Prok prok prok
Suara gemuruh tepuk tangan terdengar begitu riuh ketika Adrian menyematkan cincin pertunangan di jari manis tangan kanan Alea. Dengan lembut, Adrian mengecup punggung tangan Alea. "Akhirnya kamu setuju. Aku sudah bilang, kamu akan jadi milikku, Alea. Hanya milikku!" Tatapan Adrian sungguh membuat Alea muak. Bahkan tadi, saat dia selesai dirias dan keluar dari ruang istirahat yang disiapkan di hotel ini, dia sempat melihat Adrian mencium Larissa, mantan kekasihnya. Atau mungkin masih kekasihnya? Hanya karena wanita itu seorang penyanyi klub malam, orang tua Adrian tidak pernah merestui hubungan mereka. Adrian meraih pinggang Alea. Dia tahu seharusnya apa yang akan terjadi. Mereka sudah bertunangan, pasti Adrian akan menciumnya. Namun, mengingat apa yang dia lihat tadi di dekat ruang istirahat, Alea menjadi sangat kesal. Ketika Adrian mendekatkan wajahnya ke Alea… "Hatchiu!" Adrian segera menjauh karena Alea yang ingin diciumnya malah bersin. "Maaf, maaf, Adrian. Aku rasa gaun ini terlalu terbuka, dan pendingin ruangan di sini terlalu dingin," ujar Alea beralasan. Dia mencoba memberikan alasan yang cukup masuk akal supaya Adrian tidak marah. Karena sebenarnya, sudah berkali-kali ayah dan kakaknya mengingatkan Alea untuk tidak membuat Adrian marah. Akan berbahaya bagi perusahaan mereka saat ini. Mira datang memberikan saputangan untuk Alea. "Mau minum teh hangat, Nak?" tanyanya lembut. Adrian yang mendengar Mira menawarkan teh hangat pada Alea malah terkekeh pelan. "Calon ibu mertua, di sini tidak ada teh hangat. Tapi ada banyak minuman lain yang bisa menghangatkan tubuh Alea." Adrian lalu menoleh ke dua pasang orang tua yang duduk di meja utama. "Ayah mertua, ibu mertua. Ayah, Ibu. Aku minta izin membawa calon istriku. Aku rasa kami butuh bonding supaya lebih dekat," katanya santai. "Benar-benar tidak tahu malu!" pekik Alea dalam hati. Sebenarnya, wajah Mira dan Martin terlihat agak cemas. Tapi ayah dan ibu Adrian malah mengangguk cepat. "Tentu saja, Nak. Kalian memang harus lebih dekat. Kalian akan menikah, maka bonding itu sangat perlu. Pergilah, jangan jauh-jauh. Jaga calon menantu Ayah, ya!" Martin sudah tak bisa berkata-kata lagi ketika calon besannya bicara seperti itu. Alea menatap ke arah ayahnya. Dia merasa ayahnya tidak akan membantah. Dengan pasrah, dia hanya bisa menghela napas kasar. Pesta pertunangan itu bahkan belum selesai, tetapi Adrian sudah membawanya pergi, dan kedua orang tua mereka membiarkannya begitu saja. Di dalam mobil, Alea hanya diam dan menatap ke luar jendela. "Kamu tidak bertanya ke mana kita akan pergi, Alea?" tanya Adrian. Alea menghela napas panjang sekali lagi. "Apa gunanya bertanya? Kamu juga tidak akan mendengar pendapatku," jawabnya acuh. "Ck, ketus sekali. Tapi itu yang aku suka darimu, Alea." Adrian tersenyum miring. "Sudahlah, namanya laki-laki, mana ada yang tidak pernah berbohong? Kata ayah dan ibu mertuaku, kamu sudah setuju menikah denganku. Jadi, lupakan saja masa lalu. Yang penting, kamu akan menjadi Nyonya Adrian satu-satunya!" Kata-kata Adrian terdengar sangat manis. Sayangnya, bagi Alea, kata-kata itu justru terdengar sangat memuakkan. Mobil mewah keluaran terbaru itu berhenti di salah satu hotel bintang lima paling eksklusif di kota ini. Dan perasaan Alea mulai tidak enak. "Hanya untuk minum, kenapa pergi ke hotel?" Setelah mobil itu berhenti di tempat parkir VIP hotel mewah tersebut, Alea mulai panik. Sementara itu, Adrian justru terkekeh melihat ekspresi wajahnya. "Kenapa panik begitu, Alea? Ini hanya hotel. Bukankah tadi kamu bilang tidak peduli kita akan ke mana?" tanya Adrian dengan nada menggoda. Alea masih kebingungan. Dia berpikir bagaimana caranya kabur. Bahkan, dia enggan membuka sabuk pengamannya. Ceklek. Pintu mobil terbuka. Alea semakin gugup. "Turunlah, Sayang…" "Kenapa harus ke hotel? Minum di klub juga bisa, kan?" tanya Alea, masih berusaha mencari alasan. "Jangan menguji kesabaranku, Alea. Mau sekarang atau nanti, sama saja." Mata Alea jelas memancarkan ketidaksenangan. "Apa maksudmu?" Adrian tertawa kecil. "Jangan naif, Alea. Aku yakin kamu tahu maksudku. Di salah satu lantai hotel ini ada klub malam. Kita bisa ke sana. Ayolah!" Tanpa memberikan kesempatan bagi Alea untuk menolak, Adrian menarik tangannya. Dengan terpaksa, Alea melepas sabuk pengamannya dan keluar dari dalam mobil. "Tunggu, Adrian. Ke klub dengan pakaian seperti ini, menurutku…" "Tidak masalah. Klub di sini VIP. Kamu hanya akan berada di dalam ruangan bersamaku. Tidak akan ada yang mengganggu!" Alea tak bisa protes lagi. Adrian menggenggam tangannya terlalu erat. Sesampainya di klub malam, mereka memang hanya berdua di ruangan VIP, tetapi sofa di sana terlihat mencurigakan. Terlebih lagi, Adrian mengunci pintu dari dalam. "Duduklah, Alea. Katanya kamu kedinginan. Minuman ini akan membuatmu hangat," ujar Adrian sambil menarik tangan Alea agar duduk. Alea terdiam. Dia tahu, Adrian tak akan menerima penolakan. Terlebih, pria itu terus menggertaknya dengan ancaman tentang perusahaan keluarganya. Hingga akhirnya, Alea merasa kepalanya mulai pusing. "Aku mual. Aku ke toilet dulu, ya," ucapnya lirih. Adrian mengangguk. Dia sendiri sudah cukup mabuk. "Tak kusangka, kamu kuat minum juga, Alea. Cepat kembali!" katanya sambil terkekeh. Alea berjalan terhuyung ke arah toilet. Dia mencuci wajahnya di wastafel. "Sadar, Alea! Aku harus pergi dari sini. Jika tidak, aku benar-benar tidak akan selamat malam ini," gumamnya menatap bayangannya di cermin. Alea sengaja berlama-lama di toilet. Dia berharap Adrian sudah pingsan karena mabuk saat dia kembali. Namun ternyata, baru saja dia akan membuka pintu, matanya justru disuguhkan dengan pemandangan menjijikkan. Bahu Alea naik turun cepat. Sebuah dengusan kasar terdengar. "Bahkan aku hanya bisa menonton. Ini menjijikkan!" gerutunya. Alea benar-benar muak. Dia harus menikah dengan pria yang bahkan masih terjerat dengan mantan kekasihnya itu. Atau mungkin mereka memang belum pernah putus? Di dalam ruangan VIP itu, Adrian sedang menggenjot Larissa dengan penuh semangat. Alea tidak bisa membayangkan bagaimana kehidupannya setelah menikah nanti. Perjanjian yang dibuat hanya berlaku untuk tidak berpoligami, tetapi tidak melarang Adrian berselingkuh. Alea berjalan menjauh dari ruangan itu dan menuju meja mini bar di dalam klub malam tersebut. "Aku bahkan harus pulang pagi demi sandiwara ini. Aku rasa dia sengaja memanfaatkan aku. Adrian sialan!" pekik Alea, kesal setengah mati. Alea minum banyak sekali. Dia frustasi, dia merasa sangat tertekan. Dia harus menikah dengan seorang yang sangat dia benci. Tapi, masih harus tetap pura-pura baik dan menunjukkan persetujuan di depan Adrian. Dia benar-benar muak. Tanpa dia sadari, sejak tadi ada sepasang mata milik pria tampan yang terus saja memperhatikannya dari jarak yang tidak terlalu jauh. To be continued...Alea tertawa miring. Dia menatap Adrian dengan tidak senang."Pikirkan dulu kekasihmu dan calon masa depanmu yang ada di perutnya. Jika dia mendengar hal ini keluar dari mulutmu, aku yakin dia akan marah dan muntah darah!"Suasana pagi itu dingin dan mencekam, seolah udara pun enggan bersentuhan dengan ketegangan yang menggantung di antara mereka. Sorot mata Alea tajam, menusuk seperti pisau yang diasah dengan kemarahan dan kejengkelan yang lama dipendam.Alea mencoba menggertak Adrian. Tapi memang itu benar. Jika Larissa tahu, Adrian sedang merayu Alea, sudah pasti wanita itu akan kebakaran jenggot. Larissa bukan tipe perempuan yang bisa menelan pengkhianatan dengan senyuman.Yang calon istri Adrian, dan yang telah bertunangan dengan Adrian itu memang Alea. Tapi wanita yang merasa memiliki Adrian adalah Larissa. Sebuah ironi menyakitkan yang selama ini Alea coba telan dalam diam.Adrian, dengan segala pesona dan kebanggaannya, tidak pernah berubah. Mendengar ucapan Alea, dia hanya me
Kael sama sekali tidak membiarkan Alea jauh darinya. Pria itu terus memeluknya erat, seolah takut kehilangan. Lengannya yang kekar menyelimuti tubuh Alea seperti perisai yang melindungi dari dunia luar. Helaan napasnya stabil dan hangat, menyapu lembut kulit Alea yang sudah berkeringat. Mereka telah melewati malam yang panas, penuh gairah, dan sentuhan yang tak terbendung. Bukan hanya sekali, tapi beberapa kali mereka larut dalam hasrat yang tak tertahan. Hingga akhirnya, tubuh mungil Alea menyerah pada kelelahan. Dia tertidur dalam pelukan Kael, dengan rambut acak-acakan menempel di pipinya yang masih merah karena sisa-sisa hasrat tadi malam.Kael menatap wajah Alea yang tertidur dengan damai. Dalam diam, ia menyentuh pipi Alea, mengusap perlahan dengan ibu jarinya. Wajahnya menyiratkan pergolakan batin yang dalam. Ada hal besar yang belum ia ungkapkan, sesuatu yang selama ini ia pendam sendiri. Dan malam itu, keyakinannya bulat untuk mengakhiri misteri itu."Aku sudah caritahu semua
Pada akhirnya, Alea harus kembali ke hotel. Kael menahannya cukup lama, sebelum dia bisa menghindar dari pria itu.Masalah yang sedang dia hadapi, bukan masalah ringan yang bisa dia selesaikan sendiri atau bahkan dengan bantuan Kael. Bukan Alea meremehkan Kael, tapi pria itu juga bukan seseorang yang bisa membantunya untuk keluar dari masalah keluarganya dan perusahaan ayahnya.Terlebih lagi, Alea tidak ingin Kael terlibat. Pikir Alea, Kael itu bekerja di klub malam, sebagai seorang pria penghibur. Pasti karena dia benar-benar sangat butuh uang. Mungkin ada masalah besar yang dia alami dalam hidupnya. Alea juga tidak mau menambah beban Kael. Alea pikir, dia hanya ingin bersenang-senang, sebelum kehidupannya akan berakhir di tangan Adrian. Menjadi istri yang hanya sebatas status, bahkan harus menerima anak haram Adrian itu sebagai anaknya.Langkah Alea terasa berat menyusuri lorong hotel yang tampak sepi. Cahaya lampu-lampu gantung berwarna kuning temaram menambah kesan sunyi dan dingi
"Kondisinya tidak parah, lebih ke lelah sebenarnya daripada alergi atau semacamnya!" jelas dokter yang memeriksa Larissa.Larissa yang memang tidak bisa bahasa Prancis tampak terdiam dan memperhatikan ekspresi wajah Adrian. Ia mencoba membaca raut wajah kekasihnya itu, berharap bisa menangkap sedikit saja makna dari setiap kata yang diucapkan dokter. Namun semakin ia mencoba, semakin kabur semuanya.'Sial, aku tidak mengerti lagi apa yang dokter ini katakan!' batin Larissa, sambil menelan ludah. Ketidaktahuannya terhadap bahasa itu membuat kepalanya semakin pusing, entah karena kecemasan atau karena sugesti semata.Alea yang sejak tadi memperhatikan wajah Larissa yang tampak bingung, langsung menghampiri wanita itu. Tanpa perasaan bersalah, bahkan dengan nada ringan dan nada yang nyaris seperti bercanda, ia mendekatkan wajahnya ke telinga Larissa lalu berbisik, "Ck, tidak disangka. Ternyata umurmu tinggal sebentar lagi."Suara lirih Alea itu terdengar seperti dentuman petir di telinga
Mata Alea mencoba untuk tidak menoleh ke arah dua sejoli yang sedang dimabuk asmara di depannya itu. Atau mungkin lebih tepatnya, Adrian yang menjadi bucin pada wanita yang sudah jelas-jelas hanya terpikat padanya karena uangnya itu. Tapi yang namanya bucin, Adrian sama sekali tidak bisa melihat dengan jelas apa yang Alea dan Wulan, ibunya Adrian sendiri, lihat pada Larissa. Restoran mewah itu dipenuhi Kilauan cahaya yang terpantul dari lampu gantung kristal yang terkena sinar matahari dari luar, yang berkilau indah di atas kepala mereka. Aroma masakan kelas atas menguar samar dari dapur terbuka di sudut ruangan, diselingi suara piano lembut yang dimainkan live oleh seorang pria tua berjas putih. Tapi semua suasana itu tak mampu membuat hati Alea nyaman. Bahkan alunan musik romantis yang harusnya menenangkan, malah terasa seperti siksaan tambahan. Kedua orang itu sedang makan dengan begitu romantis. Adrian memotongkan daging untuk Larissa, dan Larissa memandang Adrian dengan sangat
Dan setelah semua kekesalan Alea, dia kembali harus dibuat darah tinggi dengan permintaan tidak masuk akal Adrian. "Aku tidak mau ikut!" ujar Alea kesal. Nada suaranya meninggi, penuh penolakan yang sudah tidak bisa ditawar. Matanya memancarkan amarah yang sudah berusaha ia tahan sejak tadi pagi. Sudah cukup hari ini dipenuhi kejengkelan dan kini Adrian datang dengan ide gila yang benar-benar membuat darahnya mendidih. Lagian ada-ada saja, masa iya Adrian jalan-jalan dengan Larissa, dia harus ikut. Yang ada dia jadi obat nyamuk. Mending jadi obat nyamuk saja? Larissa si genit itu pasti akan melakukan hal-hal yang membuatnya hipertensi nanti. Alea memeluk tubuhnya sendiri, menahan emosi. Pikirannya dipenuhi skenario menyebalkan. Dia bisa membayangkan Larissa akan merangkul Adrian setiap lima menit, tertawa genit, lalu memamerkan barang-barang yang dibelikan Adrian seperti sedang pamer trofi. Dan dia? Alea akan jadi saksi mata dari hubungan yang menurutnya menjijikkan. Namun, A