"Ya Allah ...!" Aku berseru saat melihat keadaan rumah yang berantakan.
Sofa berada bukan pada posisinya. Mainan dan perabotan rumah sudah berserakan di atas lantai. Itu baru di ruang tamu. Semakin aku masuk ke dalam, semakin kacau keadaan rumahku itu.
"Ranum, kamu pulang?" ujar Mas Sandi menyadari keberadaanku yang memindai seluruh penjuru rumah.
Ternyata suamiku tidak sendirian. Ada Mama, ibu mertuaku yang duduk bersamanya di sofa ruang tamu yang tidak tentu arah.
Wanita itu melihat ke arahku, lalu dia berdiri dan mengahmpiri. Aku menyuruh Shanum untuk masuk ke dalam kamarnya sebelum Mama mulai bicara.
"Mah." Aku mengambil tangan wanita itu, lalu menciumnya.
"Ada apa dengan kamu, Num?"
Aku tidak langsung menjawab pertanyaan Mama. Menoleh sebentar pada Mas Sandi yang duduk seraya mengurut kening.
"Aku ...."
"Hanya gara-gara melihat Sandi tidur berdampingan dengan Mawar, kamu marah hingga enggan pulang?" ujar Mama membuatku tersentak.
Hanya. Dia bilang hanya?
Oh, apa mungkin para tersangka itu mengatakan yang tidak-tidak pada ibu mertuaku?
Kutatap lekat Mas Sandi yang juga tengah menatapku. Dia menunduk, mungkin malu dilihat dengan tajam olehku.
"Mama, bicara sama kamu, Ranum. Lihat Mama, dan jawab pertanyaan Mama dengan jujur. Benar, kamu tidak mau lagi mengurus Cahaya?"
"Apa yang Mama dengar dari Mas Sandi, bukanlah cerita yang sebenarnya, Mah. Sebagai seorang wanita, apa Mama akan diam saja, dan mengatakan 'hanya', jika melihat suaminya tidur dengan wanita lain tanpa busana?"
Mama tersentak kaget. Matanya hampir loncat dengan langsung menoleh pada putranya yang masih menunduk.
Aku tidak lagi berucap, berjalan melewati Mama saat suara teriakan terdengar dari dalam kamar mandi yang berada dekat dapur.
Apa mereka mengurung Cahaya?
"Sandi, benarkah yang dikatakan Ranum?"
Tidak aku pedulikan Mama yang mungkin mengintrogasi Mas Sandi. Aku lebih mencemaskan Cahaya dibandingkan masalah rumah tanggaku sendiri.
Setengah berlari aku menghampiri kamar mandi, lalu membukanya.
"Apa yang kamu lakukan?" ujarku geram ketika melihat Mawar mengguyur kepala Cahaya.
"Nda ...!" Cahaya merentangkan tangan ke arahku seraya berjalan menggunakan lutut.
Sedangkan ibu yang melahirkan anak itu, dia berkacak pinggang, kemudian melempar gayung ke bak mandi hingga airnya menciprat ke sembarang arah.
"Aku memandikan dia!"
"Dengan cara seperti itu?" kataku.
"Lalu harus dengan cara apa? Memohon, bermanis-manis agar dia menurut? Lama! Bukannya nurut, dia malah ngelunjak. Ini akibat kamu memanjakan dia, makanya jadi keras kepala seperti itu! Segede gitu tidak bisa mandi sendiri." Mawar menggerutu seraya menunjuk-nunjuk Cahaya yang kini sudah berada dalam pelukanku.
Bajuku jadi basah karena gadis itu menempel seperti anak kecil yang ketakutan. Suara tangisnya masih terdengar meskipun tidak sekeras tadi.
"Apa menurutmu dengan cara memaksa seperti ini bisa membuat dia luluh dan bertekuk lutut padamu? Tidak, Mawar! Kamu menakutinya, kamu menyakiti dia!"
"Itu karena kamu selalu mengatakan keburukan aku pada dia. Cahaya jadi takut denganku, karena kamu mencuci otaknya!"
Aku menggelengkan kepala menolak tuduhan dia. Justru dengan caranya memperlakukan Cahaya, membuat anak itu semakin enggan diurus oleh ibunya sendiri.
Mawar keluar dari kamar mandi seraya terus mengomel menyalahkan aku dan Cahaya. Dia tidak sadar diri kenapa putrinya lebih dekat denganku dibandingkan dirinya.
Seperginya Mawar, aku membujuk Cahaya untuk mandi seorang diri. Dia tidak seperti yang dikatakan Mawar. Cahaya paham, dia tahu bagaimana caranya mandi mengurus tubuhnya. Tapi, harus dengan bahasa halus kita menyuruhnya. Bukan dengan paksaan.
"Nda ... jangan pergi lagi. Aya jangan ditinggalin," ujar Cahaya saat aku hendak keluar dari kamar mandi.
"Aya, tadi Bunda jemput adik, Nak. Kalau tidak dijemput, kasihan adik tidak bisa pulang. Sekarang, Kakak Aya mandi dulu, ya? Nanti main lagi sama adik."
Cahaya mengangguk. Dia mulai melucuti pakaiannya, dan menaruhnya ke ember. Aku pun keluar hendak mengganti pakaian yang sudah basah di bagian depannya.
Saat hendak ke kamar, aku melihat Mama tengah berbicara pada dua sejoli yang tadi kepergok melakukan dosa olehku. Mereka tidak ada yang berani menjawab. Keduanya menunduk, tidak bersungut-sungut seperti saat bicara denganku tadi.
Niat hati ingin pulang untuk mengambil pakaian, tapi keadaannya sekarang malah semakin tidak memungkinkan untukku pergi lagi. Mama. Ada Mama yang pastinya akan menentang keputusanku itu.
"Num, sini." Mama melambaikan tangan saat melihatku hanya berdiri.
"Ranum, ganti baju dulu, Mah. Basah," kataku langsung menaiki anak tangga.
"Cahaya mana?!"
Aku membalikkan badan melihat pada wanita mantan istri suamiku yang baru saja bertanya.
"Mandi. Kenapa, baru tahu jika Cahaya bisa mandi sendiri? Katanya ibunya, kok masalah kecil gitu aja tidak tahu," ucapku seraya berlalu.
Bisa kulihat dari ujung mata, wajah itu memerah tidak suka. Lalu, salahku di mana? Memang benar begitu, 'kan?
Setelah berganti pakaian, aku duduk merenung di pinggir ranjang. Kupejamkan mata, mengusir bayangan menyakitkan antara suamiku dengan mantan istrinya. Namun, semakin aku menepis bayangan itu, semakin nyata pula menari dalam angan.
Dadaku sakit, air mataku keluar tanpa aba-aba. Kugenggam erat seprai yang aku duduki, lalu berdiri dan menariknya dengan sekuat tenaga.
Selimut, seprai, hingga sarung bantal aku lepaskan dari tempatnya. Aku menggulung kain-kain yang menjadi saksi pelepasan dua makhluk tidak beradab itu, lalu melemparnya ke sudut ruangan.
"Ranum ...."
"Jangan jelaskan apa pun. Aku tidak ingin mendengar apa pun darimu, Mas."
Mas Sandi menutup pintu lalu menguncinya dari dalam. Dia berjalan pelan menghampiri aku yang bersandar pada tembok dekat jendela kaca.
"Maaf, telah membuatmu kecewa. Tapi, percayalah aku tidak pernah membagi hati dengan dia."
Aku tersenyum miring mendengar perkataan ngaco pria itu. Tidak mungkin tidak membagi hati, kalau penampakannya pun seperti itu.
"Tadi, kepalaku teramat sakit dan pusing, aku kira yang datang ke kamar membelai rambutku, itu kamu, Num. Aku tidak tahu itu Mawar, dan—"
"Dan semuanya omong kosong. Tidak mungkin tidak sadar, tidak mungkin tidak melihat sepanjang permainan itu, Mas!"
"Sumpah demi Tuhan, Ranum. Aku tidak tahu sampai akhirnya kamu masuk dan melihat semuanya," ujar Mas Sandi mencoba mendekatiku.
Aku menghindar. Tidak sudi disentuh oleh pria itu.
"Percayalah, Num. Aku dijebak, dijebak oleh Mawar."
"Dijebak atau tidak sadar?" tanyaku menatapnya tajam.
"Tidak sadar dijebak, Num."
"Kamu sadar, Mawar masuk ke kamar ini?"
"Sadar, Num. Eh, tidak bukan sadar. Maksudku tidak sadar, Ranum."
Aku menyunggingkan senyum mengejek ke arahnya. Perkataan yang keluar dari bibir Mas Sandi tidak seperti yang ada dalam hatinya. Jawabannya tidak konsisten.
"Bunda, kenapa, sih Shanum punya ibunya dua?" Pertanyaan Shanum membuatku menghentikan tangan yang tengah menuliskan nota belanjaan pelanggan."Kok, Shanum tiba-tiba nanya gitu?" Aku bertanya dengan hati yang tak enak. Setelah pernikahan Mas Sandi dan Aliya beberapa waktu yang lalu, banyak sekali pertanyaan yang diberikan Shanum padaku tentang ibu tiri dan ayah tiri. Tidak jarang, dia pun menolak ajakan Mas Sandi untuk menginap di rumahnya, karena takut Aliya jahat pada dia. Padahal, Aliya sama sekali tidak berubah. Dia masih sama seperti Aliya yang dulu, bahkan lebih dewasa dari itu. Kata-kata orang lain lah yang membuat putriku merasa takut dengan ibu tiri. Katanya mereka jahat, suka mukul dan lain sebagainya. "Mau tahu aja, Bunda. Orang-orang, kok satu. Tapi ... Shanum malah dua. Ayah dua, ibu juga dua. Apa benar, karena Shanum sangat nakal, jadi harus diurusi sama orang tua yang banyak?" tanya Shanum lagi semakin membuatku terperangah. "Sayang ... anaknya Bunda yang cantik,
"Maksudnya, Mbak?" tanya Aliya menatapku tidak percaya. "Duduk dulu, yuk. Biarkan Shanum bermain sendiri." Aliya melihat pada Shanum, kemudian matanya beralih lagi padaku. Aliya mengurungkan niat untuk pergi, dan memilih duduk menuruti mauku. Sedangkan Shanum, anak itu memilih bermain sendiri di kamar atas yang dulu menjadi kamarku dan ayahnya. "Sebenarnya, bukan aku yang harus mengatakan ini pada Aliya, Mas. Coba, kamu saja yang bilang. Kesannya, kok aku jadi ngatur hidupmu," ujarku pada Mas Sandi. Pria berbadan kurus itu mengembuskan napas kasar. Dia berdehem, kemudian memutarkan keinginan dia yang tadi sudah dia katakan padaku dan Soni. Aliya menunduk dalam ketika Mas Sandi bertanya ketersedian Aliya untuk menjadi istrinya. Namun, segurat kebahagiaan tidak bisa disembunyikan Aliya dari wajahnya. "Gimana, Al. Apa kamu mau menikah dengan pria cacat seperti saya?" Mas Sandi kembali bertanya pada perawatnya itu. Aliya masih menunduk, sesekali dia mengangkat kepala dan menoleh k
"Bunda ...!" Teriakan Shanum membuatku membuka tangan menyambut gadis itu masuk ke dalam pelukan. Tidak hanya Shanum yang menyambut kedatangan kami, tapi juga Mama dan Mas Sandi. Setelah pulang dari Bandung beberapa jam yang lalu, aku memutuskan untuk menjemput Shanum di rumah ayahnya. Ternyata putriku sudah cantik dengan jepit rambut kupu-kupu yang bertengger di rambutnya. "Harum sekali, Sha. Sudah mandi?" tanyaku menciumi kedua pipi itu. "Sudah, Bunda. Dimandiin sama Mbak Aliya.""Kok, mandi sama Mbak Aliya, sih? Mandi sendiri, dong." Shanum hanya mengedikkan bahu seraya tersenyum. Aku masuk ke dalam rumah dengan diikuti Soni yang menenteng paperbag di belakangku. "Aduh ... yang bulan madu. Gimana, sudah ada tanda-tanda kehidupan?" tanya Mama saat kami duduk di ruang tengah. "Ini hidup, kalau mati mana bisa datang ke sini, kan?""Bukan itu, maksud Mama. Ah, suka pura-pura kamu, Soni."Kami tergelak seraya menikmati tape goreng di sore hari ini. Shanum yang tahu aku membawak
Gerimis kembali menyapa bumi. Menghiasi hati, menyiram jiwa yang dibalut cinta. Awan putih berganti abu-abu, menghadirkan rasa yang membelai kalbu. Aku, duduk manis bersama pria muda si pemberi cinta. Menikmati udara sejuk yang membuat dua hati saling menyapa penuh damba. Tangannya yang tadi bersidekap di dada, kini menyelusup meraih jari jemariku untuk mencari kenyamanan serta kehangatan. "Udaranya semakin dingin. Masuk, yuk." Aku menoleh ke samping. Mata kami saling mengunci dengan senyum yang menghiasi bibir. Namun, aku tidak menjawab ajakannya. Aku justru kembali menatap ke depan seraya menarik napas menikmati udara yang semakin banyak. "Tidak ingin pulang?" tanyanya seraya membelai pipi yang telah disinggahi air dari langit. "Hujannya belum besar, kurasa ... masih aman jika kita di sini sebentar lagi. Udara di sini sangat sejuk, membuatku enggan melewatinya.""Sama. Aku juga tidak ingin melewati ini begitu saja. Akan sangat terasa biasa saja, jika rintik hujan ini menari seo
Hari-hari sebagai wanita pekerja, membuatku semakin menikmati perananku. Meskipun kini sudah ada karyawan baru yang membantu, tapi aku tidak ingin berpangku tangan menyerahkan semua pekerjaan kepada kedua orang yang membantuku. Aku masih mengawasi, melayani dan memberikan kenyamanan pada pelanggan. Tidak terkecuali, kepada dua orang yang sudah siap dengan pakaian mereka masing-masing. "Bunda, apa aku cantik?" tanya seorang gadis kecil yang begitu anggun dengan kebaya yang membalut tubuhnya. "Cantik sekali, Sayang. Ya ampun anaknya Bunda ...." Aku menangkup kedua pipi yang sedikit memerah oleh riasan makeup. Hari ini ada pentas seni di Taman Kanak-kanak tempat Shanum sekolah, sekaligus perpisahan Safira yang akan pergi ikut suaminya. Sedih, memang. Tapi, aku tidak punya hak untuk melarang. Dia sudah menikah, dan pastinya lebih baik ikut suami daripada menjalani hubungan jarak jauh. "Mas Sandi, sudah di telpon?" tanya Soni padaku.Aku berdiri dengan tegak, kemudian menggelengkan
"Cokelat panas untuk Mbak Istri." Pandangan ini beralih dari kertas dengan rentetan daftar barang yang akan aku pesan, pada satu cangkir cokelat yang masih mengeluarkan asap. "Terima kasih," ucapku dengan senyuman. Pria yang memakai kaus warna putih itu mengambil kursi, lalu duduk di sampingku yang masih berkutat dengan pekerjaan. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, tapi mata ini diminta untuk tidak tidur dahulu sebelum menyelesaikan mencatat kebutuhan toko. Soni yang baru pulang dari kedai, dia pun tidak langsung pergi tidur. Dengan senang hati, pria yang semakin hari semakin tampan itu menemaniku seraya menceritakan keseharian dia di kedai. "Apa hubunganmu dan Nabila sudah kembali baik?" Entahlah, kenapa pertanyaan itu yang keluar dari bibirku ketika dia membahas kedai dengan segala kesibukannya. "Emh ... baik, tapi bukan berarti akan lebih dekat, 'kan? Lebih tepatnya, aku selalu menjaga jarak dengan teman perempuan.""Kenapa? Bukannya semakin dekat, pekerjaan pun a
"Iya, dia jatuh saat turun dari mobil. Pagi itu, dia pamit pergi dengan disupiri karyawan kantornya. Sandi bilang, mau lihat Shanum. Sebenarnya ... sudah beberapa kali dia datang ke tempat kalian, melihat aktivitas kalian, lalu pulang lagi. Dia ke sana hanya ingin memastikan Shanum baik-baik saja. Ah, entahlah tujuan utamanya apa, tapi itu yang dia katakan pada Mama.""Ya, Ranum juga beberapa kali melihat Mas Sandi datang, tapi tidak berani menegur. Karena emang tidak lama dia sana. Setelah Shanum berangkat sekolah, mobil Mas Sandi pun pergi begitu saja. Tapi ... berita Mas Sandi kena stroke, membuatku kaget, Mah." Aku berucap pelan. "Beberapa minggu terakhir, darah tinggi Sandi memang sering kumat. Setiap hari dia mengeluhkan pusing dan sakit kepala, tapi tidak mau periksa. Hingga minggu lalu, terjadilah sesuatu yang mengejutkan. Mama dan Aliya sampai gak tidur karena ngurusin kakakmu di rumah sakit." "Seandainya Mama kasih tahu Ranum, mungkin gak akan repot berdua saja, Mah.""Ah,
"Mas Sandi di rumah sakit?" Aku kembali bertanya untuk mengetahui tentang kakak suamiku itu. "Katanya sudah di rumah, Mama meminta kita datang untuk menjenguknya."Aku manggut-manggut. Tidak ada lagi kata yang keluar dari bibirku dan Soni. Dia fokus pada jalanan yang padat, sedangkan aku menelepon Desi untuk memberitahukan dia jika kami akan pulang terlambat. Jarak gedung tempat pernikahan Safira dan rumah Mas Sandi, cukup jauh. Apalagi kami terjebak macet, membuat perjalanan semakin terasa lama. Shanum sampai tertidur di kursi belakang saking jengkel dan jenuhnya dengan kemacetan ini. "Kenapa Mas Sandi tidak dirawat di rumah sakit saja, ya?" Aku kembali bicara untuk mengusir kebisuan di antara kami. "Kata Mama, sudah. Sudah enam hari Mas Sandi di rumah sakit, dan baru dibawa pulang tadi pagi.""Kok, tidak ngabarin kita?" tanyaku lagi. Soni tidak menjawab. Dia menggelengkan kepala seraya membuang napas kasar. Pantas saja, seminggu ini aku tidak lagi melihat mantan suamiku itu d
Satu minggu telah berlalu, kini tokoku sudah menjadi yang aku mau. Pelanggan lama semakin betah berbelanja, dan yang baru pun semakin bertambah. Tidak hanya menjual sembako dan kebutuhan rumah lainnya, kini aku menambahkan alat-alat tulis yang sering dicari ibu-ibu ketika datang ke sini. Ice cream kemasan pun turut hadir membuat ibu-ibu yang membawa anaknya dibuat naik darah karena si anak sering merengek meminta makanan dingin itu. Namun, meskipun aku menjual untuk orang lain, untuk putriku selalu memberikan batasan. Tidak memperbolehkan dia memakan ice cream terlalu sering, karena akan membuat kesehatannya terganggu. "Mbak, sudah siap?" tanya Soni seraya menghampiriku yang sedang di meja kasir. Aku menoleh ke arahnya, menyambut dia dengan senyuman manis. Ada yang berbeda dari suami berondongku itu. Dia yang baru saja memotong rambut, membuat wajahnya terlihat segar dan ... tampan. Iya, aku mengakui ketampanan paras suamiku itu. Selain muda dan rajin bekerja, dia pun berkarism