Pemakaman berjalan dengan lancar. Semua pelayat yang datang selalu memberikan kesan-kesan yang baik untuk kedua orang tua Lillian. Sungguh sebuah tindakan yang sangat manis. Tapi tidak cukup membuatnya merasa lebih baik.
Saat dua peti yang disatukan itu ditimbun dalam tanah, perasaan Lillian seakan ikut terkubur. Tak ada lagi air mata, tapi jelas bahwa tatapannya tak memiliki kehidupan.
Pikirannya mulai meracau. Bisakah ia ikut masuk ke dalam liang itu? Ia merasa tidak ada gunanya lagi ia hidup. Bahkan pria yang selama ini ia cintai, perlahan telah menghilang dari hatinya.
Ketika semua pelayat meninggalkan area pemakaman, Noam menghampiri Lillian yang masih menatap pilu. Kehilangan dua orang yang sangat disayangi, tentu bukan hal yang mudah.
Dan memang begitulah. Saat orang lain melihat bahwa Lillian saat ini terlalu tenang, tapi tidak di dalam hati wanita tersebut. Badai masih berkecamuk, tidak memberikan kesempatan untuk Lillian menghela napas.
“Are you, okay?” tanya Noam.
Lillian mendongak, menatap Noam dengan tatapan kosong. “Kurasa aku ikut terkubur bersama dengan orang tuaku.”
Noam mengusap lembut punggung Lillian. Dalam hati, ia sedang membodohkan pertanyaannya baru saja. Sudah jelas bahwa Lillian tidak baik-baik saja, tapi masih saja ia bertanya apakah Lillian baik-baik saja.
“Kau melihat Jayde?” tanya Lillian, saat menyadari hanya tinggal mereka berdua di area pemakaman.
Rahang Noam mengetat. Semakin menunjukkan garis rahangnya yang tajam. “Tadi dia di sini, tapi mendadak buru-buru pergi setelah menerima panggilan telepon.”
Lillian tersenyum tipis. Merasa yakin bahwa panggilan itu pasti berasal dari Rosalee. Hatinya berkecamuk, merasa murka karena pada situasi seperti saat ini, Jayde benar-benar tidak bisa menunjukkan rasa empatinya.
“Kau mau pulang sekarang? Atau masih ingin berada di sini?” tanya Noam.
Lillian sekali lagi menatap makan kedua orang tuanya. Detik berikutnya, gerimis halus turun. Senyum tipis terlihat di wajah Lillian. “Tampaknya Mom dan Dad mengusirku dengan mendatangkan gerimis. Mereka tahu aku tidak suka basah.”
Noam tersenyum. Gestur tubuhnya terlihat sangat sopan saat berpamitan pada orang tua Lillian. Dalam hati, ia mengucapkan janji di antara dirinya sendiri dan semesta untuk selalu melindungi Lillian.
“Ayo,” Noam menggenggam tangan Lillian. “Kau akan sakit jika memaksa berada di sini. Kau pasti lapar, kan?”
Lillian tidak menjawab. Ia belum makan sedikit pun semenjak mendapat kabar bahwa orang tuanya meninggal. Namun, ia seakan tidak memiliki sedikit pun selera untuk makan.
“Setidaknya, temani aku makan. Okay?” ucap Noam lagi.
Lillian tersenyum tipis, lalu menghela napas dalam-dalam. “Aku akan makan, Noam. kau tidak perlu khawatir.”
Senyum merekah dari wajah Noam, sembari sebelah tangannya membuka pintu mobil dan mempersilakan Lillian untuk masuk. “Kalau begitu, kau ingin makan apa? Aku akan ikut menu makanmu hari ini.”
Lilian tidak langsung menjawab. Tidak ada hal spesifik yang ingin ia pilih. “Bolehkah aku ikut menu makananmu saja? Aku terlalu lelah untuk memilih.”
Suara mesin mobil terdengar halus. Noam menginjak pedal gas, perlahan meninggalkan area pemakaman. “Well, kalau begitu aku akan membawamu ke sebuah restoran yang terkenal lezat dengan steak-nya. Setelah itu, kau mau es krim untuk makanan penutup?”
Lillian kembali tersenyum, dan mengangguk tanpa menoleh pada Noam. Kepalanya telah disandarkan pasrah pada sandaran kursi. Kedua matanya memejam, menahan rasa panas karena jejak dari tangisannya yang telah ditumpahkan semalaman.
“Aku ikut apa pun yang kau lakukan, Noam.”
Noam menoleh sekilas, tersenyum tulus sebelum kembali fokus pada jalanan. “Tidurlah, aku akan membangunkanmu saat sampai.”
***
Lillian menjabat erat tangan seorang pengacara yang telah resmi ditunjuk sebagai seseorang yang akan mengurus perceraiannya dengan Jayde. Semua berkas yang harus diserahkan juga telah lengkap. Kali ini, ia hanya perlu menunggu sampai proses pengajuan perkara dan sidang berjalan dengan lancar.
Ia benar-benar telah muak dan lelah dengan semua sikap yang ditunjukkan, dan sengaja dilakukan oleh pria itu kepadanya.
Bahkan setelah pemakaman kedua orang tuanya, tidak satu pun ucapan yang terlontar untuknya dari pria tersebut.
Tekadnya telah bulat. Cerai adalah satu-satunya jalan yang bisa ia tempuh untuk hubungannya dengan Jayde. Lagipula, untuk apa dipertahankan jika hanya akan membuatnya sakit?
Keluar dari kantor pengacara, Lillian bergegas kembali ke rumahnya. Dua koper besar dikeluarkan dari gudang penyimpanan. Semua barang miliknya dikemas cepat. Sebelum Jayde pulang, ia sudah harus menyelesaikannya.
Satu jam berlalu, Lillian menyeret kedua kopernya dengan hati yang mantap. Dengan cekatan ia buru-buru memasukkan kopernya ke dalam bagasi mobil. Sekali lagi, untuk terakhir kalinya, Lillian menoleh pada rumah yang telah dua tahun terakhir ini menjadi saksi kehidupan rumah tangganya yang berantakan.
“Ok, Lilly. Saatnya kau membuka kehidupan baru. Lupakan Jayde, dan raih kebahagiaanmu sendiri,” ucapnya pada diri sendiri.
Epilog.Langit pagi itu biru bersih, seperti kain sutra yang baru dibentangkan. Tak ada awan, tak ada angin kencang. Hanya sinar matahari lembut yang menyinari taman belakang rumah keluarga Waverly, tempat semuanya dimulai… dan kini dimulai kembali.Tenda putih sederhana berdiri anggun di bawah pohon mapel tua yang kini rimbun. Meja-meja kecil dihiasi rangkaian bunga segar buatan tangan Rexy sendiri—kombinasi mawar putih, baby breath, eucalyptus, dan lavender. Aroma lembut itu memenuhi udara, menenangkan siapa pun yang menghirupnya.Lillian berdiri di ruang belakang rumah, mengenakan gaun yang telah dicoba dengan Rexy waktu itu. Tidak ada ekor panjang. Hanya veil tipis yang jatuh dari sanggul kepang rendah, dan senyuman di wajahnya.Rexy muncul dari pintu, mengelus lengan sahabatnya. “Kau siap?”Lillian mengangguk. “Lebih dari siap.”***Di taman, Noam berdiri di bawah lengkungan bunga yang dibentuk dari ranting kering dan bunga musim semi. Jasnya hitamnya tampak gagah, dasinya lembut
Sudah hampir dua bulan sejak Lillian kembali memegang kendali W&B Group. Namun pikirannya kini tak lagi dipenuhi laporan keuangan dan rapat strategis.Pikirannya dipenuhi bunga lavender, kartu undangan berwarna krem, dan lagu jazz yang dimainkan lembut saat mencoba gaun di ruang belakang toko bunga miliknya.“Berbalik sedikit. Ya, tahan. Jangan bergerak dulu,” perintah Rexy sambil menggigit ujung pensil. “Kau terlihat seperti... hmm, bukan CEO. Tapi calon istri yang deg-degan dan pura-pura tenang.”Lillian tertawa. “Karena memang aku sedang deg-degan. Tapi bukan karena takut menikah. Aku hanya belum percaya akhirnya semua ini benar-benar terjadi.”Gaun yang ia kenakan bukan hasil rancangan rumah mode besar. Itu buatan lokal, ringan, dan lembut. Tidak ada mutiara berlebihan, tidak ada renda dramatis. Hanya pita satin di pinggang dan kain yang jatuh elegan di pergelangan kaki. Seperti dirinya yang sekarang—tenang, sederhana, tapi penuh isi.“Aku suka versi Lillian yang ini,” komentar Re
Lillian berdiri di depan pintu kaca besar bertuliskan W&B Group. Beberapa waktu lalu, ia berjalan keluar dari gedung ini dengan reputasi yang tercabik dan nama keluarga yang dihancurkan. Kini, ia kembali—tidak untuk membalas dendam, tapi untuk mengambil kembali apa yang memang miliknya.Ketika pintu terbuka otomatis, semua mata langsung tertuju padanya.Beberapa karyawan tertegun, beberapa lainnya saling berbisik. Namun tak satu pun yang berani mengabaikannya. Ia melangkah dengan langkah tenang dan penuh kendali, mengenakan setelan warna batu safir dengan rambut terikat rapi. Di sisinya, Noam berjalan dalam diam, menyapukan pandangan teduh ke seluruh ruangan. Ia tak lagi sekadar sahabat atau kekasih. Hari itu, Noam adalah penopang dari seorang wanita yang kembali ke tahtanya.Mereka disambut oleh kepala sekretariat dan dua asisten pribadi baru yang dulu dipilih Jayde. Semuanya gugup saat berhadapan dengan Lillian.“Selamat datang kembali, Nona Waverly,” ucap salah satunya dengan nada
Kantor pusat W&B Group, lantai dua puluh sembilan, masih terasa asing bagi Lillian meski dulu ia sering berada di sana. Gedung kaca megah itu berdiri kokoh di tengah distrik pusat bisnis, dengan logo emas di lobi utama yang kini kembali memuat namanya sebagai pemilik sah.Langkah Lillian bergema di lorong kosong, lantai marmer di bawah sepatunya memantulkan bayangan yang terlihat jauh lebih tegak dari sebelumnya. Tidak lagi rapuh. Tidak lagi tunduk.Ia berhenti di depan sebuah pintu dengan pelat nama yang dulunya mencantumkan Jayde Foster – CEO.Pintu itu terbuka tanpa perlu diketuk. Sudah menunggunya.Jayde berdiri di sana, berdiri di depan jendela besar yang menghadap kota, punggungnya membentuk siluet gelap di antara cahaya senja. Matanya memandang jauh, seolah mencari sesuatu yang telah lama hilang dari hidupnya.“Masuklah,” ucap Jayde tanpa menoleh.Lillian melangkah masuk. Suasana di ruangan itu begitu hening, hampir seperti ruangan seorang biarawan yang telah menanggalkan segal
Tiga hari setelah rekaman itu diserahkan, kantor polisi penuh dengan kesibukan yang tidak biasa. Wartawan sudah mulai berkeliaran, memburu kabar besar yang bocor dari dalam instansi hukum—seorang model papan atas terlibat dalam kasus pembunuhan.Lillian duduk di ruang tunggu, jari-jarinya memainkan lengan bajunya dengan gelisah. Meski suhu ruangan cukup hangat, ia merasa dingin hingga ke tulang. Di hadapannya, seorang penyidik baru saja selesai memanggil nama Rosalee Harper untuk dimintai keterangan lanjutan.“Sudah dua jam,” gumam Noam, duduk di sebelahnya. Ia telah menyentuh pundak Lillian beberapa kali, menawarkan kenyamanan, namun Lillian tetap kaku dalam diam.“Aku harus melihatnya,” ucap Lillian tiba-tiba. Suaranya lirih, tapi jelas.Noam menoleh. “Lilly… kau yakin? Kau tidak harus—”“Aku harus menatap matanya dan memastikan dia tahu… bahwa aku tahu,” sahutnya. “Aku ingin dia mendengarnya dariku. Aku ingin dia tahu bahwa wajah terakhir yang akan terus menghantuinya adalah wajah
Ruangan itu terlalu sunyi.Sunyi yang tidak nyaman. Sunyi yang menyesakkan.Lillian duduk kaku di tepi sofa panjang berlapis kulit, dengan jari-jari tangan yang saling menggenggam erat. Ia bahkan tidak menyadari kuku-kukunya menekan permukaan kulitnya sendiri, meninggalkan bekas putih yang samar. Di sampingnya, Noam duduk setia, tidak berkata sepatah kata pun. Ia tahu betul, ada waktu-waktu di mana kehadiran dan keheningan lebih berarti daripada kata-kata.Seberang mereka, meja kaca dengan bingkai kayu walnut menopang berkas-berkas resmi dan sebuah flashdisk hitam kecil—tak tampak penting, tapi nyatanya menyimpan pengakuan yang bisa membakar hidup seseorang hingga jadi abu.“Rekaman ini dikirim langsung oleh Tuan Jayde Foster,” ujar pengacara mereka dengan suara hati-hati, “melalui pengacaranya, bersamaan dengan surat pernyataan dan pernyataan saksi. Sudah kami simpan salinan digital dan menyerahkannya ke penyidik.”Lillian menatap benda mungil itu seolah bisa meledak kapan saja. Sat