ke rumah dengan sehat," pungkasku di hadapan wanita bisu dan tak berdaya itu. Aku menoleh ke arahnya, mata Mbak Giska berkaca-kaca seolah-olah ingin mengutarakan semua isi hatinya. Namun, ketidakberdayaan membuat Mbak Giska hanya mampu terdiam selama ini. "Kenapa baru terungkap sekarang, Mbak? Aku terlalu sibuk urus kantor sehingga melupakan kondisimu, maafkan aku yang tidak mengetahui bahwa dirimu telah dikelilingi orang-orang jahat, pengkhianat bermuka dua!" umpatku kesal. Mungkin karena Mas Firman berkhianat jadi sesakit ini yan
"Tenang, Bu, kalau menurut saya mereka takkan melukai Mbak Giska secara terang-terangan. Kalau memang iya, pasti sudah dilakukan sejak dulu. Tujuan Pak Firman kan harta, jadi tidak mungkin berbuat hal bodoh," sambung Adnan. Ucapannya membuatku sedikit tenang, tarikan napas pun aku hembuskan karena sekarang tidak lagi terlalu cemas. Hati kecilku mengatakan bahwa mamaku takkan membiarkan orang lain melukai orang yang telah menyelamatkan keluarga kami dulunya. Setibanya di rumah, aku langsung menerobos ke dalam. Teriakan yang aku lontarkan membuat Mbok Tuti menghampiriku dengan tergesa-gesa. "Kenapa pulang, Non? Teriak-teriak pula!" Aku menghentikan langkah lalu menggigit bibir sendiri seraya geram dengan tingkah seorang pembantu bak majikan. "Bisa sopan nggak bicara dengan majikan? Hah!" Mataku membulat dengan dagu sedikit terangkat. "Loh, majikan saya kan Pak Firman, bukankah Bu Nurma ini hanya pelakor?" Istri kedua itu belum tentu pelakor. Rasanya aku tidak terima dengan celoteh
Bab 7Aku menghela napas, lalu meraih ponsel Mbok Tuti. Sudah ada wajah Mas Firman di layar ponsel. "Nurma!" Mas Firman menyapa dengan nada tinggi. "Ya, ada apa, Mas?" "Aku dengar dari Mbok Tuti bahwa kamu dan Adnan membawa dokter baru, apa betul? Coba sorot handphone ini ke seluruh ruangan!" Dia mencurigai istri sendiri dan lebih percaya pada pembantu. Jelas itu terjadi, karena Mas Firman tengah bersandiwara. Akhirnya aku edarkan layar ponsel ke seluruh ruangan, lalu berhenti tepat di depan wajahnya Hans. Lalu aku memberikan isyarat suruh Hans bicara dengan cara menaikkan dagu. "Pak, ini saya Hans, maaf lupa bilang bawa teman ke sini, hanya mampir kok nggak ada keperluan lain," jawab Hans sebagai dokter yang dibayar Mas Firman untuk tetap melakukan segala perintahnya. "Jangan bohong ya, saya tunggu kamu hubungi ke nomor saya sore ini juga," suruh Mas Firman. Kemudian, dia kembali bicara denganku. Wajah ini masih tegang, tapi berusaha santai. "Ada lagi yang ingin kamu tanyakan