Aku kembali ke kamarnya Mbak Giska setelah yakin Mas Firman benar-benar pergi. Dengan pelan-pelan aku menutup pintu kamar, lalu memeluk saudara seiman.
"Mbak," lirihku sambil memeluk tubuhnya yang sudah tiga tahun berbaring.
Aku tahu Mbak Giska lebih sakit, dia tidak bisa apa-apa dengan perlakuan suaminya, sedangkan aku, bisa membalas semua jika mau.
Teringat ruangan ini penuh alat sadap yang Mas Firman pasang untuk memata-matai Mbak Giska, akhirnya aku cari dulu dan memusnahkan benda itu. Setelah yakin sudah tidak ada penyadap barulah aku mencari tahu bagaimana istri pertama suamiku ini bisa mengetahui kebusukan suami kami.
Aku tahu letak penyadap itu, dulu tidak pernah curiga karena menganggap penyadapan yang dilakukan Mas Firman adalah sebagai bentuk mengawasi Mbak Giska, aku berpikiran ia khawatir pada istrinya. Namun, kenyataannya salah, suamiku begitu licin dan otaknya kotor.
Kemudian, aku duduk kembali menatap wajah sendu Mbak Giska. Lalu dengan tangan bergetar aku gunakan bahasa isyarat.
"Mbak, sejak kapan Mbak Giska tahu hal ini?"
Mbak Giska mengangkat tangannya, jarinya digerakkan dengan gemulai. Jujur saja hatiku menjerit menyaksikan ini semua, istri pertama yang begitu ikhlas dimadu kini merasakan pengkhianatan suaminya.
"Mbak, sudah tahu sejak setahun lalu, tapi diam. Lalu Mbok Lastri mengetahuinya, dan dipecat." Mata Mbak Giska sudah terlalu sembab menceritakan ini semua di hadapanku.
"Satpam juga? Berati dipecat bukan karena melakukan kesalahan?" Aku bicara tanpa bahasa isyarat dan cukup keras. Namun, jari telunjuk Mbak Giska melarang, ia memintaku untuk tahan emosi.
"Kamu tolong aku, ya, jangan ke luar kota lagi, bilang sama Adnan, biar dia aja yang urus perusahaan, kamu urus surat-surat yang sudah diambil alih oleh Mas Firman," perintah Mbak Giska.
"Iya, aku akan bantu Mbak Giska sebagaimana dulu Mbak telah membantu keluargaku," jawabku.
Kemudian, Mbak Giska mengayunkan tangannya kembali, ia mengatakan satu hal lagi.
"Satu lagi, Mbak minta ganti dokter. Sepertinya ada yang aneh dengan kondisi kesehatan Mbak ini, menurut dokter yang pertama kali nangani Mbak dulu, kelumpuhan ini bukan permanen, tapi kenapa tiap kali minum obat Mbak hanya bisa tidur dan tidur," terang Mbak Giska, pernyataannya membuatku semakin curiga pada Mas Firman.
"Aku harus cari partner untuk melakukan pembongkaran sifat asli Mas Firman, Mbak. Nggak bisa dibiarkan ini," timpalku dengan bahasa isyarat yang memang kupelajari semenjak menandatangani kontrak pranikah dengan Mas Firman.
Mbak Giska menyunggingkan senyuman, tangannya membelai pipi ini seraya mengucapkan terima kasih. Padahal aku belum melakukan apa-apa.
Aku pamit keluar dari kamar, dan mencoba cari tahu kamar yang berada di ruang bawah tanah itu. Namun, aku lupa belum menduplikasi kuncinya.
'Argh, belum kuduplikat kuncinya,' batinku kesal sambil menggigit jari telunjuk.
Kemudian, aku melihat Mbok Tuti tengah melangkah sembunyi-sembunyi, wajahnya celingukan tapi kakinya menuju ruangan bawah tanah itu.
Aku ikuti dari belakang tanpa sepengetahuannya, kemudian melihat sebenarnya apa yang tengah ia lakukan?
Setelah tiba di depan pintu, Mbok Tuti mengeluarkan sebuah kunci dan masuk ke dalamnya. 'Ternyata dia punya kunci duplikat kamar bawah tanah?' batinku bertanya-tanya.
Hanya berselang beberapa detik kemudian, Mbok Tuti kembali lagi dan tiba-tiba telepon genggamnya berdering. Pintu ia tutup, tapi gara-gara angkat telepon, Mbok Tuti lupa mengunci dan mencabutnya kembali dari ruangan tersebut.
"Halo, Tuan, iya ini ponsel Nyonya Airin tertinggal dan sudah saya bawa ya, Tuan di mana?" Mbok Tuti terus melangkah sambil menerima telepon dari Mas Firman yang ternyata memerintahkan ambil ponsel yang tertinggal.
Setelah Mbok Tuti jalan keluar rumah, aku pun segera masuk ke dalam ruangan bawah tanah dengan disertai helaan napas. "Ternyata wanita itu bernama Airin, sialan ada tiga wanita di rumah ini, dan aku baru tahu hari ini," gerutuku ketika masuk ke dalam kamarnya, ruangan yang menurutku tidak terlalu sempit, dan yang Mas Firman bilang sumpek itu ternyata megah bagai kost an yang layak.
Aku melangkah dengan cepat ke arah kamar tidur, dan berantakan sekali memang, banyak pakaian dalam berserakan. Wanita itu jorok, dia tinggal di ruangan ini untuk enak-enak dengan suami orang.
Di kala meneliti ruangan, aku teringat terus wajah sendu Mbak Giska, tangisannya, tatapannya, hal itu yang membuatku ingin segera menggeledah tempat ini.
Pertama, aku tarik laci yang nomor satu. Isinya hanya kertas kosong dan sejumlah uang tunai.
Kedua, aku buka laci yang sudah agak seret. Betapa terkejutnya banyak botol obat di dalamnya.
"Obat apa ini?" tanyaku sendirian sambil meneliti botol kemasan. "Kok kemasannya mirip obatnya Mbak Giska ya?" tambahku.
Akhirnya, karena botol tersebut sangat banyak, jadi aku ambil satu botol untuk kujadikan contoh pertanyaan nanti terhadap dokter langgananku. Siapa tahu bisa untuk menjadi bukti juga.
Sepertinya untuk sementara aku selidiki sampai sini dulu, sebab khawatir dikunci oleh Mbok Tuti setelah ia mengantarkan ponsel wanita itu. Aku yakin tadi Mas Firman belum jauh makanya minta diantarkan.
Segera aku keluar dari kamar rahasia suamiku, dan membawa segenggam bukti untuk diselidiki lebih lanjut.
"Huh, akhirnya aku bisa keluar dengan selamat," ucapku sendirian sambil mengelus dada ini. Kemudian melangkah ke kamarku berencana mau menyembunyikan obat tadi. Namun, Mbok Tuti masuk dari pintu.
"Eh, Non Nurma, dari mana mau ke mana, Non?" tanyanya menyelidik.
"Oh dari dapur, Mbok, abis minum. Ini mau ke kamar," jawabku sekenanya.
"Dapur? Bukankah dapur ada di sebelah Utara ya, Non? Tapi Non Nurma muncul dari arah Timur."
Bersambung
"Jadi Helen adalah dalang kecelakaan ambulance. Percayalah, percakapan ini menjadi bukti bahwa ambulance mengalami rem blong itu dengan sengaja," ungkap Mbak Giska. Kini mata Eric menatap Mbak Giska sambil menggelengkan kepalanya. Bukan hanya itu bibirnya terlihat menganga ketika Mbak Giska benar-benar mengungkapkan semuanya."Dugaanku benar, kita harus laporkan Helen," ucap Eric tidak sabaran."Kata Adnan jangan sekarang," jawab Mbak Giska.Kini kami berpikir untuk menyelidiki semua dengan cara kami sendiri. Heran dengan Helen yang sudah dibebaskan masih saja bertindak kriminal. Otaknya sudah tidak lagi dipakai, yang ada hanya cinta dan dendam."Kita nggak bisa diam aja, harus cepat menangkap Helen," ucap Eric kembali.Namun, tiba-tiba ponselku berdering. Ada telepon dari Adnan. Aku segera mengangkatnya."Nurma, ajak Bu Giska ke kantor polisi, aku sudah berhasil mengamankan pria yang tadi bertemu dengan Helen, tapi wanita itu masih dalam proses pencarian." Aku terkejut mendengarnya.
Kemudian turunlah orang yang berada di dalam mobil. Ternyata itu Eric, biasanya dia tak pernah menggunakan mobil yang sekarang berada di halaman rumah. Jadi kami tidak menyadari bahwa itu adalah Eric."Mobil yang biasa ke mana?" tanya Mbak Giska. Awal yang menurutku datar-datar saja. Padahal aku sangat menginginkan ada sesuatu yang terjadi di antara keduanya."Ini mobil kesayangan, jarang dipakai karena khawatir lecet," timpal Eric dengan satu candaan.Kami pun mengangguk seraya berbarengan."Mau ke mana?" tanya Eric.Kami saling beradu pandang. Aku khawatir Mbak Giska keceplosan bicara dengan Eric, dan jika ia tahu tentang rekaman itu, pasti sangat marah, sebab yang dicelakai oleh Helen adalah kekasihnya yang sebenarnya akan menjadi istri."Nggak, Ric, kami justru mau masuk, baru saja pulang dari ketemu Adnan," jawabku sekenanya. Di situ Eric terdiam, ia menatap kami berdua secara bergantian."Kenapa kok lihatnya seperti itu?" Mbak Giska mengibaskan kerudungnya ke arah wajah Eric."A
"Benar nih, kamu yakin?" Suara Helen membuatku penasaran dan mendekatkan ponsel ke telinga ini."Iya, Bu. Saya yakin sekali," ucap seorang laki-laki yang diduga adalah orang suruhan Helen."Sekarang ada tugas baru lagi untuk kamu, setelah berhasil membinasakan Giska, tenang aja, hidupmu terjamin, ingat ya caranya harus mulus seperti saat kamu memutus rem ambulance."Deg!Saat itu juga kami saling beradu pandang. Pesan pun muncul dari Adnan ketika aku tengah fokus mendengarkan.[Fix kan, ini sabotase. Jangan sampai hilang rekamannya.]Padahal jantung ini sudah sangat berdebar kencang, detakannya saling berkejaran saat mendengar penuturan Helen barusan."Saya akan sewa orang yang sama untuk hal ini, dan dengan cara yang sama pula." Ternyata laki-laki itu masih lanjut berbicara."Aku sangat acungkan jempol untuk kamu, keren pokoknya," ucap Helen. "Kamu boleh pergi, saya masih ingin di sini."Suara lalu lalang orang lewat pun terdengar dari penyadap suara itu. Kami masih dikirimkan oleh A
Aku ingat betul orang itu adalah laki-laki yang selalu mengintai kami di rumah sakit sewaktu di Jogjakarta. Mendengar mama dan Mbak Giska bertanya padaku aku dengan cepat meletakkan ponsel yang telah aku genggam."Adnan bilang, Helen tengah bertemu dengan seseorang, dan seseorang yang dimaksud Adnan adalah pria yang pernah mengintai kita sewaktu di rumah sakit Yogyakarta," ungkapku pada Mbak Giska."Loh kok bisa di Jakarta? Lagian preman itu bukankah sudah pernah ditangkap juga?" Mbak Giska ingat juga dengan laki-laki tersebut."Iya, orang itu kan juga dibebaskan karena laporan dicabut," ucapku."Terus ngapain mereka ada di sini lagi?" Mbak Giska mengernyitkan dahi."Sebentar, aku kirim pesan pada Adnan dulu," timpalku.Mereka mengangguk, kemudian aku segera menggulir ponsel ke kontak Adnan, dikarenakan ia sedang memantau Helen, jadi aku putuskan hanya dengan mengirim pesan padanya.[Orang itu bukankah orang kepercayaan Helen yang pernah tertangkap juga?] Aku mengetukkan jari seraya
"Ide bagus, tapi kita harus bicarakan ini pada Mbak Giska. Tapi bukankah polisi bilang waktu itu kecelakaan karena rem blong? Sopir juga meninggal dalam kecelakaan tersebut," ungkapku."Intinya kalau ada yang janggal pasti akan ada titik terang," balasku. "Sekarang mendingan kamu pulang," suruhku."Iya, jangan lupa selalu pikirkan juga masa depan, lamaran dariku cepat diterima," suruh Adnan.Aku menggelengkan kepala. Kemudian memutar badan lalu meninggalkan Adnan.Adnan memang ada benarnya juga. Sudah seharusnya aku memikirkan masa depan yang membuatku bahagia, namun terkadang kita butuh waktu untuk berpikir supaya tidak jatuh ke lubang yang sama.Aku memutuskan untuk masuk ke kamar. Ya, membersihkan badan yang sudah lengket itu caraku menghilangkan kepenatan.Aku mandi di bawah shower, gemericik air yang jatuh ke kepala membuatku lebih fresh. Setelah mandi, aku menggosok rambut yang basah. Kemudian berpakaian tidur karena sudah sangat lelah.Setelah itu, aku duduk sambil bersantai di
"Pasien kondisinya baik, boleh dibawa pulang, saya akan resepkan untuk matanya yang iritasi terkena pasir," ucap dokter membuat napasku kembali lega. "Terima kasih, Dok." Dengan antusias aku meraih tangan dokter dan mengucapkan terima kasih dengan berjabat tangan."Eh, yang cowok nggak boleh masuk ya, karena pasien tidak memakai hijab," cegah dokter menahan Eric yang sudah siap melangkah. "Kecuali Anda suaminya, dan menurut pasien, suaminya sudah meninggal," sambung dokter.Aku ingin tertawa ketika dokter mengatakan hal tersebut. Sebab, Eric kena mental sendiri karena ucapannya tadi."Dokter seneng becanda ya, tapi terima kasih sudah dengan cepat menangani Giska," tutur Eric.Kemudian, dokter itu pergi sambil menepuk pelan pundak Eric. Sementara Adnan, ia mengajaknya untuk menunggu di kursi tunggu. "Adnan, jangan lupa, pesan pakaian set hijab di online, pakai ojek, aku tunggu di dalam ya," pesanku. Ia pun mengangguk sambil mengeluarkan ponselnya.Aku melanjutkan langkah ke arah pint