"Kalian tengah membicarakan aku ya, kenapa namaku disebut-sebut." Tiba-tiba entah kapan datangnya, lelaki berdasi itu muncul di hadapan kami dengan senyum manisnya. Senyumnya itu sempat membuatku terpana akan keindahan makhluk ciptaan Allah.Sontak kami terkejut bukan kepalang. Lalu menoleh ke belakang. Tampak Mita membalas senyuman pria berdasi itu. Sepertinya Mita sukses jadi detektif dadakan, karena cepat juga dia dapat informasi mengenai pekerjaan mas Syafik.Tentu saja Mita dapat mengetahui dengan cepat, hampir tiap hari mas Syafik datang ke sini. Mita tak akan membuang kesempatan untuk mengintegrasi pria tampan itu.Lelaki itu datang mendekat. Langkah kakinya terasa panjang dengan tinggi badan menjulang. Tampak gagah dengan balutan kemeja kotak-kotak biru yang lengannya digulung sampai batas siku, dengan stelan celana bahan hitam. Tubuh tinggi jangkung dan rahang kokoh dihiasi dengan dada bidang, menambah kesan maskulin. Pasti banyak wanita yang antri ingin mendapatkan cintanya
POV ArjunaSemenjak kerja jadi sopir keluarga kaya di kota, aku hidup terpisah dengan keluargaku. Berat rasanya harus berpisah dengan istri dan anak-anakku. demi pekerjaan untuk memenuhi segala kebutuhan hidup, terpaksa aku terima tawaran kerja dari teman. Pulang hanya sekali dalam satu Minggu. Itulah bentuk tanggung jawabku sebagai kepala keluarga. Bahkan istriku yang ingin bekerja untuk membantu perekonomian keluarga aku larang, biarlah itu menjadi tugasku saja. Dia cukup merawat dan menjaga kedua buah hati kami.Hari demi hari aku lewati dengan kesepian, tanpa canda dan gelak tawa istri dan anak-anak. Seringnya aku sendiri, lama kelamaan jadi terbiasa. Tidak lagi kurasakan rindu yang teramat sangat untuk mereka.Sebenarnya Arini ingin ikut tinggal bersamaku di kota. Tapi majikan melarang, alasannya, biar fokus kerja dan tidak terbebani dengan urusan keluarga.Arini terpaksa menerima dan tidak memaksa lagi untuk ikut.Entah kapan tepatnya, aku menerima panggilan telpon dari ibu, me
Bismillahirrahmanirrahiim.Sore itu, sepulang dari melihat apartemen bersama mas Syafiq, aku disambut Bang Juna dengan kecemburuan tiada habisnya. Bahkan dia menuduhku yang tidak-tidak. Apakah begitu gaya orang yang selingkuh, untuk menutupi belangnya, sekarang malah berbalik menuduhku selingkuh. Jadi tak ubah selingkuh, teriak selingkuh. Entahlah, aku malas memikirkannya, mumet kepalaku jadinya.Masalahku saja sudah cukup rumit, yang perlu ditangani segera. Mana ada waktu memikirian tuduhannya. Biarkan saja dia mau bilang apa, yang penting aku tidak melakukan seperti yang ia tuduh. Mita belum lama ini mengadu, kalau uang pendapatan terus merosot tajam. Siapa yang berani melakukan tindakan penggelapan uang pendapatan kafe. Ini harus aku selidiki lebih jauh, tak bisa dibiarkan begitu saja. Bisa jadi usaha yang baru aku rintis merugi, bila tidak diselidiki dengan cepat.Bang Juna terus saja minta penjelasan.“Apa maksud perkataan Abang? Abang menuduhku selingkuh dengan pria tadi, benar
Bismillahirrahmanirrahim.“Baiklah! Kamu boleh pergi, tapi pergi sendiri. Abang tidak izinkan kamu bawa Dio dan Nisa.”Apa? Apa katanya?Aku pergi sendiri? Tidak boleh bawa Nisa dan Dio, yang benar saja.Mana bisa aku hidup tanpa mereka, merekalah penyemangatku. Demi merekalah aku rela membanting tulang selama ini. Kalau bukan demi mereka, tidak akan kulakukan pekerjaan itu. Seenaknya saja Bang Juna melarangku membawa anak-anak. Dasar lelaki tak punya hati, seenak perutnya saja bicara.Sekarang apa yang harus kulakukan, aku terduduk diam di tepian ranjang. Tinggal terpisah dengan kedua buah hatiku, membuatku tidak sanggup membayangkannya. Apa aku batalkan saja pergi dari rumah ini? Langkah apa yang harus aku tempuh. Aku bingung ya Allah, beri aku petunjuk dan jalan keluarnya.Aku tidak pernah membayangkan Bang Juna akan bersikap kekanak-kanakan begini. Tau begini akhirnya, menyesal aku terima dia kembali. Aku hanya bisa menarik napas panjang menahan kekesalan di hati.Sejenak aku berp
Bismillahirrahmanirrahim."Kabar ibu baik Nak, kabar kamu sendiri gimana? kabar cucu ibu--" ibu berhenti bicara, air matanya menetes tanpa dapat dicegah.“Alhadulillah kabarku baik, Kenapa Ibu menangis?”“Ibu kangen dengan cucu ibu, sejak kamu pergi waktu itu, ibu tidak bertemu dengan Nisa dan Dio lagi. Kamu juga tidak datang mengunjungi Ibu. Kenapa? Kamu masih marah pada Ibu dan Juna."Aku tersenyum seraya menggeleng, "Tidak bu, yang lalu biarlah berlalu. Lagian Nisa dan Dio baik-baik saja kok Bu, jangan khawatir.”“Alhamdulillah! Syukurlah! Ibu percaya kok sama kamu. Kamu pasti bisa mengurus mereka dengan baik."“Ada apa ibu datang ke sini?”“Maafkan ibu Arini, ibu tahu ibu banyak salah padamu. Ibu berharap, hubungan kalian bisa diperbaiki. Kini Zara telah melahirkan anaknya. Seperti yang kamu bilang dulu, jika Juna bisa membuktikan kalau anak yang dikandungnya bukan anak Juna, kamu bersedia menerimanya kembali. Sekarang Juna juga telah berubah menjadi lebih baik. Apa ada kemungkin
Bismillahirrahmanirrahim.Dengan kedua bukti di tangan, aku pergi sendiri ke rumah sakit, membuktikan keabsahan kedua surat itu. Untung Pak Andra memberitahuku tempat yang bisa dipercaya dan tidak mudah termakan sogokan.Sesampainya di sana, betapa terkejutnya aku. Katanya kedua surat keterangan itu sah tanpa ada pemalsuan. Kok bisa anak yang dilahirkan itu memiliki dua hasil tes yang berbeda. Rasanya kok aneh, siapa yang bisa aku percaya sekarang? Mbak Zara atau Bang Juna. Mereka berdua menunjukkan bukti yang benar.“Tidak salah apa yang dokter sampaikan, jadi kedua surat keterangan itu sah, bukan hasil rekayasa.”“Tentu saja kedua surat keterangan itu sah. Saya bisa pastikan tidak ada kekeliruan dari hasil tes itu.” Jelas Dokter seraya tersenyum ramah.“Itu tidak mungkin Dok? Satu anak memiliki dua hasil tes yang berbeda.” Ucapku menyangsikan keterangan yang dokter berikan.Dokter itu nampak mengernyit bingung, seraya berpikir.“Begini saja, tolong ceritakan lebih detail mengenai du
"Baiklah, jika itu yang kamu mau. Kita lakukan tes ulang, di mana tempatnya?" ucap ibu yakin. Tidak terlihat gentar dan takut, bila hasilnya tidak memihak padanya. Ibu sangat percaya diri nampaknya. Gantian aku yang gelisah, akibat terlanjur berjanji akan menerima Bang Juna seutuhnya bila hasil tes itu negatif. Sedangkan aku sangat berharap kali ini hasilnya positif. “Oh iya mengenai tempat tesnya biar ibu yang cari, kamu sangat sibuk, tentu tidak mungkin sempat—“ perkataan ibu langsung aku potong begitu saja. “Tidak Bu, tempat tes sudah aku tentuin. Pagi hari sebelum ke sana, aku info in tempatnya.”“A-apa,” tanya ibu terbata-bata.“Iya Bu, mengenai tempatnya ibu tidak perlu repot, aku sudah ada tempat untuk itu.”“Di mana?”“Pada hari H, aku akan sharelok ke ibu atau Bang Juna,” kataku datar.“Apa tidak bisa sekarang?”Aku menatap sejenak perempuan yang ada di hadapanku. Apa katanya tadi, minta share tempatnya sekarang? Yang benar saja, mana mungkin aku kasih tahu saat ini. Bisa-b
Bismillahirrahmanirrahim.“Beberapa hari yang lalu, saat jemput Nisa di sekolah. Aku tidak sengaja mendengar percakapanmu dengan seorang perempuan yang mengatakan bahwa aku ini, wanita yang tidak pandai berterima kasih, sudah ditolong malah sok jual mahal. Kalau boleh tahu, apa maksud perkataanmu waktu itu ya.” Arini memandang tak sabaran perempuan di depannya dengan rasa kepo tingkat tinggi. Wanita itu terdiam. Tak menyangka mungkin akan bertemu denganku di sini. Apalagi dengan pertanyaan to the poin yang aku lontarkan. Waktu itu jelas sekali mukanya tampak marah dan kesal. Apa ia tidak salah orang? Bagaimana bisa perkataannya itu dialamatkan padaku. Apa salahku? Jadi wajar bukan? Kalau aku bertanya. “Bisa jelaskan! Biar aku tidak kepikiran.” Sambungku lagi karena wanita ini tetap bungkam tanpa berkomentar apa pun. Sedangkan aku, sudah tak sabaran ingin mendengar langsung penjelasannya.Dret, dret.Tiba-tiba ponsel wanita itu berbunyi. Tanpa menjawab pertanyaanku, wanita itu langsu