Mag-log inSore itu, langit kota berwarna jingga. Ratri kembali duduk di café tempat biasa mereka bertemu. Aroma kopi hangat memenuhi udara, dan hatinya berdegup lebih cepat daripada biasanya. Entah kenapa, ia merasa ada sesuatu yang berbeda hari ini.
Tak lama, pria itu datang dengan senyum yang tenang. Ia tampak lebih rapi dari biasanya, dengan kemeja putih sederhana dan jam tangan yang berkilat. Ratri menyapanya dengan senyum tipis, mencoba menyembunyikan rasa gugup yang entah dari mana datangnya. Mereka sempat berbincang ringan tentang pekerjaan pria itu, tentang berita hari ini, bahkan tentang bunga yang tumbuh di depan café. Namun, Ratri bisa merasakan, ada sesuatu yang ditahan oleh pria itu. Hingga akhirnya, pria itu meletakkan cangkir kopinya, lalu menatap Ratri dalam-dalam. “Ratri…” suaranya pelan, tapi tegas. “Aku sudah lama memikirkannya. Aku ingin meminta izin untuk meminangmu.” Ratri terperanjat. Tangannya refleks meremas rok yang dipakainya. Jantungnya berdegup begitu kencang hingga hampir terdengar. “Apa… yang Tuan katakan?” suaranya bergetar, nyaris berbisik. Pria itu menghela napas, lalu mengangguk mantap. “Aku tahu siapa dirimu, aku tahu masa lalumu. Tapi aku juga tahu, kamu jauh lebih berharga dari apa yang dunia katakan tentangmu. Aku ingin hidup bersamamu. Bukan untuk mengubahmu menjadi orang lain, tapi agar kamu bisa melihat dirimu sendiri sebagaimana aku melihatmu.” Air mata mulai menggenang di pelupuk Ratri. Namun bersamaan dengan itu, rasa takut menghantam dadanya. Ia menunduk, menggigit bibir. “Tidak semudah itu…” ucapnya lirih. “Aku kotor, Tuan. Aku sudah terlalu lama hidup di jalan gelap. Aku tidak pantas berdiri di sampingmu. Bagaimana orang-orang akan memandangmu jika tahu siapa aku?” Pria itu meraih tangannya, menggenggam dengan hangat. “Biarlah orang bicara. Mereka hanya melihat luarnya. Aku melihat hatimu. Dan hatimu masih suci, Ratri.” Ratri terdiam. Dadanya sesak oleh emosi yang campur aduk. Antara ingin percaya dan takut kecewa. Ia ingin melangkah ke arah cahaya, tapi rantai masa lalu masih menahan kakinya. “Aku… aku butuh waktu,” akhirnya Ratri berbisik, matanya basah. Pria itu tersenyum lembut, tidak terburu-buru. “Ambillah waktu sebanyak yang kau butuhkan. Aku di sini, menunggumu. Aku tidak akan pergi.” Ucapan itu membuat air mata Ratri jatuh. Untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar dicintai bukan karena tubuhnya, tapi karena dirinya. Namun, di balik kehangatan itu, keraguan tetap menyelimuti. Jalan gelap yang ia tempuh terlalu panjang, terlalu dalam, hingga ia sendiri ragu apakah pantas meraih cahaya yang ditawarkan di depannya. Langit sore di kampung masih berwarna keemasan ketika Ratri turun dari bus. Ia membawa sebuah tas kecil berisi oleh-oleh sederhana untuk ibu dan adiknya. Sepanjang perjalanan, hatinya hangat membayangkan pelukan ibunya, senyum polos adiknya, dan aroma dapur kampung yang selalu membuatnya rindu. Namun begitu kakinya melangkah ke halaman rumah, suasana terasa berbeda. Pintu kayu rumah itu rapat tertutup. Tidak ada suara ibunya yang biasanya langsung menyambut, tidak ada adiknya yang berlari-lari memeluk kakinya. Hanya keheningan yang menusuk. Ratri mengetuk pintu dengan hati-hati. “Bu, ini aku… Ratri. Aku pulang.” Tak ada jawaban. Yang muncul hanya adiknya, membuka pintu setengah hati. Wajahnya tampak bingung, seolah menyimpan sesuatu. “Ibu kenapa, Dik? Kok nggak keluar?” tanya Ratri lembut, berusaha tersenyum. Adiknya menunduk, lalu dengan polos berkata, “Kemarin ramai, Kak… katanya Kakak jadi kupu-kupu malam. Kupu-kupu malam itu apa, Kak?” Seperti ada belati menancap di dada Ratri. Pertanyaan polos itu membuat napasnya tercekat. Mulutnya terbuka, tapi tak ada kata yang keluar. Air matanya langsung mengalir tanpa bisa ditahan. Di dalam rumah, terdengar suara ibunya. Dingin, menusuk, tak seperti biasanya. “Nak, jangan dekat-dekat sama dia. Dia kotor. Najis. Orang seperti dia tidak boleh masuk ke rumah ini.” Ratri terhuyung. Tubuhnya bergetar. Ia berusaha menahan tangis, tapi kalimat ibunya bagaikan palu godam yang menghancurkan sisa harga dirinya. Ia ingin berteriak bahwa semua ini ia lakukan demi mereka, demi obat untuk ibunya, demi sekolah adiknya. Tapi lidahnya kelu, suaranya terperangkap dalam tangis. “Ibu…” suaranya serak, nyaris tak terdengar. “Aku melakukan ini semua… demi Ibu. Demi adik-adik…” Namun pintu tetap tertutup rapat. Hanya suara ibunya lagi, kali ini lebih keras. “Pergi, Ratri. Aku tidak punya anak seperti kamu.” Tangis Ratri pecah. Ia jatuh berlutut di depan pintu, menggenggam tanah yang dingin. Sakitnya lebih dari ribuan hinaan pelanggan, lebih dari semua rasa malu yang pernah ia tanggung. Disangkanya, rumah akan selalu menjadi tempat pulang. Nyatanya, rumah pun kini menolaknya. Dengan tangan bergetar, Ratri merogoh tasnya, mengeluarkan segepok uang lembaran. Ia menyerahkannya pada adiknya yang berdiri bingung di depan pintu. “Kamu harus nurut sama Ibu, ya… Ini uang buat kamu sekolah, buat beli obat Ibu. Tolong jaga Ibu baik-baik.” Suaranya patah-patah, matanya sembab. Adiknya menerima uang itu dengan tangan gemetar. Ia masih belum sepenuhnya mengerti apa yang terjadi, hanya bisa mengangguk dengan mata berkaca-kaca. Ratri menatap wajah adiknya terakhir kali, lalu berdiri. Dengan langkah gontai, ia meninggalkan rumah itu, meninggalkan luka yang menyesakkan. Sesampainya di wisma, Ratri berusaha menahan diri. Ia menyapa teman-temannya seperti biasa, meski matanya masih sembab. “Eh, Ratri!” sapa Dewi riang. “Katanya kamu mau nginap di rumah, kok udah balik?” Ratri tersenyum tipis, bibirnya gemetar menahan tangis. “Hehe… kangen sama kalian.” Dewi menatapnya lekat. Ia tahu ada sesuatu yang tidak beres. Namun ia tidak bertanya lebih jauh. Ia hanya mengulurkan tangan, menggenggam tangan Ratri erat-erat, seolah berkata: Aku ada di sini. Ratri tersenyum hambar. Malam itu, ia masuk ke kamarnya, menutup pintu, dan menangis sejadi-jadinya di balik bantal. Tangis yang terpendam, tangis yang merobek jiwa. Bukan lagi karena pelanggan, bukan lagi karena hinaan orang asing, melainkan karena ibu kandungnya sendiri kini menolaknya. Malam itu, Ratri benar-benar merasa sendirian di dunia.Siang itu, aroma kaldu memenuhi seluruh ruang makan. Ratri tengah menyiapkan makan siang, sup ayam dengan potongan wortel dan daun bawang yang harum. Uap panas naik dari panci, membentuk kabut tipis di udara. Ia mematikan kompor, lalu perlahan menuangkan sup itu ke dalam mangkuk besar.Namun, dalam ketergesaan kecilnya, ujung kain lap yang ia kenakan tersangkut gagang panci. Mangkuk itu pun tergelincir dari tangannya.“Ahh!” serunya tertahan. Cairan panas tumpah ke lantai, sebagian mengenai punggung tangannya.“Aww… panas,” ujarnya pelan, refleks menarik tangannya dan meniup bagian yang memerah.Galuh yang mendengar dari ruang tamu langsung menghampiri. Langkahnya cepat, matanya langsung tertuju pada tangan Ratri yang tampak kemerahan.“Apa yang kamu lakukan?” suaranya tegas, namun nada khawatir terselip di ujungnya.Ratri menunduk, takut tatapan itu berubah menjadi amarah.“Tadi… tidak sengaja, Mas. Supnya tumpah.”Galuh menarik napas dalam. Ia melihat lantai yang basah, lalu memegan
Pagi itu, cahaya matahari menembus lembut dari sela tirai. Udara di kamar masih hangat, seolah menyimpan sisa malam yang belum sepenuhnya pergi. Ratri membuka mata perlahan. Tubuhnya terasa berat, bukan hanya karena lelah, tapi juga karena beban yang mengendap di dalam dada.Galuh masih tertidur di sebelahnya. Wajahnya tampak tenang, seolah semalam tak terjadi apa pun. Ratri memandangi punggung suaminya, berusaha mencari sesuatu, mungkin penjelasan, atau sekadar rasa yang dulu pernah ada. Tapi yang ia temukan hanyalah keheningan yang menekan.Pelan-pelan, ia bangkit dari ranjang. Setiap langkahnya terasa hati-hati, seperti takut menimbulkan suara. Ia berjalan menuju jendela, membuka sedikit tirainya. Cahaya menimpa kulitnya, membuat matanya menyipit. Di luar, burung-burung terdengar bernyanyi, tapi baginya suara itu terasa jauh sekali, seperti berasal dari dunia lain.Ratri menyentuh dadanya. Ada denyut yang tak bisa ia pahami. Malam tadi, ia seperti berada di antara dua perasaan yang
Keesokan harinya, Galuh tidak berangkat ke kantor.“Mas, kenapa belum siap-siap ke kantor?” tanya Ratri dengan hati-hati.Galuh hanya menatapnya, tanpa sepatah kata pun. Tatapannya tajam, seolah menembus sampai ke dada Ratri. Ia memilih diam, takut kata-katanya justru menyalakan sesuatu yang lebih buruk.Beberapa menit kemudian, Galuh menggenggam tangan Ratri dan menariknya dengan paksa ke arah ruang bawah tanah, tempat yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Dingin, lembap, dan redup.“Mas… sakit,” lirihnya pelan.Galuh menatapnya tanpa ekspresi, lalu bersuara pelan tapi menusuk, “Aku hanya ingin bertanya sesuatu.”Ratri terdiam. Ia bisa merasakan udara menegang di antara mereka.“Siapa pria itu?” tanya Galuh, suaranya nyaris tak terdengar namun menimbulkan gemuruh di dada Ratri.Ratri berusaha bicara, tetapi lidahnya seolah kelu. Keheningan menggantung. Galuh menatap lebih dalam, membuat jantungnya berdegup semakin cepat.
Beberapa hari kemudian, siang itu rumah terasa sepi. Ratri sedang membersihkan ruang tamu ketika tiba-tiba terdengar suara bel berturut-turut. Suaranya tidak sabar, seperti seseorang yang sangat ingin segera masuk.Ratri berhenti, jantungnya berdegup lebih cepat. Ia menatap pintu beberapa detik sebelum akhirnya melangkah mendekat. Dari balik kaca buram di samping pintu, ia melihat sosok yang begitu dikenalnya, pria yang datang tempo hari.Ia menelan ludah, berusaha menenangkan diri. Tapi sebelum sempat berpikir, suara ketukan keras terdengar lagi.“Ratri, buka pintunya! Aku hanya ingin bicara!” suara itu memohon, tapi ada nada mendesak di dalamnya.“Pergi dari sini,” jawab Ratri, suaranya gemetar. “Suamiku tidak suka ada tamu tanpa izin.”Namun pria itu tidak menggubris. Ia menekan gagang pintu, dan tanpa diduga, pintu itu terbuka, Ratri lupa menguncinya. Pria itu melangkah masuk, wajahnya tegang dan panik.“Ratri, dengar aku dul
Beberapa hari berlalu. Suasana rumah tampak lebih tenang, seolah tak pernah terjadi apa-apa. Ratri mencoba melupakan kejadian di mal, ia berusaha menata hatinya, meyakinkan diri bahwa mungkin Galuh sudah berubah.Pagi itu, aroma nasi goreng dan teh hangat memenuhi dapur. Ratri menyiapkan sarapan seperti biasanya, menata piring dan sendok dengan rapi di meja makan. Sesekali ia melirik ke arah jam dinding, memastikan waktu keberangkatan Galuh ke kantor.Galuh muncul dari kamar dengan kemeja biru muda yang rapi, dasinya terikat sempurna. Langkahnya tenang, matanya langsung tertuju pada Ratri.“Aku berangkat,” ujarnya pelan, namun tegas.Ratri tidak menjawab. Ia hanya menunduk, tangannya sibuk mengelap meja yang sudah bersih. Tatapan Galuh tak beralih darinya. Dalam diam itu, ada jarak yang aneh—antara takut dan rindu, antara luka dan kehangatan yang samar.Tiba-tiba, Galuh mendekat.Ia meraih dagu Ratri dengan ujung jarinya, lembut tapi penuh
Hari itu, Galuh dan Ratri pergi ke mal. Udara sejuk dari pendingin ruangan menyambut langkah mereka begitu memasuki gedung. Orang-orang berlalu-lalang dengan senyum ringan, sebagian membawa kantong belanjaan penuh warna. Bagi Ratri, suasana itu seolah jauh dari kehidupannya, sebuah dunia yang tak lagi miliknya.Galuh berjalan di depan, langkahnya tenang tapi berwibawa. Tatapannya lurus ke arah etalase toko elektronik. Ia memilih beberapa barang tanpa banyak bicara, hanya sesekali melirik ke arah Ratri untuk memastikan perempuan itu tetap mengikutinya.“Kalau mau beli stok makanan, sana sekalian. Jangan lama,” ucap Galuh datar, matanya masih sibuk menatap layar ponsel.“Iya, Mas.”Ratri menunduk dan segera berbalik. Ia melangkah cepat menuju area supermarket, mendorong troli dengan hati-hati. Dalam kepalanya, hanya ada satu keinginan: menyelesaikan semuanya secepat mungkin sebelum suasana hati Galuh berubah lagi, sebelum kata-kata dingin dan kemarahan tanpa alasan kembali mengunci napa







