Share

CAHAYA KERINDUAN

Author: JI_MIL
last update Last Updated: 2025-09-19 18:55:59

Hari-hari berikutnya, Ratri merasa hidupnya berbeda. Biasanya ia menganggap malam hanya rutinitas: berdiri di jalan, menunggu mobil berhenti, lalu berpura-pura tersenyum pada wajah asing. Namun kini ada sesuatu yang ditunggu: pertemuannya dengan pria itu.

Mereka mulai sering bertemu, bukan di hotel atau kamar remang, melainkan di café, taman kota, bahkan kadang hanya duduk di dalam mobil sambil mendengarkan musik pelan. Obrolan mereka tidak pernah habis.

Pria itu bercerita tentang masa mudanya bagaimana ia dulu pernah jatuh cinta pada seorang gadis sederhana, tapi kehilangan karena perbedaan restu keluarga. Tentang kerja keras membangun bisnisnya dari nol. Tentang kesepian yang sering menghampiri meski kini hidupnya serba berkecukupan.

Ratri mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Ia kagum, sekaligus merasa aneh, karena seorang pria berkelas sepertinya mau berbagi luka dengan dirinya, seorang perempuan yang tiap malam menjual tubuh demi uang.

“Kadang aku iri pada kamu,” ucap Ratri suatu kali saat mereka duduk di bangku taman, dikelilingi cahaya lampu jalan.

“Iri padaku? Bukankah seharusnya aku yang iri padamu?” pria itu tertawa kecil.

Ratri menggeleng, menatap ke tanah. “Kamu punya pengalaman, punya jalan hidup yang jelas. Aku… hanya punya jalan gelap yang kupaksa jalani. Rasanya aku tidak punya apa-apa untuk diceritakan.”

Pria itu menoleh, menatapnya dengan serius. “Jangan salah. Justru ceritamu yang paling berharga. Kamu bertahan. Kamu tidak menyerah meski hidup begitu keras. Itu kekuatan yang tidak semua orang punya.”

Kata-kata itu membuat Ratri terdiam. Hatinya bergetar. Untuk pertama kalinya, ia merasa kehidupannya yang suram sekalipun dianggap berharga.

Malam-malam berikutnya, giliran Ratri yang bercerita. Ia menceritakan masa kecilnya di kampung: bermain di sungai bersama teman-teman, memasak nasi liwet bersama ibu, hingga suara adzan Magrib yang membuatnya berlari-lari pulang dengan kaki penuh lumpur.

Pria itu mendengarkan dengan tatapan teduh. Sesekali ia tersenyum, seolah bisa membayangkan gadis kecil lugu yang kini berubah menjadi perempuan tangguh bernama Ratri.

“Kamu tahu, Rat?” ucapnya pelan. “Saat kamu bercerita, matamu berbinar. Itu yang paling indah darimu bukan bajumu, bukan dandananmu, tapi binar itu.”

Ratri menunduk, pipinya memerah. Ia tidak terbiasa dipuji dengan cara seperti itu. Biasanya pujian hanya sebatas tubuh, tapi kali ini, yang dipuji adalah jiwanya.

Hubungan mereka semakin erat. Meski tetap ada batas Ratri sadar ia hanyalah seorang PSK, dan pria itu hanyalah salah satu dari sekian banyak orang kaya tapi entah kenapa, setiap pertemuan selalu meninggalkan bekas mendalam.

Setiap kali berpisah, Ratri merasa hatinya lebih ringan. Setiap kali bertemu, ia merasa dirinya manusia utuh, bukan sekadar barang dagangan.

Dan di malam-malam sunyi, ketika ia kembali ke kamarnya di wisma, Ratri sering menatap langit-langit sambil tersenyum tipis. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia percaya bahwa cahaya masih ada, bahkan di jalan yang gelap.

Malam itu, di ruang tengah wisma yang pengap, Ratri duduk melingkar bersama Dewi, Asih, dan beberapa teman lainnya. Bau rokok bercampur parfum murah memenuhi udara. Tapi untuk sekali ini, suasana lebih tenang tidak ada tawa keras atau musik dangdut yang biasanya memekakkan telinga.

Dewi tersenyum sambil menepuk bahu Ratri. “Aku lihat kamu sering pergi sama pria itu. Kayaknya dia beda, ya? Matamu saja kelihatan lebih hidup belakangan ini.”

Ratri tersipu, bibirnya hanya mengulas senyum samar. “Dia… memang beda. Dia tidak pernah menyentuhku seperti pelanggan lain. Dia hanya banyak bicara, mendengarkan… dan itu rasanya aneh sekali buatku.”

“Semoga ada pria yang mencintaiku, seperti dirimu, Ratri,” ucap Dewi sambil menghela napas panjang, senyumnya getir.

“Aku juga ingin,” sahut Asih, tatapannya kosong menembus dinding. “Aku sudah lelah bekerja seperti ini. Aku ingin menyajikan makanan untuk suami, mengurus anak-anak, pergi ke pasar belanja kebutuhan rumah. Hidup sederhana saja sudah cukup bagiku, asal tenang.”

Ratri terdiam, hatinya bergetar mendengar ucapan teman-temannya. Wajah Dewi dan Asih tampak penuh kerinduan akan kehidupan normal yang tak pernah benar-benar mereka miliki.

“Aslinya, kita semua sama,” lanjut Asih, suaranya lirih. “Kita tidak dilahirkan untuk berdiri di jalan, bukan? Kita terjebak di sini karena keadaan. Karena keluarga. Karena kita harus jadi tulang punggung. Kalau bukan kita, siapa lagi yang akan memberi makan mereka?”

Ratri menunduk, matanya berkaca-kaca. Ia tahu betul kebenaran kata-kata itu. Setiap dari mereka punya cerita, punya luka, punya alasan mengapa memilih jalan yang sama.

“Kalau saja ada jalan keluar…” bisik Dewi pelan. “Kalau saja ada satu kesempatan, aku pasti akan lari sejauh-jauhnya dari hidup ini.”

Ratri menggenggam tangan kedua sahabatnya erat-erat. “Aku percaya, suatu saat nanti, kita semua akan dapat kesempatan itu. Entah bagaimana caranya, aku yakin kita tidak akan selamanya terjebak di sini.”

Keheningan melingkupi ruangan. Hanya suara kipas tua yang berdecit menemani mereka. Namun dalam hati masing-masing, tumbuh seberkas cahaya kecil cahaya harapan yang mereka bagi bersama, meski jalan di depan masih begitu gelap.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sisa Cahaya di Jalan Gelap   MANTAN SUAMI RATRI

    Siang itu, aroma kaldu memenuhi seluruh ruang makan. Ratri tengah menyiapkan makan siang, sup ayam dengan potongan wortel dan daun bawang yang harum. Uap panas naik dari panci, membentuk kabut tipis di udara. Ia mematikan kompor, lalu perlahan menuangkan sup itu ke dalam mangkuk besar.Namun, dalam ketergesaan kecilnya, ujung kain lap yang ia kenakan tersangkut gagang panci. Mangkuk itu pun tergelincir dari tangannya.“Ahh!” serunya tertahan. Cairan panas tumpah ke lantai, sebagian mengenai punggung tangannya.“Aww… panas,” ujarnya pelan, refleks menarik tangannya dan meniup bagian yang memerah.Galuh yang mendengar dari ruang tamu langsung menghampiri. Langkahnya cepat, matanya langsung tertuju pada tangan Ratri yang tampak kemerahan.“Apa yang kamu lakukan?” suaranya tegas, namun nada khawatir terselip di ujungnya.Ratri menunduk, takut tatapan itu berubah menjadi amarah.“Tadi… tidak sengaja, Mas. Supnya tumpah.”Galuh menarik napas dalam. Ia melihat lantai yang basah, lalu memegan

  • Sisa Cahaya di Jalan Gelap   MOMEN HANGAT

    Pagi itu, cahaya matahari menembus lembut dari sela tirai. Udara di kamar masih hangat, seolah menyimpan sisa malam yang belum sepenuhnya pergi. Ratri membuka mata perlahan. Tubuhnya terasa berat, bukan hanya karena lelah, tapi juga karena beban yang mengendap di dalam dada.Galuh masih tertidur di sebelahnya. Wajahnya tampak tenang, seolah semalam tak terjadi apa pun. Ratri memandangi punggung suaminya, berusaha mencari sesuatu, mungkin penjelasan, atau sekadar rasa yang dulu pernah ada. Tapi yang ia temukan hanyalah keheningan yang menekan.Pelan-pelan, ia bangkit dari ranjang. Setiap langkahnya terasa hati-hati, seperti takut menimbulkan suara. Ia berjalan menuju jendela, membuka sedikit tirainya. Cahaya menimpa kulitnya, membuat matanya menyipit. Di luar, burung-burung terdengar bernyanyi, tapi baginya suara itu terasa jauh sekali, seperti berasal dari dunia lain.Ratri menyentuh dadanya. Ada denyut yang tak bisa ia pahami. Malam tadi, ia seperti berada di antara dua perasaan yang

  • Sisa Cahaya di Jalan Gelap   SIAPA PRIA ITU?

    Keesokan harinya, Galuh tidak berangkat ke kantor.“Mas, kenapa belum siap-siap ke kantor?” tanya Ratri dengan hati-hati.Galuh hanya menatapnya, tanpa sepatah kata pun. Tatapannya tajam, seolah menembus sampai ke dada Ratri. Ia memilih diam, takut kata-katanya justru menyalakan sesuatu yang lebih buruk.Beberapa menit kemudian, Galuh menggenggam tangan Ratri dan menariknya dengan paksa ke arah ruang bawah tanah, tempat yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Dingin, lembap, dan redup.“Mas… sakit,” lirihnya pelan.Galuh menatapnya tanpa ekspresi, lalu bersuara pelan tapi menusuk, “Aku hanya ingin bertanya sesuatu.”Ratri terdiam. Ia bisa merasakan udara menegang di antara mereka.“Siapa pria itu?” tanya Galuh, suaranya nyaris tak terdengar namun menimbulkan gemuruh di dada Ratri.Ratri berusaha bicara, tetapi lidahnya seolah kelu. Keheningan menggantung. Galuh menatap lebih dalam, membuat jantungnya berdegup semakin cepat.

  • Sisa Cahaya di Jalan Gelap   RATRI TERTEKAN

    Beberapa hari kemudian, siang itu rumah terasa sepi. Ratri sedang membersihkan ruang tamu ketika tiba-tiba terdengar suara bel berturut-turut. Suaranya tidak sabar, seperti seseorang yang sangat ingin segera masuk.Ratri berhenti, jantungnya berdegup lebih cepat. Ia menatap pintu beberapa detik sebelum akhirnya melangkah mendekat. Dari balik kaca buram di samping pintu, ia melihat sosok yang begitu dikenalnya, pria yang datang tempo hari.Ia menelan ludah, berusaha menenangkan diri. Tapi sebelum sempat berpikir, suara ketukan keras terdengar lagi.“Ratri, buka pintunya! Aku hanya ingin bicara!” suara itu memohon, tapi ada nada mendesak di dalamnya.“Pergi dari sini,” jawab Ratri, suaranya gemetar. “Suamiku tidak suka ada tamu tanpa izin.”Namun pria itu tidak menggubris. Ia menekan gagang pintu, dan tanpa diduga, pintu itu terbuka, Ratri lupa menguncinya. Pria itu melangkah masuk, wajahnya tegang dan panik.“Ratri, dengar aku dul

  • Sisa Cahaya di Jalan Gelap   TAMU TAK DI UNDANG

    Beberapa hari berlalu. Suasana rumah tampak lebih tenang, seolah tak pernah terjadi apa-apa. Ratri mencoba melupakan kejadian di mal, ia berusaha menata hatinya, meyakinkan diri bahwa mungkin Galuh sudah berubah.Pagi itu, aroma nasi goreng dan teh hangat memenuhi dapur. Ratri menyiapkan sarapan seperti biasanya, menata piring dan sendok dengan rapi di meja makan. Sesekali ia melirik ke arah jam dinding, memastikan waktu keberangkatan Galuh ke kantor.Galuh muncul dari kamar dengan kemeja biru muda yang rapi, dasinya terikat sempurna. Langkahnya tenang, matanya langsung tertuju pada Ratri.“Aku berangkat,” ujarnya pelan, namun tegas.Ratri tidak menjawab. Ia hanya menunduk, tangannya sibuk mengelap meja yang sudah bersih. Tatapan Galuh tak beralih darinya. Dalam diam itu, ada jarak yang aneh—antara takut dan rindu, antara luka dan kehangatan yang samar.Tiba-tiba, Galuh mendekat.Ia meraih dagu Ratri dengan ujung jarinya, lembut tapi penuh

  • Sisa Cahaya di Jalan Gelap   BERTEMU SESEORANG

    Hari itu, Galuh dan Ratri pergi ke mal. Udara sejuk dari pendingin ruangan menyambut langkah mereka begitu memasuki gedung. Orang-orang berlalu-lalang dengan senyum ringan, sebagian membawa kantong belanjaan penuh warna. Bagi Ratri, suasana itu seolah jauh dari kehidupannya, sebuah dunia yang tak lagi miliknya.Galuh berjalan di depan, langkahnya tenang tapi berwibawa. Tatapannya lurus ke arah etalase toko elektronik. Ia memilih beberapa barang tanpa banyak bicara, hanya sesekali melirik ke arah Ratri untuk memastikan perempuan itu tetap mengikutinya.“Kalau mau beli stok makanan, sana sekalian. Jangan lama,” ucap Galuh datar, matanya masih sibuk menatap layar ponsel.“Iya, Mas.”Ratri menunduk dan segera berbalik. Ia melangkah cepat menuju area supermarket, mendorong troli dengan hati-hati. Dalam kepalanya, hanya ada satu keinginan: menyelesaikan semuanya secepat mungkin sebelum suasana hati Galuh berubah lagi, sebelum kata-kata dingin dan kemarahan tanpa alasan kembali mengunci napa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status