Share

PRIA ASING

Author: JI_MIL
last update Last Updated: 2025-09-18 17:15:07

Malam itu, jalanan masih ramai. Lampu neon dari warung-warung menyinari tubuh Ratri yang berdiri di pinggir jalan dengan pakaian seksi yang membentuk lekuk tubuhnya. Ia berdiri anggun, dengan senyum tipis yang lebih mirip topeng.

Tak lama kemudian, seorang laki-laki paruh baya menghampirinya. Tubuhnya tegap, wajahnya tampan, dan pakaiannya rapi.

“Hai nona! Untuk semalam saja aku harus membayar berapa?” ucapnya dengan nada santai.

“Satu juta saja, Tuan,” jawab Ratri cepat, senyum tipis terpasang di wajahnya.

Pria itu mengangkat alis, tersenyum singkat. “Kecil.”

Tanpa banyak bicara lagi, Ratri menggandeng pria itu menuju kamar. Sesampainya di sana, ia menyalakan lampu redup, lalu perlahan melepaskan tasnya. Dengan gerakan tenang, Ratri mulai membuka kancing kemeja pria tersebut.

Namun pria itu hanya duduk diam di tepi ranjang, tidak melakukan apa-apa. Ia menatap Ratri, membiarkan perempuan itu membuka satu per satu kancing bajunya. Senyum samar terlukis di wajahnya, seakan lebih menikmati suasana daripada apa yang biasanya diharapkan pelanggan.

Ratri sedikit bingung, tapi tetap melanjutkan gerakannya dengan profesional. Dalam hati ia bertanya-tanya, Kenapa pria ini berbeda? Kenapa hanya menatapku, seolah bukan tubuhku yang ia cari?

Kamar itu remang, lampu kuning temaram memantul pada dinding bercat pudar. Bau parfum murahan bercampur dengan asap rokok tipis yang menyelinap dari jendela. Ratri berdiri di depan pria paruh baya itu, tangannya lincah membuka kancing kemeja satu per satu. Namun, yang membuatnya bingung, pria itu hanya duduk diam di tepi ranjang, membiarkan kemejanya terbuka tanpa sedikit pun berniat menyentuhnya.

Ratri mengangkat kepalanya, menatap wajah pria itu. Ada tatapan yang berbeda bukan tatapan lapar seperti kebanyakan pelanggan, melainkan tatapan teduh, dalam, seolah sedang membaca dirinya.

“Kenapa diam saja, Tuan? Biasanya, pelanggan sudah tidak sabar di menit pertama,” ucap Ratri dengan senyum tipis, mencoba mencairkan suasana.

Pria itu terkekeh pelan. “Aku tidak sedang membeli tubuhmu, Nona. Aku hanya ingin melihatmu… mendengarmu berbicara.”

Ratri terdiam. Kata-kata itu menancap dalam, membuatnya kikuk. Sudah lama ia tidak mendengar kalimat semacam itu. Biasanya, ia hanya dianggap benda, tubuh tanpa nama, sekadar hiburan malam.

“Kalau hanya bicara, kenapa harus bayar mahal?” tanya Ratri, nada suaranya datar, seperti terbiasa meremehkan keajaiban kecil dalam hidupnya.

Pria itu tersenyum lagi, kali ini lebih lebar. Ia meraih rokok dari meja kecil di samping ranjang, menyalakannya, lalu menghembuskan asap perlahan. “Karena setiap kata perempuan lebih mahal daripada tubuhnya. Banyak laki-laki yang tidak pernah mau mendengarkan. Aku tidak mau jadi salah satunya.”

Ratri tercekat. Ada jeda hening. Tangannya yang tadi sibuk dengan kemeja pria itu kini berhenti, menggantung di udara. Ia kemudian menjatuhkan tubuhnya di kursi di sudut kamar, menatap kosong.

“Aku tidak mengerti… apa maksudmu?” gumamnya pelan.

Pria itu menatap lurus ke arahnya. “Kamu cantik, iya. Tapi aku yakin kamu punya lebih dari itu. Aku ingin tahu, apa yang membuatmu bahagia? Apa yang pernah kamu impikan sebelum hidupmu sampai di jalan ini?”

Pertanyaan itu seperti tamparan halus bagi Ratri. Matanya memanas. Ia ingin tertawa, tapi justru menahan air mata. Sudah lama sekali tidak ada yang bertanya soal kebahagiaannya. Semua orang hanya bertanya soal tarif, durasi, atau posisi.

“Bahagia?” suara Ratri bergetar, ia mencoba tersenyum pahit. “Aku bahkan sudah lupa rasanya.”

Pria itu tidak menyela, hanya mendengarkan. Keheningan itu justru mendorong Ratri bicara lebih jauh, seakan pintu hatinya terbuka perlahan.

“Aku pernah bahagia dulu… waktu masih kecil. Waktu ayah masih ada, waktu keluarga kami masih lengkap. Tapi semua berubah setelah ayah meninggal. Aku harus jadi tulang punggung keluarga. Aku menikah muda, berharap ada sandaran. Tapi ternyata suamiku malah pergi entah ke mana. Sejak itu… jalan ini yang kupilih. Bukan karena aku mau, tapi karena aku harus.”

Suaranya pecah di akhir kalimat. Ratri buru-buru mengusap pipinya, tidak ingin terlihat lemah di depan pelanggan. Namun pria itu tetap diam, tidak menilai, tidak menghakimi hanya menatapnya dengan mata yang hangat.

“Kamu tahu?” ucap pria itu perlahan. “Perempuan itu rumit, iya. Tapi sekaligus indah. Bukan karena tubuhnya, melainkan karena hatinya. Aku percaya, bahkan dari tempat tergelap sekali pun, perempuan masih bisa menemukan cahaya. Kamu juga bisa, Ratri.”

Nama itu disebut begitu lembut, membuat Ratri tersentak. Ia bahkan tidak pernah menyebutkan namanya.

“Dari mana… Tuan tahu namaku?” tanya Ratri, suaranya tercekat.

Pria itu hanya tersenyum samar, menghembuskan asap rokok terakhir sebelum mematikannya di asbak. “Aku mendengarnya dari temanmu di jalan. Dan aku ingin memanggilmu dengan nama yang sebenarnya, bukan sekadar sebutan murahan seperti yang lain.”

Air mata Ratri akhirnya tumpah. Ia menunduk, bahunya bergetar. Tangis itu bukan hanya sedih, tapi juga lega. Malam itu, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa menjadi manusia bukan sekadar objek.

Pria itu tidak menyentuhnya. Tidak satu pun gerakan yang menjurus ke arah itu. Ia hanya duduk, menatap, lalu berkata pelan:

“Besok, aku akan menemuimu lagi. Tapi bukan untuk membelimu. Aku ingin bicara. Aku ingin mendengar ceritamu. Dan suatu saat nanti, kamu akan keluar dari dunia ini. Percayalah.”

Ratri hanya bisa mengangguk kecil, meski hatinya masih diliputi kebingungan. Saat pria itu akhirnya pergi, kamar terasa kosong, tapi sekaligus penuh dengan sesuatu yang baru: harapan.

Malam itu, Ratri memandang bayangan dirinya di cermin. Makeup tebal, baju ketat, rambut kusut karena jalanan. Tapi untuk pertama kalinya, ia bertanya pada dirinya sendiri: Benarkah aku masih bisa keluar? Benarkah masih ada cahaya untukku?

Suasana kamar menjadi hening. Yang terdengar hanya detak jam dinding dan napas Ratri yang mulai terasa berat karena canggung.

Keesokan harinya, matahari baru saja tergelincir dari puncaknya ketika Ratri kembali berdiri di pinggir jalan. Hatinya masih diselimuti rasa aneh setelah pertemuan semalam. Ia menunggu, meski tidak yakin pria itu benar-benar akan datang.

Tak lama, sebuah mobil hitam berhenti di depannya. Kaca jendela diturunkan, dan wajah tampan pria paruh baya itu muncul, tersenyum hangat.

“Naiklah. Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat.”

Tanpa banyak bertanya, Ratri masuk ke dalam mobil. Ada rasa canggung sekaligus penasaran. Bukan karena ia belum pernah diajak pria kaya ke tempat mewah, tapi biasanya selalu berujung sama: kamar. Namun kali ini berbeda. Mobil itu justru melaju menuju pusat kota, berhenti di depan sebuah café elegan dengan kaca besar dan suasana modern.

Ratri terpaku. Ia bahkan tidak ingat kapan terakhir kali masuk ke café sekelas ini. Pria itu membukakan pintu untuknya, sesuatu yang belum pernah dilakukan pelanggan lain.

Mereka duduk di meja dekat jendela, memesan kopi dan kue kecil. Pelayan menatap Ratri sekilas, mungkin heran melihat perempuan dengan dandanan mencolok duduk bersama pria berwibawa. Ratri sempat merasa malu, ingin menutupi dirinya, tapi pria itu menatapnya lembut.

“Jangan minder. Kamu pantas duduk di sini,” katanya pelan.

Ucapan itu membuat dada Ratri hangat. Ia menunduk, meremas jemarinya di bawah meja.

Percakapan pun mengalir. Tidak ada topik yang kotor atau penuh godaan. Pria itu bertanya tentang hobi, makanan kesukaan, bahkan hal-hal kecil seperti warna favorit.

“Merah,” jawab Ratri singkat ketika ditanya soal warna.

“Kenapa merah?” tanya pria itu sambil menyeruput kopinya.

“Karena merah itu berani. Dan aku… ingin terlihat berani, meski sebenarnya hatiku sering ketakutan.”

Pria itu mengangguk pelan, seolah memahami lebih dalam daripada kata-kata yang keluar. “Itu bukan keberanian palsu. Justru itu keberanian sejati berjalan di atas ketakutan, tapi tetap melangkah.”

Ratri terdiam. Tidak pernah ada yang menafsirkan dirinya seperti itu. Biasanya orang hanya menilai dari tubuh, bukan hatinya.

Obrolan terus berlanjut. Mereka membicarakan keluarga. Awalnya Ratri enggan membuka diri, tapi entah mengapa mulutnya begitu ringan sore itu. Ia menceritakan tentang ibunya yang sakit-sakitan, dua adiknya yang masih sekolah, dan perjuangannya mengirim uang setiap bulan.

“Kadang aku ingin berhenti. Aku ingin pulang, hidup sederhana di kampung. Tapi siapa yang akan menafkahi mereka kalau aku berhenti?” ucap Ratri lirih, matanya berkaca-kaca.

Pria itu menatapnya lama, lalu berkata dengan suara mantap, “Kamu tidak bisa memilih takdirmu di awal, tapi kamu bisa memilih bagaimana kau menyelesaikan hidupmu. Jangan pernah percaya kalau jalan yang kamu jalani sekarang adalah satu-satunya cara.”

Air mata Ratri hampir jatuh, tapi ia buru-buru menegakkan kepala. Ada rasa lega luar biasa bisa bicara jujur tanpa ditertawakan atau diremehkan.

Di sela-sela percakapan, pria itu sempat bertanya, “Apa kamu pernah memikirkan, bagaimana jika suatu hari nanti kamu benar-benar keluar dari dunia itu? Apa yang ingin kamu lakukan?”

Ratri tersenyum getir. “Aku ingin punya warung kecil. Masak untuk orang-orang, jual nasi uduk di pagi hari. Hidup tenang, sederhana.”

Pria itu menatapnya lekat. “Itu mungkin. Jangan pernah berpikir tidak. Hidupmu belum berakhir, Ratri.”

Suasana hening sejenak, hanya terdengar denting sendok pada cangkir. Ratri merasakan sesuatu yang berbeda: ia diperlakukan sebagai manusia seutuhnya. Bukan boneka, bukan barang.

Saat senja turun, mereka keluar dari café. Udara sore membawa aroma hujan yang baru saja reda. Ratri berdiri di samping mobil, menatap pria itu dengan mata berkaca.

“Kenapa Tuan melakukan semua ini untukku? Aku hanya… perempuan jalanan.”

Pria itu tersenyum, lalu menjawab pelan, “Karena setiap manusia layak dihargai. Dan kamu, Ratri, lebih berharga daripada yang kamu kira.”

Kata-kata itu menusuk jantungnya. Malam itu, saat kembali ke wisma, Ratri masih membawa rasa hangat itu bersamanya. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, ia merasa punya harapan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sisa Cahaya di Jalan Gelap    CAHAYA KERINDUAN

    Hari-hari berikutnya, Ratri merasa hidupnya berbeda. Biasanya ia menganggap malam hanya rutinitas: berdiri di jalan, menunggu mobil berhenti, lalu berpura-pura tersenyum pada wajah asing. Namun kini ada sesuatu yang ditunggu: pertemuannya dengan pria itu.Mereka mulai sering bertemu, bukan di hotel atau kamar remang, melainkan di café, taman kota, bahkan kadang hanya duduk di dalam mobil sambil mendengarkan musik pelan. Obrolan mereka tidak pernah habis.Pria itu bercerita tentang masa mudanya bagaimana ia dulu pernah jatuh cinta pada seorang gadis sederhana, tapi kehilangan karena perbedaan restu keluarga. Tentang kerja keras membangun bisnisnya dari nol. Tentang kesepian yang sering menghampiri meski kini hidupnya serba berkecukupan.Ratri mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Ia kagum, sekaligus merasa aneh, karena seorang pria berkelas sepertinya mau berbagi luka dengan dirinya, seorang perempuan yang tiap malam menjual tubuh demi uang.“Kadang aku iri pada kamu,” ucap Ratri suatu

  • Sisa Cahaya di Jalan Gelap   PRIA ASING

    Malam itu, jalanan masih ramai. Lampu neon dari warung-warung menyinari tubuh Ratri yang berdiri di pinggir jalan dengan pakaian seksi yang membentuk lekuk tubuhnya. Ia berdiri anggun, dengan senyum tipis yang lebih mirip topeng.Tak lama kemudian, seorang laki-laki paruh baya menghampirinya. Tubuhnya tegap, wajahnya tampan, dan pakaiannya rapi.“Hai nona! Untuk semalam saja aku harus membayar berapa?” ucapnya dengan nada santai.“Satu juta saja, Tuan,” jawab Ratri cepat, senyum tipis terpasang di wajahnya.Pria itu mengangkat alis, tersenyum singkat. “Kecil.”Tanpa banyak bicara lagi, Ratri menggandeng pria itu menuju kamar. Sesampainya di sana, ia menyalakan lampu redup, lalu perlahan melepaskan tasnya. Dengan gerakan tenang, Ratri mulai membuka kancing kemeja pria tersebut.Namun pria itu hanya duduk diam di tepi ranjang, tidak melakukan apa-apa. Ia menatap Ratri, membiarkan perempuan itu membuka satu per satu kancing bajunya. Senyum samar terlukis di wajahnya, seakan lebih menikma

  • Sisa Cahaya di Jalan Gelap   PULANG KAMPUNG

    Keesokan harinya, suasana di wisma agak berbeda. Mucikari memberi kebebasan untuk anak buahnya sejenak “healing”—memberi waktu mereka beristirahat dari rutinitas malam yang melelahkan.“Besok malam kita kembali bekerja seperti biasa,” ujar mucikari sambil menepuk meja. “Tapi hari ini, kalian bebas. Gunakan waktu untuk diri sendiri.”Ratri menatap sejenak teman-temannya yang mulai merencanakan jalan-jalan, belanja, atau sekadar tidur. Ia tersenyum tipis, tapi dalam hati sudah ada keputusan.Aku harus pulang… menemui Mamih dan adik-adikku, bisiknya lirih.Tanpa banyak berpikir, Ratri merapikan barang-barangnya. Perjalanan ke kampung halaman tidak dekat; butuh berjam-jam naik bus dan menempuh jalan berliku. Tapi hatinya menolak untuk menunda lagi. Ia ingin melihat ibu dan adik-adiknya, merasakan sedikit kehangatan keluarga yang jarang ia nikmati.Di dalam bus, Ratri duduk menatap jendela. Hujan gerimis membuat kaca buram, dan cahaya lampu jalan berpendar di permukaan air. Setiap tetes ya

  • Sisa Cahaya di Jalan Gelap   FLASHBACK

    Keesokan harinya, matahari baru saja naik, tapi wisma sudah mulai riuh. Suara musik, langkah kaki, dan percakapan antar penghuni bercampur menjadi satu.Ratri bangun dengan wajah lelah, sisa tangis semalam masih meninggalkan sembap di matanya. Ia menatap cermin kecil di sudut kamar. Sejenak ia terpaku—melihat seorang perempuan dengan riasan pudar, senyum yang dipaksakan, dan mata yang tampak lebih tua dari usianya.Ia menarik napas panjang, lalu mulai merias wajahnya lagi. Lipstik merah, bedak tipis, eyeliner. Topeng yang sama yang selalu ia kenakan.Saat keluar kamar, ia tersenyum seperti biasa kepada teman-temannya. “Pagi, Rat,” sapa seorang PSK lain sambil menyalakan rokok.“Pagi…” jawab Ratri ringan, seolah tidak ada yang salah.Mereka bercanda, tertawa, dan membicarakan pelanggan malam sebelumnya. Ratri ikut tertawa, meski hatinya kosong.Ketika malam tiba, ia sudah kembali duduk di pinggir jalan, mengenakan gaun ketat berwarna hitam, menunggu pelanggan yang lewat. Angin malam me

  • Sisa Cahaya di Jalan Gelap   PELANGGAN BARU

    Oke, kita lanjutkan ya. Kali ini Ratri akan bertemu pelanggan baru—seorang pria super kaya. Adegan ini bisa jadi titik awal perubahan hidupnya, sekaligus menambah lapisan konflik (antara uang besar, martabat, dan jalan hidup yang ia jalani).Bab 3Malam itu jalanan mulai dipenuhi lampu-lampu neon. Wisma kembali ramai. Musik dangdut samar terdengar dari kafe sebelah, bercampur dengan suara kendaraan yang lalu-lalang.Ratri berdiri di sudut jalan dengan gaun merah menyala yang menempel di tubuhnya. Ia menghela napas panjang, mencoba menata hati. Senyumnya kembali terlukis, meski dalam hatinya ada hampa yang tak bisa ia sembuhkan.Dari kejauhan, sebuah mobil hitam mewah berhenti. Lampunya terang, bodinya mengkilap—jelas bukan mobil pelanggan biasa. Pintu belakang terbuka, dan keluar seorang pria sekitar empat puluhan. Wajahnya bersih, rapi, dengan jas mahal yang tampak baru saja dipakai untuk sebuah jamuan penting.Langkahnya tenang, penuh percaya diri. Sesaat matanya menatap ke arah der

  • Sisa Cahaya di Jalan Gelap   BERTEMU IBU

    Subuh hampir tiba ketika Ratri kembali ke wisma tempat para perempuan malam itu berkumpul. Lampu-lampu neon masih menyala, sebagian kursi kosong, hanya menyisakan beberapa PSK lain yang baru pulang dari “pekerjaan”. Di sudut ruangan, seorang perempuan berusia sekitar empat puluh tahun duduk dengan wajah tegas. Dialah Yuni, mucikari yang mengatur para gadis di bawah kendalinya.Ratri melangkah mendekat dengan hati-hati. Di tangannya ada amplop kecil berisi sebagian uang hasil malam itu. Ia meletakkannya di meja di depan Yuni.“Ini, Kak… bagian untuk malam tadi,” ucap Ratri lirih.Yuni menghitung cepat, lalu menyelipkan uang itu ke dompet tanpa ekspresi. Tatapannya lalu beralih pada Ratri. “Bagus. Kau termasuk rajin, Ratri. Pelanggan juga banyak yang suka sama kamu. Kalau terus begini, kamu bisa cepat lunasi utangmu di sini.”Ratri menunduk, menahan getir. Lalu, dengan suara hati-hati ia berkata,“Kak Yuni… bolehkah aku pulang sebentar hari ini? Mamih lagi sakit. Aku sudah kumpulkan uan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status