"Nona, Anda sudah terlalu mabuk! Sebaiknya saya hubungi seseorang yang bisa membawa Anda pulang," ucap bartender yang sejak tadi melayani Alea dengan ekspresi khawatir.
Wanita itu bahkan sudah tidak sanggup menegakkan kepalanya dengan benar, tapi tetap bersikeras meminta minuman lagi dan lagi. Alea, yang masih setengah sadar namun cukup mampu mendengar, melambaikan tangannya dengan malas. "Tidak ada yang menginginkan aku pulang. Biarkan aku di sini, ya... ya..." "Nona..." "Siapa yang tidak menginginkanmu pulang?" Suara baru itu terdengar lebih dalam, lebih berat, dan lebih tegas dibanding suara bartender tadi. Alea mengangkat kepalanya dengan susah payah. Seorang pria tampan dengan kemeja hitam mahal kini duduk di sebelahnya. Matanya yang tajam mengamati Alea dengan ekspresi yang sulit dimengerti. "Kamu..." gumam Alea, mengerjapkan matanya beberapa kali, mencoba memastikan bahwa penglihatannya tidak menipunya. "Aku akan menemani dia. Lanjutkan pekerjaanmu," kata pria itu, tanpa ragu, kepada bartender yang masih berdiri ragu-ragu di tempatnya. Bartender itu menatap pria tersebut sejenak, sebelum akhirnya mengangguk dan pergi melayani tamu lain. Alea mengerucutkan bibirnya, tidak senang melihat bartender itu meninggalkannya begitu saja. Ia melambaikan tangannya ke arah pria berseragam itu dengan ekspresi kecewa. "Kenapa dia pergi?" tanyanya, setengah merengek. "Karena sekarang sudah ada aku," jawab pria di sebelahnya dengan nada santai. Alea kembali menoleh, matanya mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya tersenyum miring. "Benar! Sudah ada pria tampan lain. Kamu pria tampan..." katanya dengan suara lirih, sebelum tangannya terangkat, mengarah ke wajah pria itu. Jemarinya yang lembut menyentuh kulit pria itu, melewati rahang tegas, lalu turun ke lehernya, hingga terhenti di dada bidang yang terasa hangat dan keras di bawah ujung jarinya. "Kenapa berhenti?" suara pria itu terdengar menggoda. "Di bawah sana lebih keras lagi." lanjutnya. Jika Alea dalam keadaan sadar, ia pasti sudah kabur saat ini juga. Tapi, mabuk telah merampas logika dan kesadarannya. Alih-alih menjauh, ia justru menatap pria itu lebih lama, seperti sedang menimbang sesuatu. "Benarkah?" gumamnya, lalu mendesah pelan. "Tapi aku tidak suka pria bekas orang lain." Ia hendak menarik kembali tangannya, namun pria itu lebih cepat. Tangannya yang kuat mencengkeram pergelangan tangan Alea, menariknya lebih dekat hingga tubuh wanita itu menabrak dada bidangnya. "Sudah pegang, mau kabur?" tanyanya, suaranya terdengar dalam dan penuh keyakinan. Alea menyeringai kecil. "Baiklah," katanya, nada suaranya menggoda. "Katakan berapa hargamu?" Pria itu menatapnya lekat-lekat sebelum menyeringai kecil. "Aku sangat mahal," ucapnya tenang, lalu mendekatkan wajahnya ke telinga Alea. "Tapi karena kamu sudah DP duluan, aku akan kasih diskon." Alea mengernyitkan keningnya. 'Kapan aku DP?' batinnya bingung. Namun, sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, tubuhnya tiba-tiba melayang. Pria itu mengangkatnya begitu saja dan membawanya keluar dari bar. Pria itu membawa Alea ke sebuah kamar yang ada di hotel mewah itu. Kamar itu bahkan kamar suite room. Alea membuka matanya dengan malas saat merasakan tubuhnya dibaringkan di atas sesuatu yang empuk. Kesadarannya mulai sedikit pulih, meski pikirannya masih melayang. "Kita belum sepakat. Aku tidak mau pria bekas orang lain..." gumamnya lirih. "Kamu yang pertama," suara pria itu terdengar dekat, sebelum bibirnya menekan bibir Alea dengan cepat. Alea terkejut, ingin berbicara, namun pria itu tidak memberinya kesempatan. Ciuman yang dalam dan mendominasi membuatnya kehilangan kata-kata. Ia seharusnya menolak, seharusnya mendorong pria itu menjauh, tapi tubuhnya tidak menurut. Pria itu menyeringai di sela ciumannya. "Sudah kuduga, ini ciuman pertamamu, kan?" "Jangan asal bicara!" sahut Alea cepat, berusaha menyangkal. "Aku sudah 24 tahun. Mana mungkin ini ciuman pertamaku?" Namun, jawaban itu justru membuat pria itu tertawa kecil. "Benarkah?" tanyanya, nadanya penuh ejekan. "Dasar pembohong!" Tangan pria itu mencengkeram kedua pergelangan tangan Alea, menguncinya di atas kepala wanita itu. Ia terus melahap bibir Alea, tidak memberinya kesempatan untuk berpikir jernih. Saat pria itu mulai menelusuri lehernya, tubuh Alea menegang. Ia merasa panas, gemetar, dan untuk sesaat hampir menyerah pada rasa yang menggelitik setiap saraf di tubuhnya. Namun, ketika pria itu menarik tali gaun yang dikenakannya, kesadaran Alea sedikit kembali. Ia membuka matanya, menatap pria itu, lalu mendorongnya pelan. "Kenapa?" pria itu bertanya dengan mata yang mulai berkabut. "Menyesal?" Alea tidak langsung menjawab. Di dalam kepalanya, bayangan Adrian muncul. Tunangan nya itu baru saja ia lihat di ruangan VIP dengan mantan kekasihnya. Adrian benar-benar menyentuh wanita itu, membuat Alea menikmati malam pertunangan mereka dengan cara yang menyakitkan. Alea menggigit bibirnya. Sakit hati itu kembali menghantamnya. Dia merasa dia tidak pantas saja diperlakukan seperti itu oleh Adrian. Bahkan dia tidak bisa masuk dan melabrak mereka. Itu membuatnya semakin kesal. Maka, alih-alih menolak, ia justru melingkarkan tangannya di belakang leher pria yang ada di atasnya. "Tidak juga," bisiknya pelan. "Hanya saja... jika aku tidak puas, maka..." "Jika kamu tidak puas, aku akan ganti rugi," potong pria itu, sebelum kembali mencium bibir Alea, lebih dalam, lebih panas, penuh dengan nafsu. Alea tidak bisa berpikir lagi. Ciuman itu membakar semua logika yang tersisa. Ia pasrah, membiarkan dirinya tenggelam dalam lautan emosi yang begitu asing baginya. Membiarkan pria itu menyentuh bagian apapun yang dia kehendaki. Satu per satu pakaian mereka jatuh ke lantai. Alea sungguh terhanyut dalam setiap ciuman, sentuhan dan cumbuan di setiap inci tubuhnya yang dilakukan pria tampan bertubuh kekar itu. Hingga pria itu benar-benar menguasai diri Alea sepenuhnya. Ketika akhirnya pria itu memasukinya, Alea menahan napas. Kepalanya menggeleng perlahan, matanya terpejam menahan sakit yang amat sangat. Tangannya mencakar kuat punggung pria itu, benar-benar sangat kuat. Pria itu menatapnya, lalu mengecup keningnya dengan lembut saat dia berhasil menembus sesuatu yang sangat sempit di bawah sana. "Pembohong," bisiknya. "Aku bahkan pria pertamamu. Kamu harus bayar sangat mahal untuk ini!" Alea tidak menjawab. Ia terlalu sibuk menghadapi sensasi baru yang menyerang tubuh dan pikirannya. Sakit, perih, gatal... tapi juga ada sesuatu yang lain, sesuatu yang mengalir seperti aliran listrik yang membakar setiap inci tubuhnya. Dan itu membuat akal sehatnya sama sekali tidak bekerja. Rasanya bahkan ingin lagi, lagi dan lagi yang lebih dari rasa itu. Dan saat pria itu mulai bergerak semakin cepat, Alea tahu, ia telah kehilangan dirinya malam ini. Malam di mana ia memilih pelarian, alih-alih menghadapi kenyataan. Malam di mana ia menyerahkan segalanya kepada pria yang bahkan tidak ia ketahui namanya. Dan entah sudah berapa kali mereka melakukan hubungan itu sampai pagi menjelang. To be continued...Alea membuka matanya perlahan. Dia merasa seolah telah melakukan aktivitas yang sangat berat dan melelahkan semalam. Seluruh tubuhnya terasa remuk. Bahkan untuk bangun saja, dia merasa cukup kesulitan. Alea memegang kepalanya yang masih sedikit pusing. Dia mengerjapkan matanya perlahan dan menyadari bahwa dia tidak bisa bangun bukan hanya karena tubuhnya terasa remuk, tetapi juga karena sebuah tangan kekar berada di atas perutnya. Alea menelan salivanya dengan susah payah. Dia menoleh ke samping, dan bola matanya nyaris melompat keluar. "Siapa dia?" batinnya terkejut. Di saat kesadarannya mulai pulih, Alea merasakan sensasi perih di bawah sana. Ingatannya mulai kembali satu per satu, mengingat apa yang terjadi semalam. Alea memejamkan matanya, lalu mengusap wajahnya dengan kasar. Semua kenangan itu muncul kembali, bagaimana dia merayu pria itu, bagaimana dia mengatakan akan membayarnya. Semua itu terjadi karena emosi dan kemarahannya pada Adrian. "Bodoh! Sekarang apa bedanya aku
Alea akhirnya kembali ke rumah orang tuanya. Cukup lama dia diam di taksi online yang dia tumpangi. Dia memastikan kalau bagian atas tubuhnya sama sekali tidak ada tanda pria bernama Kael itu. Alea sungguh di buat geleng-geleng kepala karena ulah pria bernama Kael itu. Bisa-bisanya minta di pesankan taksi juga, dan ongkosnya. "Huh, apa ini artinya aku sedang terjebak dengan seorang pria yang benar-benar miskin? hah, apa yang aku pikirkan, dia akan segera dapat satu milyar, dia akan jadi OKB" gerutunya sambil mengenakan sepatu hak tingginya. Supir taksi itu juga hanya diam saja, dia pikir mungkin penumpang di belakangnya itu masih mabukk. Alea turun dari taksi, dan dia harus menghela nafas sangat berat. "Huh, masih pagi loh!" gumamnya mengeluh seraya menghentikan langkahnya. Dan hal yang membuatnya mengeluh adalah sosok pria yang semalam menjadi tunangannya itu, tapi hanya di tinggal sebentar ke toilet saja sudah bercinta dengan wanita lain. Pria yang memang menunggu kedatanga
Dan sekarang, Alea sungguh merasa dirinya terjebak. Dia bahkan harus melangkahkan kaki ke sebuah klub malam yang dipenuhi dentuman musik, cahaya berwarna-warni, dan aroma parfum bercampur alkohol yang menyengat. Semua itu karena Kael, pria yang entah kenapa masih saja mengusik hidupnya, bertaruh dan kalah dalam permainan yang sama sekali tidak masuk akal. Alea menatap Kael dengan pandangan tajam, tajam seperti pisau yang baru diasah. Tatapan itu seakan ingin melahap pria itu hidup-hidup, tanpa sisa. "200 juta?" tanyanya dengan suara yang bergetar antara percaya dan tidak percaya. Sebagian dirinya merasa ini adalah mimpi buruk, sebagian lagi tahu betul ini nyata, terlalu nyata. Bagaimana mungkin Kael bisa dengan mudah mempertaruhkan uang sebesar itu? Bukankah jumlah tersebut lebih dari gajinya selama satu setengah tahun? Alea mengerutkan kening, mencoba mencerna logika yang tak bisa dicerna. Namun yang lebih membuat darahnya mendidih adalah ekspresi wajah Kael. Pria itu berdiri den
Keduanya terhanyut dalam sentuhan satu sama lain. Sentuhan panas, dan menggelitik yang menuntut untuk merasakan lebih dan lebih lagi.Desahan tertahan, napas memburu, dan ketegangan yang mengalir di antara keduanya menjadi irama malam yang tak terelakkan. Aroma tubuh yang bercampur dengan napas hangat menciptakan ruang penuh gairah, seolah waktu berhenti berdetak hanya untuk mereka berdua.Hingga ketika tangan hangat itu menyentuh bagian sensitif Alea, tubuh Alea menegang. Mata Alea terbuka, dan ia langsung menahan tangan Kael dengan cengkeraman yang gemetar.Tatapan matanya menunjukkan, kalau dia ingin mundur. Dia tidak ingin meneruskannya. Sayangnya, tangannya di tepis begitu saja oleh Kael, dan pria itu berkata. "Sayang, jika kamu ingin mundur. Ini sudah terlambat!" kata Kael dengan napas yang sudah begitu memburu, suaranya berat dan serak, dipenuhi hasrat yang tak lagi bisa dikendalikan.Kedua tangan Alea dikunci di atas kepalanya oleh tangan Kael. Wajah Alea memerah, bukan hanya
Alea terus menerus memegang keningnya. Rasa sakit yang menusuk di pelipisnya seolah menjadi pengingat bahwa tubuhnya sedang memprotes kurangnya istirahat. Dia benar-benar kelelahan. Semalam, dia nyaris tidak tidur karena Kael. Dan pagi ini, dia harus menghadiri meeting yang dijadwalkan sangat pagi.Matanya yang sembab dan wajahnya yang pucat tidak bisa menipu siapa pun. Akan tetapi, dia harus tetap bekerja. Apalagi, ini adalah proyek penting yang sudah ditanganinya selama beberapa minggu terakhir."Ku kira siapa? Ternyata calon nyonya Adrian ya? Sayangnya, hanya nama saja!"Suara tinggi bernada sinis itu menusuk telinga Alea seperti paku berkarat yang ditancapkan paksa. Seorang wanita dengan blouse biru telur asin masuk ke dalam ruangan meeting dengan langkah percaya diri yang menyebalkan. Dia tidak datang sendirian, bibirnya melengkungkan senyum miring penuh provokasi.Alea melirik sekilas. Wajahnya langsung berubah. Rasa sakit kepala yang tadinya hanya berdenyut pelan, kini seperti
Belum juga Alea beranjak dari kursi di ruangan meeting itu. Aroma kopi sisa rapat masih mengambang samar di udara, dan suara detik jam di dinding seolah memaku suasana dalam keheningan yang menyesakkan. Pikirannya masih terbagi antara mencaritahu siapa pemilik Sunrise Resort dan juga permintaan Kael yang menginginkan sebuah apartemen. "Aku jadi berasa sugar mommy beneran kalau seperti ini" gumamnya. Layar ponsel menyala, menampilkan sebuah pesan masuk dari Kael. Sebuah foto terpampang jelas. Brosur apartemen mewah dengan desain minimalis modern yang elegan 'Gloria Garden', tertulis jelas di bagian atas dengan font emas mengilap.Mata Alea membulat sempurna. Mulutnya ikut ternganga tanpa sadar. Pandangannya terpaku pada gambar unit apartemen yang tampak lebih seperti istana kecil daripada hunian biasa. Kepala Alea yang sejak pagi berdenyut akibat tekanan pekerjaan kini terasa makin berat, seakan tak sanggup lagi dia tegakkan. Rasa pusing menjalar dari pelipis ke tengkuk, membuat tub
"Sayang…" panggil Kael begitu melihat sosok Alea melangkah masuk ke area lobi gedung agen properti yang mewah itu.Alea segera mengangkat satu tangannya, telunjuknya teracung ke depan bibirnya seperti seorang guru yang sedang memperingatkan muridnya. "Ssttt!" desisnya pelan tapi tegas, tatapannya tajam dan waspada. "Jangan panggil aku seperti itu! Panggil saja Alea," lanjutnya tanpa basa-basi.Nada suaranya datar, namun sorot matanya menyiratkan kekhawatiran yang lebih dalam. Ia tak ingin ada yang tahu hubungan mereka. Hubungan yang, bahkan untuk mereka sendiri, sulit untuk didefinisikan. Ya, hubungan yang seperti itu. Hubungan yang penuh kerumitan, diam-diam, dan tak seharusnya ada. Karena, Alea memang sudah bertunangan dengan Adrian.Pesta pertunangan mereka yang bukan sekadar selebrasi kecil-kecilan. Acara itu besar, meriah, dan dihadiri oleh ratusan tamu undangan. Bahkan masuk ke halaman depan media sosial dan surat kabar kota, menjadi buah bibir selama berhari-hari. Siapa yang ti
Di dalam ruangan Pak Martin, pria yang merupakan penanggung jawab penjualan dan pembayaran apartemen, yang kini hanya tersisa satu unit saja. Alea masih belum bisa mempercayai apa yang baru saja terjadi. Pandangannya menyapu ruangan, berusaha menemukan jawaban atas apa yang sedang dia pikirkan. Saat ini, pak Martin sedang keluar dari ruangan itu, sedang mengurus surat-suratnya. Apartemen atas nama Alea dengan harga yang tidak masuk akal. Tadi, dia hanya mentransfer 170 juta rupiah. Ya, hanya sebanyak itu. Jumlah yang, kalau digunakan untuk menyewa unit apartemen, bahkan hanya untuk satu bulan saja. Tapi kenyataannya, kini dia menjadi pemilik sah unit tersebut dengan harga itu, harga yang bisa disamakan dengan harga sebuah unit mobil second? Rasanya seperti sesuatu yang mustahil. Tapi itu terjadi saat ini. Alea menggigit bibir bawahnya. Matanya melirik ke arah pria di sampingnya yang tampak santai. Dia juga heran, kenapa Kael terlihat santai sekali sejak tadi. Merasa ada yang jangg
Mata Alea mencoba untuk tidak menoleh ke arah dua sejoli yang sedang dimabuk asmara di depannya itu. Atau mungkin lebih tepatnya, Adrian yang menjadi bucin pada wanita yang sudah jelas-jelas hanya terpikat padanya karena uangnya itu. Tapi yang namanya bucin, Adrian sama sekali tidak bisa melihat dengan jelas apa yang Alea dan Wulan, ibunya Adrian sendiri, lihat pada Larissa.Restoran mewah itu dipenuhi Kilauan cahaya yang terpantul dari lampu gantung kristal yang terkena sinar matahari dari luar, yang berkilau indah di atas kepala mereka. Aroma masakan kelas atas menguar samar dari dapur terbuka di sudut ruangan, diselingi suara piano lembut yang dimainkan live oleh seorang pria tua berjas putih. Tapi semua suasana itu tak mampu membuat hati Alea nyaman. Bahkan alunan musik romantis yang harusnya menenangkan, malah terasa seperti siksaan tambahan.Kedua orang itu sedang makan dengan begitu romantis. Adrian memotongkan daging untuk Larissa, dan Larissa memandang Adrian dengan sangat ka
Dan setelah semua kekesalan Alea, dia kembali harus dibuat darah tinggi dengan permintaan tidak masuk akal Adrian."Aku tidak mau ikut!" ujar Alea kesal.Nada suaranya meninggi, penuh penolakan yang sudah tidak bisa ditawar. Matanya memancarkan amarah yang sudah berusaha ia tahan sejak tadi pagi. Sudah cukup hari ini dipenuhi kejengkelan dan kini Adrian datang dengan ide gila yang benar-benar membuat darahnya mendidih.Lagian ada-ada saja, masa iya Adrian jalan-jalan dengan Larissa, dia harus ikut. Yang ada dia jadi obat nyamuk. Mending jadi obat nyamuk saja? Larissa si genit itu pasti akan melakukan hal-hal yang membuatnya hipertensi nanti.Alea memeluk tubuhnya sendiri, menahan emosi. Pikirannya dipenuhi skenario menyebalkan. Dia bisa membayangkan Larissa akan merangkul Adrian setiap lima menit, tertawa genit, lalu memamerkan barang-barang yang dibelikan Adrian seperti sedang pamer trofi. Dan dia? Alea akan jadi saksi mata dari hubungan yang menurutnya menjijikkan.Namun, Adrian tam
Belum hilang rasa kesal Alea, dia harus kembali kehilangan ketenangan gara-gara Adrian mengetuk pintu kamarnya dengan kasar. Bahkan ketika Alea pura-pura tidak mendengarnya, Adrian tetap tidak menyerah. Laki-laki itu bahkan mengganggunya lewat pintu dari balkon, membuat Alea hampir melemparkan bantal ke arah pintu saking jengkelnya."Alea, buka! Ibuku telepon!" pekiknya, sambil menggoyangkan gagang pintu balkon dengan penuh tekanan. Suaranya yang berat dan mendesak membuat Alea semakin geram. Ia menutup matanya rapat-rapat, berusaha keras menahan diri agar tidak berteriak.Menghela napas panjang dengan kasar, akhirnya Alea pun bangkit dari duduk manisnya. Langkahnya berat dan penuh ketidaksukaan ketika ia membuka pintu balkon itu. Udara dingin langsung menerpa kulitnya, seolah ikut memperburuk suasana hati Alea."Sayang..."Tatapan Adrian segera teralihkan ke arah lain. Di sana, Larissa tampak sudah berdandan rapi. Rambut panjangnya digerai sempurna, bajunya yang mahal memeluk tubuhn
Adrian masih tampak begitu kesal, ia menunggu Alea di dalam kamar Alea. Ia bilang pada Larissa bahwa dirinya akan mengurus reservasi restoran untuk makan malam romantis mereka berdua di salah satu restoran terbaik di Paris. Para pria memang pandai merangkai kata-kata manis. Bahkan ketika berbohong, rasanya sulit bagi wanita untuk tidak mempercayainya. Ucapan-ucapan mereka begitu meyakinkan, seakan-akan kebenaran ada di setiap nadanya, padahal semua itu hanya permainan kata semata.Tangannya mengepal kuat, seolah menahan gejolak amarah yang sudah membuncah di dadanya. Napasnya memburu, matanya merah menahan emosi. Masalahnya, dia bahkan tidak bisa menemukan ke mana perginya Alea sejak semalam. Ia sudah mencari ke berbagai penjuru hotel, memeriksa satu per satu kemungkinan yang ada. Bahkan, untuk mengetahui lebih lanjut, Adrian mengeluarkan banyak uang demi mendapatkan akses ke rekaman kamera pengawas di seluruh koridor hotel. Ia berpikir, setidaknya rekaman itu bisa memberinya sedikit
Alea merasa kepalanya masih sedikit pusing, tapi gangguan yang lebih mengusik datang dari silaunya cahaya terang yang menembus kelopak matanya. Ya, seperti itulah saat sinar matahari pagi menyusup dari celah-celah tirai dinding kaca kamar hotel itu. Hangatnya menelusup ke kulit, namun menyakitkan di mata yang masih lelah."Kael."Begitu Alea membuka mata, nama itu langsung meluncur dari bibirnya. Suaranya parau dan pelan, seolah hanya ingin memastikan dirinya sendiri bahwa malam tadi bukan sekadar mimpi.Dengan tubuh yang masih berat, Alea mengubah posisinya menjadi duduk, bersandar pada sandaran tempat tidur yang empuk. Tangannya terangkat, mengusap wajah yang masih kusut oleh sisa-sisa tidur dan ingatan semalam yang menghantui pikirannya. Matanya menelusuri seisi kamar, menelisik setiap sudut, namun tak ada tanda-tanda keberadaan Kael di sana. Hanya keheningan dan aroma samar parfum pria yang masih tertinggal di udara.Alea menarik napas panjang dan berat. Ia ingat apa yang terjadi
Adrian yang melihat Alea keluar dari kamarnya, bergegas menuju ke kamarnya, dan membuka pintu yang membatasi balkon dengan kamarnya. Tanpa dia sadari, apa yang dia lakukan secara terburu-buru itu malah membuat suara yang cukup keras. Hingga Larissa terbangun."Sayang, ada apa?" tanya Larissa yang menyingkap selimutnya dan bangun, lalu merubah posisinya menjadi duduk. Rambut panjangnya yang tergerai berantakan menambah kesan lembut dari wajahnya yang masih terlihat lelah. Matanya setengah terbuka, berusaha memahami apa yang sedang terjadi.Adrian mengepalkan tangannya. Dia benar-benar tinggal satu langkah lagi mendapatkan Alea tadi. Nyaris saja, dan semua itu harus gagal sekarang. Napasnya masih memburu, bukan karena kelelahan, tapi karena emosi yang terpendam. Dia hampir memiliki Alea, hampir menguasainya sepenuhnya. Tapi suara pintu itu... suara bodoh itu membangunkan Larissa."Sayang, peluk!" kata Larissa yang merentangkan tangannya minta dipeluk oleh Adrian, seperti biasanya ketik
Adrian terus menatap Alea. Wajah Alea sudah memerah. Pria itu melihat ke arah gelas yang di letakkan Alea di atas meja. Meski minuman yang dia tuang hanya seperempat gelas. Tapi, masalahnya bukanlah di minuman itu. Karena sebenarnya, Adrian mengoleskan obat di bibir gelasnya. Jadi ketika Alea minum, otomatis obat itu masuk ke mulutnya juga. Alea merasa sangat tidak nyaman. Matanya berat, dah tubuhnya terasa ada sensasi yang membuatnya merasa aneh. "Aku mengantuk, terima kasih minumannya. Aku..."Alea menjeda ucapannya ketika dia merasa kepalanya mulai pusing. Awalnya Alea pikir dia mabuk, tapi masa iya, hanya satu gelas saja mabuk. Dia mencoba menepis pikiran itu, mengira tubuhnya hanya lelah. Namun, saat dia mencoba berdiri dari duduknya, kepalanya seperti berputar. Tubuhnya pun terasa aneh, seolah ada sesuatu yang merayap dalam aliran darahnya.Rasa panas menyergap tubuhnya dengan cepat. Tenggorokannya terasa kering seperti padang pasir, haus yang tiba-tiba datang menyerang tanpa
"Darimana kamu?"Deg.Jantung Alea seperti berhenti berdetak sejenak. Suara itu terdengar sangat dekat, dan entah kenapa, menyusup ke dalam tulang-tulangnya seperti hawa dingin dari ruang beku. Tubuhnya menegang, sebelum dia akhirnya memutar tubuhnya dengan cepat. Pintu kamar hotel yang belum sempat tertutup rapat kini terbuka sepenuhnya karena gerakannya.Matanya membulat. Shock. Terkejut bukan main. Tubuhnya sedikit mundur.Adrian.Laki-laki itu berdiri di dalam kamarnya, seperti sudah menunggu sejak lama. Wajahnya tenang. Bahkan nyaris tidak merasa bersalah seperti seseorang yang baru saja menerobos privasi orang lain.Alea menelan ludah. Tangannya refleks memegang gagang pintu seakan dia ingin keluar saja dari kamarnya itu. "Kamu! Bagaimana kamu bisa masuk kamarku?" tanyanya dengan suara yang meninggi, mencampuradukkan rasa takut, terkejut, dan kesal yang tidak bisa ia redam.Sikap tubuhnya berubah, siaga, waspada. Ini bukan situasi yang biasa. Alea tahu betul bahwa dia sudah men
Dan pada akhirnya, Alea membawa Kael ke hotel tempatnya dan Adrian menginap. Hotel berbintang lima yang berdiri megah di pusat kota Paris itu tampak bersinar di bawah pancaran lampu malam. Dingin musim semi yang menusuk tak mampu mengusir kehangatan tensi yang menggantung di antara mereka."Ini kartu kamarmu, besok pagi kita akan beli tiket..." ucap Alea datar, menyerahkan kartu kamar hotel kepada Kael.Kael menatap kartu itu di telapak tangannya. Ia memutar-mutar benda kecil persegi itu dengan jari telunjuk dan ibu jarinya, seolah menyimpan beban perasaan yang jauh lebih besar daripada sekadar benda plastik berlapis magnetik itu."Sudah susah payah bisa berada di tempat ini, tapi malah harus pulang. Menyedihkan sekali!" sela Kael sambil memainkan kartu kamarnya di telapak tangannya, bibirnya menyeringai kecil namun matanya menyimpan nada protes yang nyata.Alea mendengus pelan. Udara di lobi hotel yang sejuk terasa semakin dingin karena ulah Kael yang menyebalkan. Bisa-bisanya pria i