LOGINMalam itu, jalanan masih ramai. Lampu neon dari warung-warung menyinari tubuh Ratri yang berdiri di pinggir jalan dengan pakaian seksi yang membentuk lekuk tubuhnya. Ia berdiri anggun, dengan senyum tipis yang lebih mirip topeng.
Tak lama kemudian, seorang laki-laki paruh baya menghampirinya. Tubuhnya tegap, wajahnya tampan, dan pakaiannya rapi. “Hai nona! Untuk semalam saja aku harus membayar berapa?” ucapnya dengan nada santai. “Satu juta saja, Tuan,” jawab Ratri cepat, senyum tipis terpasang di wajahnya. Pria itu mengangkat alis, tersenyum singkat. “Kecil.” Tanpa banyak bicara lagi, Ratri menggandeng pria itu menuju kamar. Sesampainya di sana, ia menyalakan lampu redup, lalu perlahan melepaskan tasnya. Dengan gerakan tenang, Ratri mulai membuka kancing kemeja pria tersebut. Namun pria itu hanya duduk diam di tepi ranjang, tidak melakukan apa-apa. Ia menatap Ratri, membiarkan perempuan itu membuka satu per satu kancing bajunya. Senyum samar terlukis di wajahnya, seakan lebih menikmati suasana daripada apa yang biasanya diharapkan pelanggan. Ratri sedikit bingung, tapi tetap melanjutkan gerakannya dengan profesional. Dalam hati ia bertanya-tanya, Kenapa pria ini berbeda? Kenapa hanya menatapku, seolah bukan tubuhku yang ia cari? Kamar itu remang, lampu kuning temaram memantul pada dinding bercat pudar. Bau parfum murahan bercampur dengan asap rokok tipis yang menyelinap dari jendela. Ratri berdiri di depan pria paruh baya itu, tangannya lincah membuka kancing kemeja satu per satu. Namun, yang membuatnya bingung, pria itu hanya duduk diam di tepi ranjang, membiarkan kemejanya terbuka tanpa sedikit pun berniat menyentuhnya. Ratri mengangkat kepalanya, menatap wajah pria itu. Ada tatapan yang berbeda bukan tatapan lapar seperti kebanyakan pelanggan, melainkan tatapan teduh, dalam, seolah sedang membaca dirinya. “Kenapa diam saja, Tuan? Biasanya, pelanggan sudah tidak sabar di menit pertama,” ucap Ratri dengan senyum tipis, mencoba mencairkan suasana. Pria itu terkekeh pelan. “Aku tidak sedang membeli tubuhmu, Nona. Aku hanya ingin melihatmu… mendengarmu berbicara.” Ratri terdiam. Kata-kata itu menancap dalam, membuatnya kikuk. Sudah lama ia tidak mendengar kalimat semacam itu. Biasanya, ia hanya dianggap benda, tubuh tanpa nama, sekadar hiburan malam. “Kalau hanya bicara, kenapa harus bayar mahal?” tanya Ratri, nada suaranya datar, seperti terbiasa meremehkan keajaiban kecil dalam hidupnya. Pria itu tersenyum lagi, kali ini lebih lebar. Ia meraih rokok dari meja kecil di samping ranjang, menyalakannya, lalu menghembuskan asap perlahan. “Karena setiap kata perempuan lebih mahal daripada tubuhnya. Banyak laki-laki yang tidak pernah mau mendengarkan. Aku tidak mau jadi salah satunya.” Ratri tercekat. Ada jeda hening. Tangannya yang tadi sibuk dengan kemeja pria itu kini berhenti, menggantung di udara. Ia kemudian menjatuhkan tubuhnya di kursi di sudut kamar, menatap kosong. “Aku tidak mengerti… apa maksudmu?” gumamnya pelan. Pria itu menatap lurus ke arahnya. “Kamu cantik, iya. Tapi aku yakin kamu punya lebih dari itu. Aku ingin tahu, apa yang membuatmu bahagia? Apa yang pernah kamu impikan sebelum hidupmu sampai di jalan ini?” Pertanyaan itu seperti tamparan halus bagi Ratri. Matanya memanas. Ia ingin tertawa, tapi justru menahan air mata. Sudah lama sekali tidak ada yang bertanya soal kebahagiaannya. Semua orang hanya bertanya soal tarif, durasi, atau posisi. “Bahagia?” suara Ratri bergetar, ia mencoba tersenyum pahit. “Aku bahkan sudah lupa rasanya.” Pria itu tidak menyela, hanya mendengarkan. Keheningan itu justru mendorong Ratri bicara lebih jauh, seakan pintu hatinya terbuka perlahan. “Aku pernah bahagia dulu… waktu masih kecil. Waktu ayah masih ada, waktu keluarga kami masih lengkap. Tapi semua berubah setelah ayah meninggal. Aku harus jadi tulang punggung keluarga. Aku menikah muda, berharap ada sandaran. Tapi ternyata suamiku malah pergi entah ke mana. Sejak itu… jalan ini yang kupilih. Bukan karena aku mau, tapi karena aku harus.” Suaranya pecah di akhir kalimat. Ratri buru-buru mengusap pipinya, tidak ingin terlihat lemah di depan pelanggan. Namun pria itu tetap diam, tidak menilai, tidak menghakimi hanya menatapnya dengan mata yang hangat. “Kamu tahu?” ucap pria itu perlahan. “Perempuan itu rumit, iya. Tapi sekaligus indah. Bukan karena tubuhnya, melainkan karena hatinya. Aku percaya, bahkan dari tempat tergelap sekali pun, perempuan masih bisa menemukan cahaya. Kamu juga bisa, Ratri.” Nama itu disebut begitu lembut, membuat Ratri tersentak. Ia bahkan tidak pernah menyebutkan namanya. “Dari mana… Tuan tahu namaku?” tanya Ratri, suaranya tercekat. Pria itu hanya tersenyum samar, menghembuskan asap rokok terakhir sebelum mematikannya di asbak. “Aku mendengarnya dari temanmu di jalan. Dan aku ingin memanggilmu dengan nama yang sebenarnya, bukan sekadar sebutan murahan seperti yang lain.” Air mata Ratri akhirnya tumpah. Ia menunduk, bahunya bergetar. Tangis itu bukan hanya sedih, tapi juga lega. Malam itu, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa menjadi manusia bukan sekadar objek. Pria itu tidak menyentuhnya. Tidak satu pun gerakan yang menjurus ke arah itu. Ia hanya duduk, menatap, lalu berkata pelan: “Besok, aku akan menemuimu lagi. Tapi bukan untuk membelimu. Aku ingin bicara. Aku ingin mendengar ceritamu. Dan suatu saat nanti, kamu akan keluar dari dunia ini. Percayalah.” Ratri hanya bisa mengangguk kecil, meski hatinya masih diliputi kebingungan. Saat pria itu akhirnya pergi, kamar terasa kosong, tapi sekaligus penuh dengan sesuatu yang baru: harapan. Malam itu, Ratri memandang bayangan dirinya di cermin. Makeup tebal, baju ketat, rambut kusut karena jalanan. Tapi untuk pertama kalinya, ia bertanya pada dirinya sendiri: Benarkah aku masih bisa keluar? Benarkah masih ada cahaya untukku? Suasana kamar menjadi hening. Yang terdengar hanya detak jam dinding dan napas Ratri yang mulai terasa berat karena canggung. Keesokan harinya, matahari baru saja tergelincir dari puncaknya ketika Ratri kembali berdiri di pinggir jalan. Hatinya masih diselimuti rasa aneh setelah pertemuan semalam. Ia menunggu, meski tidak yakin pria itu benar-benar akan datang. Tak lama, sebuah mobil hitam berhenti di depannya. Kaca jendela diturunkan, dan wajah tampan pria paruh baya itu muncul, tersenyum hangat. “Naiklah. Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat.” Tanpa banyak bertanya, Ratri masuk ke dalam mobil. Ada rasa canggung sekaligus penasaran. Bukan karena ia belum pernah diajak pria kaya ke tempat mewah, tapi biasanya selalu berujung sama: kamar. Namun kali ini berbeda. Mobil itu justru melaju menuju pusat kota, berhenti di depan sebuah café elegan dengan kaca besar dan suasana modern. Ratri terpaku. Ia bahkan tidak ingat kapan terakhir kali masuk ke café sekelas ini. Pria itu membukakan pintu untuknya, sesuatu yang belum pernah dilakukan pelanggan lain. Mereka duduk di meja dekat jendela, memesan kopi dan kue kecil. Pelayan menatap Ratri sekilas, mungkin heran melihat perempuan dengan dandanan mencolok duduk bersama pria berwibawa. Ratri sempat merasa malu, ingin menutupi dirinya, tapi pria itu menatapnya lembut. “Jangan minder. Kamu pantas duduk di sini,” katanya pelan. Ucapan itu membuat dada Ratri hangat. Ia menunduk, meremas jemarinya di bawah meja. Percakapan pun mengalir. Tidak ada topik yang kotor atau penuh godaan. Pria itu bertanya tentang hobi, makanan kesukaan, bahkan hal-hal kecil seperti warna favorit. “Merah,” jawab Ratri singkat ketika ditanya soal warna. “Kenapa merah?” tanya pria itu sambil menyeruput kopinya. “Karena merah itu berani. Dan aku… ingin terlihat berani, meski sebenarnya hatiku sering ketakutan.” Pria itu mengangguk pelan, seolah memahami lebih dalam daripada kata-kata yang keluar. “Itu bukan keberanian palsu. Justru itu keberanian sejati berjalan di atas ketakutan, tapi tetap melangkah.” Ratri terdiam. Tidak pernah ada yang menafsirkan dirinya seperti itu. Biasanya orang hanya menilai dari tubuh, bukan hatinya. Obrolan terus berlanjut. Mereka membicarakan keluarga. Awalnya Ratri enggan membuka diri, tapi entah mengapa mulutnya begitu ringan sore itu. Ia menceritakan tentang ibunya yang sakit-sakitan, dua adiknya yang masih sekolah, dan perjuangannya mengirim uang setiap bulan. “Kadang aku ingin berhenti. Aku ingin pulang, hidup sederhana di kampung. Tapi siapa yang akan menafkahi mereka kalau aku berhenti?” ucap Ratri lirih, matanya berkaca-kaca. Pria itu menatapnya lama, lalu berkata dengan suara mantap, “Kamu tidak bisa memilih takdirmu di awal, tapi kamu bisa memilih bagaimana kau menyelesaikan hidupmu. Jangan pernah percaya kalau jalan yang kamu jalani sekarang adalah satu-satunya cara.” Air mata Ratri hampir jatuh, tapi ia buru-buru menegakkan kepala. Ada rasa lega luar biasa bisa bicara jujur tanpa ditertawakan atau diremehkan. Di sela-sela percakapan, pria itu sempat bertanya, “Apa kamu pernah memikirkan, bagaimana jika suatu hari nanti kamu benar-benar keluar dari dunia itu? Apa yang ingin kamu lakukan?” Ratri tersenyum getir. “Aku ingin punya warung kecil. Masak untuk orang-orang, jual nasi uduk di pagi hari. Hidup tenang, sederhana.” Pria itu menatapnya lekat. “Itu mungkin. Jangan pernah berpikir tidak. Hidupmu belum berakhir, Ratri.” Suasana hening sejenak, hanya terdengar denting sendok pada cangkir. Ratri merasakan sesuatu yang berbeda: ia diperlakukan sebagai manusia seutuhnya. Bukan boneka, bukan barang. Saat senja turun, mereka keluar dari café. Udara sore membawa aroma hujan yang baru saja reda. Ratri berdiri di samping mobil, menatap pria itu dengan mata berkaca. “Kenapa Tuan melakukan semua ini untukku? Aku hanya… perempuan jalanan.” Pria itu tersenyum, lalu menjawab pelan, “Karena setiap manusia layak dihargai. Dan kamu, Ratri, lebih berharga daripada yang kamu kira.” Kata-kata itu menusuk jantungnya. Malam itu, saat kembali ke wisma, Ratri masih membawa rasa hangat itu bersamanya. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, ia merasa punya harapan.Siang itu, aroma kaldu memenuhi seluruh ruang makan. Ratri tengah menyiapkan makan siang, sup ayam dengan potongan wortel dan daun bawang yang harum. Uap panas naik dari panci, membentuk kabut tipis di udara. Ia mematikan kompor, lalu perlahan menuangkan sup itu ke dalam mangkuk besar.Namun, dalam ketergesaan kecilnya, ujung kain lap yang ia kenakan tersangkut gagang panci. Mangkuk itu pun tergelincir dari tangannya.“Ahh!” serunya tertahan. Cairan panas tumpah ke lantai, sebagian mengenai punggung tangannya.“Aww… panas,” ujarnya pelan, refleks menarik tangannya dan meniup bagian yang memerah.Galuh yang mendengar dari ruang tamu langsung menghampiri. Langkahnya cepat, matanya langsung tertuju pada tangan Ratri yang tampak kemerahan.“Apa yang kamu lakukan?” suaranya tegas, namun nada khawatir terselip di ujungnya.Ratri menunduk, takut tatapan itu berubah menjadi amarah.“Tadi… tidak sengaja, Mas. Supnya tumpah.”Galuh menarik napas dalam. Ia melihat lantai yang basah, lalu memegan
Pagi itu, cahaya matahari menembus lembut dari sela tirai. Udara di kamar masih hangat, seolah menyimpan sisa malam yang belum sepenuhnya pergi. Ratri membuka mata perlahan. Tubuhnya terasa berat, bukan hanya karena lelah, tapi juga karena beban yang mengendap di dalam dada.Galuh masih tertidur di sebelahnya. Wajahnya tampak tenang, seolah semalam tak terjadi apa pun. Ratri memandangi punggung suaminya, berusaha mencari sesuatu, mungkin penjelasan, atau sekadar rasa yang dulu pernah ada. Tapi yang ia temukan hanyalah keheningan yang menekan.Pelan-pelan, ia bangkit dari ranjang. Setiap langkahnya terasa hati-hati, seperti takut menimbulkan suara. Ia berjalan menuju jendela, membuka sedikit tirainya. Cahaya menimpa kulitnya, membuat matanya menyipit. Di luar, burung-burung terdengar bernyanyi, tapi baginya suara itu terasa jauh sekali, seperti berasal dari dunia lain.Ratri menyentuh dadanya. Ada denyut yang tak bisa ia pahami. Malam tadi, ia seperti berada di antara dua perasaan yang
Keesokan harinya, Galuh tidak berangkat ke kantor.“Mas, kenapa belum siap-siap ke kantor?” tanya Ratri dengan hati-hati.Galuh hanya menatapnya, tanpa sepatah kata pun. Tatapannya tajam, seolah menembus sampai ke dada Ratri. Ia memilih diam, takut kata-katanya justru menyalakan sesuatu yang lebih buruk.Beberapa menit kemudian, Galuh menggenggam tangan Ratri dan menariknya dengan paksa ke arah ruang bawah tanah, tempat yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Dingin, lembap, dan redup.“Mas… sakit,” lirihnya pelan.Galuh menatapnya tanpa ekspresi, lalu bersuara pelan tapi menusuk, “Aku hanya ingin bertanya sesuatu.”Ratri terdiam. Ia bisa merasakan udara menegang di antara mereka.“Siapa pria itu?” tanya Galuh, suaranya nyaris tak terdengar namun menimbulkan gemuruh di dada Ratri.Ratri berusaha bicara, tetapi lidahnya seolah kelu. Keheningan menggantung. Galuh menatap lebih dalam, membuat jantungnya berdegup semakin cepat.
Beberapa hari kemudian, siang itu rumah terasa sepi. Ratri sedang membersihkan ruang tamu ketika tiba-tiba terdengar suara bel berturut-turut. Suaranya tidak sabar, seperti seseorang yang sangat ingin segera masuk.Ratri berhenti, jantungnya berdegup lebih cepat. Ia menatap pintu beberapa detik sebelum akhirnya melangkah mendekat. Dari balik kaca buram di samping pintu, ia melihat sosok yang begitu dikenalnya, pria yang datang tempo hari.Ia menelan ludah, berusaha menenangkan diri. Tapi sebelum sempat berpikir, suara ketukan keras terdengar lagi.“Ratri, buka pintunya! Aku hanya ingin bicara!” suara itu memohon, tapi ada nada mendesak di dalamnya.“Pergi dari sini,” jawab Ratri, suaranya gemetar. “Suamiku tidak suka ada tamu tanpa izin.”Namun pria itu tidak menggubris. Ia menekan gagang pintu, dan tanpa diduga, pintu itu terbuka, Ratri lupa menguncinya. Pria itu melangkah masuk, wajahnya tegang dan panik.“Ratri, dengar aku dul
Beberapa hari berlalu. Suasana rumah tampak lebih tenang, seolah tak pernah terjadi apa-apa. Ratri mencoba melupakan kejadian di mal, ia berusaha menata hatinya, meyakinkan diri bahwa mungkin Galuh sudah berubah.Pagi itu, aroma nasi goreng dan teh hangat memenuhi dapur. Ratri menyiapkan sarapan seperti biasanya, menata piring dan sendok dengan rapi di meja makan. Sesekali ia melirik ke arah jam dinding, memastikan waktu keberangkatan Galuh ke kantor.Galuh muncul dari kamar dengan kemeja biru muda yang rapi, dasinya terikat sempurna. Langkahnya tenang, matanya langsung tertuju pada Ratri.“Aku berangkat,” ujarnya pelan, namun tegas.Ratri tidak menjawab. Ia hanya menunduk, tangannya sibuk mengelap meja yang sudah bersih. Tatapan Galuh tak beralih darinya. Dalam diam itu, ada jarak yang aneh—antara takut dan rindu, antara luka dan kehangatan yang samar.Tiba-tiba, Galuh mendekat.Ia meraih dagu Ratri dengan ujung jarinya, lembut tapi penuh
Hari itu, Galuh dan Ratri pergi ke mal. Udara sejuk dari pendingin ruangan menyambut langkah mereka begitu memasuki gedung. Orang-orang berlalu-lalang dengan senyum ringan, sebagian membawa kantong belanjaan penuh warna. Bagi Ratri, suasana itu seolah jauh dari kehidupannya, sebuah dunia yang tak lagi miliknya.Galuh berjalan di depan, langkahnya tenang tapi berwibawa. Tatapannya lurus ke arah etalase toko elektronik. Ia memilih beberapa barang tanpa banyak bicara, hanya sesekali melirik ke arah Ratri untuk memastikan perempuan itu tetap mengikutinya.“Kalau mau beli stok makanan, sana sekalian. Jangan lama,” ucap Galuh datar, matanya masih sibuk menatap layar ponsel.“Iya, Mas.”Ratri menunduk dan segera berbalik. Ia melangkah cepat menuju area supermarket, mendorong troli dengan hati-hati. Dalam kepalanya, hanya ada satu keinginan: menyelesaikan semuanya secepat mungkin sebelum suasana hati Galuh berubah lagi, sebelum kata-kata dingin dan kemarahan tanpa alasan kembali mengunci napa







