"Benar. Dilan memang sudah gelapin uang restoran."Semua orang terperangah, mendengar pernyataan Sanaya yang sangat-sangat mengejutkan. Tak terkecuali Dilan yang berdiri tidak jauh dari perempuan yang terlihat datar itu. Sanaya sama sekali tidak berani menatapnya, malah menunduk dan sibuk mengusap lelehan air mata di pipi.'Kenapa Sanaya ngomongnya gitu? Apa maksudnya?' Rahang Dilan mengeras seketika, dia tak habis pikir dengan penuturan Sanaya barusan.Apa ini ada kaitannya dengan Leo, pikir Dilan."Oh, jadi dia beneran korupsi?" Mami Anne mencibir ketus, memicik tajam seakan Dilan adalah penjahat yang harus disingkirkan. "Laporin aja ke polisi! Biar dipenjara sekalian!" usulnya bersungut-sungut kesal."Ya, benar! Laporkan saja ke polisi," timpal papi, yang juga menyoroti Dilan dengan sinis. "Biar dia jera." Sebagai teman sekaligus calon besan, Andi merasa tidak terima jika ada yang mencoba mengkhianati Wili. Terlebih, kondisi ayah dari Sanaya itu sedang tidak baik-baik saja."Jangan
"Auw! Sakit, Bi!" Dilan meringis ketika Bianca menempelkan handuk yang sudah diisi es batu ke kulit wajahnya yang terluka. Dingin dari es bercampur rasa perih tentu semakin menambah nyeri."Tahan bentar dong." Bianca mencibir, lalu meniup bagian yang sedang dia kompres. "Lagian, kamu berantem sama siapa, sih? Kok bisa babak belur begini?" tanyanya, seraya menyudahi mengompres, lalu mengambil kotak obat yang sudah dia ambil sebelumnya di meja.Dia yang sengaja mampir ke apartemen Dilan sepulang dari kampus, mendapati tunangannya sedang kepayahan di sofa. Wajah tampan Dilan dipenuhi dengan luka dan darah. Siapa yang tidak cemas?"Ada orang gila!" sahut Dilan asal, ringisan di bibirnya memudar berganti dengan gerutuan. Dia tentunya tidak akan menceritakan apa yang telah terjadi dengan dirinya di rumah sakit.Bianca juga tidak tahu menahu soal Sanaya yang menikah hari ini. Dilan tak berminat atau pun enggan membahasnya untuk saat ini.Bianca mengolesi luka di sudut bibir sang tunangan den
Dilan menekan puntung rokok yang entah sudah ke berapa pada asbak yang ada di meja, lalu meneguk kaleng bir favoritnya sampai tak bersisa. Mulutnya menghela napas lelah, dan frustrasi. Menyugar rambut yang ternyata mulai memanjang ke belakang.Sudah lebih dari satu jam berlalu, saat Bianca pergi meninggalkan unitnya. Namun, perbincangannya yang menyinggung tentang masa lalu masih terngiang di telinga, bahkan ingatan akan sosok yang sudah lama sekali hampir terlupa hadir kembali. 'Kakek kamu dateng ke butiknya Mami kemaren siang. Beliau nanyain soal kamu.' Info yang diberikan Bianca cukup mengusik ketenangan Dilan yang beberapa tahun terakhir ini adem ayem. Mungkinkah kedatangan Bianca kemari memang sudah direncanakan? Gadis itu sengaja datang hanya ingin membahas persoalan yang sejak lama sekali Dilan lupakan? Soal identitas, jati diri dan latar belakangnya yang selama ini Dilan tutupi. "Ck! Kalo Kakek memang inget aku, kenapa gak dateng temuin orangnya langsung? Kenapa malah kete
Setelah dibuat terkejut dengan kedatangan dua orang pria yang tidak dikenal, kini Dilan harus menuruti perintah untuk ikut bersama ke suatu tempat lantaran sang kakek yang meminta. Dilan sebetulnya malas untuk ikut karena merasa tidak berminat sama sekali bertemu dengan sosok angkuh yang dulu membuat sang ibu menderita. Namun, perihal kabar mengejutkan yang dikatakan orang suruhan kakeknya tak khayal membuat naluri Dilan sebagai seorang cucu tergugah. Kasihan? Atau ... simpati kah?Entahlah! Yang dirasakan olehnya saat ini adalah perasaan yang mungkin sangat sulit untuk dijelaskan. Mungkin, benar kata orang, jika hubungan darah lebih kental dari apa pun. Sejahat-jahatnya sang kakek, kenyataan yang tidak akan pernah bisa disembunyikan maupun hindari ialah, Dilan cucu dari seorang konglomerat ternama di ibukota bernama Cokro Suryo. Darah yang mengalir di tubuhnya pun mengalir darah kakeknya. Ketika roda empat yang membawanya pergi dari apartemen berbelok ke tempat di mana dulu dia
Sudah hampir tiga jam Dilan berada di rumah kakeknya, kini dia tengah duduk di ruang kerja bersama orang kepercayaan Cokro yang ternyata sudah diberikan tugas untuk menjelaskan perihal surat wasiat. Menyimak dengan seksama, meskipun ada banyak hal yang tidak dia habis pikir, mengapa sang kakek mewarisi semua harta kekayaannya untuknya.Kekayaan yang tak terhitung jumlahnya itu sungguh membuat kepalanya berdenyut dan pusing mendadak. Bagaimana tidak? Secara, selama ini dia tidak pernah sekalipun mengetahui seluk beluk harta sang kakek itu berasal. Namun, dari penjelasan lelaki paruh baya yang katanya orang kepercayaan sekaligus notaris kakeknya itu, mengatakan bahwa ahli waris satu-satunya adalah dirinya yang merupakan cucu laki-laki satu-satunya. Maka mau tidak mau Dilan harus menerima apa yang telah diminta sang kakek.Lalu, bukankan dia juga punya saudara sepupu perempuan? Kenapa mereka tidak diberikan sepeserpun warisan tersebut? "Maaf, saya pikir belum waktunya surat ini saya ta
Inginnya menolak pernikahan yang rupanya sudah dipersiapkan dengan sangat-sangat meriah dan mewah. Ballroom hotel bintang satu itu telah disulap bak di negeri dongeng, khas sekali dengan kesukaan Bianca. Semuanya sudah direncanakan dengan matang, tetapi Dilan tidak mengetahui sama sekali perihal pernikahan dadakan tersebut. Harusnya, pernikahan ini terjadi sekitar satu bulan lagi, itu pun kalau Dilan tidak berubah pikiran dan membatalkan rencana yang telah dirancang Irene dan Bianca. Jujur, perasaan Dilan sama sekali tidak pernah tertaut dengan gadis yang sudah resmi menjadi istrinya ini. Apalagi menghabiskan sisa hidupnya bersama perempuan yang selama ini sudah dia anggap seperti adik. Semua terjadi begitu cepat! Keras kepalanya Bianca yang kukuh melanjutkan pernikahan ini, kemungkinan akan menyebabkan sesuatu yang tidak baik. Sesuatu yang dipaksakan bukankah akan berakhir tidak baik? Dilan tidak mencintai istrinya itu, meskipun mereka akan tinggal dalam satu atap.Ah, dia jadi me
Semilir angin malam ini cukup menyejukkan suasana hati Dilan yang memanas, setelah mendengar kabar perihal pernikahan Sanaya dan Leo. Ditambah dengan kabar keduanya yang akan melakukan perjalanan bulan madu ke Bali, tak pelak membuat dada pemuda yang baru resmi menjadi suami itu semakin terasa sesak. Dilan tak sengaja mendengar percakapan antara mertuanya dan mertua Sanaya saat di pelaminan tadi. Mami Anne lah yang terlihat paling antusias menceritakan soal pernikahan putera satu-satunya dengan gadis pilihannya. Hanya mendengarnya tetapi rasanya seperti ada belati yang menusuk ulu hati Dilan, bayangan kebersamaan Sanaya dan Leo saja sudah sangat menyiksanya, apalagi bila semua itu sampai benar-benar terjadi."Ck!" Decakan lolos dari mulut Dilan, setelah mengepulkan asap rokok ke udara. "Gue malah kepikiran Sanaya, gimana reaksinya Leo kalau tau istrinya udah gak perawan." Hal itulah yang sedari tadi membebani pikiran Dilan. Mengingat, jika Sanaya sudah tidak lagi perawan. Dia cemas
"Bagaimana kondisi Kakek saya, Dok?" Dilan bertanya pada dokter yang selama ini menangani sang kakek secara intensif selama hampir enam bulan lamanya. Dari yang awalnya stroke separuh sampai sudah bisa menggerakkan seluruh anggota tubuhnya. Tentunya dengan terapi yang rutin dijalani dan semangat Tuan Cokro untuk sembuh pun sangatlah besar."Perkembangan kakek Anda sangat signifikan, Tuan. Berkat semangat dan motivasi dari Anda pula, beliau bisa pulih kembali dengan cepat. Saya benar-benar tidak menyangka jika Tuan Cokro akan pulih dengan cepat seperti sekarang. Selamat." Dokter yang menangani pun sampai tidak percaya, dan sangat senang dengan kesembuhan pasien eksklusifnya itu. Berbulan-bulan mendampingi, dan memberikan pelayanan khusus, tak sia-sia kinerjanya yang cukup menyita waktu tersebut. Sang dokter hanya dikhususkan melayani keluarga besar Cokro dan tidak diperbolehkan melakukan pekerjaan di luar profesi atau mengambil praktek di Rumah Sakit umum.Dilan tersenyum sembari mem