“Sebenarnya, biasa aja, malahan lebih asyik makan di rumah makan sederhana seperti ini,” jawab Roy tak ada sedikitpun menunjukan rasa gembiranya akan ditraktir Cindy kemarin siang, justru batinnya merasa tak nyaman karenanya.
Diko merasa heran akan sikap Roy yang sama sekali tak merasa surprise sedikitpun diajak oleh CEO perusahaan tempat mereka bekerja itu. “Masa sih? Bukannya Bu Cindy kalau makan siang selalu di restoran mewah?”
“Emang Bu Cindy siang kemarin itu ngajakku ke restoran mewah, tapi jujur aja di samping kurang nyaman makan di sana aku juga merasa karenanya orang-orang di kantor mempermasalahkannya.”
“Mempersalahkan gimana?” tanya Diko penasaran.
Sepertinya, dia tak tahu atau memang tak mau tahu akan para rekan sesama OB mengunjingin Roy.
“Ada yang bertanya ada hubungan apa antara aku dan Bu Cindy hingga aku sampai diajak makan siang di luar, padahal aku baru aja masuk kerja.”
Roy menarik napasnya dalam-dalam mengingat kejadian kemarin.
“Loh, emangnya kenapa kalau Bu Cindy ngajak kamu makan siang bareng di luar? Kalau aku sih nggak jadi masalah. Siapa sih yang bertanya dan mempermasalahkan itu, Roy?” Kembali Diko bertanya.
“Pertama Dion, dia menghampiriku di ruangan belakang saat bersih-bersih. Kemudian Pak Yudi sore kemarin, sewaktu jam kerja kantor usai.”
"Aneh, apa yang membuat mereka mempermasalahkan itu!” ujar Diko sembari geleng-gelengkan kepalanya.
“Entahlah, mungkin karena aku karyawan baru lalu dianggap diperlakukan spesial oleh Bu Cindy. Padahal aku sama sekali nggak ingin begitu, jika aku tolak ajakan Bu Cindy kemarin tentu juga nggak baik.”
“Ah, nggak usah dihiraukan mereka Roy. Barang kali mereka itu hanya sirik aja, karena emang selama ini Bu Cindy nggak pernah ngajak karyawannya makan siang di luar.”
Diko tampak sekali tak respek akan sikap para karyawan yang mempermasalahkan hal itu.
“Ya, tapi aku ngerasa nggak enak aja. Menurutmu apa yang musti aku lakuin?”
“Maksudnya?” Diko balik bertanya.
“Apa perlu aku beri tahu hal ini pada Bu Cindy, agar nanti hal yang kemarin itu nggak dipermasalahkan lagi? Soalnya kebanyakan dari para karyawan di kantor kita merasa kurang senang dan selalu bertanya.” Roy meminta pendapat Diko.
“Aku rasa nggak ada salahnya kamu beri tahu itu sama Bu Cindy, biar semua permasalahan itu clear.”
“Tapi aku kuatir nanti Bu Cindy memarahi mereka, Diko. Jika aku diam aja, bukan nggak mungkin masalah ini akan berlarut-larut,” ulas Roy merasa bimbang.
“Kalau menurutiku sih, ada baiknya kamu beri tahu Bu Cindy. Tentang mereka yang akan dimarahi Bu Cindy nantinya itu bukan masalahmu lagi, dari pada kamu dibuat pusing akan sikap mereka. Sebenarnya aku nggak mau ikut-ikutan bertanya, tapi kalau boleh tahu antara kamu dan Bu Cindy ada hubungan saudara ya?”
“Ya, boleh dikatakan begitulah,” jawab Roy sekenanya saja, karena memang dia tak tahu harus menjawab apa.
“Nah, mending juga kamu jawab jika kamu dan Bu Cindy ada hubungan saudara kalau nanti ada yang bertanya lagi sama kamu.”
Mendengar saran Diko, Roy hanya menanggapi dengan menganggukan kepala.
Hanya saja, percakapannya dengan Diko membuatnya lebih tenang.
Sore itu Roy lebih sigap dalam melakukan pekerjaannya.
Begitu waktu jam kerja usai, Roy bergegas ke luar menuju tempat parkiran di mana di sana mobil Cindy terparkir.
“Eh, Roy. Ngapain kamu di sini?” sapa Cindy merasa heran saat ia tiba di dekat mobilnya dan melihat Roy berdiri di sana.
“Aku sengaja nunggu Tante di sini, ada yang ingin aku bicarakan.”
“Oh, ya udah ngomong aja ada apa?” tanya Cindy, tampak bingung.
“Kalau boleh jangan di sini Tante, nanti ada yang dengar.”
Mendengar permintaan Roy, Cindy nampak kerutkan kening.
Wanita itu sangat penasaran akan hal yang akan disampaikan Roy bersifat rahasia itu!
“Oke, ayo naik ke mobil nanti kita bicara di suatu tempat.” Tak butuh waktu lama, Roy pun naik mobil mewah milik Cindy.Keduanya lalu menuju salah satu cafe yang bukan hanya menyediakan berbagai macam minuman, tapi juga tersedia berbagai makanan.“Kamu mau pesan apa, Roy?” tanya Cindy saat mereka telah berada di dalam cafe itu.“Terserah Tante aja, tapi cukup minuman aja karena aku masih kenyang tadi siang makan bareng Diko.” “Oke.”Cindy lalu memanggil pelayan cafe itu untuk menyediakan dua jenis minuman segar.“Nah, kamu bisa ngomong di sini perihal sesuatu yang ingin kamu sampaikan tadi,” sambung Cindy ketika pelayan cafe telah berlalu dari meja mereka menyiapkan minuman yang mereka pesan.“Begini Tante, tapi sebelumnya aku harap Tante Cindy nggak marah,” pinta Roy yang tiba-tiba saja ia kembali merasa ragu dan kuatir akan hal yang hendak ia sampaikan pada Cindy.“Nggak, aku janji nggak akan marah. Ayo, bicaralah!”Roy menarik napasnya dalam-dalam sebelum berkata, “Begini Tante,
“Aku dengar baru hari pertama kamu kerja di sini udah diajak Bu Cindy makan siang bareng di luar dan itu tentunya amat menyenangkan sekali. Selama ini kami yang udah kerja belasan tahun di sini belum pernah ada yang sampai diajak Bu Cindy makan siang bareng di luar selain tamu dan rekan bisnisnya, kalau boleh tahu ada hubungan apa antara kamu dengan Bu Cindy sampai-sampai Bu Cindy di hari pertama kerjamu di sini udah diajak makan siang di luar?” Kembali Riki bertanya. Selain rasa penasaran Riki juga merasa tidak habis pikir akan Roy yang notabenenya hanya seorang OB baru di kantor itu diperlakukan spesial oleh atasannya. “Aku keponakannya Bu Cindy.” “Hah?! Masa sih?” Riki terkejut dan tak percaya, sementara Roy memastikan kembali jawabannya dengan menganggukan kepalanya sembari tersenyum ramah. “Oh, pantas aja kamu diperlakukan spesial secara kamu keponakan Bu Cindy,” sambung Riki, meskipun di hatinya masih tak percaya dan ragu akan jawaban yang diberikan Roy itu. “Ada yang per
“Kalau itu saya juga tidak tahu Bu, katanya salah seorang karyawan di dalam.” Satpam itu tampak tak enak juga. Terlebih kala menyadari, raut wajah Nyonya CEO itu tampak kesal.“Oh gitu, ya udah aku akan tunggu dia di dalam,” balas Cindy cepat. Di sisi lain, tak seorang karyawan di lantai dasar itu yang mengetahui jika Cindy berada di luar ruangan mereka.Wanita itu bahkan sekarang duduk di sebuah kursi tepat di depan ruangan yang dijadikan tempat tinggal Roy.Cindy bahkan tampak geram. “Kurang ajar! Siapa karyawan yang menyuruh Roy untuk membeli pena dan memfoto copy ke luar? Bukankah di kantor peratan tulis udah tersedia begitu juga buat memfoto copy berkas-berkas.” Untungnya, tak berselang lama, Roy pun datang dan bermaksud mengantarkan pena dan hasil foto copy berkas ke dalam ruangan di mana salah seorang karyawan menyuruhnya untuk membeli pena sekaligus memfoto copy beberapa lembar berkas kerjaannya itu.“Roy..!” panggil Cindy cepat.“Eh, Bu Cindy?” “Dari mana kamu?” tanya Ci
“Kamu udah makan siang?” tanya Cindy. “Belum Tante.” jawab Roy, kembali Cindy geleng-geleng kepala. “Ya udah, sekarang naik ke mobil kita makan siang di luar!” Ajak Cindy, Roy menganggukan kepalanya lalu naik ke mobil mewah milik CEO perusahaan itu. Seperti makan siang bareng beberapa hari yang lalu, Cindy kembali mengajak Roy ngobrol sembari menikmati menu yang dipesan. “Kamu tahu nggak jika Dion dan teman-temannya tadi telah memperlakukan kamu tak sepantasnya?” tanya Cindy, Roy hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. “Lain kali jangan pernah kamu ulangi lagi, sampai-sampai kamu mengabaikan jam istirahat dan makan siang. Tadi kamu dengarkan? Aku udah memperingatkan mereka untuk tidak mengulanginya lagi menyuruh kamu di luar ketentuan kerjamu sebagai OB di kantorku,” ujar Cindy. “Ya Tante, aku nggak akan bersedia lagi mereka suruh ke luar karena itu bukan tugas dan tanggung jawabku sebagai OB di kantor Tante.” ulas Roy. “Bagus, dengar ya Roy tugasmu sebagai OB di kantorku sesuai d
“Lantas bagaimana solusi yang tepat menurut Bu Cindy untuk Roy?” tanya Tari. “Aku mau menguliahkan dia agar nanti bisa aku tempati di posisi yang strategis di kantor ini, untuk sementara waktu dia aku jadikan pembantu pribadiku aja di sini. Jika dia tetap aku pekerjakan sebagai OB, bukan tidak mungkin tanpa sepengetauanku dia akan diperlakukan seenaknya lagi oleh para karyawan,” tutur Cindy. Tari terlihat mengangguk-anggukan kepalanya “Iya Bu, saya rasa itu solusi yang terbaik.” “Aku juga akan mencari kos-kosan buat dia yang lokasinya dekat dari kantor ini,” tambah Cindy. “Benar Bu, tinggal di kos-kosan atau rumah kontrakan akan lebih nyaman dibandingkan tinggal di salah satu ruangan kantor perusahaan ini yang tentunya terlalu tertutup dan bisa jadi sewaktu-waktu dia akan merasa pengap karena bersekat dengan dinding ruangan lainnya,” ujar Tari selaku sekretaris merangkap kepala personalia perusahaan Cindy. Jam istirahat siang kantor masih akan tiba 15 menit lagi, akan tetapi Cind
“Ada apa Tante? Kok Tante Cindy senyum-senyum sendiri?” tanya Roy membuat Cindy yang baru saja membantin jadi tersentak. “Nggak ada apa-apa Roy, barusan Pak Dimo bilang kalau kos-kosan kamu udah dapat dan letaknya nggak jauh dari kantor,” jawab Cindy. “Oh, aku kira ada apa? Ngapain sih Tante pakai repot-repot segala mencari kos-kosan, di salah satu ruangan yang aku tempati itu aku rasa udah cukup dan aku senang kok tinggal di sana,” ujar Roy. “Nggak, menurutku alangkah lebih baiknya kamu tinggal di luar. Seperti yang tadi aku katakan, kamu akan lebih merasa nyaman tinggal di kos-kosan karena jika di dalam ruangan kantor ruang gerakmu terbatas. Seperti orang tawanan aja, terlebih ketika malam datang kamu nggak akan bisa ke luar karena pagar gedung kantor di kunci oleh satpam penjaga di luar,” jelas Cindy. “Bisa kok Tante, buktinya aku bisa minta izin ke luar buat beli nasi bungkus dan rokok,” ujar Roy. “Iya, tapi kamu kan nggak bisa ke luar lama-lama karena pastinya satpam di sana
“Kamu harus tetap fokus dan rajin bekerja sesuai dengan pekerjaan yang aku percayakan padamu sekarang,” ulas Cindy.“Tentu Tante, aku janji akan bekerja sebaik mungkin dan berusaha untuk tidak mengecewakan Tante nantinya,” janji Roy.“Oh ya Roy, besok aku akan beliin kamu HP agar sewaktu-waktu dapat aku hubungi baik saat aku berada di luar kantor maupun saat kamu berada di kos-kosan ini,” ujar Cindy.“Nggak usah Tante, aku punya HP kok. Hanya saja HP ku itu ketinggalan di rumah majikanku sebelum aku jadi gembel di bawah jembatan, besok sepulang dari kantor aku jemput,” tutur Roy, Cindy terlihat kerutkan keningnya.“Majikan? Jadi sebelum kamu jadi gembel di bawah jembatan itu, kamu bekerja dengan seseorang?” tanya Cindy, Roy menganggukan kepalanya.Cindy sebenarnya ingin bertanya lebih jauh lagi mengenai Roy yang sebelumnya memiliki majikan, akan tetapi karena ia musti pulang ke rumah maka ia urungkan.“Ya udah kalau begitu aku pamit pulang dulu, Roy. Soal kamu yang akan menjemput HP d
“Iya Bi, namanya Supri. Katanya dia ke sini ingin meminta barang-barang Mas Roy berupa dompet dan Hp nya yang ketinggalan, benarkah dompet dan HP Mas Roy ketinggalan Bi?” tanya Pak Rudi.“Iya benar, Pak Rudi. Dompet dan HP Mas Roy yang ketinggalan di kamarnya itu sekarang ada di kamar kami, sebentar aku akan ambilkan lalu kita bareng-bareng temui teman Mas Roy itu.” ujar Bi Surti, Pak Rudi menanggapinya dengan menganggukan kepala.Seperti yang tadi dikatakan Bi Surti begitu ia telah mengambil dompet dan HP milik Roy di kamar, mereka pun sama-sama menemui Supri yang masih berdiri di depan pos satpam.Rupanya Roy sengaja minta tolong pada supir taksi yang bernama Supri itu untuk meminta HP dan dompetnya pada penghuni rumah mewah itu, sementara dia menunggu di dalam mobil taksi itu.“Benar Mas temannya Mas Roy?” sapa dan tanya Bi Surti pada Supri saat pembantu mantan majikan Roy bernama Angel itu tiba di depan pos satpam.“Benar Bi, aku memang temannya Bang Roy. Oh ya, dompet dan HP Bang