Share

Bab 3. Gosip

“Iya Bu, saya tahu sekarang udah masuk waktu istirahat siang akan tetapi masih ada beberapa gelas yang musti saya bereskan di meja para karyawan,” ulas Roy berhenti sejenak dari maksudnya akan membawa gelas-gelas itu ke ruangan belakang yang biasa dipakai untuk mencuci piring dan gelas kotor.

“Ya udah kamu antar dulu gelas-gelas itu ke belakang, setelah itu kembali ke sini!” ujar Cindy.

“Baik Bu, tapi mungkin butuh waktu 10 menit paling lama baru saya bisa kembali ke sini karena musti mencuci gelas-gelas ini dulu.” 

“Nggak usah kamu cuci sekarang, nanti saja. Aku mau ngajak kamu makan siang di luar, buruan ya aku tunggu di sini!”

“Baik Bu.”

Dengan cepat, Roy menuju ruangan belakang karena tak ingin Cindy menunggunya cukup lama di sana.

Ternyata, sebuah restoran mewah menjadi pilihan Cindy untuk makan siang bareng Roy di jam istirahat kantor itu!

Roy sebenarnya merasa tidak enak sejak beberapa orang karyawan serta teman sesama OB melihatnya diajak Cindy ke mobil mewahnya di halaman kantor menuju restoran.

Akan tetapi karena dia tak tahu harus berbuat apa selain mengikuti ajakan Cindy, dia pun hanya diam saja dan menyimpan rasa tak enak itu.

“Gimana Roy, di hari pertama kerjamu di kantorku itu?” tanya Cindy di sela-sela makan siang mereka.

“Menyenangkan sekali Bu, meskipun tak jarang saya bertanya pada OB senior tentang apa-apa saja yang musti dikerjakan,” jawab Roy diiringi senyum ramahnya.

“Hemmm, aku kan udah bilang kalau di kantor aja kamu panggil aku Ibu di luar seperti hal di restoran ini kamu cukup panggil aku Tante.” Cindy mengingatkan.

“Iya Tante, maaf aku lupa.” 

“Andai aja kamu memiliki ijasah minimal D3 atau S1, kamu akan aku tempatkan di posisi yang lebih baik lagi di kantorku,” ucap Cindy tiba-tiba.

“Nggak apa-apa Tante, dipekerjakan sebagai OB aja aku udah merasa lebih dari cukup. Sekali lagi aku ucapin terima kasih atas kebaikan Tante, kalau bukan karena Tante yang menawarkan aku pekerjaan di kantor Tante itu saat ini dan mungkin selamanya aku akan jadi gembel tinggal di bawah jembatan.”

“Hemmm, orang jujur dan baik seperti kamu memang layak untuk mendapat pekerjaan dan tempat tinggal yang layak. Bagiku mempekerjakanmu sebagai OB di kantor, belumlah seberapa bila dibandingkan jasamu mengembalikan dompetku yang tercecer itu!” tutur Cindy.

Roy menghentikan makannya sejenak. “Itu kebetulan aja Tante, aku juga nggak nyangka nememuin dompet Tante itu,” ucapnya.

“Ya, kebetulan kamu yang nememuin. Kalau seandainya orang lain, dompetku itu nggak bakalan kembali ke tanganku. Tak banyak orang yang baik dan jujur seperti kamu terlebih di Kota Jakarta ini, jangankan dompet yang tercecer di jalan di dalam tas ataupun saku malahan tak jarang diusahain orang untuk mencurinya.”

Cindy tidak main-main.

Dari hati terdalamnya, dia memuji sikap Roy.

Pemuda itu sendiri hanya bisa tersenyum mendengarnya.

Hanya saja, ketika kembali dari restoran, Roy merasa tak nyaman.

Pasalnya, dia dapat merasakan tatapan penasaran dari para karyawan dan para OB yang melihatnya.

Benar saja!

Roy pun menjadi perbicangan mereka.

Bahkan, tak sedikit dari mereka yang beranggapan negatif pada Roy.

Dan itu tentu dapat menimbulkan masalah atau juga kecemburuan sosial di perusahaan.

Salah satunya, Dion, OB yang cukup dekat dengan Roy menghampirinya di ruangan belakang saat Roy mencuci piring dan gelas-gelas kotor.

“Tadi Bu Cindy ngajak kamu ke mana, Roy?” tanya Dion penasaran.

“Nemanin dia makan siang di luar,” jawab Roy sembari terus meneruskan pekerjaannya mencuci piring dan gelas itu.

“Wah, asyik dong. Baru aja kerja udah diajak Bu Cindy makan siang di luar? Selama ini aku nggak pernah lihat Bu Cindy ngajak karyawan apalagi OB di kantor ini makan siang, palingan juga jika ada acara penting di luar itupun paling banter ngajak asisten pribadinya atau kepala bagian.”

Dari nada bicaranya, jelas sekali bernada tak mengenakan bagi Roy.

Roy sudah menduga jika cepat atau lambatnya akan ada pertanyaan dari teman-temannya, mengenai Cindy yang mengajaknya ke luar tadi sewaktu jam istirahat kantor. Dan itu membuatnya merasa makin tidak enak hati, tampak sekali dari sikapnya yang kurang konsentrasi saat mencuci piring dan gelas di ruangan belakang itu.

Dalam hatinya saat ini diterpa keraguan dan serba salah, di suatu sisi dia ingin menceritakan apa yang baru saja dipertanyakan Dion kepadanya namun di sisi lain Roy merasa takut akan mengakibatkan Dion atau OB yang lainnya akan dimarahi Cindy.

Sepeninggalnya Dion, Roy yang masih berada di ruangan belakang setelah menyelesaikan pekerjaannya mencuci piring dan gelas nampak bermenung sendiri.

“Apa yang musti aku lakuin sekarang? Kalau aku diam aja nggak memberi tahu Tante Cindy, pastinya nanti akan banyak lagi pertanyaan dari teman-teman yang lainnya. Kalau aku ceritain, nanti Tante tersinggung dan memarahi mereka. Waduh... Baru hari pertama kerja di sini udah buatku pusing!” keluh Roy dalam hati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status