"Ranum!"
Aku tidak mengindahkan teriakan Mas Sandi. Hatiku terlalu perih untuk mengabulkan permintaan dia.
Dengan cepat, kulajukan mobil keluar dari pekarangan rumah. Niatku sudah bulat untuk pergi dari rumah Mas Sandi.
Tidak ada yang harus aku pertahankan di sini. Suami yang aku banggakan, aku rajakan, nyatanya tidak sebaik dalam angan. Dengan tidak memikirkan perasaanku dia tidur dengan mantan istrinya. Bahkan dia sudah berani main tangan melukai fisikku.
"Allahu Robbi ...," lirihku seraya mengusap pipi yang tadi ditampar Mas Sandi.
Perpisahan Mas Sandi dan Mawar terjadi saat usia Cahaya masih kecil. Alasan yang aku tahu, Mawar enggan mengurus Cahaya dengan alasan keadaan anak itu tidak seperti anak yang lain.
Malu, jijik, juga repot dengan sikap dan tingkah laku Cahaya yang kadang selalu menguji kesabaran.
Saat usia Cahaya sembilan tahun, aku dan Mas Sandi menikah setelah saling mengenal satu tahun lamanya. Aku tidak mempermasalahkan kondisi putrinya, aku bisa menjadi teman Cahaya yang memang membutuhkan kasih sayang seorang ibu pada waktu itu.
"Tega sekali kamu, Mas." Aku berbicara sendiri seraya mengusap pipi yang basah oleh air mata.
Dalam pikirku, tidak mungkin Mas Sandi akan berselingkuh. Apalagi dia memiliki putri yang sangat istimewa. Pastilah pikirannya dewasa dan akan selalu meratukan aku yang bisa menerima dia dengan seorang anak down syndrome.
Namun, aku salah besar. Dia bahkan tidur dengan ibu dari putrinya yang dengan sangat jelas menolak kehadiran Cahaya.
Miris. Pengorbananku mengurus, menyayangi, bahkan mengajarkan cara bagaimana mengurus diri pada anak yang berkebutuhan khusus, harus dibayar oleh pengkhianatan.
Aku benar-benar merasa tidak dihargai.
"Halo," kataku setelah sejak lama ponsel berdering.
Terpaksa aku harus menghentikan mobil untuk mengangkat panggilan.
"Bunda ..., kenapa tidak jemput Adek?"
Aku diam beberapa saat, lalu mengusap wajah dengan sangat kasar saat menyadari sesuatu.
Kualihkan pandangan ke arah jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan. Sudah waktunya Shanum pulang sekolah, dan aku melupakan itu.
"Bunda ...."
"Iya, Sayang. Bunda sedang di jalan, kok. Tunggu, ya Anak Cantik. Em ...." Aku melihat layar ponsel, lalu menempelkannya lagi ke telinga. "Minta ditemani Ibu Guru Safira, sampai Bunda datang, ya?" lanjutku setelah tahu guru siapa yang menelepon.
Shanum mengiyakan, dan panggilan berkahir. Aku kembali melajukan mobil, memutar arah untuk bisa sampai ke sekolah Taman Kanak-kanak di mana Shanum belajar.
Tadinya, aku ingin pergi ke rumah orang tuaku. Menyadari ada gadis kecil yang harus aku jemput, mau tidak mau harus putar arah.
Sesampainya di depan sekolah Shanum, aku disambut wajah cemberut putriku yang duduk bersama Safira, guru sekaligus temanku sendiri.
"Aya, tantrum?" tebak Safira saat aku ikut duduk bersama mereka.
Aku menggelengkan kepala.
"Terus?"
"Aku lupa, tadi sedang ada sedikit—"
"Kenapa pipimu merah? Apa yang terjadi, Ranum?"
Aku memegang pipi yang tadi ditampar Mas Sandi. Aku tidak menyangka jika tamparan dari pria itu akan berbekas. Bukan pada wajahku, tapi pada hatiku juga.
Sakit dan perih kini kurasakan kembali. Kejadian di rumah tadi mengingatkan aku akan pengkhianatan mereka.
Masih terekam jelas bagaimana Mas Sandi murka saat aku melukai mantan istrinya itu.
"Num ...."
"Ah, ini ... biasalah. Aku seorang ibu dari anak yang luar biasa, bukan? Jadi ... hal seperti ini memang kerap terjadi. Tenang saja, aku sudah bisa memakluminya."
Safira manggut-manggut.
Sebagai seorang guru yang kesehariannya bersama anak kecil, Safira tahu pasti bagaimana repotnya aku jika Cahaya sedang tantrum. Dia pun selalu menjadi motivator yang memberikan masukan bagaimana aku harus bisa menenangkan Cahaya, tanpa menakuti dan menyakiti.
"Ya, semangat Ibu Hebat! Kamu memang luar biasa. Anak orang, lho itu."
"Anak aku lah, kan aku yang urus."
Kami tertawa dan bercengkrama beberapa saat menceritakan Shanum yang semakin hari semakin pintar.
Setiap anak memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Begitu pun dengan Cahaya dan Shanum.
Meskipun tidak seperti anak-anak yang lain, Cahaya sulit dalam berinteraksi bahkan belajar akademik, tapi tangannya ajaib. Dia pandai menggambar, menuangkan isi pikirannya ke dalam sebuah lukisan.
Shanum putriku, dia memang anak manis yang cerdas. Dia pun bisa diandalkan jika aku menyuruhnya menemani Cahaya. Dia adik, tapi perannya bisa menjadi kakak yang baik.
"Bunda, hapenya bunyi, tuh."
Aku melirik ponsel yang tergeletak di atas dashboard mobil. Dari layarnya, terlihat jika si penelepon adalah Mas Sandi.
"Biarkan saja, Nak. Mungkin ayah menyuruh kita pulang cepat."
"Tapi, berisik, Bunda. Biar Adek yang angkat."
"Ja—"
Ucapanku terputus saat Shanum sudah berhasil mengangkat panggilan.
"Ada, Ayah. Sebentar." Shanum melihat ke arahku, lalu memberikan ponsel untuk aku ambil.
"Bunda sedang nyetir, Sayang."
"Kata Ayah, kakak nangis nyariin Bunda," ucap anakku polos.
Aku mengembuskan napas kasar. Sudah aku duga ini akan terjadi. Tapi ... bukankah di rumah ada ibunya?
Aku mengambil ponsel dari tangan Shanum, lalu mematikan sambungan telepon. Kita lihat, sampai berapa jam dia bisa menenangkan putrinya sendiri.
Beberapa saat perjalanan, aku sudah sampai di depan rumah yang asri dengan tanaman hias di sekelilingnya. Shanum yang menyadari jika kita tidak pulang ke rumah kami, langsung melihatku dengan tatapan bingung.
"Kok, kita ke sini, Bunda?"
"Nenek sakit, Sha. Kita jenguk nenek dulu, ya?" ujarku berbohong.
"Tapi kata Ayah, tadi kakak nangis, Bunda. Kalau kita gak langsung pulang, nanti dia pecahin barang-barang, terus tangannya berdarah. Kakak juga bakalan gigitin jari-jarinya, Bunda. Pulang dulu, nanti ke sini lagi kalau kakak sudah tenang."
Seperti orang linglung, aku hanya diam tanpa melakukan apa-apa. Bingung. Antara harus pulang atau tetap di sini.
Apa yang dikatakan Shanum memang benar adanya. Tapi, hatiku masih sakit. Teramat sakit untuk memaafkan mereka sekarang.
Bayangan tubuh mereka yang tanpa busana masih begitu lekat dalam ingatan. Pergulatan panas Mas Sandi dan Mawar menari indah membuatku hilang arah.
"Bunda ...." Shanum menggoyangkan lenganku. Sementara aku menelungkupkan wajah pada setir mobil.
Bimbang, aku benar-benar bingung.
Ponselku kembali berdering. Dan nama Mas Sandi yang ada pada layar ponsel.
"Ranum, tolong pulang, Sayang. Kali ini saja, kamu dengarkan aku. Cahaya ngamuk, dia mencarimu, Num. Tolong, pulanglah sebentar. Setelah itu, terserah kamu mau ke mana pun. Aku terima keputusan kamu, Num. Tapi, tolong pulang dan tenangkan Cahaya dulu. Aku tidak bisa bicara dengan keadaan dia yang seperti orang kesetanan."
"Kesetanan katamu? Kamu yang kesetanan, Mas. Bukan Cahaya! Kamu setannya!" ujarku geram dengan memukul setir.
"Bunda, kenapa, sih Shanum punya ibunya dua?" Pertanyaan Shanum membuatku menghentikan tangan yang tengah menuliskan nota belanjaan pelanggan."Kok, Shanum tiba-tiba nanya gitu?" Aku bertanya dengan hati yang tak enak. Setelah pernikahan Mas Sandi dan Aliya beberapa waktu yang lalu, banyak sekali pertanyaan yang diberikan Shanum padaku tentang ibu tiri dan ayah tiri. Tidak jarang, dia pun menolak ajakan Mas Sandi untuk menginap di rumahnya, karena takut Aliya jahat pada dia. Padahal, Aliya sama sekali tidak berubah. Dia masih sama seperti Aliya yang dulu, bahkan lebih dewasa dari itu. Kata-kata orang lain lah yang membuat putriku merasa takut dengan ibu tiri. Katanya mereka jahat, suka mukul dan lain sebagainya. "Mau tahu aja, Bunda. Orang-orang, kok satu. Tapi ... Shanum malah dua. Ayah dua, ibu juga dua. Apa benar, karena Shanum sangat nakal, jadi harus diurusi sama orang tua yang banyak?" tanya Shanum lagi semakin membuatku terperangah. "Sayang ... anaknya Bunda yang cantik,
"Maksudnya, Mbak?" tanya Aliya menatapku tidak percaya. "Duduk dulu, yuk. Biarkan Shanum bermain sendiri." Aliya melihat pada Shanum, kemudian matanya beralih lagi padaku. Aliya mengurungkan niat untuk pergi, dan memilih duduk menuruti mauku. Sedangkan Shanum, anak itu memilih bermain sendiri di kamar atas yang dulu menjadi kamarku dan ayahnya. "Sebenarnya, bukan aku yang harus mengatakan ini pada Aliya, Mas. Coba, kamu saja yang bilang. Kesannya, kok aku jadi ngatur hidupmu," ujarku pada Mas Sandi. Pria berbadan kurus itu mengembuskan napas kasar. Dia berdehem, kemudian memutarkan keinginan dia yang tadi sudah dia katakan padaku dan Soni. Aliya menunduk dalam ketika Mas Sandi bertanya ketersedian Aliya untuk menjadi istrinya. Namun, segurat kebahagiaan tidak bisa disembunyikan Aliya dari wajahnya. "Gimana, Al. Apa kamu mau menikah dengan pria cacat seperti saya?" Mas Sandi kembali bertanya pada perawatnya itu. Aliya masih menunduk, sesekali dia mengangkat kepala dan menoleh k
"Bunda ...!" Teriakan Shanum membuatku membuka tangan menyambut gadis itu masuk ke dalam pelukan. Tidak hanya Shanum yang menyambut kedatangan kami, tapi juga Mama dan Mas Sandi. Setelah pulang dari Bandung beberapa jam yang lalu, aku memutuskan untuk menjemput Shanum di rumah ayahnya. Ternyata putriku sudah cantik dengan jepit rambut kupu-kupu yang bertengger di rambutnya. "Harum sekali, Sha. Sudah mandi?" tanyaku menciumi kedua pipi itu. "Sudah, Bunda. Dimandiin sama Mbak Aliya.""Kok, mandi sama Mbak Aliya, sih? Mandi sendiri, dong." Shanum hanya mengedikkan bahu seraya tersenyum. Aku masuk ke dalam rumah dengan diikuti Soni yang menenteng paperbag di belakangku. "Aduh ... yang bulan madu. Gimana, sudah ada tanda-tanda kehidupan?" tanya Mama saat kami duduk di ruang tengah. "Ini hidup, kalau mati mana bisa datang ke sini, kan?""Bukan itu, maksud Mama. Ah, suka pura-pura kamu, Soni."Kami tergelak seraya menikmati tape goreng di sore hari ini. Shanum yang tahu aku membawak
Gerimis kembali menyapa bumi. Menghiasi hati, menyiram jiwa yang dibalut cinta. Awan putih berganti abu-abu, menghadirkan rasa yang membelai kalbu. Aku, duduk manis bersama pria muda si pemberi cinta. Menikmati udara sejuk yang membuat dua hati saling menyapa penuh damba. Tangannya yang tadi bersidekap di dada, kini menyelusup meraih jari jemariku untuk mencari kenyamanan serta kehangatan. "Udaranya semakin dingin. Masuk, yuk." Aku menoleh ke samping. Mata kami saling mengunci dengan senyum yang menghiasi bibir. Namun, aku tidak menjawab ajakannya. Aku justru kembali menatap ke depan seraya menarik napas menikmati udara yang semakin banyak. "Tidak ingin pulang?" tanyanya seraya membelai pipi yang telah disinggahi air dari langit. "Hujannya belum besar, kurasa ... masih aman jika kita di sini sebentar lagi. Udara di sini sangat sejuk, membuatku enggan melewatinya.""Sama. Aku juga tidak ingin melewati ini begitu saja. Akan sangat terasa biasa saja, jika rintik hujan ini menari seo
Hari-hari sebagai wanita pekerja, membuatku semakin menikmati perananku. Meskipun kini sudah ada karyawan baru yang membantu, tapi aku tidak ingin berpangku tangan menyerahkan semua pekerjaan kepada kedua orang yang membantuku. Aku masih mengawasi, melayani dan memberikan kenyamanan pada pelanggan. Tidak terkecuali, kepada dua orang yang sudah siap dengan pakaian mereka masing-masing. "Bunda, apa aku cantik?" tanya seorang gadis kecil yang begitu anggun dengan kebaya yang membalut tubuhnya. "Cantik sekali, Sayang. Ya ampun anaknya Bunda ...." Aku menangkup kedua pipi yang sedikit memerah oleh riasan makeup. Hari ini ada pentas seni di Taman Kanak-kanak tempat Shanum sekolah, sekaligus perpisahan Safira yang akan pergi ikut suaminya. Sedih, memang. Tapi, aku tidak punya hak untuk melarang. Dia sudah menikah, dan pastinya lebih baik ikut suami daripada menjalani hubungan jarak jauh. "Mas Sandi, sudah di telpon?" tanya Soni padaku.Aku berdiri dengan tegak, kemudian menggelengkan
"Cokelat panas untuk Mbak Istri." Pandangan ini beralih dari kertas dengan rentetan daftar barang yang akan aku pesan, pada satu cangkir cokelat yang masih mengeluarkan asap. "Terima kasih," ucapku dengan senyuman. Pria yang memakai kaus warna putih itu mengambil kursi, lalu duduk di sampingku yang masih berkutat dengan pekerjaan. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, tapi mata ini diminta untuk tidak tidur dahulu sebelum menyelesaikan mencatat kebutuhan toko. Soni yang baru pulang dari kedai, dia pun tidak langsung pergi tidur. Dengan senang hati, pria yang semakin hari semakin tampan itu menemaniku seraya menceritakan keseharian dia di kedai. "Apa hubunganmu dan Nabila sudah kembali baik?" Entahlah, kenapa pertanyaan itu yang keluar dari bibirku ketika dia membahas kedai dengan segala kesibukannya. "Emh ... baik, tapi bukan berarti akan lebih dekat, 'kan? Lebih tepatnya, aku selalu menjaga jarak dengan teman perempuan.""Kenapa? Bukannya semakin dekat, pekerjaan pun a
"Iya, dia jatuh saat turun dari mobil. Pagi itu, dia pamit pergi dengan disupiri karyawan kantornya. Sandi bilang, mau lihat Shanum. Sebenarnya ... sudah beberapa kali dia datang ke tempat kalian, melihat aktivitas kalian, lalu pulang lagi. Dia ke sana hanya ingin memastikan Shanum baik-baik saja. Ah, entahlah tujuan utamanya apa, tapi itu yang dia katakan pada Mama.""Ya, Ranum juga beberapa kali melihat Mas Sandi datang, tapi tidak berani menegur. Karena emang tidak lama dia sana. Setelah Shanum berangkat sekolah, mobil Mas Sandi pun pergi begitu saja. Tapi ... berita Mas Sandi kena stroke, membuatku kaget, Mah." Aku berucap pelan. "Beberapa minggu terakhir, darah tinggi Sandi memang sering kumat. Setiap hari dia mengeluhkan pusing dan sakit kepala, tapi tidak mau periksa. Hingga minggu lalu, terjadilah sesuatu yang mengejutkan. Mama dan Aliya sampai gak tidur karena ngurusin kakakmu di rumah sakit." "Seandainya Mama kasih tahu Ranum, mungkin gak akan repot berdua saja, Mah.""Ah,
"Mas Sandi di rumah sakit?" Aku kembali bertanya untuk mengetahui tentang kakak suamiku itu. "Katanya sudah di rumah, Mama meminta kita datang untuk menjenguknya."Aku manggut-manggut. Tidak ada lagi kata yang keluar dari bibirku dan Soni. Dia fokus pada jalanan yang padat, sedangkan aku menelepon Desi untuk memberitahukan dia jika kami akan pulang terlambat. Jarak gedung tempat pernikahan Safira dan rumah Mas Sandi, cukup jauh. Apalagi kami terjebak macet, membuat perjalanan semakin terasa lama. Shanum sampai tertidur di kursi belakang saking jengkel dan jenuhnya dengan kemacetan ini. "Kenapa Mas Sandi tidak dirawat di rumah sakit saja, ya?" Aku kembali bicara untuk mengusir kebisuan di antara kami. "Kata Mama, sudah. Sudah enam hari Mas Sandi di rumah sakit, dan baru dibawa pulang tadi pagi.""Kok, tidak ngabarin kita?" tanyaku lagi. Soni tidak menjawab. Dia menggelengkan kepala seraya membuang napas kasar. Pantas saja, seminggu ini aku tidak lagi melihat mantan suamiku itu d
Satu minggu telah berlalu, kini tokoku sudah menjadi yang aku mau. Pelanggan lama semakin betah berbelanja, dan yang baru pun semakin bertambah. Tidak hanya menjual sembako dan kebutuhan rumah lainnya, kini aku menambahkan alat-alat tulis yang sering dicari ibu-ibu ketika datang ke sini. Ice cream kemasan pun turut hadir membuat ibu-ibu yang membawa anaknya dibuat naik darah karena si anak sering merengek meminta makanan dingin itu. Namun, meskipun aku menjual untuk orang lain, untuk putriku selalu memberikan batasan. Tidak memperbolehkan dia memakan ice cream terlalu sering, karena akan membuat kesehatannya terganggu. "Mbak, sudah siap?" tanya Soni seraya menghampiriku yang sedang di meja kasir. Aku menoleh ke arahnya, menyambut dia dengan senyuman manis. Ada yang berbeda dari suami berondongku itu. Dia yang baru saja memotong rambut, membuat wajahnya terlihat segar dan ... tampan. Iya, aku mengakui ketampanan paras suamiku itu. Selain muda dan rajin bekerja, dia pun berkarism