Ponsel Lillian berdering, menampilkan nama Jayde di layarnya. Meskipun kedua matanya menampilkan gerakan malas, tapi tetap saja sebelah tangan meraih ponsel yang terus menjerit, lalu ia menjawab setelah beberapa saat.
“Kau ada di mana?” suara Jayde terdengar dalam, lebih berat dari saat berhadapan langsung.
Lillian menghela napas, berusaha untuk tidak terganggu dengan semua perasaan yang mulai terpancing dalam dirinya. Sebelumnya, mendengar suara Jayde adalah hal yang paling menggembirakan—bahkan pada bagian acuhnya. Namun kali ini ia tak merasakannya lagi.
Hanya ada amarah, dan takjub ketika ia menyadari bahwa perasaannya bisa berubah hanya dalam sekejap.
“Bukan urusanmu,” jawab Lillian. “Mulai saat ini, kau bisa bebas melakukan apa pun dengan Rosalee. Atau, kalian bisa mulai tinggal bersama di rumah itu, aku sama sekali tidak peduli.”
“Kau sadar dengan apa yang kau katakan?” Terdengar semburat amarah pada pertanyaan Jayde.
“Tentu saja. Aku bahkan tidak pernah sesadar ini sebelumnya.”
“Pulang sekarang juga, Lilly!”
“Aku tidak akan pernah kembali ke sana, Jay! Saat ini juga, aku benar-benar melepasmu, dan mengakhiri semua hal yang memang seharusnya tidak pernah kita jalin dari awal.”
Terdengar dengusan kasar dari tempat Jayde, dan beberapa barang yang tampaknya berjatuhan di lantai.
“Lilly! Kembali ke rumah sekarang juga, atau aku akan—”
“Apa?!” bentak Lillian. “Bahkan sampai akhir kau terus saja mengancamku untuk mendapatkan keinginanmu!”
“Pulang sekarang juga!”
Lillian menghela napasnya dalam, menatap tajam pada luar jendela apartemen barunya yang menyuguhkan pemandangan malam kota Duesseldorf. Kemilau lampu saling menyorot dari kejauhan, seakan menegaskan pada dunia bahwa kota ini tidak akan tidur sampai pagi.
“Untuk apa, Jay?” ucap Lillian, sedikit tertahan. “Kau bebas sekarang. Tak ada lagi keraguan untuk saling pergi karena kau tidak lagi terikat dengan janji pada orang tuaku. Mereka sudah pergi, alasan terbesarmu untuk terus mempertahankan pernikahan yang tidak kau inginkan telah hilang!”
“Lilly!”
“Sudah cukup, Jay! Aku lelah, jangan hubungi aku lagi.”
Lillian menurunkan ponsel dari telinganya, menekan pilihan ‘end’ dan mendesah frustasi. Kedua matanya memejam, mengingat wajah kedua orang tuanya saat acara pernikahanya dengan Jayde. Wajah yang sangat bahagia itu, mungkinkah akan tetap tersenyum saat mengetahui jika perceraian adalah akhir dari kisahnya?
“Are you, okay?”
Lillian mendongak, hampir melupakan keberadaan Noam yang sedang duduk menatapnya cemas. Wanita itu buru-buru menghapus kesedihannya dengan seutas senyum yang jelas tidak membuat Noam berpikir bahwa Lillian baik-baik saja.
“Absolutely yes!” jawab Lillian.
Noam mendesah, terlihat sangat tidak percaya dengan penyanggahan Lillian atas perasaannya sendiri. “Kau yakin dengan semua hal yang telah kau lakukan sejauh ini?”
Pertanyaan kesekian kalinya dari Noam yang terlus dilontarkan pada Lillian beberapa hari terakhir. Kerutan dalam di kening pria itu, semakin menjelaskan sorot khawatir yang tak bisa ditahan lagi. Lillian menyadari semuanya, tapi justru karena itulah, ia tidak ingin memperlihatkan rasa sakitnya semakin dalam pada Noam.
Lillian mengangguk, dan terus memaksakan untuk menunjukkan wajah baik-baik saja. “Aku yakin dengan semua hal yang telah kulakukan, Noam. Seharusnya, aku bisa lebih cepat memutuskannya, sebelum….”
Lillian menggantungkan kalimatnya di udara, tak kuasa untuk meneruskan karena rasa sesak yang semakin menggerogoti dari dalam.
“Tidak ada yang harus disesali, Lilly. Sungguh, kau sudah melakukan semuanya dengan sangat baik.” Noam, menatap lembut, mencoba untuk menyelami sorot Lillian yang memudar. “Mempertahankan perasaan pada orang yang kau cintai, itu bukan tindakan kriminal. Bahkan jika pada akhirnya kau memutuskan untuk menyudahi perjuanganmu, itu juga bukan hal yang memalukan.”
Lillian bergeming, terlihat sedang mencerna dan menjejalkan ke jalur positif tentang apa yang barus aja diucapkan Noam.
“Manusia mendapatkan pelajaran dari pengalaman, dan mendapatkan acuan dari kesalahan.” Noam kembali melanjutkan. “Lagipula, tak ada alasan yang cukup kuat untuk kau terus mempertahankan pernikahanmu, right? Kau terlalu berharga untuk pria seperti Jayde.”
Kali ini, Lillian mengigit bibir bawahnya dan mengatupkannya erat sambil kembali menghela napas. Apa yang dikatakan Noam semuanya benar.
“Kau benar. jika aku terus bersamanya, bukan tidak mungkin aku akan ditindas terus menerus olehnya. Cinta tak akan kubiarkan untuk membuatku buta lagi, Noam. Kurasa sudah Jayde memperlakukanku dengan seenaknya. Sudah saatnya untuk berubah.”
Perasaan yang tadi membuatnya sesak, perlahan menguap, meski masih menitikkan beberapa tetes perasaan yang mungkin akan menjadi residu dalam diri. Namun, bukan itu poin utamanya sekarang.
Rasa pasrah yang telah berubah menjadi lelah, mengantarkan Lillian pada satu titik akhir untuk benar-benar membuang hubungan menyakitkan dalam hidupnya. Satu hal yang selama ini ia hiraukan adalah, nyatanya mencintai dalam kesendirian adalah hal paling bodoh yang telah ia lakukan.
“Dan aku akan mendukungmu seperti yang sudah-sudah. Kau tahu itu, kan? Aku selalu bersamamu, Lilly.” Noam mendekat, memeluk Lillian dan menepuk-nepuk pundaknya.
“Aku tahu itu, Noam. Kau satu-satunya orang yang selama ini berdiri bersamaku. Entah apa yang terjadi jika tak ada dirimu.”
Noam melepas pelukannya, kemudian kembali menatap wajah Lillian. “Karena itu, segera hubungi aku kalau kau membutuhkan bantuan. Karena kita sekarang tinggal dalam satu gedung, jangan sungkan untuk meminta tolong padaku.”
“Apa pun?” tanya Lillian, sambil menyipitkan kedua matanya.
Noam mengangguk. “Apa pun. Tempatku tepat ada di bawah lantai ini. Jadi, bukan hal yang susah untukku segera datang ke sini saat kau perlu bantuan.”
“Bahkan jika aku meminta tolong untuk mengangkut sampah?” tanya Lillian lagi.
Noam terkekeh, tapi tetap saja ia mengangguk sambil mengambil jas yang dari tadi tergantung di sandaran kursi makan. “Apa pun, Lilly. Tapi karena saat ini kau masih belum memiliki sampah untuk dibuang, aku akan pulang dulu. Kau bisa menghubungiku untuk itu, setelah tempat sampahmu penuh.”
“Aku hanya bercanda, Noam. Tapi setidaknya, mungkin aku memang memerlukan beberapa bantuan selama tinggal di sini. Mungkin, ketika air wastafel macet, atau perlu mengangkat benda berat, maybe?”
Senyuman Noam kembali membentuk bulan sabit lancip pada wajahnya. Saat seperti itu, selalu terlihat lekukan lesung di pipi kirinya. Tak terlalu dalam, tapi selalu terlihat saat ia tersenyum.
“Sure, kau tinggal bilang padaku. Aku akan ada untukmu apa pun keadaannya, Lilly. Karena itu, selalu ingat bahwa kau tidak akan pernah merasa sendiri. Ada aku.”
Hi, apa kabar? I'm so happy karena kau masih bertahan sampai di bab ini. Kuharap, kau bisa tetap tinggal sampai akhir bersamaku, dan terus ikuti semua cerita yang telah kusiapkan khusus untukmu ^^ Ah ya, kau bisa menemuiku juga di akun IG : lefayesme Feel free banget buat kita diskusi apa pun all about novel, atau bahkan hal random lain. aku tunggu di sana yaaa. Love, Lefayesme <3
Epilog.Langit pagi itu biru bersih, seperti kain sutra yang baru dibentangkan. Tak ada awan, tak ada angin kencang. Hanya sinar matahari lembut yang menyinari taman belakang rumah keluarga Waverly, tempat semuanya dimulai… dan kini dimulai kembali.Tenda putih sederhana berdiri anggun di bawah pohon mapel tua yang kini rimbun. Meja-meja kecil dihiasi rangkaian bunga segar buatan tangan Rexy sendiri—kombinasi mawar putih, baby breath, eucalyptus, dan lavender. Aroma lembut itu memenuhi udara, menenangkan siapa pun yang menghirupnya.Lillian berdiri di ruang belakang rumah, mengenakan gaun yang telah dicoba dengan Rexy waktu itu. Tidak ada ekor panjang. Hanya veil tipis yang jatuh dari sanggul kepang rendah, dan senyuman di wajahnya.Rexy muncul dari pintu, mengelus lengan sahabatnya. “Kau siap?”Lillian mengangguk. “Lebih dari siap.”***Di taman, Noam berdiri di bawah lengkungan bunga yang dibentuk dari ranting kering dan bunga musim semi. Jasnya hitamnya tampak gagah, dasinya lembut
Sudah hampir dua bulan sejak Lillian kembali memegang kendali W&B Group. Namun pikirannya kini tak lagi dipenuhi laporan keuangan dan rapat strategis.Pikirannya dipenuhi bunga lavender, kartu undangan berwarna krem, dan lagu jazz yang dimainkan lembut saat mencoba gaun di ruang belakang toko bunga miliknya.“Berbalik sedikit. Ya, tahan. Jangan bergerak dulu,” perintah Rexy sambil menggigit ujung pensil. “Kau terlihat seperti... hmm, bukan CEO. Tapi calon istri yang deg-degan dan pura-pura tenang.”Lillian tertawa. “Karena memang aku sedang deg-degan. Tapi bukan karena takut menikah. Aku hanya belum percaya akhirnya semua ini benar-benar terjadi.”Gaun yang ia kenakan bukan hasil rancangan rumah mode besar. Itu buatan lokal, ringan, dan lembut. Tidak ada mutiara berlebihan, tidak ada renda dramatis. Hanya pita satin di pinggang dan kain yang jatuh elegan di pergelangan kaki. Seperti dirinya yang sekarang—tenang, sederhana, tapi penuh isi.“Aku suka versi Lillian yang ini,” komentar Re
Lillian berdiri di depan pintu kaca besar bertuliskan W&B Group. Beberapa waktu lalu, ia berjalan keluar dari gedung ini dengan reputasi yang tercabik dan nama keluarga yang dihancurkan. Kini, ia kembali—tidak untuk membalas dendam, tapi untuk mengambil kembali apa yang memang miliknya.Ketika pintu terbuka otomatis, semua mata langsung tertuju padanya.Beberapa karyawan tertegun, beberapa lainnya saling berbisik. Namun tak satu pun yang berani mengabaikannya. Ia melangkah dengan langkah tenang dan penuh kendali, mengenakan setelan warna batu safir dengan rambut terikat rapi. Di sisinya, Noam berjalan dalam diam, menyapukan pandangan teduh ke seluruh ruangan. Ia tak lagi sekadar sahabat atau kekasih. Hari itu, Noam adalah penopang dari seorang wanita yang kembali ke tahtanya.Mereka disambut oleh kepala sekretariat dan dua asisten pribadi baru yang dulu dipilih Jayde. Semuanya gugup saat berhadapan dengan Lillian.“Selamat datang kembali, Nona Waverly,” ucap salah satunya dengan nada
Kantor pusat W&B Group, lantai dua puluh sembilan, masih terasa asing bagi Lillian meski dulu ia sering berada di sana. Gedung kaca megah itu berdiri kokoh di tengah distrik pusat bisnis, dengan logo emas di lobi utama yang kini kembali memuat namanya sebagai pemilik sah.Langkah Lillian bergema di lorong kosong, lantai marmer di bawah sepatunya memantulkan bayangan yang terlihat jauh lebih tegak dari sebelumnya. Tidak lagi rapuh. Tidak lagi tunduk.Ia berhenti di depan sebuah pintu dengan pelat nama yang dulunya mencantumkan Jayde Foster – CEO.Pintu itu terbuka tanpa perlu diketuk. Sudah menunggunya.Jayde berdiri di sana, berdiri di depan jendela besar yang menghadap kota, punggungnya membentuk siluet gelap di antara cahaya senja. Matanya memandang jauh, seolah mencari sesuatu yang telah lama hilang dari hidupnya.“Masuklah,” ucap Jayde tanpa menoleh.Lillian melangkah masuk. Suasana di ruangan itu begitu hening, hampir seperti ruangan seorang biarawan yang telah menanggalkan segal
Tiga hari setelah rekaman itu diserahkan, kantor polisi penuh dengan kesibukan yang tidak biasa. Wartawan sudah mulai berkeliaran, memburu kabar besar yang bocor dari dalam instansi hukum—seorang model papan atas terlibat dalam kasus pembunuhan.Lillian duduk di ruang tunggu, jari-jarinya memainkan lengan bajunya dengan gelisah. Meski suhu ruangan cukup hangat, ia merasa dingin hingga ke tulang. Di hadapannya, seorang penyidik baru saja selesai memanggil nama Rosalee Harper untuk dimintai keterangan lanjutan.“Sudah dua jam,” gumam Noam, duduk di sebelahnya. Ia telah menyentuh pundak Lillian beberapa kali, menawarkan kenyamanan, namun Lillian tetap kaku dalam diam.“Aku harus melihatnya,” ucap Lillian tiba-tiba. Suaranya lirih, tapi jelas.Noam menoleh. “Lilly… kau yakin? Kau tidak harus—”“Aku harus menatap matanya dan memastikan dia tahu… bahwa aku tahu,” sahutnya. “Aku ingin dia mendengarnya dariku. Aku ingin dia tahu bahwa wajah terakhir yang akan terus menghantuinya adalah wajah
Ruangan itu terlalu sunyi.Sunyi yang tidak nyaman. Sunyi yang menyesakkan.Lillian duduk kaku di tepi sofa panjang berlapis kulit, dengan jari-jari tangan yang saling menggenggam erat. Ia bahkan tidak menyadari kuku-kukunya menekan permukaan kulitnya sendiri, meninggalkan bekas putih yang samar. Di sampingnya, Noam duduk setia, tidak berkata sepatah kata pun. Ia tahu betul, ada waktu-waktu di mana kehadiran dan keheningan lebih berarti daripada kata-kata.Seberang mereka, meja kaca dengan bingkai kayu walnut menopang berkas-berkas resmi dan sebuah flashdisk hitam kecil—tak tampak penting, tapi nyatanya menyimpan pengakuan yang bisa membakar hidup seseorang hingga jadi abu.“Rekaman ini dikirim langsung oleh Tuan Jayde Foster,” ujar pengacara mereka dengan suara hati-hati, “melalui pengacaranya, bersamaan dengan surat pernyataan dan pernyataan saksi. Sudah kami simpan salinan digital dan menyerahkannya ke penyidik.”Lillian menatap benda mungil itu seolah bisa meledak kapan saja. Sat