แชร์

BAB 3 KESEMPATAN KEDUA

ผู้เขียน: Rayna Velyse
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2024-12-09 22:27:16

Keheningan menyelimuti kegelapan yang tak berujung. Elian merasakah tubuhnya mengambang, sangat ringan. Tidak ada lagi rasa sakit, hanya kehampaan yang membungkusnya seperti kain beludru hitam.

“Ini belum selesai…”

Suara itu menggema dalam kehampaan. Kali ini lebih jelas, lebih dalam. Elian membuka matanya perlahan, namun yang dia lihat hanyalah kegelapan. “Ah benar aku sudah mati…” pikir Elian.

“Elian…” suara itu mengejutkannya kembali, dia menoleh mencari sumber suara itu namun tak juga menemukannya. “Kau memiliki pilihan”

Elian mencoba berbicara, namun tidak ada suara yang keluar. Suara itu muncul dalam pikirannya begitu saja “Apa kau ingin kembali?” lanjut suara itu. “Apa kau ingin memperbaiki kesalahanmu?”

Kenangan akan keluarganya menghantam Elian seperti badai. Wajah ayahnya yang tegas, senyum lembut ibunya, dan tawa kedua kakaknya. Semua itu kini hanya menjadi kenangan yang diciptakan oleh tangannya sendiri.

“Siapa kau?” pikir Elian, dan kini suara itu langsung menjawabnya “Aku adalah penjaga takdir yang hilang, dan kau Elian Silvercrest adalah bagian dari takdir yang belum selesai.”

Elian merasakan kemarahan, penyesalan dan kebencian bercampur manjadi satu di dalam dirinya. “Jika aku kembali… apa yang harus kulakukan? Mereka semua sudah mati, dan aku… aku hanya alat Azrael.”

“Jika kau kembali… “ suara itu menjawab “Kau akan memiliki kesempatan untuk memperbaiki apa yang telah kau hancurkan. Tapi, kau harus menerima harga yang pantas dari sebuah kebangkitan ini”

“Harga?” pikir Elian dengan penuh keraguan.

Sebuah cahaya besar menyelimuti Elian, seakan menghempaskan tubuh elian dengan keras. Tubuhnya terasa berat kembali, napasnya kembali terasa.

Elian terbangun dengan napas memburu, keringat dingin membasahi tubuhnya. Matanya melihat sekeliling, menatap langit-langit kamarnya yang familiar, dihiasi ukiran-ukiran khas keluarga Silvercrest. Dia terkesiap, tangannya meraba dadanya, mencari luka yang seharusnya ada. Tapi, tidak ada apa-apa. “Aku… Kembali?” tanyanya pelan, masih tidak percaya.

Tirai jendela berkibar perlahan ditiup angin pagi, membiarkan sinar matahari masuk dengan lembut. Namun sesuatu terasa berbeda. Tangannya berdenyut dengan rasa sakit yang tajam. Elian melirik ke bawah melihat punggung tangan kirinya, sebuah tanda berbentuk perisai retak terpahat seperti bekas luka bakar, bersinar samar dengan rona merah tua.

“Apa ini?” bisiknya dengan suara serak.

Namun, sebelum ia sempat memikirkan lebih jauh, gelombang mual mendadak menyerangnya. Perutnya melilit, dan tanpa peringatan, ia terbatuk keras sebelum akhirnya memuntahkan cairan berwarna kuning kehijauan dilantai samping tempat tidurnya. Tubuhnya bergetar hebat, keringat dingin membasahi dahinya.

Elian terhuyung, mencoba bangkit dari tempat tidur. Tetapi tubuhnya terlalu lemah, ia kehilangan keseimbangan dan jatuh dengan keras ke lantai.

“Ah…” Elian mengerang, perutnya kembali berkontraksi. Dia mencoba menarik napas dalam-dalam, tetapi rasa mual itu belum juga hilang. Tanda di tangannya bersinar, rasa sakitnya menyebar ke seluruh tubuhnya.

Tiba-tiba suara lembut namun berwibawa bergema dipikirannya, “Kau telah diberi kesempatan kedua, Elian, tetapi setiap keajaiban memiliki harga. Tanda itu adalah pengingat. Setiap kali kau melangkah melawan takdirmu, tubuhmu akan membayarnya, rasa sakit itu akan menjadi pengingatmu. Kau memang diberi kesempatan kedua, tapi hidup ini tidak lagi hanya milikmu. Pilihanmu akan menentukan segalanya.”

Kata-kata itu lenyap secepat munculnya, meninggalkan Elian dengan rasa dingin yang menjalar di punggungnya. Dia menggigit bibirnya, mencoba menahan rasa sakit dan kebingungan.

Pintu kamar terbuka dengan suara tergesa-gesa. Sosok ibunya masuk, membawa semangkuk air dan kain basah. Wajahnya penuh dengan kekhawatiran saat melihat Elian tergeletak dilantai.

“Elian! Apa yang kau lakukan? Kau seharusnya istirahat!” katanya sambil mendekati Elian, meletakkan mangkuk di meja kecil.

Elian menatap wajah yang begitu ia rindukan. Itu ibu, wanita lembut yang penuh kasih sayang. Sosok yang selama ini muncul sebagai bayangan samar dalam kenangan buruknya. Dadanya terasa sesak dan air matanya tiba-tiba mengalir dengan deras.

“Ibu…” bisiknya. Dengan sisa tenaganya, ia merangkak mendekat, lalu memeluk ibunya dengan erat sambil menangis dengan kencang. “Maafkan aku ibu… Maaf… aku tidak tahu apa yang aku lakukan.”

Ibunya terkejut, tapi dengan cepat berlutut dan meraih tubuh Elian, memeluknya erat. “Elian, apa yang kau bicarakan? Tidak ada yang perlu dimaafkan. Kau jatuh sakit, Nak. Kami semua sangat khawatir.” Suara ibunya lembut dan penuh kasih, menenangkan hati Elian.

Elian memeluknya lebih erat, seperti anak kecil yang mencari perlindungan “Aku tidak layak… aku tidak pantas mendapatkah kasih sayang ini.” Gumanya diantara isak tangis.

Wajah Elian kini memerah, tubuhnya terasa panas. Langkah-langkah cepat terdengar mendekat. Ayah Elian, bersama kakak pertama dan kakak keduanya muncul diambang pintu. Wajah mereka penuh dengan kekhawatiran. Ayahnya segera mendekati Elian, membungkuk untuk membantu anaknya duduk di tempat tidur.

“Elian, apa yang terjadi? Kau baik-baik saja?” tanyanya dengan nada khawatir. Napas Elian memburu, tubunya panas.

Kakak pertama Elian dengan wajah tegasnya melangkah kedepan “Kau seharusnya tidak memaksakan diri. Tubuhmu masih terlalu lemah. Kami semua khawatir.”

Sementara itu kakak kedua Elian, dia segera memeriksa kondisi Elian, memeriksa suhu tubuh Elian, dan memperhatikan wajah pucat adiknya yang memerah. “Demam tinggi…” katanya dengan raut wajah khawatir. “Kau harus banyak istirahat Elian.”

Tiba-tiba, Elian merasa perutnya kembali bergejolak. Tanpa peringatan, ia muntah lagi. Kali ini lebih banyak cairan yang keluar, membuat tubuhnya semakin lemah. Ibunya terkejut dan segera mengusap mulut Elian dengan kain basah.

“Aku… Maaf…” Elian terisak, mencoba berbicara meski mulutnya terasa asam. “Aku… akan memperbaiki semuanya.”

Ayahnya meskipun cemas, tetap berusaha tenang. Perlahan membantu Elian berbaring. “Apa yang kamu bicarakan? Elian, kita akan melalui ini bersama. Kau hanya perlu beristirahat.”

Ibunya perlahan menggenggam tangan Elian dengan lembut. “Kami semua ada disini sayang, jangan merasa sendirian.”

Elian perlahan menutup matanya, perlahan terlelap. Kehangatan sekitar sangat menenangkannya. Entah apa yang dulu merasukinya, hingga ia tak bisa melihat kasih sayang yang begitu besar ini.

Malam itu, setelah keluarganya meninggalkan kamar untuk membiarkannya beristirahat. Elian memandangi tanda di tangannya. Tanda perisai retak itu bersinar samar di kegelapan, mengingatkan bahwa hidupnya kini memiliki Batasan baru. “Bayaran untuk kesempatan ini…” pikirnya.

Dengan napas dalam, ia mengepalkan tangannya. “Aku tidak tahu siapa yang memberiku kesempatan ini, tetapi aku tidak akan meyia-nyiakannya. Aku akan melindungi keluarga ini, apapun harganya, aku tidak akan membiarkan takdir mengambil mereka dariku lagi.” Ucapnya dalam hati.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Sisa Takdir   BAB 175

    “Elian.” Suara itu mengalun lembut, nyaris seperti nyanyian angin malam yang berbisik di antara dedaunan. Langit malam membentang pekat, dihiasi bintang-bintang redup yang bersembunyi di balik kabut tipis, seolah langit sendiri enggan mengganggu keheningan suci malam itu. Udara membawa aroma tanah basah dan bunga liar, seakan bumi pun menahan napas menanti sesuatu yang suci. Elian menoleh perlahan, dan jantungnya seakan berhenti berdetak saat matanya menangkap sosok itu. Itu wajah yang menghantuinya dalam doa dan mimpi. Sosok yang pernah menjulurkan tangan ketika ia terperosok paling dalam. Ia berdiri di bawah cahaya bulan, gaunnya putih berkilau, menyapu tanah seperti embun yang mengalir perlahan di rerumputan dini hari. Kabut tipis mengitari kakinya, membuatnya terlihat seolah tak menyentuh bumi. Cahaya bulan menari di sekitar tubuhnya, membentuk siluet samar seperti bayangan dewi dari legenda yang terlupakan. Setiap langkahnya tidak meninggalkan jeja

  • Sisa Takdir   BAB 174

    Malam telah larut. Jam berdetak pelan di dinding kamar, mengiringi suasana sunyi yang begitu pekat. Api di perapian tinggal bara merah yang sesekali berkeretak pelan. Cahaya remangnya menari lembut di dinding, menyatu dengan bayang-bayang tubuh yang tertidur lelah di sudut ruangan. Elian menggerang pelan. Matanya terbuka perlahan, beradaptasi dengan remang cahaya. Pandangannya sempat kabur, tapi nyeri yang tiba-tiba menghujam perutnya membuat kesadarannya sepenuhnya kembali. Bekas tusukan pedang Azrael masih meninggalkan jejak rasa perih yang dalam. Ia menahan napas, menggertakkan giginya perlahan, membiarkan rasa sakit itu lewat sebelum kembali bernapas lega. Ia menoleh ke kanan. Suara napas pelan menyambutnya. Ethan tertidur di kursi di samping ranjangnya, dengan tubuh sedikit membungkuk ke depan, tangan tergantung lemas di sisi kursi. Rambutnya berantakan, dan ada bekas kelelahan di wajahnya. Sementara itu, Caine ter

  • Sisa Takdir   BAB 173

    Langit masih menyimpan sisa mendung ketika rombongan pasukan kerajaan kembali pulang. Langkah kaki kuda terdengar teratur di sepanjang jalan berbatu, mengiringi tubuh-tubuh letih yang kembali dari medan pertempuran. Tidak ada sorak kemenangan, tidak pula suara gempita. Hanya senyap yang menyertai kepulangan mereka, diselimuti duka atas nyawa-nyawa yang tertinggal di tanah asing. Di antara barisan panjang itu, kereta khusus berlapis pelindung berjalan dengan pelan di tengah rombongan. Di dalamnya, tubuh Elian terbaring lemah, masih belum sadar. Kulitnya pucat, nafasnya teratur namun lirih, dan dahi dingin karena demam yang belum juga surut. Ethan duduk di dalam, tepat di sampingnya. Tangan Elian tak pernah lepas dari genggamannya, seolah jika ia mengendur sedikit, Elian akan menghilang dari dunia ini. Wajah Ethan tak menunjukkan ekspresi apa-apa, tapi matanya merah dan sembab. Ia belum tidur sejak pertempuran itu berakhir. Di depan kereta, Cain

  • Sisa Takdir   BAB 172

    Pagi datang lambat. Langit di luar tenda berubah dari hitam kelam menjadi abu-abu pucat, namun cahaya mentari belum cukup kuat menembus dinding kain. Angin sudah tidak melolong lagi, tapi udara tetap dingin, menusuk seperti belati halus. Embun mengembun di setiap sudut, membasahi tanah di bawah mereka. Ethan masih duduk dalam posisi yang sama. Ia belum tidur sedetik pun. Lengannya tetap memeluk Elian, menjaga suhu tubuh pemuda itu agar tidak terus merosot. Ia tahu tubuhnya sendiri mulai berteriak lelah, tapi dibanding rasa takut kehilangan Elian, nyeri itu tak berarti. Berkali-kali ia bertanya dalam diam, Apakah ia sudah cukup melindungi Elian? Atau hanya menjadi saksi bisu saat Elian kembali menderita? Ia bisa merasakan setiap detak lemah dari dada Elian, setiap hembusan napas yang nyaris menghilang, dan sesekali tubuh Elian menggigil meski sudah lebih tenang dibanding malam sebelumnya. Tubuh Ethan sendiri terasa kaku, punggungnya nyeri, namun ia tak b

  • Sisa Takdir   BAB 171

    Tenda itu sunyi. Hanya suara napas Elian yang berat dan terputus-putus memenuhi ruang kecil itu. Api lentera berkedip pelan, memantulkan cahaya kuning pucat pada kulitnya yang semakin memutih. Dinding tenda tipis bergetar oleh angin malam yang melolong lirih di luar, menambah dingin menusuk yang meresap dari tanah lembap. Udara di dalam seperti tertahan padat, dingin, dan menggantungkan aroma logam samar dari darah yang mengering. Selimut wol tipis membungkus tubuhnya, namun tetap tak mampu menahan dingin yang menjalari tulangnya. Ujung-ujung jarinya membiru. Setiap detik yang berlalu, menggigilnya makin kuat. Elian membuka mata perlahan mata merahnya tampak kusam, sayu, dan nyaris kehilangan fokus. Ethan duduk di sebelahnya, tubuhnya membungkuk, satu tangan memegang tangan Elian yang dingin bagai es, sementara tangan satunya sibuk menyiapkan ramuan hangat yang diberikan Caine sebelumnya. “Elian… dengar aku.” Suara Ethan lembut namun tertekan. “Kau haru

  • Sisa Takdir   BAB 170

    “...Elian?” Suara Ethan lirih namun penuh tekanan emosi terdengar di antara deras hujan yang perlahan mulai reda. Elian membuka mata perlahan, kelopak matanya terasa berat, dan tubuhnya dingin seperti es. “Aku... baik-baik saja,” gumam Elian pelan, meski darah masih merembes dari luka di sisi perutnya. “Tidak, kau tidak baik-baik saja!” seru Caine, nyaris mengguncang tubuh Elian. “Luka tusuk ini dalam... terlalu dalam, dan darahmu tidak berhenti mengalir!” Elian mencoba tersenyum, tapi itu hanya membuatnya meringis. “Kalau aku bisa bicara... artinya aku belum mati, bukan?” “Bodoh...” desis Ethan. Ia merobek bagian bawah jubahnya tanpa ragu, lalu dengan cepat menekannya ke luka Elian yang masih mengucur darah. Ia tidak peduli tangan dan lututnya sudah berlumur merah. “Kau tidak boleh kehilangan lebih banyak darah...” ucapnya, nyaris seperti doa. “Tolong... bertahanlah...” Caine bergerak cepat, mengeluarkan ramuan d

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status