"Tidak becus! Kenapa harus anakku yang celaka? Kenapa bukan kamu saja yang tiada!" "Sandi!!" Aku yang berada bersama Shanum di dalam kamar rawat inap, akhirnya memilih keluar saat mendengarkan keributan di sana. Berbagai umpatan dan cacian Mas Sandi berikan pada Soni yang tadi mengalami kecelakaan bersama putriku. Menurut penuturan Soni, tadi motor yang dikendarainya bertabrakan dengan mobil yang melaju dari arah berlawanan. Mobil yang menyalip kendaraan lain, ditambah wajah Soni ketutupan rambut Shanum yang tertiup angin, membuat pandangan dia tertutup. Alhasil, kecelakaan tidak dapat dihindari. Dan sekarang, putriku terkapar lemas di atas ranjang rumah sakit."Sandi, sudah hentikan. Jangan terus menyalahkan adikmu. Celaka tidak ada yang tahu, ini musibah, Nak." Mama menghendaki kemarahan Mas Sandi yang begitu emosi pada Soni. Pria yang tak lain suamiku itu hanya menunduk lesu di atas kursi roda. Soni tidak mengalami luka serius, dia hanya shock dengan beberapa luka ringan di
Aku langsung menghampiri Shanum, lalu menanyakan bagian mana yang sakit. Kekhawatiranku bertambah, saat putriku terus menangis menunjuk bagian kepala yang terluka. "Mas, minta dokter untuk segera memeriksa bagian dalam kepala Shanum, aku takut ada cidera di dalamnya," ujarku seraya terus memenangkan buah hatiku. "Baiklah, aku akan menemui dokter untuk ini." Mas Sandi keluar dari kamar Shanum, untuk menemui dokter yang menangani putriku. Sedangkan aku, menenangkan putriku dengan dibantu Ibu. "Gimana, Mas?" tanyaku saat Mas Sandi datang seorangpun diri. Tidak ada dokter yang mengikutinya. "Mereka akan segera datang untuk memeriksa Shanum. Mudah-mudahan tidak ada apa-apa dengan putriku. Jika ada yang serius, aku tidak akan memaafkan Soni."Hatiku menciut, dadaku berdenyut ketika Mas Sandi mengucapkan kata ancaman pada Soni. Sesalah-salahnya dia, Soni itu suamiku. Ada rasa kasihan dan tidak terima saat Mas Sandi berkata kasar kepada suamiku itu. Kecelakaan ini bukan inginnya. Dia
"Coba lihat di toilet, Num." Aku menuruti perintah Mama dengan langsung berjalan ke arah kamar kecil. Kosong. Tidak ada Soni di sana. Aku menggelengkan kepala ke arah Mama yang sekarang sudah berdiri di belakangku. "Oh, mungkin ke mushola, Num. Kan, sudah adzan subuh," ujar Mama lagi. Aku berpikir sejenak, lalu mengembuskan napas lega. Ya, mungkin Soni sedang salat subuh berjamaah. Rasa khawatirku sedikit berkurang setelah tahu kemungkinan besar Soni ada di tempat yang aman. Aku pun pamit pada Mama untuk pergi ke mushola. Bukan untuk menyusul Soni, melainkan untuk menunaikan ibadah salat subuh, karena aku tidak membawa mukena jika harus salat di kamar Shanum. Dua rakaat sudah aku tunaikan, kini mataku celingukan mencari sosok Soni. Namun, ternyata di sini pun tidak ada. Aku keluar dari mushola dengan hati yang tak tenang. Mungkinkah Soni sudah kembali ke kamarnya, atau sebenarnya dia tidak ada di tempat ibadah itu? "Pak, maaf ganggu sebentar. Apa, Bapak lihat laki-laki yang
"Om Soni ... Bunda juga tidak tahu di mana Om Soni, Sha." "Loh, kok Bunda bicara seperti itu? Memangnya Om Soni di mana, Bunda?" Shanum kembali bertanya dengan mata yang mulai berkaca-kaca.Ya Tuhan ... cengengnya aku menurun pada putriku. Baru saja aku menjawab tidak pasti tentang Soni, mata Shanum sudah mulai berair. Dia begitu khawatir pada omnya itu. "Sayang ... kok, malah nangis? Kemarin, Om Soni di sini sama Shanum. Tapi ... dia pergi, dan gak bilang-bilang sama Bunda. Mau Bunda lihat ke rumah, tapi tidak ada yang jagain Shanum di sini. Bunda, jadi bingung." Aku menoleh ke arah putriku yang kini air matanya sudah melewati pipi. Segera aku menghapusnya, menghibur dia agar tidak lagi bersedih. "Bunda ....""Iya, Sayang?" "Bunda pulang saja, lihat Om Soni. Kasihan dia Bunda, kakinya tertimpa motor.""Shanum, ingat?" tanyaku memastikan. Pasalnya, kemarin pas di bawa ke sini, putriku sudah pingsan sejak dari tempat kejadian. "Ingat, Bunda. Om Soni meringis, terus Shanum lupa l
"Ranum!!""Mbak!"Teriakan kedua pria itu membuatku menghentikan tangan yang sudah berhasil menampar kedua pipi Mas Sandi. Dadaku naik turun seiring amarah yang masih memuncak. Telapak tangan memanas setelah barusan bersentuhan dengan kulit tebal Mas Sandi.Tak kusangka, pria yang dulu aku hormati, kujunjung tinggi, kini merendahkanku dengan sadar. Dia, ingin membeli seorang istri dari suaminya. "Ranum, kenapa kamu datang ke sini dan tiba-tiba menamparku?" tanya Mas Sandi dengan wajah merahnya. Aku mengambil gelas berisikan air, lalu menumpahkannya dengan sengaja ke wajah pria itu. Dia kembali berteriak mempertanyakan maksud dari perbuatanku ini. "Kenapa kamu bilang? Kamu ingin tahu kenapa aku seperti ini? Karena aku jijik padamu! Jangan mentang-mentang kamu punya banyak uang, kamu bisa seenaknya membeliku dengan hartamu!"Mas Sandi buru-buru menutup tas berisikan uang yang dia tawarkan pada Soni. Tangannya begitu cepat mengemasi barang-barang yang dia tawarkan sebagai imbalan ji
"Aku tidak ingin membebanimu, Mbak. Aku harus bisa menyelesaikan masalahku sendiri, tanpa ingin melibatkanmu.""Salah," ujarku. "Jika kamu menganggapku istri, sebesar apa pun masalah yang datang, serumit apa pun cara penyelesaiannya, harusnya kamu tetap cerita. Bukan pergi sesuka hati, membuat semua orang khawatir. Telpon Mama, dia masih mencarimu." Aku berucap tanpa jeda. Seperti seorang anak yang diperintah ibunya, Soni mengambil ponsel, lalu menghidupkannya. Dia langsung menelepon Mama, mengatakan kalau dia baik-baik saja. Setelahnya, aku mendengarkan alasan kepergian dia dari rumah sakit. Seperti dugaanku, dia memang disuruh Mas Sandi untuk mencari uang biaya rumah sakit Shanum. Ancamannya, jika Soni tidak bisa mendapatkan uang itu, maka dia harus meninggalkan aku. Mas Sandi memang pintar menjebak seseorang dalam kesengsaraan. Ancaman dia membuat Soni semakin merasa bersalah dengan kondisi Shanum. Juga, dia yang enggan meninggalkanku, harus bisa mendapatkan uang dengan cara ap
Mas Sandi sakit? Bukankah tadi dia baik-baik saja? Apa hanya pura-pura?Benakku dipenuhi berbagai kemungkinan yang terjadi pada Mas Sandi. Namun, aku tidak ingin terlalu memikirkannya. Aku memilih kembali fokus pada Shanum, demi untuk kesembuhannya. Mama sudah pergi, dan sekarang tinggallah aku dan Shanum di sini. Sepi. Tidak ada teman ngobrol selain putriku. Ingin meminta Soni ke sini, tapi kasihan. Dia belum sembuh betul, juga dia yang sedang banyak pikiran. "Huft ...." Aku mengembuskan napas kasar. Putriku masih anteng dengan mainan yang diberikan Mama tadi. Dia sama sekali tidak terganggu olehku yang mondar-mandir ke sana kemari. "Bunda ...." Aku menoleh, lalu menghampiri Shanum. "Kenapa, Sayang?" "Kapan kita pulang?" tanyanya lagi. "Setelah dokter yang menyuruh. Sekarang, Shanum istirahat, ya? Biar kepalanya tidak sakit, dan biar bisa cepat pulang," kataku membujuknya. Shanum menyimpan mainannya, lalu merebahkan diri dengan tidak melepaskan tanganku. Matanya mengerjap
Sebelumnya, aku tidak pernah melakukan ini pada dia. Sekarang, aku harus menebalkan muka untuk meminjam uang pada sahabatku sendiri. "Bantuan apa? Mau makan, makanan rumah? Siap, aku bawain! Apa lagi? Baju, celana, tas, alat makeup, atau apa?" Aku berdecak sebal mendengar rentetan ucapan Safira yang malah terkesan menggodaku. Mengajakku becanda, padahal sekarang ini sedang serius. "Fir.""Apa? Ngomong aja, Num?" "Aku butuh uang. Bisa bantu, gak?" kataku seraya memejamkan mata. Aku menggigit jari setelah berucap demikian. "Ya ampun, Ranum .... Bukankah tadi aku sudah bilang akan bantu? Kenapa baru bilang sekarang? Kamu, tuh pura-pura ada, pura-pura bisa, padahal menyimpan luka. Berapa, Num? Kalau ada, aku kasih semuanya.""Emh ... sepuluh, ada gak?" "Sepuluh apa? Sepuluh rebu?""Safira ....""Oke, ada. Aku transfer sekarang, ya?" Aku tersenyum lebar. Akhirnya, aku bisa sedikit bernapas lega. Untuk biaya besok, akan aku pikirkan lagi. Yang terpenting, biaya untuk hari ini sudah t