Share

Menolak Tanpa Alasan

"Vivek,"

"Berkas dari klien tadi apa sudah kau baca? Kalau sudah ditandatangani berikan padaku berkasnya, aku harus---"

"Tunggu Rangga," Vivek meminta Rangga agar tetap duduk pada tempatnya. Lantas menarik tumpukan berkas dihadapannya sedikit menepi dari pandangannya.

"Aku tidak mengerti. Ada apa denganmu hari ini? Kau terlihat lesu dan banyak pikiran. Apa semuanya baik-baik saja?" tanya Rangga heran.

Vivek menyangga janggutnya menggunakan genggaman kedua tangannya. "Ini bukan masalah sepele. Tapi tidak besar juga. Aku tidak tau bagaimana mengatakannya padamu. Aku bingung harus fokus kemana dulu, pekerjaan atau---"

Vivek terdiam beberapa saat.

"Lupakan pekerjaanmu, coba katakan apa yang mengganggu pikiranmu. Sampai akhirnya kau tidak fokus," saran Rangga.

"Begini," Vivek menurunkan kedua tangannya. Ia mulai fokus bercerita.

"Sidang hak asuh Ziva Zavi sebentar lagi akan digelar. Dan kau tau, aku yakin sekali mantan istriku tidak akan diam saja. Dia akan melakukan segala cara demi mendapatkan hak asuh si kembar. Aku tidak bisa terima itu, aku tidak kan sanggup kehilangan Ziva Zavi. Anak-anakku adalah kelamahanku. Dan mantan istriku tau itu. Dia pasti akan melakukan segala cara demi menghancurkanku," jelas Vivek.

"Tenang Vivek. Tenang! Kau bisa menyewa pengacara mahal dan profesional. Tentunya--"

"Ini bukan tentang seberapa profesional ataupun seberapa mahal harta yang ku keluarkan untuk menebus hak asuh si kembar. Rangga! Yang ku butuhkan saat ini adalah kepercayaan dari hakim. Bagaimana agar hakim percaya bahwa aku telah menjamin semua yang dibutuhkan anak-anakku akan terpenuhi," potong Vivek.

"Sekarang aku mengerti. Kalau begitu menikahlah. Hakim akan percaya kau dan istri barumu akan merawat si kembar dengan baik,"

Vivek menatap rekan kerjanya dengan sinis. "Kalau aku memintamu mencarikan wanita untukku apa kau akan bersedia melakukannya?" tanya Vivek.

"Tentu tidak. Aku sendiri belum menikah. Hanya bibi yang bisa mencarikan calon untukmu," sahut Rangga.

"Itulah masalahnya Rangga!" Vivek berdiri lalu berjalan pelan seperti orang linglung menuju dekat jendela.

Rangga mengarahkan kursi putarnya ke jendela. "Aku tidak mengerti,"

Vivek berbalik badan. "Ibu telah mengatur lamaran dengan wanita yang ternyata tetanggaku sendiri," ungkap Vivek.

Ekspresi Rangga bukannya terkejut justru menahan tawanya.

Vivek meletakkan kedua tangannya di pinggang. "Bagus tertawakan saja. Ini hal lucu bukan?"

Rangga berdiri dan mendekati rekannya yang kesal itu. "Aku mohon jangan marah. Aku hanya bercanda. Lagi pula pilihan bibi selalu yang terbaik, bukan? Dan yang paling penting bukankah menyenangkan wanita itu ternyata tetanggamu sendiri. Bibi pasti sudah mengenalnya dengan baik. Katakan, kau pasti sudah tau kepribadian dan sikapnya,"

"Omong kosong apa ini. Apanya yang menyenangkan? Dia wanita angkuh, egois, keras kepala dan tidak punya attitude. Aku bersumpah kalau dia berani bekerja disini aku pasti akan langsung memecatnya," sahut Vivek.

"Woss woss sabar bos sabar. Kau ini bagaimana. Kau belum mengenalnya lebih dekat jadi jangan berasumsi seperti itu,"

"Dari sikapnya saja sudah kelihatan kepribadiannya seperti apa. Dia seperti harimau betina yang tidak mau kalah dalam mencari mangsa,"

Rangga terkikik. "Aku jadi penasaran siapa wanita itu,"

Vivek menggaruk rambutnya dengan kasar. "Namanya Divia. Dia seorang dokter gigi. Dia lumayan dekat dengan Ziva dan Zavi. Aku tau kedetakannya itu hanya tipuan belaka untuk---"

"Oo aku tau!" Ini ke sekian kalinya Rangga memotong pembicaraan.

"Dokter Divia, dia dokter gigi handal," jelas Rangga dengan antusias.

Vivek mengerutkan dahi. "Darimana kau tau kalau--"

"Ah kau ini, hampir semua orang mengenalnya. Kemarilah, ku tunjukkan riwayat hidupnya," Rangga berjalan menuju meja Vivek. Yang ia lakukan kali ini adalah membuka G****e di laptop Vivek.

Karena penasaran dengan apa yang akan dilakukan rekannya, Vivek pun memutuskan untuk menghampirinya.

"D..o..k..t..e..r... D..i..v…i…a.. D..h..a..w..a..n," Bibir Rangga mendikte lalu kedua jarinya mengetik dengan lugas.

"Namanya aneh sekali," keluh Vivek.

"Hei Vivek, ku adukan pada bibi! Biar dia tau anaknya suka mengomentari nama orang," ancam Rangga.

"Adukan saja. Aku tidak takut," sahut Vivek. Kedua matanya fokus menatap layar monitor.

Dimana tak lama kemudian muncul biodata serta riwayat hidup dokter gigi itu. Vivek tak menyangka wanita itu ternyata cukup populer juga.

"Apa kau sering melihat daftar riwayat hidup semua dokter gigi di Jakarta?"

“Tidak juga, tapi aku tau dokter itu dari keponakanku, dan juga teman-temanku yang sering mengikuti pelatihan dengannya,” jelas Rangga.

"Menurutku Dokter Divia adalah seorang dokter gigi yang sangat berbakat dan cukup dikenal di Jakarta. Karena keahliannya dalam merawat gigi, banyak orang yang datang dari seluruh kota untuk berkonsultasi dengannya. Kau tau, daya tarik Divia sebagai dokter gigi adalah kecintaannya yang besar terhadap anak-anak. Dia memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan anak-anak dengan cara yang mudah dipahami dan ramah. Karena itulah, banyak orang tua yang membawa anak-anak mereka untuk berobat padanya," jelas Rangga panjang kali lebar.

Sembari membaca biodata wanita itu, Vivek mendengarkan penjelasan Rangga. "Luar biasa kau pantas menjadi juru bicaranya," puji Vivek.

"Aku tidak bercanda. Dan iya, yang ku tahu dokter Divia juga memiliki segudang prestasi. Lihat ini," Rangga mendekatkan jarinya di layar monitor.

"Pada tahun 2018, Divia menerima penghargaan Dokter Gigi Terbaik dari Asosiasi Dokter Gigi Indonesia (PDGI) untuk kontribusinya dalam bidang perawatan gigi dan mulut. Lalu di tahun 2020, Divia terpilih sebagai anggota tim medis untuk misi kemanusiaan di daerah terpencil di Indonesia, di mana ia memberikan perawatan gigi gratis kepada ribuan orang yang membutuhkan. Dan lihat ini prestasinya banyak sekali," ujar Rangga.

Vivek menghela nafasnya. Tampak jelas masih ada keraguan.

"Kau bilang tadi si kembar dekat dengan dokter Divia,"

"Iya benar,"

"Bahkan aku setuju dengan itu. Dengar Vivek, sejauh yang aku tahu si kembar sulit sekali beradaptasi dengan orang asing. Tapi situasi ini berbeda. Anak-anakmu sendiri yang seolah memilih Divia sebagai ibunya. Kenapa kau masih ragu. Lupakan tentang cinta. Dan ingat tujuanmu menikah, demi hak asuh si kembar," bujuk Rangga.

"Ini bukanlah hal yang mudah. Bagaimana caraku meyakinkan wanita itu. Dan bagaimana--"

"Vivek sebelumnya aku tidak pernah melihatmu sebingung ini. Aku yakin kau pasti bisa,"

"Aku juga berharap begitu. Tapi ini tidaklah mudah. Aku tidak mencintainya dan dia juga tidak mencintaiku. Bagaimana kami akan mempertahankan hubungan kalau kami sama-sama keras.

Rangga menepuk pundak Vivek. "Semua pertanyaanmu akan terjawab setelah lamaran. Ngomong-ngomong kapan itu akan terjadi?"

"Nanti malam," sahut Vivek sambil mengusap wajahnya.

"Hah? Nanti malam!"

*

20.00 WIB~

Divia merasa dilema, karena dia tidak tahu siapa pria yang akan melamarnya. Dia merasa cemas dan gugup, namun pada saat yang sama, dia merasa senang dan bersemangat untuk mengetahui siapa yang akan menjadi calon pendamping hidupnya. Divia merasa terpaksa untuk setuju tetap di apartemen karena desakan dari orang tuanya yang sangat ingin melihat putrinya menikah.

Sementara itu Divia duduk di depan cermin, ia merasa sedikit tidak percaya diri. Namun, adiknya Devina dengan penuh kasih sayang membantu Divia merias wajahnya. Devina memilih riasan yang sangat sederhana dan alami untuk Divia, yang membuat wajahnya terlihat lebih cantik dan segar. Divia memakai gaun sederhana warna putih dengan aksesoris perhiasan yang simpel, yang membuatnya terlihat anggun dan elegan.

Usai beberapa menit kemudian, Devina merenung sejenak. Meratapi raut wajah kakaknya yang murung serta tak bersemangat. Tampak jelas dari sorot matanya penuh kebimbangan dan dilema. "Aku mengerti apa yang kakak rasakan saat ini," ujar Devina sembari duduk diatas ranjang kakaknya.

Divia menundukkan kepala. "Saat ini yang kurasakan hanya trauma. Ketakutan terbesar dalam hidupku adalah ditolak pria. Aku takut---"

"Itu tidak akan terjadi lagi kak," potong Devina.

"Bagaimana kau bisa seyakin ini Devina?" Divia mengalihkan pandangannya ke sekeliling mencoba menenangkan pikirannya yang mulai resah. "Apa kau tau siapa pria yang akan melamarku?"

Devina berdiri lalu menuntun kakaknya untuk berdiri tegak menatap cermin. "Siapapun pria itu, aku sangat yakin dia akan menjadi rekan hidup yang akan selalu mendukungmu kak," ucap Devina meyakinkan kakaknya.

Suasana di apartemen semakin meriah saat keluarga Vivek tiba di sana. Mereka diterima dengan hangat oleh keluarga Divia, meskipun kedatangan mereka sedikit mengejutkan. Keluarga Vivek memasuki ruang tamu dengan penuh percaya diri, dan tampaknya mereka sangat yakin bahwa Vivek akan segera melamar Divia.

"Divia, semua orang sudah menunggumu diluar,"

Sang ibu memanggilnya. Lantas tanpa membuang waktu semua wanita mengosongkan kamar Divia.

Langkah demi langkah menuntun Divia menuju takdir yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Bukan kebetulan, tapi semua ini terjadi spontan atas dasar komitmen. Apa yang akan terjadi setelah ini, hanya Divia yang akan memutuskan. Ketika Vivek telah menyetujui hubungan ini demi anak-anaknya maka dia tidak akan ragu meski menjalin hubungan tanpa cinta.

Begitu tiba di ruang tamu, Divia yang awalnya menundukkan kepala kini mulai mengangkat dagunya perlahan. Semua orang menyambutnya dengan senyuman. Termasuk ibunya Vivek yang sangat antusias menyambut kedatangan wanita yang ia idamkan menjadi menantu sekaligus ibu bagi cucu-cucunya. Pandangan awal yang menjadi fokus Divia adalah senyuman dari ibunya Vivek yang merupakan tetangganya. Mengapa dia ada disini? Itulah yang membuat Divia heran.

Begitu bola matanya melirik seorang pria yang duduk disamping wanita paruh baya itu, Divia langsung shock. Bagaimana tidak, pria itu duduk diantara keluarga inti. Dari cara duduknya dan juga posisi duduknya, semakin membuat Divia menebak-nebak. Situasi tegang itu berakhir ketika Devina menuntun kakaknya untuk segera duduk disamping orang tuanya.

"Kakak ayo duduk," bisik Devina.

Divia mengalihkan pandangannya ke sekeliling. Butuh waktu baginya untuk mengendalikan dirinya. "Aku tidak bisa melanjutkan semua ini. Aku tidak bisa," sahut Divia lirih.

"Apa yang kau katakan kak. Jangan sampai kau mempermalukan ayah dan ibu lagi. Cobalah untuk mengerti kak, duduk dan dengarkan mereka," desak Devina sembari memegang erat lengan kakaknya.

Beberapa saat kemudian Divia akhirnya duduk.

Ayah Vivek yang sekarang ini duduk disamping tuan Tirta akhirnya mulai bicara akan maksud kedatangannya beserta keluarga Sanjaya.

"Mohon maaf tuan atas ketidaknyamanannya. Aku kesini membawa keluarga dan juga kerabat dengan maksud tertentu, yaitu untuk menjalin hubungan dengan keluarga Dhawan. Setelah mempertimbangkan banyak hal kami sepakat untuk meminang putri sulungmu. Sebagai perwujudan keseriusan kami, putraku Vivek yang akan bicara langsung dengan putri sulungmu," jelas Albert, ayah Vivek.

"Baiklah silahkan," pinta Tirta dengan penuh hormat.

Pandangan Vivek tertuju pada wanita yang saat ini masih saja menundukkan kepala. Vivek tau betapa terkejutnya Divia setelah tau siapa pria yang akan melamarnya. Sebelum mengatakan beberapa hal, Vivek teringat kata-kata sebelumnya akan hinaan yang ia tujukan pada Divia. Untuk pertama kalinya ia akan menikahi wanita yang telah ia hina, dan yang ia anggap wanita licik. Dalam sekejap Vivek melupakan egonya dan memilih mengalah demi anak-anaknya.

Tatapan serius mulai ditujukan kepada Divia. "Dengan segenap hati, atas dorongan orang tua dan juga anak-anakku," Sesekali Vivek melirik kedua anak kembarnya yang sangat bahagia akan keputusannya saat ini. "Kata-kata dan permintaan ini murni dari mulutku, tidak ada paksaan maupun ancaman. Aku serius ingin menjalin hubungan denganmu. Divia, maukah engkau menikah denganku?"

Kesekian kalinya Divia mendengar kalimat itu. Terdengar lirih dan lembut memang suaranya dari hati, tapi apakah masa depan bisa ditentukan hanya dengan kalimat itu? Muak dan trauma akan masa lalu membuatnya tak bisa berpikir jernih. Semua orang menunggu jawaban darinya. Hingga akhirnya sang ibu menyenggol lengannya sebuah isyarat agar Divia segera memberikan jawaban.

"Bagaimana nak Divia," tanya tuan Albert.

Sekalipun Divia mengangkat dagunya namun pandangannya tetap ke arah lain menghindari tatapan lurus Vivek. Berat rasanya ada diposisintya saat ini. Yang ia tau hidupnya setelah ini tidak akan mudah karena harus menikah dengan pria angkuh dan keras kepala. Selain itu dalam pikirannya sudah terbayang-bayang kalau apa yang dikatakan tadi hanya sebuah janji tanpa pembuktian. "Aku tidak bisa menerima lamaran ini. Maafkan aku, aku belum siap menikah," ujar Divia sambil berdiri lalu meninggalkan ruang tamu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status