Apakah ini nyata? Atau ... ini hanyalah ilusi Sanaya? Belum ada beberapa menit dia memikirkan Dilan. Namun, detik ini lelaki yang selama ini mengisi kekosongan hatinya berdiri di hadapan. Sosok pelindungnya dulu—lelaki yang mempunyai tempat spesial di hatinya hingga sekarang.Tapi tunggu! Apa ini betul Dilan? Sebab, ada sedikit yang berbeda dari penampilan lelaki berkulit putih itu. Dari yang Sanaya lihat, Dilan lebih gagah, berkharisma dan semakin menawan. Potongan rambutnya sangat rapi, rahangnya yang tegas ditumbuhi bulu-bulu halus semakin menambah kesan maskulin. Senyum itu... Senyum yang sangat khas sekali. Sanaya tak akan pernah lupa.'Astaga, apa yang aku pikirin? Sadar, Nay! Dilan udah jadi suami orang. Kamu gak boleh mikir yang macem-macem.' Sanaya merutuki keteledorannya, lantaran secara tidak sadar sudah mengagumi sosok pria yang sudah beristri. Dia tidak salah 'kan? Kalau lelaki yang berdiri di hadapannya sudah beristri? Terkesiap, disertai gelengan kecil, Sanaya berd
"Apa ...?"Sanaya termangu, maniknya yang bulat mengerjap lambat, seakan tengah mencerna baik-baik pernyataan Dilan yang sangat mengejutkan. Tak ingin menelannya bulat-bulat, dan menyimpulkan sekenanya.'Dilan cerai? Tapi, kenapa Dilan bisa tau kalo aku juga udah bercerai dari Leo?'Haruskah Sanaya meminta penjelasan dari lelaki ini?"Hmm, kamu cerai sama istrimu?" tanya Sanaya, yang sedikit ragu karena takut dianggap terlalu ingin tahu."Kayak yang aku bilang tadi. Kami menikah karena dijodohkan. Sementara aku gak pernah cinta sama dia. Dari awal kami nikah, aku udah berusaha mencintai Bianca. Tapi nyatanya, aku gak bisa, Nay. Aku gak bisa gantiin posisi kamu di sini." Dilan bicara panjang lebar, kemudian memegang dadanya, dan lanjut berkata lagi, "Di hati aku."Ada binar harap yang dapat Sanaya tangkap dari sorot mata Dilan yang sayu. Tatapan penuh cinta itu memang masih sama seperti dulu, tak ada yang berubah sedikit pun.Itu artinya, Dilan pun sama dengan dirinya selama ini. Masih
"Wah, pacarnya Mbak Nay itu, udah baik, rajin, ganteng lagi. Beruntungnya kamu, Mbak dapet laki-laki kayak gitu." Rena tak berhenti memuji Dilan sejak lelaki itu menginjakkan kakinya di toko kue Sanaya. Selain tampan, dan meski berpenampilan sangat rapi, Dilan tak merasa malu sedikit pun untuk membantu Sanaya melayani para pembeli. Toko kue Sanaya memang sangat ramai di jam-jam sore seperti sekarang ini, ditambah dengan kehadiran Dilan, toko tersebut malah semakin ramai saja. Tak khayal, membuat sang empunya toko menjadi agak sedikit kesal karena beberapa para pembeli terang-terangan menggoda Dilan.'Hish, maksudnya apa coba? Udah dibilangin gak usah bantuin, malah nekad ke sini. Sekarang malah tebar pesona sama cewek-cewek.' Dalam hatinya, Sanaya tak berhenti menggerutu. Pemandangan yang ada di depan mata, benar-benar membuatnya kesal setengah hidup. Dilan dengan santainya menanggapi para wanita itu yang ingin mengajaknya berkenalan. Hei, Sanaya! Apa kamu sedang cemburu? Kepala
Hampir menjelang tengah malam, tetapi Sanaya tak kunjung dapat memejamkan mata lantaran terus kepikiran lamaran Dilan yang dia tolak. Meskipun Dilan tidak merasa keberatan dengan penolakannya. Namun, Sanaya tahu, jika lelaki itu begitu kecewa akan keputusannya.Bukan hal yang mudah, bagi Sanaya untuk menerima begitu saja lamaran Dilan yang mendadak. Dia hanya ingin meminta waktu, dan memikirkan ini baik-baik.'Oke. Aku akan nunggu sampai kamu siap, Nay.'Tanggapan Dilan bahkan masih terngiang di telinga perempuan yang saat ini menutup seluruh tubuhnya dengan selimut. Sorot kecewa yang terpancar dari manik Dilan juga masih terbayang-bayang di ingatan."Heuhh ..." Menyibak selimut, lantas bangkit dan terduduk. Sanaya menghela napas panjang sembari menyugar rambutnya ke belakang. "Aku harus gimana, Tuhan?"Perasaannya tentu masih terpatri kepada sosok laki-laki itu—Dilan Ibrahim Pasha. Cintanya tak pernah berkurang sedikit pun hingga detik ini. Lalu, apa yang membuatnya ragu menerima lam
Tidur hanya beberapa jam saja, rupanya tak membuat semangat dan tenaga Sanaya berkurang. Keceriaan dan binar bahagia terpancar dari wajahnya yang semakin terlihat cantik dalam balutan hijab dan gamis berbahan serupa. Sengaja bersiap-siap lebih awal setelah meminta Rena dan Sita untuk mengambil alih tugasnya membuat kue.Untungnya, Sanaya selalu menyiapkan semua bahan kue terlebih dahulu untuk kebutuhan besoknya. Jadi, Rena dan Dita yang sudah terbiasa membantu membuat kue tak merasa kewalahan dan keteteran.Beberapa kue sudah matang dan siap untuk dipajang, sisanya akan menyusul seperti biasa. Sanaya hanya tinggal mencatat kue-kue selanjutnya yang akan diproses."Ren, kalo waktunya gak cukup mending gak usah bikin brownies. Apa adanya aja gak pa-pa. Daripada gak ada kue sama sekali," ucap Sanaya, yang sedang menata sifon cake yang siap di panggang di dalam oven. Masih ada beberapa menit lagi sebelum Dilan datang menjemputnya.Sembari menunggu, Sanaya membantu-membantu terlebih dahulu.
Seperti janjinya, setibanya di Jakarta, Dilan langsung membawa Sanaya ke makam ayah Wili, menemani perempuan itu yang katanya ingin berziarah. Untuk yang ketiga kalinya Dilan ke tempat tersebut. Yang pertama saat dia tahu kabar jika ayahnya Sanaya telah meninggal. Yang kedua beberapa waktu yang lalu ketika dia hendak pergi menyusul Sanaya ke Jogja. Lalu, hari ini, Dilan berniat meminta restu kepada orang yang telah membantunya dulu.Kondisi makam yang bersih dan rapi tentu menimbulkan pertanyaan di benak Sanaya, yang baru saja tiba. "Ini? Kenapa makam Ayah keliatan rapi?"Manik Sanaya menyusuri makam yang nampak berbeda dari hari terakhir yang dia lihat. Makam ayah sudah dipondasi sedemikian rupa, dengan kelopak bunga mawar merah dan putih berada di atasnya.Karena seingatnya, Sanaya lupa meminta pengurus makam untuk merawat makam sang ayah. Berada di kota yang jauh, cukup menyulitkannya berkomunikasi dengan pengurus makam."Mungkin ada orang baik yang meminta tolong sama pengurus mak
Dulu, Sanaya memang pernah tinggal di rumah besar, tetapi tidak sebesar rumah kakeknya Dilan. Untuk ukuran kamar yang dia tempati saat ini saja, luasnya melebihi kamarnya waktu di rumahnya dulu.Ah, Sanaya malah jadi rindu rumahnya yang dulu. Kenangannya tertinggal di rumah masa kecilnya itu. Andai, dia tidak terpaksa menjualnya demi menutupi utang ayah kepada keluarga Leo. Pasti, saat ini Sanaya masih bisa menempati rumah tersebut.Ada rasa sesal tersendiri sebenarnya, ketika Sanaya memutuskan menjual seluruh peninggalan ayah. Akan tetapi, mau bagaimana lagi, dia sama sekali tidak punya pilihan selain menjualnya, sebab Sanaya takut sang ayah menanggung beban berat di akhirat sana.Sedikit demi sedikit dia mulai paham soal hukum utang yang tidak dibayar meski nominalnya sangat kecil. Sanaya sayang dan ingin ayahnya tak terbebani dengan urusan utang. Kendati, dia harus kehilangan segalanya."Ah, iya. Baik-baik. Terima kasih. Besok saya sudah bekerja lagi. Silakan kirim dokumennya ke ka
Tak ada yang bisa menebak, bagaimana dan apa yang akan terjadi ke depannya dengan kehidupan kita. Kemarin, Sanaya hanya menghabiskan hari-harinya di ruko dengan berkutat dengan berbagai macam bahan kue. Memutuskan pergi ke kota lain, dan memulai hidup barunya dengan status seorang janda.Selama enam bulan, Sanaya hidup dalam kesepian, dan kenangan orang-orang yang dia sayang. Kehilangan ayah merupakan hal terberat baginya dan butuh waktu untuk belajar ikhlas. Kerinduannya akan sosok yang dulu sering mendampingi pun terkadang harus Sanaya pendam dalam-dalam, lantaran tak sanggup jika dia harus mengenang kebersamaannya lagi dengan seseorang.Seseorang yang selama ini dia pikir telah berbahagia dengan pasangannya. Namun, apa yang Sanaya kira, ternyata salah. Dilan pun rupanya merasakan hal yang sama sepertinya. Tenggelam dalam kubangan masa lalu yang memiliki kenangan paling manis dan indah. Hatinya, telah tersemat nama lelaki itu, yang dulu Sanaya pikir akan mudah melupakannya seiring