Share

Bab 4. Tak Nyaman

Hanya saja, Roy berusaha tenang.

Dia tak ingin menambah permasalahan baru lagi jika hari pertama kerjanya itu dilalukannya dengan setengah hati akibat terlalu memikirkan pandangan negatif rekan sesama OB nya dan juga para karyawan di kantor perusahaan itu kepadanya.

Sampai jam kerja usai, Roy tetap melakukan pekerjaannya sesuai yang diarahkan seniornya.

Namun saat hampir seluruh OB meninggalkan ruangan itu, salah satu karyawan tiba-tiba memanggilnya, “Roy, sini sebentar!”

Pemuda tampan itu pun bergegas menghampirinya. “Ada yang perlu saya bantu Pak?” 

“Nggak ada, aku hanya ingin ngobrol sama kamu aja. Boleh kan?” 

“Oh tentu saja Pak.”

“Silahkan duduk!”

Roy pun duduk di kursi di depan meja berhadap-hadapan dengan salah seorang karyawan itu.

“Hari ini, hari pertama kamu kerja di sini sebagai OB kan?”

“Benar Pak Yudi.” 

“Kalau boleh tahu, ada hubungan apa kamu dengan Bu Cindy?” Karyawan yang ternyata bernama Yudi itu bertanya kembali.

Kali ini, Roy tak langsung menjawab perasaannya kembali tidak enak akan pertanyaan yang dilontarkan itu.

Bukan dari segi pertanyaan itu saja yang membuat Roy tak nyaman, melainkan juga raut wajah sinis yang diperlihatkan Yudi jelas sekali menunjukan ketidaksukaan padanya.

Apa ini masih gara-gara tadi siang ia memenuhi ajakan Cindy untuk makan siang bareng, ya?

Cukup lama Roy hanya terdiam dan bingung harus menjawab apa akan pertanyaan yang dilontarkan Yudi itu, hingga Yudi semakin menunjukan sikap tidak suka kepadanya.

“Saya dan Bu Cindy tidak ada hubungan apa-apa, Pak. Memangnya kenapa Pak?” Akhirnya Roy menjawab lalu balik bertanya.

“Hemmm, nggak ada apa-apa. Aku hanya iseng aja bertanya, ya udah kamu boleh lanjutin kerjaan jika masih ada yang akan dikerjakan.”

Yudi pun berdiri dari duduknya, kemudian berlalu dari ruangan itu.

Meskipun perasaan Roy semakin tak nyaman, akan tetapi dia berusaha untuk tetap tersenyum ramah.

Di hari pertama kerja di kantor perusahaan milik Cindy itu Roy yang tadinya sangat gembira dan bersemangat jadi berbalik 180 derajat gara-gara insiden makan siang.

Rasa tak nyaman itu membuatnya tak tenang.

Di salah satu ruangan kantor yang dijadikan kamar tempat tinggalnya, sebungkus nasi yang tadi ia beli di luar tak jauh dari bangunan kantor, bahkan tak tersentuh!

“Ternyata nggak ada pekerjaan yang menyenangkan, semuanya mengandung resiko dan selalu aja ada masalah. Tahu begini mending aku jadi pemulung aja dan tinggal di bawah jembatan menjadi gembel, meskipun tinggal di tempat kumuh dan mencari makan dengan mengumpulkan barang-barang bekas akan tetapi lebih nyaman rasanya.” gumam Roy tanpa sadar.

Dia menyesali pekerjaan yang sekarang menjadi OB di kantor perusahaan Cindy.

Malam pun kian larut.

Karena perut terasa perih akibat menunda-nunda makan, akhirnya Roy berusaha untuk mengisi perutnya meskipun tak sampai separuh dari nasi bungkus itu yang ia makan.

Akibat tidur terlalu larut Roy bangun kesiangan, itu pun karena salah seorang rekannya sesama OB bernama Diko membangunkan dengan mengetuk-ngetuk pintu ruangan yang dijadikan kamarnya itu.

Roy pun buru-buru mandi dan memakai pakaian kerjanya sebagai OB, kemudian membuka pintu dan menemui Diko yang masih berdiri di luar menunggu.

“Makasih ya, Diko. Kalau nggak kamu bangunin, mungkin hari ini akan bangun lebih siang lagi dan pastinya akan dimarahi Bang Romi.” 

“Sama-sama Roy, yuk kita apel. Nanti Bang Romi marah ke kita karena telat cukup lama,” ajak Diko.

Roy pun mengangguk lalu beriringan dengan rekannya itu menuju sebuah ruangan di lantai dua di mana di sana setiap pagi sebelum pekerjaan dimulai selalu diadakan apel sesama OB di kantor itu.

“Selamat pagi Bang, maaf kami telat,” ucap Diko pada pria yang saat itu berdiri di depan beberapa orang rekan sesama OB yang berbaris sejajar.

“Hampir 10 menit kalian telat, memangnya kalian dari mana?” tanya pria yang diduga sebagai ketua dari para OB di kantor itu.

“Ini gara-gara saya yang bangun kesiangan Bang, Diko membangunkan dan menunggu saya di depan kamar hingga dia ikut-ikutan telat apel pagi ini,” ujar Roy.

“Kesiangan? Baru hari kedua kamu kerja di kantor ini udah telat untuk apel.”

“Maafkan saya Bang Romi, saya janji tidak akan mengulanginya lagi.” 

“Ya udah, sana berbaris gabung dengan yang lainnya.”

Romi yang ternyata sosok yang paling senior dan dipercaya sebagai ketua dari para OB di kantor perusahaan itu tampak memerintah.

Seperti hari sebelumnya, para OB kembali mendapatkan arahan-arahan sebelum melakukan pekerjaan, salah satunya menjaga kedisplinan dalam bekerja.

Sebagai OB, mereka dituntut datang dan bekerja tepat waktu, terlebih di kantor perusahaan milik Cindy yang memang terbilang salah satu perusahaan besar di kota itu.

Beruntung bagi Roy hari itu dia hanya mendapat teguran saja dari Romi.

Dan dari sekian rekan OB nya hanya Diko saja yang tak mempermasalahkan kejadian kemarin siang saat Roy memenuhi ajakan Cindy untuk makan siang di luar.

Pada saat jam istirahat siang, Roy mengajak Diko untuk makan siang bareng di rumah makan yang terletak tidak jauh dari kantor itu.

“Makan siang ini aku yang traktir ya, Diko?” ujar Roy.

“Nggak usah, kamu kan baru masuk kerja jadi biar aku aja yang bayar nanti,” tolak Diko.

“Nggak Diko, kalau hanya untuk bayar makan siang hari ini aku bisa kok. Anggap aja sebagai tanda terima kasihku, kamu udah susah payah ngebangunin aku tadi pagi.” 

Roy bersikukuh.

Sebelum mulai bekerja sebagai OB di kantor itu, Cindy memang memberinya biaya harian meski dirinya sudah menolak.

Makanya, Roy berani mentraktir Diko makan siang bareng walau belum gajian.

Di samping sebagai ucapan terima kasih atas kebaikan rekannya itu, Roy pun menganggap jika Diko memang berbeda dari rekan-rekan sesama OB lainnya.

“Oh ya, kamu juga tahu kan kalau kemarin siang aku diajak Bu Cindy makan siang di luar?” sambung Roy.

“Hemmm, ya. Gimana, seru diajak makan siang sama Bu Cindy?” Diko tersenyum lalu balik bertanya.

"Itu..."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status