"Ranum!!""Mbak!"Teriakan kedua pria itu membuatku menghentikan tangan yang sudah berhasil menampar kedua pipi Mas Sandi. Dadaku naik turun seiring amarah yang masih memuncak. Telapak tangan memanas setelah barusan bersentuhan dengan kulit tebal Mas Sandi.Tak kusangka, pria yang dulu aku hormati, kujunjung tinggi, kini merendahkanku dengan sadar. Dia, ingin membeli seorang istri dari suaminya. "Ranum, kenapa kamu datang ke sini dan tiba-tiba menamparku?" tanya Mas Sandi dengan wajah merahnya. Aku mengambil gelas berisikan air, lalu menumpahkannya dengan sengaja ke wajah pria itu. Dia kembali berteriak mempertanyakan maksud dari perbuatanku ini. "Kenapa kamu bilang? Kamu ingin tahu kenapa aku seperti ini? Karena aku jijik padamu! Jangan mentang-mentang kamu punya banyak uang, kamu bisa seenaknya membeliku dengan hartamu!"Mas Sandi buru-buru menutup tas berisikan uang yang dia tawarkan pada Soni. Tangannya begitu cepat mengemasi barang-barang yang dia tawarkan sebagai imbalan ji
"Aku tidak ingin membebanimu, Mbak. Aku harus bisa menyelesaikan masalahku sendiri, tanpa ingin melibatkanmu.""Salah," ujarku. "Jika kamu menganggapku istri, sebesar apa pun masalah yang datang, serumit apa pun cara penyelesaiannya, harusnya kamu tetap cerita. Bukan pergi sesuka hati, membuat semua orang khawatir. Telpon Mama, dia masih mencarimu." Aku berucap tanpa jeda. Seperti seorang anak yang diperintah ibunya, Soni mengambil ponsel, lalu menghidupkannya. Dia langsung menelepon Mama, mengatakan kalau dia baik-baik saja. Setelahnya, aku mendengarkan alasan kepergian dia dari rumah sakit. Seperti dugaanku, dia memang disuruh Mas Sandi untuk mencari uang biaya rumah sakit Shanum. Ancamannya, jika Soni tidak bisa mendapatkan uang itu, maka dia harus meninggalkan aku. Mas Sandi memang pintar menjebak seseorang dalam kesengsaraan. Ancaman dia membuat Soni semakin merasa bersalah dengan kondisi Shanum. Juga, dia yang enggan meninggalkanku, harus bisa mendapatkan uang dengan cara ap
Mas Sandi sakit? Bukankah tadi dia baik-baik saja? Apa hanya pura-pura?Benakku dipenuhi berbagai kemungkinan yang terjadi pada Mas Sandi. Namun, aku tidak ingin terlalu memikirkannya. Aku memilih kembali fokus pada Shanum, demi untuk kesembuhannya. Mama sudah pergi, dan sekarang tinggallah aku dan Shanum di sini. Sepi. Tidak ada teman ngobrol selain putriku. Ingin meminta Soni ke sini, tapi kasihan. Dia belum sembuh betul, juga dia yang sedang banyak pikiran. "Huft ...." Aku mengembuskan napas kasar. Putriku masih anteng dengan mainan yang diberikan Mama tadi. Dia sama sekali tidak terganggu olehku yang mondar-mandir ke sana kemari. "Bunda ...." Aku menoleh, lalu menghampiri Shanum. "Kenapa, Sayang?" "Kapan kita pulang?" tanyanya lagi. "Setelah dokter yang menyuruh. Sekarang, Shanum istirahat, ya? Biar kepalanya tidak sakit, dan biar bisa cepat pulang," kataku membujuknya. Shanum menyimpan mainannya, lalu merebahkan diri dengan tidak melepaskan tanganku. Matanya mengerjap
Sebelumnya, aku tidak pernah melakukan ini pada dia. Sekarang, aku harus menebalkan muka untuk meminjam uang pada sahabatku sendiri. "Bantuan apa? Mau makan, makanan rumah? Siap, aku bawain! Apa lagi? Baju, celana, tas, alat makeup, atau apa?" Aku berdecak sebal mendengar rentetan ucapan Safira yang malah terkesan menggodaku. Mengajakku becanda, padahal sekarang ini sedang serius. "Fir.""Apa? Ngomong aja, Num?" "Aku butuh uang. Bisa bantu, gak?" kataku seraya memejamkan mata. Aku menggigit jari setelah berucap demikian. "Ya ampun, Ranum .... Bukankah tadi aku sudah bilang akan bantu? Kenapa baru bilang sekarang? Kamu, tuh pura-pura ada, pura-pura bisa, padahal menyimpan luka. Berapa, Num? Kalau ada, aku kasih semuanya.""Emh ... sepuluh, ada gak?" "Sepuluh apa? Sepuluh rebu?""Safira ....""Oke, ada. Aku transfer sekarang, ya?" Aku tersenyum lebar. Akhirnya, aku bisa sedikit bernapas lega. Untuk biaya besok, akan aku pikirkan lagi. Yang terpenting, biaya untuk hari ini sudah t
"Alhamdulillah .... Shanum pulang juga ke rumah!" ujarku ketika turun dari mobil Bapak. Seperti kata dokter tadi, sore ini Shanum sudah boleh pulang. Dan di sinilah kami berada. Di ruko yang sudah menciptakan banyak kenangan di setiap harinya. Dengan digendong Soni, Shanum dibawa masuk, lalu ditidurkan di kasur lipat yang selalu dipakai Soni ketika tidur. Anakku tak banyak bicara, namun wajahnya menyiratkan rasa bahagia.Sesekali, Bapak menggoda Shanum, karena berhasil pulang setelah tadi sempat dibohongin tidak akan pulang. "Karena Shanum sudah sampai rumah, Nenek sama Kakek pulang dulu, ya?" ucap Ibu pada putriku itu. Shanum mengangguk. Aku pun mengantar kedua orang tuaku sampai mereka hendak masuk ke mobil. "Pak, Bu, maafkan Ranum, ya? Uang kalian Ranum pinjam, dan entah kapan akan dikembalikan. Tapi, Ranum janji, kok, akan segera membayarnya, jika nanti sudah ada." Aku berucap seraya menautkan jari-jemari. Ibu memeluk pundakku, dia pun mengusap-usap lenganku dengan mengataka
Aku berhenti bicara saat Soni memelukku. Dengan gerakan cepat, Soni meninggal tempat duduknya dan menghampiriku. Di sinilah aku berada. Di dalam dekapan pria yang tak lain suamiku.Anehnya, amarah yang tadi datang tiba-tiba, kini mereda seiring dengan tangan Soni yang mengusap-usap pundakku. Dagunya, tepat berada di ubun-ubunku dengan tubuh yang tidak berjarak. Kami benar-benar sangat dekat. "Maaf, Mbak. Aku janji, tidak akan pergi ke pasar dulu sampai kaki ini sembuh. Aku janji, aku janji," ujar Soni masih tidak melepaskan pelukannya. Tanganku yang tadi berada di meja, kini melingkar pula di pinggang Soni. Entah dorongan dari mana hingga aku bisa seberani ini. Namun, ini sangat nyaman. Aku bahkan sangat menikmati momen ini. Kami berpelukan dan tidak lagi saling berteriak menyalahkan satu sama lain. Kata maaf yang Soni ucapkan pun menjadi obat pereda emosi yang tadi sempat mengudara. "Bunda, kenapa ...?" Aku dan Soni saling melepaskan diri saat Shanum datang. Wajah putriku terl
Satu bulan telah berlalu dari kecelakaan Shanum dan Soni, kini hari-hariku kembali berjalan normal. Begitu pun dengan anak dan suamiku. Mereka sudah pada rutinitas awalnya. Meskipun, ada perbedaan yang begitu mencolok dalam aktivitas harian kami. Shanum yang trauma naik sepeda motor, mengharuskan aku bolak-balik setiap pagi meminjam kendaraan untuk mengantarkan anak itu ke sekolah. Mama, sempat menawarkan agar aku memakai mobilnya, namun aku tolak. Biarkan aku memakai barang orang tuaku, daripada nanti diledek Mas Sandi. Ah, pria itu. Semakin hari dia semakin menyebalkan. Ada saja kelakuan dia yang membuatku naik darah. "Mbak."Aku mengangkat kepala melihat pada Soni yang baru saja datang."Ini," ujarnya lagi menyodorkan dua buku kecil kepadaku. Aku tersenyum menatap buku tipis berwarna merah dan hijau itu. Akhirnya, setelah mengikuti rangkaian proses itsbat nikah, bolak-balik ke pengadilan untuk sidang, aku mendapatkan dokumen negara yang amat penting bagi pasangan suami istri.
Beberapa saat kami saling bicara, bertukar pikiran dan menumpahkan kegundahan, aku pun pamit pulang. Semalam, aku sudah janji pada Shanum akan membawa dia ke tempat peristirahatan terakhir Cahaya, seperti janjiku waktu itu. Jika dia sembuh, aku akan membawanya ke rumah baru kakaknya itu. "Bunda, kok sepi, ya?" ujar Shanum saat kami memasuki kawasan pemakaman. Aku terkekeh pelan. "Kalau rame itu, di pasar, Sha.""Tempat bobok kakak, di mana?" Shanum kembali bertanya seraya celingukan ke sana kemari. Aku mengajaknya turun. Mengambil bunga segar yang tadi kami beli di jalan. Dengan menenteng plastik berisikan bunga, kami berjalan melewati banyak batu nisan untuk sampai ke tempat di mana Cahaya dikuburkan. Setelah beberapa menit berjalan, kami pun sampai, dan Shanum langsung berjongkok di samping peristirahatan kakaknya itu. "Bunda, aku boleh ngomong sama kakak, gak?" Aku mengusap pipi Shanum yang sudah mulai memerah, lalu menganggukkan kepala tanda setuju. Gadis kecil itu mengus