Elian Silvercrest adalah seorang tuan muda dari keluarga bangsawan ternama yang terlahir dengan tubuh yang lemah. Meski berasal dari garis keturunan pelindung Kerajaan, ia tampak seperti seorang yang bahkan berdiri saja terkesan akan terjatuh. Mata merah yang tajam dan rambut hitamnya menciptakan kesan misterius, namun tubuh kurus dan sering sakit membatasi potensi yang dimilikinya. Meski tubuhnya rapuh, ia membawa ingatan dari kehidupan sebelumnya dan memiliki pengetahuan tentang masa depan yang akan datang. Terjebak di tubuh yang tidak mampu mengikuti keinginannya, Elian berusaha menggunakan kecerdasan dan pengetahuannya untuk merencanakan langkah-langkah yang dapat mencegah kehancuran yang akan datang. Namun, perjalanan Elian tidaklah mudah. Dunia sekitar penuh dengan intrik politik, konflik antar kerajaan, dan ancaman dari kekuatan yang tidak ia duga. Meskipun tubuhnya membatasi gerakannya, Elian bertekad untuk berjuang melawan takdir, menghadapi tantangan demi melindungi orang-orang yang ia cintai. Dalam perjuangannya, Elian harus memutuskan siapa yang bisa dipercaya, serta bagaimana ia dapat bertahan hidup di tengah dunia yang penuh bahaya dan ketidakpastian.
View MoreHujan deras mengguyur kota tua dengan derasnya. Jalan bebatuan basah memantulkan cahaya lentera yang tergantung disepanjang jalan. Udara malam terasa dingin, membawa aroma tanah basah dan kayu lapuk. Di tengah hiruk pikuk pasar malam yang hampir tutup, seorang pemuda berdiri dibawah naungan bayangannya, nyaris tak terlihat.
Dia adalah Elian, putra bungsu keluarga Silvercrest keluarga terhormat yang kini hanya menjadi dongeng di antara rakyat jelatah. Tubuhnya kurus, hampir terlihat rapuh, dengan wajah pucat yang kontras dengan gelapnya malam. Pakaiannya lusuh dan basah kuyup, menempel erat di tubuhnya yang tidak bertenaga. Namun, dibalik penampilannya yang lemah, ada tatapan tajam dari mata merahnya yang menyala, seperti api yang menolak untuk padam. Langkah-langkahnya pelan dan tidak stabil, ketika dia melewati pasar malam yang hampir sepi. Lentera-lentera yang tergantung bergoyang tertiup angin, memberikan gambaran sekilas bayangan kondisi tubuhnya yang jauh dari sempurna. “Kenapa kau masih disini, anak muda?” suara serak seorang pedagang tua terdengar dari salah satu gerobak kecil yang hampir kosong. Elian menoleh perlahan, matanya menangkap sosok pria berusia paruh baya di balik sebuah gerobak kecil yang hampir kosong. Wajah pria itu tampak letih, tetapi ada kehangatan samar dalam pandangannya. Elian tersenyum, tangannya yang bergetar merogoh sakunya , memperlihatkan koin perak yang memantulkan cahaya remang-remang. “Aku hanya butuh sesuatu untuk bertahan malam ini,” katanya pelan, hampir tidak terdengar di antara hujan yang berderai. Pedagan itu menatap tubuh kurus dan pucatnya, lalu menyerahkan sepotong roti keras. “Kau harus menjaga dirimu,” Gumannya. “Kau terlihat seperti angin saja bisa menjatuhkanmu kapanpun." Elian menerima roti itu dengan tangan yang gemetar dan tersenyum tipis "Terimakasih". Dengan roti ditangan, dia melangkah pergi meninggalkan pasar yang semakin sunyi. Setiap langkahnya sebuah perjuangan untuknya. Bayangan panjang mengikutinya seperti teman setia, meski terasa sepi dan dingin. Hujan terus mengguyur tubuhnya yang ringkih, membuat dinginya meresap hingga ke tulang. Di balik keremangan kota, ada sesuatu yang bergetar dihatinya, sebuah ingatan yang tak ingin dia hadapi. Wajah-wajah masa lalu muncul dibenaknya, bersama dengan bisikan yang terus menyiksa pikirannya. “Kau seharusnya mati Elian. Kau bahkan tak pantas hidup." Dia mengepalkan tangan, kuku-kukunya menancap dalam di kulit telapak tangannya sendiri. Tidak, dia tidak akan menyerah. Elian menolak untuk mempercayai kata-kata itu. Takdirnya belum selesai, tidak sampai dia membalas semua luka yang pernah ditorehkan. Tidak sampai dia menebus penyesalan yang menghantuinya setiap malam. Langkahnya membawa dia ke gang sempit ujung kota tempat yang gelap dan nyaris terlupakan, tempat segala yang hanya dikenal oleh mereka yang menyembunyikan dosa. Bau apak dan tanah basah menyambutnya. Di sana, dia diam di sebuah pintu tua berdiri, kayunya using dan tertutup rapat, dengan simbol yang familiar terukir di permukaannya. Elian berhenti sejenak, mengamati ukiran simbol itu dengan mata yang menyipit. Hujan mengalir deras diwajahnya, tapi simbol itu tetap jelas. Lingkaran kasar dengan garis bersilangan ditengah, tanda yang tampak bisa bagi kebanyakan orang. Tapi bagi Elian, itu adalah jejak penghianatan. Jantungnya berdegup keras. Tangannya terulur, menyentuh permukaan pintu kayu yang dingin dan basah. Sentuhannya membuat ingatan-ingatan lama muncul, seperti potongan-potongan gambar yang buram. Dia bisa melihat wajah-wajah itu lagi orang-orang yang dia pikir bisa dipercaya. Senyum mereka yang hangat, janji-janji yang mereka buat, dan pada akhirnya, penghianatan yang tak termaafkan. Di balik kayu basah ini, segalanya dimulai. Di tempat ini, dia kehilangan segalanya. Elian menutup matanya menarik napasnya dalam-dalam, mengumpulkan keberanian. Jantungnya berdegup kencang, “Ini hanya permulaan,” Gumannya. Suaranya hampir tenggelam oleh gemuruh hujan. Dengan dorongan kecil, pintu itu mulai terbuka, mengungkapkan kegelapan pekat yang menunggunya di dalam. Pintu itu bergeser perlahan, mengungkapkan kegelapan pekat yang menunggu didalam. Di balik pintu itu, udara terasa lebih dingin, seolah-olah malam itu sendiri menolak untuk menyentuh tempat ini. Namun, Elian tidak mundur. Dia melangkah masuk, membiarkan kegelapan menyelimuti dirinya sepenuhnya.Langkah-langkah di luar gua perlahan menjauh, menyisakan suara gemuruh hujan yang kembali mendominasi. Caine mematung dalam diam, jantungnya masih berdetak cepat, menggema di telinga seperti genderang perang. Ia menunggu. Lima detik. Sepuluh detik. Tiga puluh detik... Namun tak ada suara lagi. Tak ada cahaya lentera. Tak ada teriakan. Hanya suara air yang menetes dari dinding gua, dan desir angin dingin yang membawa aroma basah dan tanah. Beberapa saat kemudian, seekor rusa kecil berlari melintas di depan gua, cipratan air dari tapaknya menyebar liar di tanah berlumpur. Hanya rusa. Hanya hewan kecil yang tersesat. Caine menghela napas panjang, perlahan. Napas yang menahan segalanya: rasa waspada, rasa takut, dan sedikit harapan. Ia memejamkan mata sejenak, lalu menatap langit kelabu di mulut gua yang mulai semakin menghitam. Badai itu belum usai. Hujan deras terus mengguyur, menciptakan aliran kecil di lantai gua. Air mulai merembes
Hujan di luar menggila. Gemuruh air memukul tanah dengan keras, dan langit, yang sejak tadi mendung, kini sepenuhnya kelam. Malam datang lebih cepat daripada biasanya, seolah badai membawa kegelapan bersamanya. Di dalam gua kecil itu, Caine dan Elian hanya bisa mengandalkan kehangatan tubuh masing-masing untuk melawan dingin yang menembus sampai ke tulang. Elian sudah mulai tenang. Nafasnya pelan dan teratur, meskipun sesekali terdengar sedikit berat. Ia kembali tertidur, wajahnya lebih damai dibandingkan sebelumnya. Caine perlahan menyentuh dahi tuannya, telapak tangannya berhati-hati menilai suhu tubuh yang lemah itu. Hangat. Tapi tidak panas. Tidak ada demam. Caine menghela napas lega, merasakan beban berat sedikit berkurang dari dadanya. Dalam kondisi seperti ini, satu masalah kecil saja seperti demam bisa berakibat fatal. Namun kelegaannya tidak bertahan lama. Saat menurunkan tangannya, matanya menangkap warna merah yang samar di celana E
Hujan belum turun, tapi aroma tanah basah sudah memenuhi udara malam. Caine memandang tubuh Elian yang tergeletak di pelukannya terluka, lemah, sekarat. Setiap tarikan napas pemuda itu terdengar berat, seakan dunia terlalu kejam untuk membiarkannya bernapas lebih lama. Caine menahan napas saat merasakan betapa ringan tubuh Elian. ‘Bagaimana mungkin seseorang yang begitu kuat di dalam, terlihat begitu rapuh dari luar?’ Ada darah di mana-mana mengalir dari luka di pahanya, dari lebam di rusuknya, dari sayatan kecil yang berserakan di seluruh tubuhnya. Caine tahu dia tak bisa diam saja. Kalau dibiarkan, Elian akan mati malam ini. Dengan gerakan cekatan yang bersembunyi di balik tangan yang gemetar, Caine membaringkan Elian di atas tanah kering, dekat api kecil yang ia buat dari ranting basah. Ia mengeluarkan kantung air dan beberapa potong kain bersih seadanya. Jari-jarinya bergerak cepat, namun pikirannya berantakan. ‘Aku gagal...’ Rasa bersalah
Lorong batu itu seperti mulut naga gelap, sempit, dan seolah menghirup seluruh udara dari paru-paru Elian. Setiap langkahnya menggema pelan, seakan mengumumkan keberadaannya di tengah kekacauan yang baru saja meledak di belakang. Napasnya kasar, tubuhnya berguncang dengan setiap gerakan, tapi ia tidak berhenti. Tidak bisa. Cahaya api dari ruang tahanan masih menari di dinding-dinding lorong, menciptakan bayangan liar yang bergerak bersamaan dengan langkahnya. Elian menekan dirinya ke dinding saat mendengar teriakan beberapa penjaga berusaha mengendalikan api, yang lain mulai mencari dirinya. Dia harus lebih cepat. Tangan kirinya yang bebas menggenggam tongkat kayu yang tadi ia rebut, jemarinya yang berdarah nyaris kehilangan kekuatan untuk memegangnya dengan erat. Tapi Elian tahu, bahkan tongkat sederhana ini adalah perbedaan antara hidup dan mati. Lorong itu bercabang. Tanpa waktu untuk berpikir panjang, ia memilih jalur kiri lebih gelap, leb
Denyut pelan di pelipis Elian terasa seperti ketukan genderang perang yang hampir tak terdengar, tapi cukup untuk membangunkannya dari tepi kehancuran. Setiap tarikan napas terasa seperti menghirup pisau tumpul, menggores bagian dalam paru-parunya. Namun di balik rasa sakit itu, ada kesadaran yang perlahan-lahan mengeras kesadaran bahwa waktu sedang habis. Ia menahan napas, mengerahkan sisa tenaga untuk tidak bergerak sembarangan. Telinganya masih berdengung, tapi ia bisa menangkap suara langkah menjauh, percakapan yang semakin memudar ke ujung ruangan. Mungkin mereka mengira ia sudah terlalu lemah untuk mendengar. Mungkin itu kesalahan pertama mereka. Dalam kegelapan yang berdenyut itu, Elian memaksa dirinya berpikir. Batu sihir. Energi hidup. Penyiksaan perlahan. Mereka ingin memerasnya hingga kering, meninggalkannya sebagai cangkang kosong. Tapi tidak. Ia tidak akan menyerahkan dirinya begitu saja. Perlahan, Elian mengerakkan jari-jarinya.
Keheningan menyeruak di ruangan itu seperti kabut dingin yang tak diundang. Sunyi bukan lagi jeda; ia berubah menjadi makhluk hidup, mengendap-endap dengan napas dingin, seolah mengintai setiap detak jantung sebagai mangsa. Menyusup ke setiap celah dinding batu yang lembab, merayap perlahan melalui retakan-retakan tua yang tak pernah disentuh cahaya. Ruangan itu luas, tapi tertutup. Dinding-dindingnya kokoh dari batu hitam yang memantulkan dingin ke udara. Lentera kuno bergoyang pelan di dinding sebelah kanan, nyalanya redup dan bergetar, seolah ketakutan terhadap suasana yang menyelimuti sekitarnya. Asap tipis mengepul dari dasar lentera, mengaduk aroma logam, darah, dan kelembapan yang terlalu lama terperangkap. Di dekat sudut ruangan, tubuh Elian bersandar lemah pada dinding yang basah. Napasnya pendek-pendek, seperti sedang berusaha tetap hidup meski paru-parunya menolak. Kepalanya tertunduk, rambut hitam yang berantakan menutupi sebagian wajahnya. Darah meng
Leandor duduk di sudut ruangan, diam, tubuhnya condong sedikit ke depan, tangan terkepal di atas lutut. Cahaya temaram dari obor di dinding memantulkan bayangan wajahnya yang masih muda, tapi penuh tekanan. Napasnya berat. Matanya menatap lantai batu seperti hendak menembusnya. Ia masih mencoba mengontrol emosi meski jelas gagal. ‘Sungguh mudah,’ pikir Elian, untuk membuat Leandor kehilangan kendali. Meskipun ia telah memasuki usia dewasa, cara berpikirnya masih sangat kanak-kanak. Ia meledak karena kata-kata, bukan karena alasan. Sebenarnya bukan Elian yang membuatnya marah. Leandor hanya iri dengan semua pencapaian kakak dan adiknya. Ia hidup di antara bayang-bayang. Bayang-bayang Kaelian yang sempurna, bayang-bayang Caelium yang menawan. Dan mungkin, pikir Elian lagi, tawaran Azrael terlalu menggiurkan baginya. Kekuasaan, pengakuan, kesempatan untuk akhirnya menjadi ‘yang paling menonjol’ dalam hidupnya. Siapa yang bisa menolak? D
Kain hitam masih membalut mata Elian, menyekat pandangannya dari dunia luar. Tak ada cahaya, tak ada bentuk. Hanya suara langkah kaki, derit ranting yang patah, dan deru napas yang berat. Mereka telah berjalan entah berapa lama. Tubuh Elian lunglai, setiap langkah seperti menyeret tulangnya sendiri. Kaki-kakinya becek oleh lumpur, kadang tenggelam dalam genangan air dangkal yang terasa dingin menembus sepatu. Angin menyapu wajahnya sesekali, membawa aroma tanah basah dan dedaunan membusuk. Itu satu-satunya petunjuk yang bisa ia rasakan aroma dan tekstur dunia yang masih bisa disentuhnya, saat matanya tertutup rapat oleh kain kasar. Langkah-langkah itu berhenti. Sebuah tangan kasar menarik paksa lengannya, menyeret tubuhnya menuju suatu tempat. Tidak ada kata, hanya gemeretak sepatu dan suara percikan air dari bawah mereka. Semakin jauh mereka masuk, semakin pekat bau tanah lembab menusuk hidungnya. Bau logam tua juga mulai terasa sam
Angin malam membawa aroma tanah basah dan dedaunan lembap. Langit gelap tanpa bintang, seolah ikut menyembunyikan jejak mereka. Elian melangkah pelan di belakang Azrael, tubuhnya terbungkus jubah gelap yang terlalu besar. Setiap langkah membuat pahanya berdenyut, dan sesekali ia harus berhenti untuk mengatur napas yang semakin berat. Azrael menoleh sesekali, memastikan Elian masih mengikutinya. Tak satu kata pun keluar dari mulutnya. Hening. Sunyi. Hanya suara dedaunan yang terinjak dan napas tertahan Elian yang menjadi pengisi malam. Langkah Elian terhenti sejenak. Kepalanya sedikit pening, dan rasa panas menjalar dari dadanya hingga ke tengkuk. Racun itu mulai bergerak lebih cepat. Ia bisa merasakannya. “Kau melambat,” suara Azrael terdengar seperti teguran dingin. Elian mendongak, menatap pria itu dengan mata lelah. “Aku… hanya butuh waktu sedikit.” Azrael menatapnya sejenak. “Kau harus kuat, Elian. Kita masih jauh dari tempat tuj
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments