Menjadi orang ketiga dalam rumah tangga orang lain, membuat Anita menasbihkan diri sebagai pelakor kelas atas. Namun, ia masih punya kisah cinta lama dengan mantan pacarnya. Jika Anita tidak bisa memiliki Aziz maka istrinya pun tidak. Segala cara ditempuh Nita untuk mewujudkan keinginannya. Mampukah ia mendapatkan apa yang ia inginkan?
View More“Mas Aziz, iya, itu kan mantanku dulu.” Anita—gadis berusia 32 tahun menyeruput es cream rasa vanila cokelat dengan cepat.
Kedatangan Anita ke kota kenangan ada sebab, selain karena pekerjaan, juga karena rindu dengan lelaki yang pernah menjaling hubungan dengannya selama lima tahun. Anita berdiri dan membawa cup es creamnya, kemudian berpura-pura menabrak bahu Aziz hingga lelaki itu yang meminta maaf lebih duluan. “Anita,” gumam Aziz perlahan dengan mata berbinar. Lama tak jumpa, Anita makin cantik saja dengan bibir pink yang selalu berhasil membuat jantung Aziz berdebar. Gelora yang masih sama seperti dahulu. “Mas Aziz, aduh maaf banget, ya, nggak sengaja. Aku buru-buru. Eh, kamu ke sini sama istri kamu, kan? Ya, udah aku duluan, takut salah paham.” Manis mulut Anita berkilah. “Tunggu, Nita, nomor kamu tukar, ya?” Aziz memegang pergelangan tangan mantannya. “Iya, sih, kan permintaan ibu kamu dulu, Mas, biar aku nggak ketahuan ngilang ke mana.” “Hah, ibu aku, masak?” “Iya, tanya aja sama dia. Ya udah aku duluan, ya.” Anita seolah terburu-buru. “Tunggu, boleh aku minta nomor kamu?” “Untuk apa, Mas? Kamu, kan, udah nikah. Udah punya anak lagi, tuh,” tunjuk Anita pada anak lelaki yang digandeng Aziz. “Buat silaturahmi aja, masak nggak boleh? Lima tahun, loh, Nita, kita sam—” “Udah, Mas, udah berlalu juga. Kalau mau silaturahmi boleh tapi jangan sampai istri kamu salah paham ya. Catat nomor aku.” Nita menyembutkan digit nomor ponsel barunya. Aziz menyimpan dengan cepat sebab tak mau kehilangan kesempatan lagi. Terlihat Anita sangat buru-buru, padahal tak ada yang menunggunya. Begitulah dia, pandai sekali membuat hati suami orang jumpalitan hanya dengan pesona kedipan mata saja. Bahkan gaya jalan Anita diperhatikan Aziz begitu lama. “Mas, pulang, yuk, udah sore.” Istri Aziz membawa belanja bulanan kurang lebih tiga kantong. Mata lelaki itu mencari di mana Anita yang tak terlihat lagi. Ia jadi tak terlalu fokus dengan istrinya. Hati Aziz mulai terbagi. Padahal baru pertemuan pertama. “Awas aja kamu, Mas, kamu nggak akan bisa lepas lagi dari aku. Lima tahun lalu aku ngaku kalah karena masih miskin. Sekarang aku nggak bisa dipandang sebelah mata termasuk sama mama kamu. Kalau perlu mulut ibu kamu aku beli sekalian.” Senyum licik terbit di bibir Anita. Pebisnis wanita itu sudah bertekad dan tak bisa dicegah lagi untuk kembali bersama dengan Aziz, terserah apa pun caranya. Meski akan ada rumah tangga yang hancur, atau kalau perlu ada yang mati pun tak masalah baginya. Wanita yang fokus membangun karir itu menaiki mobilnya sendiri. Ia mengikuti ke mana Aziz pulang. Rumah yang dulu sempat Aziz bilang akan menjadi istana bagi mereka berdua. Mata Anita memerah, ia terbakar cemburu lagi. “Harusnya aku yang di sana, Mas, bukan dia. Aku bersumpah akan merebut semuanya dari tangan istri kamu. Kamu tahu gimana aku kalau udah mau sama sesuatu, harus dapat!” Anita memakai kaca mata hitamnya. Ia memutar mobil dan pulang menuju rumah baru yang sudah tiga hari ditempati. Bisnis parfum, body dan skin care yang ia tekuni sudah membuahkan hasil yang tak layak lagi dipandang sebelah mata. “Aku bukan bebek buruk rupa lagi. Aku sudah menjadi angsa yang indah, angsa yang bisa menenggelamkan bebek sampai mati.” Pebisnis sukses tersebut memandang foto keluarga Aziz, Yoga—putranya, dan Haira—istri Aziz. Mereka tampak kompak dengan baju seragam di hari lebaran. “Aku janji ini akan jadi lebaran terakhir kamu sama mereka, Mas. Jatuhlah dalam pelukanku seperti dulu, saat kita malam pertama tanpa jadi pengantin. Aku yakin kamu nggak akan pernah lupa sama rasanya gimana.” Anita menggigit bibirnya sendiri. Sekali pun tak ada penyesalan di dirinya karena telah melepas mahkota tanpa ikatan yang sah. Perebutan takhta dimulai. Harus Anita yang menjadi ratu satu-satunya di hati Aziz. *** Tengah malam wanita dengan tubuh singset itu sedang memeriksa laporan keuangan bulanan miliknya. Anita melirik ponselnya ketika dan notif masuk. Dari nomor tidak dikenal. [Hai, Nita, kamu masih cantik aja seperti dulu.] Gombalan itu Nita tahu dari siapa, tapi ia pura-pura jual mahal dan tak mau membalas. [Nit, ini aku Mas Aziz, tolong jangan bilang kamu lupa. Baru tadi sore, loh, kita ketemu.] [Mas, Nita lagi sibuk, mending tidur daripada ketahuan istri kamu.] [Haira udah tidur dari tadi. Dia kecapean ngurus rumah sama anak. Aku kesepian Nit, aku juga rindu sama kamu.] [Mas, istighfar, kamu udah jadi suami orang.] [Ayolah, Nit, kamu nggak kasihan sama Mas. Kita ketemuan ya sekali aja, please.] [Oke, tapi besok aku ada ketemuan sama pemilik pabrik. Jadi sore, ya, Mas.] Aziz semringah membaca balasan dari Nita. Sesaat kemudian masuk pesan lagi. [Eh, nggak bisa sore, magriban gitu deh. Aku ada janji temu di hotel anggrek sama klien yang mau nanam modal juga. Kalau Mas mau ya ayok, kalau nggak ya kapan-kapan aja.] [Oke, Nit, habis maghriban Mas pasti ke sana.] Klik. Aziz lekas menghapus history chat wa-nya bersama Nita. Haira datang selesai menidurkan anak mereka. Wajah wanita itu terlihat sangat letih selesai mengerjakan ini dan itu yang tak ada habisnya di rumah. “Mas,” ucap Haira perlahan. “Mas capek, tidur duluan, ya, kamu juga pasti capek banget. Besok harus ke rumah Mama pagi, kan.” Aziz sedang terlena dengan kenangan masa lalu dari Anita. Jadi secantik apa pun Haira datang ditambah dengan parfum yang wangi, tak akan ada artinya di mata ayah Yoga. Haira tersenyum, mungkin benar suaminya letih. Ya, siapa juga yang tidak lelah mengurus pekerjaan dari pagi sampai malam. *** Anita bertemu dengan pemilik pabrik dan membahas formula skin care apa saja yang harus dicampur agar merknya semakin laris di pasaran. Di tengah gempuran pendatang baru dengan banting harga murah. Dari siang sampai sore. Dilanjutkan pula dengan klien super ribet yang ingin menanam modal sekian tapi ingin untung banyak. Anita tegas, iya berarti iya, tidak berarti tidak. Kemudian waktu terus beranjak sampai adzan magrib berkumandang. Wanita cantik dengan lipstick merah menantang itu membuka pesan di ponselnya. Aziz sudah ada di bawah menunggunya dengan penuh kesabaran. “Masuk juga kamu perangkap aku, Mas. Untuk sekarang kamu punya aku, bukan istri kamu.” Anita mengambil botol parfum terbaru miliknya. Ia semprotkan di titik-titik nadi hingga wanginya menguar dan membuat lelaki mampu bertekuk lutut padanya. Tak lupa ia hapus make up tebal yang menutupi wajah dan menggantinya dengan polesan tipis-tipis. Anita terlihat seperti lima tahun lalu, yang polos, baik hati dan mudah dirayu. “Mas Aziz.” Wanita berambut setengah ikal itu berjalan bak peragawati hampir profesional. Senyum Anita merekah. Ia mengulurkan tangannya pada Aziz dan lelaki itu tak mengedipkan mata sama sekali. “Sendiri aja?” tanya Anita. “Ehm, i-i-iya, eh, nggak Mas sama kamu.” Aziz gugup. Ia tak fokus, wangi parfum Anita seperti ajakan yang lain. Bersambung …Sirene ambulans menyala di malam hari. Haira duduk di sisi tandu, mengenakan sarung tangan medis, matanya terus memantau monitor tekanan darah dan detak jantung janin.Anita masih setengah sadar, wajahnya pucat, pelipis diperban, dan perutnya terlihat mulai membuncit. Sesekali ia mengerang pelan, dan tubuhnya menggigil.Haira menatapnya. “Tenang. Kamu akan sampai di rumah sakit sebentar lagi. Bayimu masih bertahan.”Tenaga medis di sisi lain mengatur infus dan oksigen. Haira meraih ponselnya, membuka kontak Aziz, lalu menekan panggilan.Suara sambungan berdering lalu tersambung.“Ya?” jawab Aziz.“Mas Aziz, ini Haira. Anita kecelakaan. Dia ditabrak mobil di depan klinik. Sekarang Haira ikut ambulans ke rumah sakit. Kamu harus datang, sekarang.”Aziz terdiam sejenak. “Kecelakaan? Parah?”“Cukup serius. Dia lagi hamil. Kamu harus ada.”Aziz menghela napas. “Baik. Mas segera ke sana.”Haira menutup panggilan, lalu menatap Anita yang mulai membuka mata perlahan.“Haira.” Suara Anita nyaris
“Mbak, pasien baru datang, bisa periksa sekarang?” Suara Ima terdengar dari balik pintu ruang istirahat.Haira bangkit dari kursi, merapikan kerudungnya, lalu melangkah ke ruang periksa. Di sana, seorang ibu muda duduk sambil menggendong bayi, wajahnya cemas tapi penuh harapan. Haira menyapa dengan senyum hangat, lalu mulai pemeriksaan.Hari-hari di klinik kini sibuk. Promosi sederhana lewat selebaran dan rekomendasi dari mulut ke mulut mulai membuahkan hasil.Pasien datang dari lingkungan sekitar mulai dari ibu hamil, balita, bahkan lansia yang butuh perawatan ringan. Klinik kecil itu mulai hidup, dan Haira tak lagi punya waktu untuk meratapi masa lalu.Di sela-sela kesibukan, Yoga kini sudah mulai sekolah. Setiap pagi, Haira mengantar anaknya dengan motor kecil, lalu kembali ke klinik dengan semangat baru. Ia mulai fokus pada dirinya sendiri, membaca jurnal medis, menyusun jadwal layanan, bahkan merancang program edukasi untuk ibu muda di sekitar.Namun malam itu, setelah semua pasi
“Jadi, Mbak nggak jadi pinjam uang ke koperasi?” tanya Restu sambil membuka pintu mobil.Haira masuk ke kursi penumpang. “Nggak perlu. Uang dari tuntutan harta gono-gini cukup. Bahkan lebih dari yang Mbak perkirakan.”Restu menyalakan mobil yang ia sewa untuk keperluannya selama dua hari bolak-balik dari satu tempat ke tempat yang lain. “Aziz transfer langsung?”“Iya, sambil jenguk Yoga katanya, tapi udah cukup, nggak ada basa-basi lagi di antara kami,” jawab Haira sambil membuka map berisi daftar lokasi ruko yang sudah ia tandai.Restu tersenyum. “Padahal aku udah siap pinjamin, Mbak. Tapi baguslah kalau kamu bisa berdiri sendiri.”Haira menatap keluar jendela. “Mbak mau klinik ini jadi titik balik. Bukan cuma buat Mbak, tapi buat perempuan-perempuan yang pernah ngerasa nggak punya tempat aman.”Mobil melaju pelan di jalanan kota. Mereka berhenti di lokasi pertama, sebuah ruko dua lantai di pinggir jalan utama. Haira turun, menatap bangunan itu lama.“Lokasinya strategis,” kata Restu
Rumah sakit itu bersih dan sepi di pagi hari. Anita melangkah menggunakan flat shoes di lorong menuju ruang pemeriksaan kandungan. Ia mengenakan blouse longgar dan celana hitam, wajahnya pucat walau sudah dipoles. Di tangannya, map kecil berisi hasil test pack dan kartu pasien.Di ruang pemeriksaan, dokter perempuan paruh baya menyambutnya dengan senyum hangat. Setelah pemeriksaan singkat dengan USG, dokter menatap layar.“Janinnya sehat. Usia kehamilan sekitar tujuh minggu. Tidak ada tanda-tanda komplikasi.”Anita mengangguk, matanya menatap layar monitor yang menampilkan titik kecil yang bergerak pelan. Jantungnya berdetak lebih cepat dari bayinya.Dokter menoleh, mencatat sesuatu di formulir. “Suaminya tidak ikut?”Anita menjawab cepat, disertai kebohongan. “Sedang ke luar negeri.”Dokter hanya mengangguk, tak bertanya lebih jauh. Anita tahu, kebohongan itu hanya untuk menunda pertanyaan yang lebih dalam, bahkan ia belum bisa jawab sendiri.Setelah pemeriksaan selesai, Anita keluar
Aziz duduk di ruang tamu rumah yang selama ini ia tinggali. Dindingnya masih dipenuhi foto-foto lama, pernikahan, liburan yang dekat rumah saja katanya agar jangan boros pada Haira waktu itu, bahkan satu foto kecil Haira saat hamil muda. Namun, semua itu kini terasa seperti potret kesalahan yang tak bisa dihapus olehnya.Di meja, surat penjualan rumah sudah ditandatangani. Agen properti baru saja pergi, dan pembeli akan segera melakukan pelunasan. Nilainya cukup untuk menutup tuntutan harta bersama yang diajukan Haira. Lalu setelah itu ia akan tinggal di mana? Di rumah peninggalan ibunya yang kini sepi dan ia juga kesepian.Ia sempat mencoba membujuk Haira beberapa hari sebelumnya.“Ambil saja rumah ini, Haira. Daripada Mas jual ke orang lain. Ini bisa jadi tempat kamu dan Yoga.”Lagi-lagi Haira hanya menatapnya dengan sorot mata tak suka.“Rumah ini terlalu banyak kenangan dan luka. Di sini Haira melihat adegan perselingkuhan itu. Di sini Mas mengkhianati Haira dan aku nggak mau ting
Sidang kedua antara Haira dan Aziz kembali digelar di Pengadilan Agama, dengan agenda utama pembahasan tuntutan harta bersama atau gono-gini. Ruang sidang terasa lebih sunyi dari sebelumnya. Di antara dua pihak yang pernah saling mencintai kini hanya tersisa perasaan asing saja.Majelis Hakim membuka sidang dengan menyampaikan bahwa perkara telah memasuki tahap pembagian harta bersama sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia. Hakim mengutip Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, khususnya Pasal 35:“Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.”Pengacara Haira berdiri, mengenakan jas hitam dan membawa map berisi dokumen-dokumen pendukung. Dengan suara tenang dan tegas, ia menyampaikan.“Yang Mulia, klien kami mengajukan pembagian harta bersama berdasarkan ketentuan hukum. Selama pernikahan, tidak pernah dibuat perjanjian pisah harta sebagaimana diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan. Maka, seluruh aset yang diperoleh sejak tan
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments