"Loh, Shanum mana?" Aku bertanya pada Soni yang baru saja sampai. Waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore, tapi Soni malah pulang sendirian. Dia tidak bersama Shanum, putriku yang entah ada di mana. "Shanum menolak untuk pulang. Dia ingin menemani ayahnya." "Di rumah sakit?" tanyaku lagi. "Di rumah. Mas Sandi sudah sadar, dia minta dirawat di rumah saja, menolak tinggal di rumah sakit meskipun untuk beberapa hari saja."Aku manggut-manggut. Soni menghenyakkan bokong pada kursi plastik di sebelahku, lalu dia mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Aku mengerutkan kening ketika dia menyodorkan benda pipih miliknya itu padaku. "Lihat video Shanum. Tadi, dia memintaku merekam kata-katanya, agar kamu percaya."Aku tidak menjawab. Mengambil ponsel Soni, lalu mengerucutkan bibir saat memutar video Shanum. Putriku izin menginap di rumah ayahnya, dan memintaku untuk tidak khawatir. Di samping dia, ada Mas Sandi yang mengusap-usap rambut panjang putriku. "Kakakmu itu aneh. Dia bilang
Kulirik jam sudah pukul setengah lima pagi. Adzan subuh sudah berkumandang di setiap tempat ibadah. Aku, di sini masih bergelut dengan rasa yang tak bisa dijelaskan. Mata ini sudah terbuka dari beberapa waktu lalu, tapi tubuh masih membeku di atas peraduan yang sempat memanas. Ah, aku malu membayangkan apa yang terjadi malam tadi. Dalam guyuran air hujan yang membasahi bumi, di sini aku pun dihujani oleh ribuan kata cinta dari dia yang bergelar suami. Tuturnya, sentuhannya, begitu terasa nyata menaburi benih cinta di taman hati. Aku dibuat lupa jika dia adalah mantan adik iparku, hingga yang kurasakan, dirinya seorang pujangga bergelar suami. "Ekhem!"Buru-buru aku memejamkan mata saat suara deheman seorang pria mendekat. Ada gerakan darinya yang memperbaiki letak selimut hingga menutup sampai ke batas leherku. Aku bergeming. Mengatur napas setenang mungkin agar dia tidak menyadari kepura-puraanku ini. Soni. Pria itu kembali keluar dengan menutup pintu. Sedangkan aku, di sini ma
Matahari masih bersembunyi, tapi aku sudah membuka toko, menyambut rezeki hari ini. Sambil menunggu pelanggan datang, aku duduk di kursi plastik dengan ditemani secangkir teh beserta gorengan yang aku beli dari penjual keliling. Soni pun sama. Di depannya ada kopi hitam yang manjadi kegemarannya. "Ekhem!" Aku meliriknya yang berdehem sebentar, lalu kembali fokus pada jalanan yang masih basah. Sisa-sisa air hujan masih membekas.Seperti di sini, di dalam dada ada yang membekas tapi bukan luka. Melainkan asmara yang kembali datang dari orang yang berbeda. Aku, telah jatuh cinta pada dia si pemilik raga. "Gak ke kedai?" tanyaku setelah beberapa saat saling diam. "Nanti, sudah agak siangan." Aku manggut-manggut. "Sekarang mau pacaran dulu," ujar Soni lagi seraya mengambil tanganku yang ada di atas meja. Dia menggenggam tanganku, lalu menariknya ke pangkuan saat ada seseorang yang datang. Pria itu pandai bersandiwara. Dia melayani pembeli, tanpa melepaskan genggaman tangannya. D
"Dasar bocah," kataku seraya menyimpan ponsel. Dia pikir aku akan cemburu dengan foto yang Nabila kirim padaku? Foto yang menunjukkan jika dia tengah di bonceng Soni. Menurutku, itu tidak berarti apa-apa. Bisa saja mereka ketemu di jalan, lalu Soni membawa Nabila karena satu tempat kerja. Bisa juga, wanita itu memang sengaja memanas-manasiku dengan gambar itu? Sayangnya aku tidak merasa terbakar. Gambar, bahkan adegan yang lebih panas dari itu, pernah aku alami dalam hubungan sebelum ini. Jadi, itu tidak berpengaruh apa-apa buatku. Denting ponsel kembali mengalihkan pandanganku. Masih dari orang yang sama. Nabila kembali mengirimkan pesan dengan disertai gambar dia yang sudah berada di kedai kopi. Tangan suamiku itu merangkul pundaknya dengan tertawa lebar. "Mau ini anak apa, sih? Kok, ngirimin gambar beginian?" kataku merutuki kebodohan wanita bernama Nabila. Niatnya untuk membuatku cemburu, tapi malah terkesan memaksakan diri. Aku tahu, jika foto itu diedit. Ada bayangan
"Nenek, bukannya kita akan pergi ke tempatnya Om Soni?" ucap Shanum seraya berdiri di tengah-tengah aku dan Mama. "Oh, iya tadi Nenek sudah janji, ya mau pergi ke kedainya Om Soni? Mau ke sana sekarang?" Shanum mengangguk pasti. Dia menyimpan ponselku di meja, kemudian mengganti pakaian meskipun aku tidak menyuruhnya. Katanya, dia ingin berfoto di taman yang ada di dekat kedai kopi Soni. "Yuk, Num, kita ke sana. Kayaknya, toko kamu ini, sedang sepi juga. Mendingan kita jalan-jalan aja, yuk." Mama mengajakku ikut serta. Iya, tokoku sedang sepi, tapi sayang juga jika harus ditinggal pergi. Kalau tutup terus, nanti pendapatanku malah kian berkurang. Sedangkan utangku masih lumayan besar pada Ibu dan Bapak. "Num, mau pergi bareng kita? Mama kasih sejuta, biar kamu gak rugi ninggalin toko. Hari ini, kamu jadi supir Mama. Temenin Mama dan Shanum healing. Gimana?" Aku bengong seraya menimbang antara menolak dan menerima.Uang satu juta hanya menjadi supir sehari? Diajak jalan, jajan,
"Ekhem!" Aku berdehem membuat tangan Nabila yang tengah mengelap kening Soni terhenti. Dua orang berlainan jenis kelamin itu menoleh ke arahku dengan ekspresi yang berbeda. Soni dengan raut kagetnya, dan Nabila dengan seringai menyebalkan. Dia senang, aku memergoki mereka yang seperti sepasang kekasih. Saling membantu, saling memberikan perhatian. Namun, sayangnya aku sama sekali tidak cemburu. Otakku berpikir berusaha berpikiran jernih meskipun hati sedikit emosi. Soni yang tengah kerepotan memegang wadah bubuk kopi yang hampir penuh, menyulitkan dia untuk mengelap keringat yang bercucuran. Pikiran baikku, mungkin Soni meminta Nabila mengusap keringatnya agar tidak berjatuhan pada bubuk kopi mentah. Namun, diartikan lain oleh wanita itu. Dia justru keganjenan dengan memanfaatkan situasi ini untuk membuatku semakin cemburu. "Mbak, aku bisa jelasin. Ini, tidak seperti yang kamu lihat, kok," ujar Soni langsung mematikan mesin penggiling kopi. Dia keluar dari tempatnya, lalu mengh
"Bukan masalah cemburu atau tidak, Son. Ini hanya untuk berjaga-jaga saja. Kadang, apa yang dilihat orang tidak sesuai dengan faktanya. Takutnya, nanti ada orang yang iri dengki pada kita, terus dengan sengaja mengabadikan momen tadi, kemudian membagikannya dengan judul yang tidak sesuai kenyataan. Mengatakan kamu selingkuh, padaku, misalnya. Kita, kan tidak tahu mana orang yang benar-benar peduli, dan mana orang yang pura-pura peduli padahal dengki," ujarku memberikan pemahaman. Soni tersenyum begitu manis, lalu dia menganggukkan kepala ke arahku. Setelah beberapa saat mengobrol dengan Soni, Mama datang bersama putriku. Aku mempertanyakan mereka yang masuk belakangan. Ternyata, mereka ke taman dulu untuk berfoto ria. Dan putriku terlihat kesenangan dengan kepergian kami kali ini. "Om, kok sepi?" tanya Shanum pada Soni. "Iya, nih sepi. Sengaja Om tutup, kan tahu kalau Shanum mau datang ke sini. Om, hebat, bukan?" "Kalau begitu, buatkan Shanum minuman, dong. Kan, haus!"Kami tert
"Kenapa tidak diangkat?" tanyaku ketika Nabila menolak panggilan dari mantan suamiku itu. Ponsel yang sudah mati, kini dia masukan ke dalam saku celemek yang masih dia kenakan. Nabila juga tidak menjawab pertanyaanku. Dia mengalihkan pandangan ke sembarang arah tidak sama sekali menatap wajahku lagi. "Kamu bekerja untuk Mas Sandi?" Aku kembali bertanya. Wanita yang selalu menguncir rambutnya itu masih membisu. Namun, kegugupan masih terlihat jelas dari wajah manisnya. Aku masih tetap memperhatikan dia hingga gadis itu berdiri hendak pergi. Aku langsung mencekal lengannya, ikut berdiri di dekat pintu yang hampir dibuka oleh Nabila. "Kita belum selesai, Bila." "Tidak ada lagi yang perlu kita bicarakan, Mbak. Tolong lepaskan tanganku, aku harus kembali bekerja.""Kamu belum menjawab pertanyaanku. Benar, kamu bekerja untuk Mas Sandi? Dibayar berapa kamu sama dia hingga rela mengkhianati temanmu sendiri?" "Aku tidak mengkhianati Soni! Apa yang aku lakukan, bukan karena materi, tapi