Raut wajah yang seketika berubah, jelas menunjukkan perasaan Lillian saat ia membuka pintu ruangan kerjanya. Sosok yang sangat tidak ia harapkan telah berdiri di sana, bersandar pada meja kerja dengan kedua tangan terlipat di depan dada, dan menatap tajam padanya.
“Selamat pagi, Nyonya Foster,” ucap Jayde.
Tangan Lillian mengepal keras, mencengkeram tali tas kerjanya yang terjinjing di sisi kanan. Desahan kasar lolos, sengaja ia tunjukkan pada Jayde bahwa kedatangannya sangat tidak diharapkan.
“Buang jauh nama Foster dari belakang namaku. Aku adalah Lillian Waverly, bukan lagi Lillian Foster!”
Sikap tunduk dan penuh takut yang dulu menjadi makanan untuk ego Jayde, kini berhasil mengembalikan menjadi sosok lama dari seorang Lillian yang terkenal sebagai wanita independent, dengan segala kesempurnaannya—sosok yang tidak pernah dilihat oleh seorang Jayde Foster.
Namun, hal itu ternyata memancing amarah dari Jayde. Tatapan tajam dari matanya yang tadi hanya bermaksud untuk mengintimidasi, kini telah berubah menjadi tatapan penuh emosi.
Jayde melepas pinggangnya dari pinggir meja kerja milik Lillian, bergerak ke arah pintu dan mengunci ruangan itu dari dalam. Tirai putih yang terbuka di jendela ruangan, tak lupa ditutup untuk membutakan pandangan dari luar.
Lillian sadar itu adalah langkah yang buruk untuk pagi ini. Ia bisa merasakan aura yang dulu selalu membuatnya berhasil untuk memohon—seperti orang tolol yang takut kehilangan Jayde.
Ah, sial! Lillian semakin menyadari betapa bodoh dirinya saat itu.
“Sudah kukatakan berapa kali kalau perceraian tidak akan terjadi di antara kita!” geram Jayde, menghampiri Lillian dengan cepat.
“Kau bebas mengatakan perihal itu berulang kali, tapi itu tidak akan pernah mengubah keputusanku untuk berpisah denganmu!” Lillian kembali menegaskan.
Ujung rahang Jayde terlihat berkedut, seiring dengan rahangnya yang mengetat. Gelombang panas yang membawa titik amarah menyebar cepat di sekujur tubuhnya. Dalam satu gerakan cepat, ia telah mencengkeram rahang Lillian, mendorongnya kasar sampai wanita itu terpojok di dinding, tak bisa kabur dari himpitan Jayde.
“Sejak kapan kau jadi pintar membantah, Lilly? Seharusnya kau tetap menjadi Lillian yang selalu mengatakan iya pada semua apa pun yang kuucapkan! Seharusnya, kau akan selalu takut kehilangan diriku dan memaklumi semua tingkah lakuku agar aku tetap mau menjadi suamimu!”
Jantung Lillian berdetak sangat kencang, terasa seperti siap melompat tiba-tiba jika saja Jayde melakukan hal yang lebih dari itu. Meskipun begitu, ia tetap menantang pria itu dengan sorot tajamnya.
“Sejak aku menyadari bahwa kau tidak layak untuk kucintai!”
Napas Lilly memburu, sebelum ia merintih kesakitan karena cengkeraman di rahangnya yang semakin kuat.
Jayde tampaknya mulai kesulitan untuk mengendalikan dirinya agar tidak bertindak lebih jauh dari sekedar mencengkeram rahang Lillian. “Aku tegaskan lagi, Lilly! Tidak akan ada perceraian di antara kita. Selamanya kau akan tetap menjadi istriku, tak peduli berapa kali kau mengatakan akan bercerai denganku! Bahkan jika pada akhirnya kita bercerai, aku yang akan mengurusnya, bukan kau!”
“Terlambat, Jay! Aku sudah mengurus semuanya. Pengacaraku akan secepatnya mengirim surat panggilan sidang cerai untukmu!”
Kedua mata Jayde mengilat saat mendengarnya. Bola putihnya mulai memerah, cengkeraman tangannya pada rahang Lillian, berganti menelusup ke leher Lillian, mencoba untuk selembut mungkin, lalu ia mendekat cepat, membuka bibir Lillian dengan paksa dan menyesapnya kasar tanpa memedulikan gestur tubuh Lillian yang tak menginginkannya.
“Jay!” kedua tangan Lillian mendorong kasar pada dada Jay, berhasil membuat pria itu mundur beberapa langkah. “Stop it!”
“Kenapa?! Bukankah kau selalu menginginkannya!” teriak Jayde.
Lillian menoleh cepat ke arah tirai putih yang tertutup. Ia yakin orang-orang di luar bisa mendengar teriakan Jayde dengan jelas. Namun tak ada gunanya juga ia mengkhawatirkan hal itu. Jayde terus berteriak, melampiaskan emosinya pada Lillian yang juga bersikeras untuk tetap menggugat cerai.
“Aku tidak akan pernah menginginkannya lagi, Jayde Foster! saat ini, tidak akan kubiarkan siapa pun untuk merendahkanku. Sekarang, pergilah!” tangan kiri Lillian terulur lurus ke arah pintu.
Kedua mata Jayde masih menyalang, tak terima dengan semua perkataan dan respon yang dilontarkan Lillian. Gadis manis yang dulu selalu menuruti setiap ucapannya, yang selalu memohon agar ia tidak meninggalkannya, saat ini telah menjadi seseorang yang tidak pernah ia kenal sebelumnya.
Sementara di sisi Lillian, ia tidak menurunkan lengannya sedikit pun, mau pun tatapan tajamnya pada Jayde. Ia benar-benar muak dengan wajah yang selama ini selalu ia agung-agungkan.
Jayde membetulkan letak jasnya, lalu berjalan mendekat pada Lillian. Raut wajahnya masih terlihat sangat marah, bahkan tonjolan otot di pelipisnya masih terlihat jelas.
“Dengarkan baik-baik! Aku, tidak akan membiarkanmu untuk menceraikanku dengan mudah, Lilly!”
Epilog.Langit pagi itu biru bersih, seperti kain sutra yang baru dibentangkan. Tak ada awan, tak ada angin kencang. Hanya sinar matahari lembut yang menyinari taman belakang rumah keluarga Waverly, tempat semuanya dimulai… dan kini dimulai kembali.Tenda putih sederhana berdiri anggun di bawah pohon mapel tua yang kini rimbun. Meja-meja kecil dihiasi rangkaian bunga segar buatan tangan Rexy sendiri—kombinasi mawar putih, baby breath, eucalyptus, dan lavender. Aroma lembut itu memenuhi udara, menenangkan siapa pun yang menghirupnya.Lillian berdiri di ruang belakang rumah, mengenakan gaun yang telah dicoba dengan Rexy waktu itu. Tidak ada ekor panjang. Hanya veil tipis yang jatuh dari sanggul kepang rendah, dan senyuman di wajahnya.Rexy muncul dari pintu, mengelus lengan sahabatnya. “Kau siap?”Lillian mengangguk. “Lebih dari siap.”***Di taman, Noam berdiri di bawah lengkungan bunga yang dibentuk dari ranting kering dan bunga musim semi. Jasnya hitamnya tampak gagah, dasinya lembut
Sudah hampir dua bulan sejak Lillian kembali memegang kendali W&B Group. Namun pikirannya kini tak lagi dipenuhi laporan keuangan dan rapat strategis.Pikirannya dipenuhi bunga lavender, kartu undangan berwarna krem, dan lagu jazz yang dimainkan lembut saat mencoba gaun di ruang belakang toko bunga miliknya.“Berbalik sedikit. Ya, tahan. Jangan bergerak dulu,” perintah Rexy sambil menggigit ujung pensil. “Kau terlihat seperti... hmm, bukan CEO. Tapi calon istri yang deg-degan dan pura-pura tenang.”Lillian tertawa. “Karena memang aku sedang deg-degan. Tapi bukan karena takut menikah. Aku hanya belum percaya akhirnya semua ini benar-benar terjadi.”Gaun yang ia kenakan bukan hasil rancangan rumah mode besar. Itu buatan lokal, ringan, dan lembut. Tidak ada mutiara berlebihan, tidak ada renda dramatis. Hanya pita satin di pinggang dan kain yang jatuh elegan di pergelangan kaki. Seperti dirinya yang sekarang—tenang, sederhana, tapi penuh isi.“Aku suka versi Lillian yang ini,” komentar Re
Lillian berdiri di depan pintu kaca besar bertuliskan W&B Group. Beberapa waktu lalu, ia berjalan keluar dari gedung ini dengan reputasi yang tercabik dan nama keluarga yang dihancurkan. Kini, ia kembali—tidak untuk membalas dendam, tapi untuk mengambil kembali apa yang memang miliknya.Ketika pintu terbuka otomatis, semua mata langsung tertuju padanya.Beberapa karyawan tertegun, beberapa lainnya saling berbisik. Namun tak satu pun yang berani mengabaikannya. Ia melangkah dengan langkah tenang dan penuh kendali, mengenakan setelan warna batu safir dengan rambut terikat rapi. Di sisinya, Noam berjalan dalam diam, menyapukan pandangan teduh ke seluruh ruangan. Ia tak lagi sekadar sahabat atau kekasih. Hari itu, Noam adalah penopang dari seorang wanita yang kembali ke tahtanya.Mereka disambut oleh kepala sekretariat dan dua asisten pribadi baru yang dulu dipilih Jayde. Semuanya gugup saat berhadapan dengan Lillian.“Selamat datang kembali, Nona Waverly,” ucap salah satunya dengan nada
Kantor pusat W&B Group, lantai dua puluh sembilan, masih terasa asing bagi Lillian meski dulu ia sering berada di sana. Gedung kaca megah itu berdiri kokoh di tengah distrik pusat bisnis, dengan logo emas di lobi utama yang kini kembali memuat namanya sebagai pemilik sah.Langkah Lillian bergema di lorong kosong, lantai marmer di bawah sepatunya memantulkan bayangan yang terlihat jauh lebih tegak dari sebelumnya. Tidak lagi rapuh. Tidak lagi tunduk.Ia berhenti di depan sebuah pintu dengan pelat nama yang dulunya mencantumkan Jayde Foster – CEO.Pintu itu terbuka tanpa perlu diketuk. Sudah menunggunya.Jayde berdiri di sana, berdiri di depan jendela besar yang menghadap kota, punggungnya membentuk siluet gelap di antara cahaya senja. Matanya memandang jauh, seolah mencari sesuatu yang telah lama hilang dari hidupnya.“Masuklah,” ucap Jayde tanpa menoleh.Lillian melangkah masuk. Suasana di ruangan itu begitu hening, hampir seperti ruangan seorang biarawan yang telah menanggalkan segal
Tiga hari setelah rekaman itu diserahkan, kantor polisi penuh dengan kesibukan yang tidak biasa. Wartawan sudah mulai berkeliaran, memburu kabar besar yang bocor dari dalam instansi hukum—seorang model papan atas terlibat dalam kasus pembunuhan.Lillian duduk di ruang tunggu, jari-jarinya memainkan lengan bajunya dengan gelisah. Meski suhu ruangan cukup hangat, ia merasa dingin hingga ke tulang. Di hadapannya, seorang penyidik baru saja selesai memanggil nama Rosalee Harper untuk dimintai keterangan lanjutan.“Sudah dua jam,” gumam Noam, duduk di sebelahnya. Ia telah menyentuh pundak Lillian beberapa kali, menawarkan kenyamanan, namun Lillian tetap kaku dalam diam.“Aku harus melihatnya,” ucap Lillian tiba-tiba. Suaranya lirih, tapi jelas.Noam menoleh. “Lilly… kau yakin? Kau tidak harus—”“Aku harus menatap matanya dan memastikan dia tahu… bahwa aku tahu,” sahutnya. “Aku ingin dia mendengarnya dariku. Aku ingin dia tahu bahwa wajah terakhir yang akan terus menghantuinya adalah wajah
Ruangan itu terlalu sunyi.Sunyi yang tidak nyaman. Sunyi yang menyesakkan.Lillian duduk kaku di tepi sofa panjang berlapis kulit, dengan jari-jari tangan yang saling menggenggam erat. Ia bahkan tidak menyadari kuku-kukunya menekan permukaan kulitnya sendiri, meninggalkan bekas putih yang samar. Di sampingnya, Noam duduk setia, tidak berkata sepatah kata pun. Ia tahu betul, ada waktu-waktu di mana kehadiran dan keheningan lebih berarti daripada kata-kata.Seberang mereka, meja kaca dengan bingkai kayu walnut menopang berkas-berkas resmi dan sebuah flashdisk hitam kecil—tak tampak penting, tapi nyatanya menyimpan pengakuan yang bisa membakar hidup seseorang hingga jadi abu.“Rekaman ini dikirim langsung oleh Tuan Jayde Foster,” ujar pengacara mereka dengan suara hati-hati, “melalui pengacaranya, bersamaan dengan surat pernyataan dan pernyataan saksi. Sudah kami simpan salinan digital dan menyerahkannya ke penyidik.”Lillian menatap benda mungil itu seolah bisa meledak kapan saja. Sat