Share

Bab 2

Aku kembali ke kamarnya Mbak Giska setelah yakin Mas Firman benar-benar pergi. Dengan pelan-pelan aku menutup pintu kamar, lalu memeluk saudara seiman.

"Mbak," lirihku sambil memeluk tubuhnya yang sudah tiga tahun berbaring.

Aku tahu Mbak Giska lebih sakit, dia tidak bisa apa-apa dengan perlakuan suaminya, sedangkan aku, bisa membalas semua jika mau.

Teringat ruangan ini penuh alat sadap yang Mas Firman pasang untuk memata-matai Mbak Giska, akhirnya aku cari dulu dan memusnahkan benda itu. Setelah yakin sudah tidak ada penyadap barulah aku mencari tahu bagaimana istri pertama suamiku ini bisa mengetahui kebusukan suami kami.

Aku tahu letak penyadap itu, dulu tidak pernah curiga karena menganggap penyadapan yang dilakukan Mas Firman adalah sebagai bentuk mengawasi Mbak Giska, aku berpikiran ia khawatir pada istrinya. Namun, kenyataannya salah, suamiku begitu licin dan otaknya kotor.

Kemudian, aku duduk kembali menatap wajah sendu Mbak Giska. Lalu dengan tangan bergetar aku gunakan bahasa isyarat.

"Mbak, sejak kapan Mbak Giska tahu hal ini?" 

Mbak Giska mengangkat tangannya, jarinya digerakkan dengan gemulai. Jujur saja hatiku menjerit menyaksikan ini semua, istri pertama yang begitu ikhlas dimadu kini merasakan pengkhianatan suaminya.

"Mbak, sudah tahu sejak setahun lalu, tapi diam. Lalu Mbok Lastri mengetahuinya, dan dipecat." Mata Mbak Giska sudah terlalu sembab menceritakan ini semua di hadapanku.

"Satpam juga? Berati dipecat bukan karena melakukan kesalahan?" Aku bicara tanpa bahasa isyarat dan cukup keras. Namun, jari telunjuk Mbak Giska melarang, ia memintaku untuk tahan emosi.

"Kamu tolong aku, ya, jangan ke luar kota lagi, bilang sama Adnan, biar dia aja yang urus perusahaan, kamu urus surat-surat yang sudah diambil alih oleh Mas Firman," perintah Mbak Giska.

"Iya, aku akan bantu Mbak Giska sebagaimana dulu Mbak telah membantu keluargaku," jawabku.

Kemudian, Mbak Giska mengayunkan tangannya kembali, ia mengatakan satu hal lagi.

"Satu lagi, Mbak minta ganti dokter. Sepertinya ada yang aneh dengan kondisi kesehatan Mbak ini, menurut dokter yang pertama kali nangani Mbak dulu, kelumpuhan ini bukan permanen, tapi kenapa tiap kali minum obat Mbak hanya bisa tidur dan tidur," terang Mbak Giska, pernyataannya membuatku semakin curiga pada Mas Firman.

"Aku harus cari partner untuk melakukan pembongkaran sifat asli Mas Firman, Mbak. Nggak bisa dibiarkan ini," timpalku dengan bahasa isyarat yang memang kupelajari semenjak menandatangani kontrak pranikah dengan Mas Firman.

Mbak Giska menyunggingkan senyuman, tangannya membelai pipi ini seraya mengucapkan terima kasih. Padahal aku belum melakukan apa-apa.

Aku pamit keluar dari kamar, dan mencoba cari tahu kamar yang berada di ruang bawah tanah itu. Namun, aku lupa belum menduplikasi kuncinya.

'Argh, belum kuduplikat kuncinya,' batinku kesal sambil menggigit jari telunjuk.

Kemudian, aku melihat Mbok Tuti tengah melangkah sembunyi-sembunyi, wajahnya celingukan tapi kakinya menuju ruangan bawah tanah itu.

Aku ikuti dari belakang tanpa sepengetahuannya, kemudian melihat sebenarnya apa yang tengah ia lakukan?

Setelah tiba di depan pintu, Mbok Tuti mengeluarkan sebuah kunci dan masuk ke dalamnya. 'Ternyata dia punya kunci duplikat kamar bawah tanah?' batinku bertanya-tanya.

Hanya berselang beberapa detik kemudian, Mbok Tuti kembali lagi dan tiba-tiba telepon genggamnya berdering. Pintu ia tutup, tapi gara-gara angkat telepon, Mbok Tuti lupa mengunci dan mencabutnya kembali dari ruangan tersebut.

"Halo, Tuan, iya ini ponsel Nyonya Airin tertinggal dan sudah saya bawa ya, Tuan di mana?" Mbok Tuti terus melangkah sambil menerima telepon dari Mas Firman yang ternyata memerintahkan ambil ponsel yang tertinggal.

Setelah Mbok Tuti jalan keluar rumah, aku pun segera masuk ke dalam ruangan bawah tanah dengan disertai helaan napas. "Ternyata wanita itu bernama Airin, sialan ada tiga wanita di rumah ini, dan aku baru tahu hari ini," gerutuku ketika masuk ke dalam kamarnya, ruangan yang menurutku tidak terlalu sempit, dan yang Mas Firman bilang sumpek itu ternyata megah bagai kost an yang layak.

Aku melangkah dengan cepat ke arah kamar tidur, dan berantakan sekali memang, banyak pakaian dalam berserakan. Wanita itu jorok, dia tinggal di ruangan ini untuk enak-enak dengan suami orang.

Di kala meneliti ruangan, aku teringat terus wajah sendu Mbak Giska, tangisannya, tatapannya, hal itu yang membuatku ingin segera menggeledah tempat ini.

Pertama, aku tarik laci yang nomor satu. Isinya hanya kertas kosong dan sejumlah uang tunai.

Kedua, aku buka laci yang sudah agak seret. Betapa terkejutnya banyak botol obat di dalamnya.

"Obat apa ini?" tanyaku sendirian sambil meneliti botol kemasan. "Kok kemasannya mirip obatnya Mbak Giska ya?" tambahku.

Akhirnya, karena botol tersebut sangat banyak, jadi aku ambil satu botol untuk kujadikan contoh pertanyaan nanti terhadap dokter langgananku. Siapa tahu bisa untuk menjadi bukti juga.

Sepertinya untuk sementara aku selidiki sampai sini dulu, sebab khawatir dikunci oleh Mbok Tuti setelah ia mengantarkan ponsel wanita itu. Aku yakin tadi Mas Firman belum jauh makanya minta diantarkan.

Segera aku keluar dari kamar rahasia suamiku, dan membawa segenggam bukti untuk diselidiki lebih lanjut.

"Huh, akhirnya aku bisa keluar dengan selamat," ucapku sendirian sambil mengelus dada ini. Kemudian melangkah ke kamarku berencana mau menyembunyikan obat tadi. Namun, Mbok Tuti masuk dari pintu.

"Eh, Non Nurma, dari mana mau ke mana, Non?" tanyanya menyelidik.

"Oh dari dapur, Mbok, abis minum. Ini mau ke kamar," jawabku sekenanya.

"Dapur? Bukankah dapur ada di sebelah Utara ya, Non? Tapi Non Nurma muncul dari arah Timur." 

Bersambung 

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Ani Indrati
good, sepertinya tambah seru juga ceritanya
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Seperti nya akan.makin seru ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status