Gila! Ini benar-benar gila!
Lillian berlari ke ruang kerja pribadinya, tanpa menghentikan apa yang telah dilakukan oleh suaminya itu.
Tunggu, tapi kenapa harus Lillian yang berlari menjauh? Bukankah sudah seharusnya wanita itu yang sewajarnya memiliki rasa malu karena telah tertangkap basah sedang bercinta dengan suami orang?
Sial! Tentu saja Lillian tidak bisa menyalahkan mereka berdua. Bagaimana pun juga, hubungan keduanya telah terjalin sebelum ia menikahi Jayde. Namun, hal gila seperti itu bukan lantas menjadi sesuatu yang bisa ia terima begitu saja, kan?
Cukup lama Lillian bergerak gelisah, mondar-mandir di dalam ruang kerjanya dengan menggigiti kuku jempol tangan kanannya. Otaknya sedang berpikir tentang hal apa yang harus ia lakukan setelah ini.
Ah! Andai saja tadi ia melempar vas bunga yang berada di atas meja makan pada wanita itu, akankah ia saat ini menjadi merasa lebih baik?
Pintu terbuka, Lillian berbalik dengan tatapan tajam yang menyorotkan ketidak-adilan. Jayde mendekat, sementara Lillian telah mengayunkan sebelah tangannya dengan kencang, tepat ke rahang tajam milik pria itu.
“Kau sadar apa yang telah kau lakukan!” seru Lillian, dengan napas terengah karena emosinya telah tumpah.
Jayde tak langsung menjawab. Bahkan ia tidak mengusap pipinya yang tampak memerah karena tamparan Lillian. Tatapannya menghunus, tak menunjukkan rasa bersalah sama sekali.
“Bukankah kau tahu kalau Rosalee adalah wanitaku?” Sorot tajam Jayde mendesak, hampir menyusutkan nyali Lillian yang sedang berapi-api. “Wajar jika aku bersenang-senang dengannya.”
“Tapi tidak di atas ranjang kita, Jay!”
Jayde mengangkat sebelah alisnya. Pertama kalinya ia melihat ledakan emosi dari Lillian. Sejak kapan wanita itu berani meninggikan suara padanya?
“Kau harus mulai membiasakannya, Lilly!” Jayde semakin mendekat, membuat Lillian mundur selangkah demi selangkah sampai pinggangnya menabrak pinggiran meja kerja. “Risiko karena kau telah memaksa untuk menikahiku, benar?”
Sialan! Lillian mulai bisa memandang ke arah yang seharusnya ia tuju sejak awal.
“Mari kita bercerai saja!” ucap Lillian tegas, tanpa ada keraguan lagi di dalam sorot matanya.
Kepala Jayde sedikit miring, dengan sebelah alis terangkat angkuh. Satu tangannya mencengkeram kasar rahang mungil Lillian dengan sorot mata tajam, menguliti setiap inci keberanian Lillian.
“Jangan mengucapkan hal yang tidak masuk akal, Sayang!” Cengkeraman Jayde semakin kuat, menciptakan rona merah di kulit putih Lillian. “
Tidak masuk akal ketika dua tahun yang lalu, wanita itu memohon-mohon agar ia mau menikahinya, dan sekarang dengan gampangnya meminta cerai? Setelah banyak waktu yang terbuang hanya untuk menghadapi kelakuannya?
“L-lepaskan, Jay!” rintih Lillian. Kedua tangannya berusaha menarik cengkeraman tangan Jayde. “Sakit…”
Gelap di dalam mata Jayde mulai memudar. Ia melepaskan tangannya, lalu kembali menatap tajam, memberi ancaman atas apa yang telah diucapkan oleh Lillian dan keluar dari ruangan sambil membanting pintu kencang.
Sementara Lillian, ia berusaha untuk bernapas dengan normal. Campuran emosi yang saat ini ia rasakan membuat dadanya sesak. Pandangannya tak lagi terlihat tunduk, saat ini ia tahu apa yang harus dilakukan pada Jayde.
“Aaarrrgh!!!” erangnya kencang.
Pertahanannya telah runtuh. Ia tak bisa lagi melihat masa depan dari pernikahan ini. Seperti tengah kerasukan, ia mulai mengambil apa pun barang yang ada di atas mejanya, dan membanting kencang ke lantai.
Semua hal yang ada di genggaman tangannya, ingin ia hancurkan semuanya. Termasuk rasa cintanya pada Jayde.
***
“Makanlah dulu, dari tadi makananmu belum kau sentuh,” ucap Noam, pada Lillian yang duduk di sebelahnya, dan sibuk dengan tab-nya. Pria itu mengintip sekilas, penasaran dengan apa yang sedang dilihat oleh Lillian. “Perceraian?”
Lillian sontak menyingkirkan tab-nya, dan tersenyum tipis pada Noam. “Kau tidak boleh mengintip, Noam.”
Garpu yang dipegang oleh Noam segera ditusukkan ke daging steak di atas piring milik Lillian. Berani bertaruh, wanita itu pasti tidak sadar jika Noam telah memotongkan daging miliknya, sesuai dengan ukuran suapan. “Buka mulutmu.”
Sedikit terkekeh, Lillian menyerongkan badannya untuk menerima suapan dari Noam. “Padahal, kau tidak perlu repot-repot seperti itu.”
“Kalau tidak begini, kemungkinan sampai satu jam lagi kau tidak akan menyentuh makananmu.” Noam kembali menusuk daging dengan garpu. “Katakan padaku, apa yang sedang aku pikirkan?”
Haruskah menceritakan semuanya pada Noam?
“Apa yang kau tangkap tadi saat mengintip tab-ku?” tanya Lillian, berusaha untuk tetap tenang.
“Perceraian.” Sorot mata Noam tampak khawatir. “Kau mulai memikirkannya?”
Ragu, Lillian menatap dalam pada Noam. “Aku akan menggugat cerai Jayde.”
Hampir tersedak, Noam langsung menarik satu helai tisu. Wajahnya jelas terkejut dengan satu kalimat mahal yang tiba-tiba keluar dari mulut Lillian. “Kau tidak sedang demam?”
Lillian terkekeh sambil meraih tangan Noam yang tiba-tiba saja telah mendarat di kening untuk memeriksa suhu tubuhnya. “Aku serius, Noam. Semalam mereka bercinta di kamar kami. Satu hal yang tidak bisa aku terima dengan logika mau pun perasaan.”
Sorot mata Noam melembut, tepukan halus mendarat di punggung tangan Lillian. “Menangislah kalau kau ingin menangis. Aku selalu di sini untuk mendukung semua keputusanmu, Lilly. Kau tahu itu, kan?”
“Aku tahu itu, Noam.” Lillian tersenyum tipis. “Dan aku sangat berterima kasih karena kau selalu ada untukku.”
“Mau kuantar untuk mencari pengacara yang handal dalam masalah ini?” ucap Noam, mencoba menawarkan bantuan.
“Terima kasih tawaranmu, Noam. Tapi aku akan menyelesaikannya sendiri.”
Itu adalah jawaban yang paling tepat. Tidak ada alasan bagi Lillian untuk merepotkan sahabatnya dalam urusan rumah tangganya.
“Baiklah, aku percaya kau akan bisa melalui dan mengatasinya. Tapi, kau selalu bisa untuk meminta bantuanku. Ok?”
Lillian mengangguk pelan, membiarkan Noam merengkuh tubuhnya ke dalam pelukan. Meskipun takdir benar-benar mempermainkan dirinya, tapi setidaknya semesta masih menyayanginya karena mengantarkan sosok Noam menjadi sahabat.
“Apakah tidak masalah jika kau memiliki sahabat berstatus janda?” tanya Lillian, tetap dalam pelukan Noam.
Noam tergelak mendengar ucapan Lillian. “Bahkan jika kau hanya memiliki satu telinga pun, aku akan tetap bangga menjadi sahabatmu.”
Keduanya tergelak, saling menyalurkan energi positif, tanpa menyadari ada sosok yang sangat dikenal sedang memerhatikan mereka dari jauh. Jayde, tanpa sengaja ada berada di dalam satu restoran yang sama dengan mereka.
Seringai dalam mengawali dengkusan yang lolos dari bibir Jayde. “Jadi, karena dia kau tiba-tiba mengajakku bercerai?”
Epilog.Langit pagi itu biru bersih, seperti kain sutra yang baru dibentangkan. Tak ada awan, tak ada angin kencang. Hanya sinar matahari lembut yang menyinari taman belakang rumah keluarga Waverly, tempat semuanya dimulai… dan kini dimulai kembali.Tenda putih sederhana berdiri anggun di bawah pohon mapel tua yang kini rimbun. Meja-meja kecil dihiasi rangkaian bunga segar buatan tangan Rexy sendiri—kombinasi mawar putih, baby breath, eucalyptus, dan lavender. Aroma lembut itu memenuhi udara, menenangkan siapa pun yang menghirupnya.Lillian berdiri di ruang belakang rumah, mengenakan gaun yang telah dicoba dengan Rexy waktu itu. Tidak ada ekor panjang. Hanya veil tipis yang jatuh dari sanggul kepang rendah, dan senyuman di wajahnya.Rexy muncul dari pintu, mengelus lengan sahabatnya. “Kau siap?”Lillian mengangguk. “Lebih dari siap.”***Di taman, Noam berdiri di bawah lengkungan bunga yang dibentuk dari ranting kering dan bunga musim semi. Jasnya hitamnya tampak gagah, dasinya lembut
Sudah hampir dua bulan sejak Lillian kembali memegang kendali W&B Group. Namun pikirannya kini tak lagi dipenuhi laporan keuangan dan rapat strategis.Pikirannya dipenuhi bunga lavender, kartu undangan berwarna krem, dan lagu jazz yang dimainkan lembut saat mencoba gaun di ruang belakang toko bunga miliknya.“Berbalik sedikit. Ya, tahan. Jangan bergerak dulu,” perintah Rexy sambil menggigit ujung pensil. “Kau terlihat seperti... hmm, bukan CEO. Tapi calon istri yang deg-degan dan pura-pura tenang.”Lillian tertawa. “Karena memang aku sedang deg-degan. Tapi bukan karena takut menikah. Aku hanya belum percaya akhirnya semua ini benar-benar terjadi.”Gaun yang ia kenakan bukan hasil rancangan rumah mode besar. Itu buatan lokal, ringan, dan lembut. Tidak ada mutiara berlebihan, tidak ada renda dramatis. Hanya pita satin di pinggang dan kain yang jatuh elegan di pergelangan kaki. Seperti dirinya yang sekarang—tenang, sederhana, tapi penuh isi.“Aku suka versi Lillian yang ini,” komentar Re
Lillian berdiri di depan pintu kaca besar bertuliskan W&B Group. Beberapa waktu lalu, ia berjalan keluar dari gedung ini dengan reputasi yang tercabik dan nama keluarga yang dihancurkan. Kini, ia kembali—tidak untuk membalas dendam, tapi untuk mengambil kembali apa yang memang miliknya.Ketika pintu terbuka otomatis, semua mata langsung tertuju padanya.Beberapa karyawan tertegun, beberapa lainnya saling berbisik. Namun tak satu pun yang berani mengabaikannya. Ia melangkah dengan langkah tenang dan penuh kendali, mengenakan setelan warna batu safir dengan rambut terikat rapi. Di sisinya, Noam berjalan dalam diam, menyapukan pandangan teduh ke seluruh ruangan. Ia tak lagi sekadar sahabat atau kekasih. Hari itu, Noam adalah penopang dari seorang wanita yang kembali ke tahtanya.Mereka disambut oleh kepala sekretariat dan dua asisten pribadi baru yang dulu dipilih Jayde. Semuanya gugup saat berhadapan dengan Lillian.“Selamat datang kembali, Nona Waverly,” ucap salah satunya dengan nada
Kantor pusat W&B Group, lantai dua puluh sembilan, masih terasa asing bagi Lillian meski dulu ia sering berada di sana. Gedung kaca megah itu berdiri kokoh di tengah distrik pusat bisnis, dengan logo emas di lobi utama yang kini kembali memuat namanya sebagai pemilik sah.Langkah Lillian bergema di lorong kosong, lantai marmer di bawah sepatunya memantulkan bayangan yang terlihat jauh lebih tegak dari sebelumnya. Tidak lagi rapuh. Tidak lagi tunduk.Ia berhenti di depan sebuah pintu dengan pelat nama yang dulunya mencantumkan Jayde Foster – CEO.Pintu itu terbuka tanpa perlu diketuk. Sudah menunggunya.Jayde berdiri di sana, berdiri di depan jendela besar yang menghadap kota, punggungnya membentuk siluet gelap di antara cahaya senja. Matanya memandang jauh, seolah mencari sesuatu yang telah lama hilang dari hidupnya.“Masuklah,” ucap Jayde tanpa menoleh.Lillian melangkah masuk. Suasana di ruangan itu begitu hening, hampir seperti ruangan seorang biarawan yang telah menanggalkan segal
Tiga hari setelah rekaman itu diserahkan, kantor polisi penuh dengan kesibukan yang tidak biasa. Wartawan sudah mulai berkeliaran, memburu kabar besar yang bocor dari dalam instansi hukum—seorang model papan atas terlibat dalam kasus pembunuhan.Lillian duduk di ruang tunggu, jari-jarinya memainkan lengan bajunya dengan gelisah. Meski suhu ruangan cukup hangat, ia merasa dingin hingga ke tulang. Di hadapannya, seorang penyidik baru saja selesai memanggil nama Rosalee Harper untuk dimintai keterangan lanjutan.“Sudah dua jam,” gumam Noam, duduk di sebelahnya. Ia telah menyentuh pundak Lillian beberapa kali, menawarkan kenyamanan, namun Lillian tetap kaku dalam diam.“Aku harus melihatnya,” ucap Lillian tiba-tiba. Suaranya lirih, tapi jelas.Noam menoleh. “Lilly… kau yakin? Kau tidak harus—”“Aku harus menatap matanya dan memastikan dia tahu… bahwa aku tahu,” sahutnya. “Aku ingin dia mendengarnya dariku. Aku ingin dia tahu bahwa wajah terakhir yang akan terus menghantuinya adalah wajah
Ruangan itu terlalu sunyi.Sunyi yang tidak nyaman. Sunyi yang menyesakkan.Lillian duduk kaku di tepi sofa panjang berlapis kulit, dengan jari-jari tangan yang saling menggenggam erat. Ia bahkan tidak menyadari kuku-kukunya menekan permukaan kulitnya sendiri, meninggalkan bekas putih yang samar. Di sampingnya, Noam duduk setia, tidak berkata sepatah kata pun. Ia tahu betul, ada waktu-waktu di mana kehadiran dan keheningan lebih berarti daripada kata-kata.Seberang mereka, meja kaca dengan bingkai kayu walnut menopang berkas-berkas resmi dan sebuah flashdisk hitam kecil—tak tampak penting, tapi nyatanya menyimpan pengakuan yang bisa membakar hidup seseorang hingga jadi abu.“Rekaman ini dikirim langsung oleh Tuan Jayde Foster,” ujar pengacara mereka dengan suara hati-hati, “melalui pengacaranya, bersamaan dengan surat pernyataan dan pernyataan saksi. Sudah kami simpan salinan digital dan menyerahkannya ke penyidik.”Lillian menatap benda mungil itu seolah bisa meledak kapan saja. Sat