"Seila?" batinnya kemudian.Wanita itu datang bersama anaknya yang merengek meminta kue donat."Sebentar Alin, kamu harus sabar." Seila mencoba menenangkan anaknya. Gadis kecil itu terdiam sejenak. Kemudian memandangi Erland."Papa? Dia Papa 'kan, Ma?" ucap Alin dengan wajah yang berseri.Erland terlihat bingung. Bagaimana bisa gadis kecil itu menganggapnya sebagai papanya."Kenapa Papa diam saja, Ma? Kenapa tidak menyapaku?" Alin menarik-narik baju mamanya.Seila pun ikut bingung. Selama ini ia telah berbohong dengan mengatakan bahwa Erland adalah papa dari anaknya. Sedangkan papa kandung putrinya tersebut sudah pergi entah ke mana.Erland mendekati gadis kecil itu. Ia kemudian berjongkok."Hai, gadis cantik. Nama kamu Alin ya? Maaf, ya. Saya bukan papa kamu. Mungkin hanya mirip. Om, pergi dulu ya?" pamit Erland seraya mengacak lembut rambut Alin.Seila merasa kecewa. Harusnya Erland tidak berkata seperti itu. Hingga membuat raut wajah Alin semakin sedih."Mas Erland, tunggu!" teriak
"Kak Alma yakin dengan semua rencana ini? Kakak nggak akan nyesel?""Nggak mungkin lah aku nyesel. Dan kamu Alsha, aku udah bilang. Nggak perlu panggil kakak. Kita itu hanya selisih beberapa menit saja lahirnya.""Tapi kata Papa—""Udah deh. Sekarang kamu harus siap-siap. Pakai gaun ini."Alsha melihat gaun pemberian Alsha. Terlalu minim dan terbuka. Ia tidak terbiasa memakai pakaian seperti itu."Alsha nggak mau pakai gaun ini. Biarkan aku pakai baju aku sendiri ya, Kak?""Terserah deh! Yang penting kamu beneran datang ke tempat yang udah dijanjiin."Alsha mengangguk saja. Ia segera masuk ke kamar mandi untuk membersihkan seluruh tubuhnya."Nggak usah lama-lama!" teriak Alma mengingatkan.Alsha hanya diam dan melanjutkan aktivitasnya di dalam kamar mandi.Setelah menunggu cukup lama, Alsha keluar dari kamar sudah mengenakan pakaian pilihannya."Kamu cantik juga kalau dandan begini," goda Alma kepada Alsha."Mama dan Papa ke mana?" tanya Alsha kemudian."Mereka lagi ada janji sama Om
Seperti dugaannya Nazwa bahwa yang mengirim pesan adalah Bi Nanik. Wanita paruh baya itu mengatakan jika tidak bisa datang karena anaknya sedang sakit dan tidak mau ditinggal.Seketika raut wajah Nazwa berubah menjadi sedih. Ia tahu bagaimana perasaan seorang Ibu jika anak mendadak sakit."Semoga anaknya cepat sembuh ya, Bi. Bibi fokus saja sama anak Bibi. Nazwa tidak masalah kok."Setelah mengirimkan pesan itu Nazwa mengabari Erland. Lelaki tampan itu berjanji akan segera pulang jika pekerjaan di kantor telah selesai dan bisa dilimpahkan kepada sang sekretaris.Nazwa merasa lega. Ia meletakkan ponselnya. Namun kali ini handphone itu berbunyi lagi. Sebuah telepon dari nomor baru."Hallo, dengan siapa di sana?" sapa Nazwa ramah.Namun beberapa detik lamanya hanya sebuah kesenyapan yang ada."Maaf, kalau begitu saya tutup teleponnya.""Nazwa tunggu. Ini aku. Maaf ....""Mas Raka?" lirih Nazwa kemudian. Sudah lama ia tidak bercakap-cakap dengan mantan suaminya tersebut."Hari ini aku dan
Hallo .... Terima kasih readers yang sudah baca cerita aku sampai selesai.FYI, untuk cerita Alsha, Alma, dan Dito akan dilanjutkan di novel baru berikutnya ya? Dengan judul "Skandal Calon Kakak Ipar" belum fix. Kira-kira Dito bakalan menikah sama Alsha atau Alma ya?Untuk saat ini mampir dulu di cerita keduaku yang berjudul "Diselingkuhi Tunangan Dinikahi CEO Tampan" nggak kalah seru kok. Hehehe.Dan ini ada cuplikan kisah Alsha setelah pulang dari luar negeri ya .... Cekidot pemirsah!***"Hai calon adik ipar. Tumben ngajakin ketemuan," ucap Alma kepada Marco—kekasih baru Alsha.Tiba-tiba Marco meminta Alma menemuinya di sebuah kafe. Kafe itu letaknya berada di dekat dengan apartemen milik Alsha yang dibelikan oleh Dito."Kamu apa kabar, mantan?" Bukannya menjawab pertanyaan Alma, Marco justru menggodanya dengan sebuah pertanyaan."Seperti yang kamu lihat. Aku sedang bad mood. Aku merasa jika Dito sengaja menjauhiku. Dia lebih betah kerja di luar kota tanpa menghubungiku sama sekali.
"Ambil uang ini dan tinggalkan Raka Dewangga sekarang juga!" ucap mertua Nazwa lantang seraya meletakkan segenggam uang seratus ribuan di meja dekat Nazwa sedang duduk.Tubuh Nazwa terdiam kaku di tempatnya. Ia tidak pernah menyangka jika mama mertuanya datang tiba-tiba dan memintanya meninggalkan sang suami tercinta."Apa salah Nazwa, Ma?" tanya wanita itu dengan menahan air matanya agar tidak terjatuh.Suasana malam itu berubah seketika. Harusnya Nazwa tengah berbahagia karena hari itu adalah hari anniversary pernikahannya dengan Raka—sang suami yang ke delapan. Namun yang terjadi sungguh di luar dugaannya. Mama Raka yang biasanya tidak ikut campur dengan hubungan rumah tangganya, kini dengan berani mencoba mengusirnya.Wanita paruh baya itu berjalan memutari menantunya yang mulai beranjak dari tempatnya. Ia bisa melihat menantunya yang lemah tak berkutik di dekatnya."Keluarga Dewangga membutuhkan seorang cucu laki-laki yang akan menjadi penerus kekayaan keluarga ini. Dan kamu tida
Nazwa menggeleng pelan tanpa menyambut uluran tangan dari Erland."Tidak untuk saat ini."Wanita itu melanjutkan langkahnya kembali. Ia memilih pergi dari Erland yang masih berdiri tenang di tempatnya tanpa bergeser sedikitpun."Ternyata kamu tidak pernah berubah Nazwa. Untuk berteman denganmu saja ... begitu sulit."Erland pun segera masuk ke dalam mobil. Diam-diam ia ingin mengetahui di mana Nazwa tinggal. Ia juga merasa penasaran, apakah mantan sahabatnya itu sudah menikah atau belum.Sementara Nazwa segera masuk ke dalam taksi yang kebetulan lewat di jalan. Ia tidak merasa bersalah sama sekali telah mengabaikan sebuah pertolongan dari lelaki yang dulu pernah singgah di hatinya."Kita mau ke mana, Bu?" tanya sopir taksi yang belum mendapatkan perintah apapun dari penumpangnya."Jalan saja dulu, Pak." Nazwa mulai mencari tempat kos terdekat dari tempat itu melalui ponselnya. Ia harus mencari tempat tinggal untuk berteduh malam itu.Sopir taksi pun hanya menurut. Ia mulai melajukan t
"Iya, aku di sini Nazwa. Aku tahu bukan amplop coklat itu yang membuatmu menangis. Tapi ada hal lain bukan?" tebak Erland.Nazwa hanya diam sambil menatap ke arah Erland yang masih mengulurkan sebuah saputangan untuknya. Di dalam hati wanita itu membenarkan apa kata lelaki di sampingnya tersebut."Baiklah aku tidak perlu ikut campur. Pakailah saputangan ini. Jangan mengotori tanganmu dengan air mata kesedihan itu."Akhirnya Nazwa memilih untuk menerima saputangan pemberian dari Erland. Lalu segera mengusap air mata yang sudah membanjiri wajahnya."Terima kasih, Erland. Maaf, kemarin aku telah mengabaikan pertolongan darimu." Nazwa masih sibuk mengusap sisa-sisa air mata yang masih terjatuh di pipinya.Sesaat suasana menjadi hening. Keduanya terdiam di bawah pohon itu. Hingga suasana jalan raya mulai terlihat ramai. Jam makan siang para pekerja kantor telah tiba."Oh, ya. Apakah kamu sudah makan siang?" tanya Erland mencoba mencari topik pembicaraan yang tepat. Ia tidak ingin menyia-nyi
Nazwa masih menunggu sebuah kendaraan umum. Ia memilih naik sebuah angkot untuk menghemat biaya.Walau bagaimanapun tabungan Nazwa tidak begitu banyak. Uang sisa dari setiap belanja, selalu ia sisihkan. Sementara untuk kebutuhan lainnya, Raka selalu memenuhi dengan membelikan sendiri untuk istrinya.Beberapa saat kemudian, sebuah angkot lewat. Dengan semangat Nazwa naik ke mobil itu. Sepertinya ia merasa kekenyangan gara-gara makan terlalu banyak."Harusnya aku tidak makan berlebihan tadi. Sekarang jadi sakit perut."Tidak butuh waktu lama Nazwa sudah sampai di rumah kosnya. Saat memasuki daerah perumahan dengan banyaknya tempat kos-kosan itu, Nazwa sudah disapa oleh beberapa mahasiswi yang juga kos di tempat itu. Semuanya ramah-ramah, begitupun ibu pemilik kos-kosan.Wanita itu segera masuk ke dalam rumah. Kemudian menuju toilet untuk mengeluarkan kotoran yang sudah penuh di dalam perutnya."Ah ... lega rasanya," ucap Nazwa setelah keluar dari toilet seraya mengelus perutnya yang leb