Beranda / Fantasi / Sisa Takdir / BAB 4 BAYANGAN KEHILANGAN

Share

BAB 4 BAYANGAN KEHILANGAN

Penulis: Rayna Velyse
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-10 12:48:58

Elian terbangun dengan napas tersengal-sengal. Keringat dingin membasahi tubuhnya. Baju putih yang ia kenakan kini menyatu dengan tubuhnya yang kurus. Kepalanya sangat berat, mimpi buruk yang baru saja ia alami membuatnya terbangun dengan perasaan mual yang menyelubungi tubuhnya. Ia duduk terdiam beberapa saat untuk menenangkan dirinya, namun bayangan ingatan masa lalu yang seperti mimpi buruk itu terus mengganggunya.

Pintu kamarnya terbuka pelahan, Ethan masuk dengan membawa nampan berisi semangkuk bubur serta secangkir teh herbal di tangannya. Elian menatap sosok yang masuk melewati pintu, ekspresinya terkejut. Ethan menatap Elian, saat ini ia melihat Elian yang tengah gelisah, ekspresinya langsung berubah.

“Tuan muda, apa anda baik-baik saja?” Ethan bertanya dengan lembut, mengingatkan Elian pada sosok Ethan dimasa lalu. Dimana ia selalu setia disisi Elian, merawat Elian dengan sabar. Dalam sekejap, bayangan kehidupan lalu muncul kembali.

Kilas Balik.

Elian berdiri dengan tubuhnya yang bergetar di ruang keluarga, tangan dan pakaiannya basah berkeringat. Tubuh ayahnya, ibunya dan kakak-kakaknya tergeletak didepannya, kaku tak bernyawa. Racun yang ia gunakan berhasil merenggut nyawa mereka bersama dalam sekejap. Air mata mengaburkan pandangannya, tetapi tawa puas Azrael dibelakangnya menggema, meresap dalam setiap sudut ruangan.

“Kerja bagus Elian,” Kata Azrael dingin. “Kau sudah menyingkirkan semua yang membencimu, semua yang menghalangimu.”

Namun, sebelum Elian sempat menjawab, pintu besar ruangan itu terbuka lebar. Dua orang bawahan Azrael masuk menyeret tubuh seseorang yang tubuhnya sudah babak belur. Itu adalah Ethan.

“Tuan Muda!” seru Ethan, matanya kebingungan dan terkejut melihat pemandangan didepannya. “Apa yang terjadi? Apa yang sudah anda lakukan?”

Ethan terdiam, tidak bisa berkata apa-apa. Di balik keputusasaannya, Azrael mendekati Ethan mengangkat dagunya mengarahkannya kepada Elian, sambil memegang sebuah pisau kecil yang berkilau. “Lihatlah, Elian. Ini pelayanmu yang sangat setia. Kau pikir dia akan tetap berada di pihakmu setelah mengetahui perbuatanmu?”

Ethan menatap Elian dengan penuh kebingungan, “Tuan muda… Bukan anda yang melakukannya bukan?”

Namun, Azrael tidak memberi kesempatan bagi mereka untuk saling berbicara. Dengan gerakan cepatnya, ia menusukkan pisau itu tepat di jantung Ethan. Elian membelalakan matanya terkejut, seketika tersadar bahwa dia hanya di manfaatkan oleh Azrael, bahwa dia sudah mengambil keputusan yang salah.

Ethan terbatuk, mulutnya mengeluarkan darah. Matanya menatap sedih kearah Elian yang panik berusaha menjangkaunya. “Tuan… Muda…” tubuhnya tersungkur tepat didepan Elian, darah segar mengalir dengan deras, tubuhnya kaku tak bernyawa.

Kilas Balik Selesai.

Elian tersentak kembali ke kenyataan. Napasnya semakin berat, dan rasa mual semakin menguasai tubuhnya. Ia menutup mulutnya dengan tangan, berusaha menahan perutnya yang semakin bergejolak terasa sakit. Namun, tubuhnya tidak mampu lagi menahan rasa mualnya, bau amis darah dari masa lalu seakan masih menempel di hidungnya. Elian memiringkan tubuhnya ke tepi tempat tidur. Cairan asam keluar begitu saja, menyentuh lantai, tanpa sengaja ia juga memuntahi pakaiannya.

Meskipun ia berusaha keras untuk menahanya, ingatan masa lalunya mengalir dengan deras. Membuat tubuhnya tidak mampu menahannya, bagaimana ingatannya bertumpuk dengan ingatan masa kini. Bayangan terakhir tentang Ethan dan tawa Azrael membekas dalam jiwanya, membuatnya semakin mual.

Ethan terkejut, bergegas berlutut disamping Elian, menepuk punggungnya dengan lembut. “Tuan muda! Apa yang terjadi? Apa anda baik-baik saja?” suaranya lembut namun dipenuhi dengan kepanikan.

Elian menarik napas dalam berusaha menenangkan diri tubuhnya terasa sangat lemah, perutnya masih bergejolak. Ethan membantu Elian untuk duduk bersandar di ranjang kasurnya. “Maafkan aku…” katanya dengan suara lemah terbata-bata “Aku hanya… baru saja mengalami mimpi buruk.”

Ethan mengerutkan keningnya, namun tidak bertanya lebih lanjut. Dengan lembut membantu Elian membasuh keringat dingin yang menetes di dahinya. “Tidak apa-apa tuan muda… tolong izinkan saya untuk membantu anda.”

Setalah Ethan membantu Elian duduk, ia keluar ruangan untuk memanggil kakak-kakak Elian. Tak lama kemudian Ethan kembali bersama Ronan kakak pertama Elian dan Damien kakak kedua Elian, mereka mendekat dengan penuh kekhawatiran.

“Elian, apa yang terjadi?” tanya ronan dengan cepat, khawatir dengan kondisi Elian.

Elian tersenyum tipis dan menjawab. “Aku baik-baik sa-…” kalimatnya terputus ketika rasa mual yang semakin kuat membuatnya muntah kembali.

Ethan berlutut di samping Elian, menenangkan tubuhnya yang gemetar. “Tuan muda,.. anda harus tenang.” Katanya lembut.

Elian menggigit bibirnya, wajahnya tampak pucat, ia tidak dapat mengungkapkan perasaanya. Bagaimana dia harus mengeluh sedangkan sebelumnya dia bertekat untuk mengubah takdirnya. “Aku hanya perlu istirahat.” Katanya pelan, mencoba tersenyum meski itu sangatlah sulit.

Ronan segera mengambil kain basah dan mulai mengelap dahi Elian yang berkeringat. “Kita perlu mengganti pakainmu Elian. Pakaianmu kotor.” Ujarnya dengan suara tegas, mencoba membantu Elian untuk merasa nyaman.

Damien mengangguk setuju, “Jangan terlalu memaksakan dirimu Elian, jika kau butuh sesuatu kau bisa meminta tolong padaku atau kak Ronan, atau juga pada pelayan yang ada.”

Elian hanya mengangguk lemah. Ethan dengan cepat membantu Elian mengganti pakaiannya, sementara ronan menyangga tubuh Elian agar tetap terduduk, sesekali mengelap tubuhnya yang penuh keringat.

Beberapa saat kemudian, setelah Elian merasa sedikit nyaman dan tenang, Ethan kembali mendekat memberikan secangkit teh herbal. “Minumlah sedikit tuan muda, ini bisa membantu menenangkan perut anda.”

Elian menatap cangkir teh itu dengan ragu, namun akhirnya ia meminumnya sedikit, dibantu Damien yang memegangi cangkirnya, Elian menegak teh itu. Perasaan hangat mengalir dengan nyaman didalam tubuhnya. “Maaf… aku seharusnya lebih kuat…” katanya terbata-bata.

Damien menatap Elian lembut. “Jangan terlalu keras pada diri sendiri Elian,” kata Damien lembut. “Kau bisa menjadi kuat secara perlahan, untuk sekarang fokusnya pada kesembuhanmu. Kalau kau sembuh nanti kak Ronan akan mengabulkan permintaanmu.” Ujar Damien sambil melirik Ronan dengan senyum jahil.

Ronan melirik pada Damien, tersenyum percaya diri. “Baiklah, aku akan mengabulkan apapun keinginanmu nanti. Tapi kau harus sembuh terlebih dahulu.” Ujar Ronan seraya mengacak rambut hitam Elian yang berantakan.

Elian tersenyum mengangguk, usia Elian memang masih 18 tahun, tapi keluarganya masih melihatnya seperti anak kecil.

Dengan perlahan Elian merasakan tubuhnya semakin tenang. Dibantu dengan canda gurau kakak-kakaknya dia mampu menghabiskan semangkuk buburnya. Kini Elian berbaring ditemani kakak-kakaknya, tanpa sadar ia tertidur.

Ronan dan Damien keluar bertemu dengan Ethan di depan pintu dia akan masuk kedalam untuk membereskan kekacauan yang terjadi. “Berhati-hatilah agar tidak membangunkannya.” Ujar Ronan dengan nada tegas, sambil berlalu pergi.

“Baik Tuan muda.” Ucap Ethan seraya membungkukan badanya.

Ethan masuk perlahan hampir tak menimbulkan suara, membereskan kekacauan yang terjadi beberapa saat yang lalu. Ethan melirik Elian yang tengah tertidur dengan tenang. Raut wajahnya sudah berubah, napasnya tenang, membuat Ethan tersenyum lega.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Sisa Takdir   BAB 175

    “Elian.” Suara itu mengalun lembut, nyaris seperti nyanyian angin malam yang berbisik di antara dedaunan. Langit malam membentang pekat, dihiasi bintang-bintang redup yang bersembunyi di balik kabut tipis, seolah langit sendiri enggan mengganggu keheningan suci malam itu. Udara membawa aroma tanah basah dan bunga liar, seakan bumi pun menahan napas menanti sesuatu yang suci. Elian menoleh perlahan, dan jantungnya seakan berhenti berdetak saat matanya menangkap sosok itu. Itu wajah yang menghantuinya dalam doa dan mimpi. Sosok yang pernah menjulurkan tangan ketika ia terperosok paling dalam. Ia berdiri di bawah cahaya bulan, gaunnya putih berkilau, menyapu tanah seperti embun yang mengalir perlahan di rerumputan dini hari. Kabut tipis mengitari kakinya, membuatnya terlihat seolah tak menyentuh bumi. Cahaya bulan menari di sekitar tubuhnya, membentuk siluet samar seperti bayangan dewi dari legenda yang terlupakan. Setiap langkahnya tidak meninggalkan jeja

  • Sisa Takdir   BAB 174

    Malam telah larut. Jam berdetak pelan di dinding kamar, mengiringi suasana sunyi yang begitu pekat. Api di perapian tinggal bara merah yang sesekali berkeretak pelan. Cahaya remangnya menari lembut di dinding, menyatu dengan bayang-bayang tubuh yang tertidur lelah di sudut ruangan. Elian menggerang pelan. Matanya terbuka perlahan, beradaptasi dengan remang cahaya. Pandangannya sempat kabur, tapi nyeri yang tiba-tiba menghujam perutnya membuat kesadarannya sepenuhnya kembali. Bekas tusukan pedang Azrael masih meninggalkan jejak rasa perih yang dalam. Ia menahan napas, menggertakkan giginya perlahan, membiarkan rasa sakit itu lewat sebelum kembali bernapas lega. Ia menoleh ke kanan. Suara napas pelan menyambutnya. Ethan tertidur di kursi di samping ranjangnya, dengan tubuh sedikit membungkuk ke depan, tangan tergantung lemas di sisi kursi. Rambutnya berantakan, dan ada bekas kelelahan di wajahnya. Sementara itu, Caine ter

  • Sisa Takdir   BAB 173

    Langit masih menyimpan sisa mendung ketika rombongan pasukan kerajaan kembali pulang. Langkah kaki kuda terdengar teratur di sepanjang jalan berbatu, mengiringi tubuh-tubuh letih yang kembali dari medan pertempuran. Tidak ada sorak kemenangan, tidak pula suara gempita. Hanya senyap yang menyertai kepulangan mereka, diselimuti duka atas nyawa-nyawa yang tertinggal di tanah asing. Di antara barisan panjang itu, kereta khusus berlapis pelindung berjalan dengan pelan di tengah rombongan. Di dalamnya, tubuh Elian terbaring lemah, masih belum sadar. Kulitnya pucat, nafasnya teratur namun lirih, dan dahi dingin karena demam yang belum juga surut. Ethan duduk di dalam, tepat di sampingnya. Tangan Elian tak pernah lepas dari genggamannya, seolah jika ia mengendur sedikit, Elian akan menghilang dari dunia ini. Wajah Ethan tak menunjukkan ekspresi apa-apa, tapi matanya merah dan sembab. Ia belum tidur sejak pertempuran itu berakhir. Di depan kereta, Cain

  • Sisa Takdir   BAB 172

    Pagi datang lambat. Langit di luar tenda berubah dari hitam kelam menjadi abu-abu pucat, namun cahaya mentari belum cukup kuat menembus dinding kain. Angin sudah tidak melolong lagi, tapi udara tetap dingin, menusuk seperti belati halus. Embun mengembun di setiap sudut, membasahi tanah di bawah mereka. Ethan masih duduk dalam posisi yang sama. Ia belum tidur sedetik pun. Lengannya tetap memeluk Elian, menjaga suhu tubuh pemuda itu agar tidak terus merosot. Ia tahu tubuhnya sendiri mulai berteriak lelah, tapi dibanding rasa takut kehilangan Elian, nyeri itu tak berarti. Berkali-kali ia bertanya dalam diam, Apakah ia sudah cukup melindungi Elian? Atau hanya menjadi saksi bisu saat Elian kembali menderita? Ia bisa merasakan setiap detak lemah dari dada Elian, setiap hembusan napas yang nyaris menghilang, dan sesekali tubuh Elian menggigil meski sudah lebih tenang dibanding malam sebelumnya. Tubuh Ethan sendiri terasa kaku, punggungnya nyeri, namun ia tak b

  • Sisa Takdir   BAB 171

    Tenda itu sunyi. Hanya suara napas Elian yang berat dan terputus-putus memenuhi ruang kecil itu. Api lentera berkedip pelan, memantulkan cahaya kuning pucat pada kulitnya yang semakin memutih. Dinding tenda tipis bergetar oleh angin malam yang melolong lirih di luar, menambah dingin menusuk yang meresap dari tanah lembap. Udara di dalam seperti tertahan padat, dingin, dan menggantungkan aroma logam samar dari darah yang mengering. Selimut wol tipis membungkus tubuhnya, namun tetap tak mampu menahan dingin yang menjalari tulangnya. Ujung-ujung jarinya membiru. Setiap detik yang berlalu, menggigilnya makin kuat. Elian membuka mata perlahan mata merahnya tampak kusam, sayu, dan nyaris kehilangan fokus. Ethan duduk di sebelahnya, tubuhnya membungkuk, satu tangan memegang tangan Elian yang dingin bagai es, sementara tangan satunya sibuk menyiapkan ramuan hangat yang diberikan Caine sebelumnya. “Elian… dengar aku.” Suara Ethan lembut namun tertekan. “Kau haru

  • Sisa Takdir   BAB 170

    “...Elian?” Suara Ethan lirih namun penuh tekanan emosi terdengar di antara deras hujan yang perlahan mulai reda. Elian membuka mata perlahan, kelopak matanya terasa berat, dan tubuhnya dingin seperti es. “Aku... baik-baik saja,” gumam Elian pelan, meski darah masih merembes dari luka di sisi perutnya. “Tidak, kau tidak baik-baik saja!” seru Caine, nyaris mengguncang tubuh Elian. “Luka tusuk ini dalam... terlalu dalam, dan darahmu tidak berhenti mengalir!” Elian mencoba tersenyum, tapi itu hanya membuatnya meringis. “Kalau aku bisa bicara... artinya aku belum mati, bukan?” “Bodoh...” desis Ethan. Ia merobek bagian bawah jubahnya tanpa ragu, lalu dengan cepat menekannya ke luka Elian yang masih mengucur darah. Ia tidak peduli tangan dan lututnya sudah berlumur merah. “Kau tidak boleh kehilangan lebih banyak darah...” ucapnya, nyaris seperti doa. “Tolong... bertahanlah...” Caine bergerak cepat, mengeluarkan ramuan d

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status