Home / Fantasi / Sisa Takdir / BAB 5 KEHENINGAN YANG MENGUATKAN

Share

BAB 5 KEHENINGAN YANG MENGUATKAN

Author: Rayna Velyse
last update Huling Na-update: 2024-12-10 21:55:07

Malam telah larut ketika Elian membuka matanya. Kegelapan menyelimuti ruangan, diterangi oleh cahaya redup lilin yang diletakkan diatas meja kecil disudut kamarnya. Tubuhnya terasa sedikit lebih baik, meski perutnya masih terasa mual, dan kepalanya terasa berat. Ia mengedarkan pandangannya, matanya segera menangkap sosok Ethan yang duduk di kursi di dekat ranjangnya.

Ethan tertidur dengan posisi setengah membungkuk, kepalanya tertopang di kedua lengannya yang diletakkan di tepi ranjang. Wajahnya terlihat letih, tetapi tetap damai, seolah tidak ingin meninggalkan sisi Elian sedetikpun.

Dengan hati-hati, Elian mencoba mendorong tubuhnya ke posisi duduk. Namun, gerakannya yang pelan ternyata cukup untuk membangunkan Ethan.

Ethan tersentak bangun, matanya segera mencari Elian. “Tuan muda! Anda sudah bangun?” suaranya terdengan lembut, namun khawatir.

Elian berhenti sejenak, merasa bersalah telah membangunkan pelayannya, “Maaf…. Aku tidak bermaksud membangunkanmu.” Katanya dengan suara lemah.

Ethan segera bangkit dari kursinya, mendekat ke sisi ranjang, “Jangan khawatirkan saya, Tuan muda. Apakah anda merasa lebih baik sekarang?”

Elian mengangguk kecil, “Aku merasa lebih baik.”

Ethan merasa lega mendengarnya. Ia segera marapikan bantal dibelakang Elian, membantu tuannya duduk lebih nyaman. “Syukurlah. Saya akan mengambilkan air untuk anda.” Ethan akan beranjak pergi dari sisi ranjang Elian, tetapi tangan Elian menghentikannya.

“Tidak perlu, tetaplah disini Ethan,” pinta Elian, memikirkan akan ditinggal sendirian diruang gelap ini membuatnya teringat ruangan gelap tempat Dimana Azrael membunuhnya.

Ethan menatap Elian, melihat tangannya bergetar berusaha menahannya untuk tidak pergi. “Ada yang ingin anda bicarakan, Tuan muda?” tanyanya seraya duduk kembali di kursinya.

Elian menghelan napas lega, dia diam seribu bahasa tidak tau harus berbicara apa. Elian diam memperhatian Ethan yang setia menunggunya berbicara. Dalam benaknya terlintas rasa syukur bercampur dengan kebingungan. Mengapa Ethan begitu baik padanya? Apa yang telah ia lakukan hingga pantas mendapatkan perhatian seperti ini.

Setelah beberapa saat keheningan mendampingi mereka, Elian memberanikan diri membuka mulutnya. “Ethan…” panggilnya lembut membuat Ethan menoleh kearahnya, “Kenapa kau begitu baik padaku? Bukankah sangat merepotkan mempunyai tuan yang sakit-sakitan sepertiku?”

Pertanyaan itu membuat Ethan terdiam sejenak. Ia menatap Elian lembut, “Karena anda adalah orang yang sangat berharga tuan. Kesetiaan saya adalah cara saya untuk menunjukkan rasa terimakasih atas apa yang telah anda lakukan.”

Elian mengerutkan kening, nampak bingung. “Apa maksudmu?”

Ethan menunduk, mengingat masa lalu. “Anda mungkin tidak ingat Tuan muda, tapi anda menyelamatkan hidup saya dan keluarga saya. Saya tidak akan pernah melupakan kebaikan itu.”

Elian memiringkan kepalanya, berusaha untuk mengingat, “Aku…. Tidak mengingatnya” entah karena tertumpuk ingatan kehidupannya yang lalu, kenangan itu seakan lenyap dari ingatan Elian.

Ethan tersenyum tipis, “Itu terjadi bertahun-tahun yang lalu, saat saya dan keluarga saya hampir kehilangan segalanya. Anda, Tuan muda memberikan bantuan tanpa pamrih kepada kami. Anda tidak memandang rendah saya meskipun saya hanyalah anak dari keluarga yang tidak memiliki apa-apa. Saya tidak tahu apa yang anda pikirkan saat itu, tetapi bagi saya anda adalah penyelamat.”Elian menunduk, merasa bersalah tidak dapat mengingat kejadian itu.

Keheningan kembali mendatangi mereka. “Ethan…?” suaranya pelan, “Boleh kah aku bertanya?”

“Ya, Tuan muda, silahkan” Ethan menoleh dengan penuh perhatian.

“Jika…” Elian berhenti sejenak, menelan rasa gugupnya. “Jika suatu saat aku melakukan sesuatu… sesuatu yang mungkin tampak salah dimata orang lain, apakah kau masih akan mempecayaiku?”

Pertanyaan itu membuat Ethan terdiam. Wajahnya tidak menunjukkan keterkejutan, hanya ekspresi tenang yang ia gambarkan. “Tuan muda…” Ethan akhirnya berbicara, suaranya lembut namun tegas. “Saya tidak melayani anda karena tugas, tetapi karena keyakinan saya pada hati anda. Saya tahu anda seseorang yang selalu memiliki alasan untuk setiap tindakan anda, bahkan jika itu tidak mudah dipahami oleh orang lain.”

Elian mengerutkan keningnya, merasakan beban yang berat di dadanya. “Lalu, jika aku memintamu untuk melakukan sesuatu yang mungkin sulit, atau bahkan tidak masuk akal, apakah kau akan melakukannya?”

Pertanyaan itu membuat Ethan terdiam kembali, “Tuan muda, hidup saya telah menjadi milik anda sejak lama. Jika anda meminta saya melakukan sesuatu, apapun itu, saya akan melakukannya tanpa ragu.”

Elian merasa dadanya mengencang mendengar jawaban itu, “Tapi bagaimana jika permintaanku berbahaya untukmu? Atau bahkan untuk orang lain?”

Ethan menjawab tanpa ragu, “ Saya tidak akan mengikuti anda karena itu benar atau salah di mata dunia. Saya mengikuti anda karena saya percaya pada hati anda, Tuan muda. Jika suatu hari anda merasa bahwa apa yang anda minta adalah salah, maka saya aka nada di samping anda, untuk membantu anda memperbaikinya.”

Mata Elian melembut, hatinya terhimpit oleh emosi yang sulit dijelaskan. Ia tahu bahwa Ethan berbicara dari lubuk hatinya, tanpa sedikitpun keraguan. Namun, kata-kata itu juga menimbulkan rasa takut dalam dirinya, takut mengecewakan orang-orang yang telah begitu mempercayainya.

“Ethan…” katanya akhirnya, dengan suara hampir berbisik. “Aku tidak tahu, apa yang menungguku di masa depan. Tapi, jika aku membuatmu menyesal karena mengikuti permintaanku, aku ingin kau tahu bahwa aku tidak pernah bermaksud menyakitimu.”

Ethan tersenyum hangat menyentuh punggung tangan Elian yang putih dan kurus, menatapnya dengan penuh rasa syukur, “Anda tidak akan pernah membuat saya menyesal, Tuan muda.”

Elian menggeleng pelan, berusaha menyembunyikan perasaan yang berkecambuk dalam dirinya. “Aku… merasa beruntung memiliki seseorang seperti kau disisku.”

Ethan tersenyum lembut, “Dan saya merasa terhormat bisa berada di sisi anda, Tuan muda. Tolong jangan ragu untuk mengandalkan saya.”

Malam itu, dalam keheningan kamar yang hanya diterangi cahaya lilin, Elian merasakan sesuatu yang langka, ketenangan. Meski beban masa lalu dan ketakutan akan masa depan masih ada, kehadiran Ethan menjadi pengingat bahwa ia tidak berjalan sendiri.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Sisa Takdir   BAB 175

    “Elian.” Suara itu mengalun lembut, nyaris seperti nyanyian angin malam yang berbisik di antara dedaunan. Langit malam membentang pekat, dihiasi bintang-bintang redup yang bersembunyi di balik kabut tipis, seolah langit sendiri enggan mengganggu keheningan suci malam itu. Udara membawa aroma tanah basah dan bunga liar, seakan bumi pun menahan napas menanti sesuatu yang suci. Elian menoleh perlahan, dan jantungnya seakan berhenti berdetak saat matanya menangkap sosok itu. Itu wajah yang menghantuinya dalam doa dan mimpi. Sosok yang pernah menjulurkan tangan ketika ia terperosok paling dalam. Ia berdiri di bawah cahaya bulan, gaunnya putih berkilau, menyapu tanah seperti embun yang mengalir perlahan di rerumputan dini hari. Kabut tipis mengitari kakinya, membuatnya terlihat seolah tak menyentuh bumi. Cahaya bulan menari di sekitar tubuhnya, membentuk siluet samar seperti bayangan dewi dari legenda yang terlupakan. Setiap langkahnya tidak meninggalkan jeja

  • Sisa Takdir   BAB 174

    Malam telah larut. Jam berdetak pelan di dinding kamar, mengiringi suasana sunyi yang begitu pekat. Api di perapian tinggal bara merah yang sesekali berkeretak pelan. Cahaya remangnya menari lembut di dinding, menyatu dengan bayang-bayang tubuh yang tertidur lelah di sudut ruangan. Elian menggerang pelan. Matanya terbuka perlahan, beradaptasi dengan remang cahaya. Pandangannya sempat kabur, tapi nyeri yang tiba-tiba menghujam perutnya membuat kesadarannya sepenuhnya kembali. Bekas tusukan pedang Azrael masih meninggalkan jejak rasa perih yang dalam. Ia menahan napas, menggertakkan giginya perlahan, membiarkan rasa sakit itu lewat sebelum kembali bernapas lega. Ia menoleh ke kanan. Suara napas pelan menyambutnya. Ethan tertidur di kursi di samping ranjangnya, dengan tubuh sedikit membungkuk ke depan, tangan tergantung lemas di sisi kursi. Rambutnya berantakan, dan ada bekas kelelahan di wajahnya. Sementara itu, Caine ter

  • Sisa Takdir   BAB 173

    Langit masih menyimpan sisa mendung ketika rombongan pasukan kerajaan kembali pulang. Langkah kaki kuda terdengar teratur di sepanjang jalan berbatu, mengiringi tubuh-tubuh letih yang kembali dari medan pertempuran. Tidak ada sorak kemenangan, tidak pula suara gempita. Hanya senyap yang menyertai kepulangan mereka, diselimuti duka atas nyawa-nyawa yang tertinggal di tanah asing. Di antara barisan panjang itu, kereta khusus berlapis pelindung berjalan dengan pelan di tengah rombongan. Di dalamnya, tubuh Elian terbaring lemah, masih belum sadar. Kulitnya pucat, nafasnya teratur namun lirih, dan dahi dingin karena demam yang belum juga surut. Ethan duduk di dalam, tepat di sampingnya. Tangan Elian tak pernah lepas dari genggamannya, seolah jika ia mengendur sedikit, Elian akan menghilang dari dunia ini. Wajah Ethan tak menunjukkan ekspresi apa-apa, tapi matanya merah dan sembab. Ia belum tidur sejak pertempuran itu berakhir. Di depan kereta, Cain

  • Sisa Takdir   BAB 172

    Pagi datang lambat. Langit di luar tenda berubah dari hitam kelam menjadi abu-abu pucat, namun cahaya mentari belum cukup kuat menembus dinding kain. Angin sudah tidak melolong lagi, tapi udara tetap dingin, menusuk seperti belati halus. Embun mengembun di setiap sudut, membasahi tanah di bawah mereka. Ethan masih duduk dalam posisi yang sama. Ia belum tidur sedetik pun. Lengannya tetap memeluk Elian, menjaga suhu tubuh pemuda itu agar tidak terus merosot. Ia tahu tubuhnya sendiri mulai berteriak lelah, tapi dibanding rasa takut kehilangan Elian, nyeri itu tak berarti. Berkali-kali ia bertanya dalam diam, Apakah ia sudah cukup melindungi Elian? Atau hanya menjadi saksi bisu saat Elian kembali menderita? Ia bisa merasakan setiap detak lemah dari dada Elian, setiap hembusan napas yang nyaris menghilang, dan sesekali tubuh Elian menggigil meski sudah lebih tenang dibanding malam sebelumnya. Tubuh Ethan sendiri terasa kaku, punggungnya nyeri, namun ia tak b

  • Sisa Takdir   BAB 171

    Tenda itu sunyi. Hanya suara napas Elian yang berat dan terputus-putus memenuhi ruang kecil itu. Api lentera berkedip pelan, memantulkan cahaya kuning pucat pada kulitnya yang semakin memutih. Dinding tenda tipis bergetar oleh angin malam yang melolong lirih di luar, menambah dingin menusuk yang meresap dari tanah lembap. Udara di dalam seperti tertahan padat, dingin, dan menggantungkan aroma logam samar dari darah yang mengering. Selimut wol tipis membungkus tubuhnya, namun tetap tak mampu menahan dingin yang menjalari tulangnya. Ujung-ujung jarinya membiru. Setiap detik yang berlalu, menggigilnya makin kuat. Elian membuka mata perlahan mata merahnya tampak kusam, sayu, dan nyaris kehilangan fokus. Ethan duduk di sebelahnya, tubuhnya membungkuk, satu tangan memegang tangan Elian yang dingin bagai es, sementara tangan satunya sibuk menyiapkan ramuan hangat yang diberikan Caine sebelumnya. “Elian… dengar aku.” Suara Ethan lembut namun tertekan. “Kau haru

  • Sisa Takdir   BAB 170

    “...Elian?” Suara Ethan lirih namun penuh tekanan emosi terdengar di antara deras hujan yang perlahan mulai reda. Elian membuka mata perlahan, kelopak matanya terasa berat, dan tubuhnya dingin seperti es. “Aku... baik-baik saja,” gumam Elian pelan, meski darah masih merembes dari luka di sisi perutnya. “Tidak, kau tidak baik-baik saja!” seru Caine, nyaris mengguncang tubuh Elian. “Luka tusuk ini dalam... terlalu dalam, dan darahmu tidak berhenti mengalir!” Elian mencoba tersenyum, tapi itu hanya membuatnya meringis. “Kalau aku bisa bicara... artinya aku belum mati, bukan?” “Bodoh...” desis Ethan. Ia merobek bagian bawah jubahnya tanpa ragu, lalu dengan cepat menekannya ke luka Elian yang masih mengucur darah. Ia tidak peduli tangan dan lututnya sudah berlumur merah. “Kau tidak boleh kehilangan lebih banyak darah...” ucapnya, nyaris seperti doa. “Tolong... bertahanlah...” Caine bergerak cepat, mengeluarkan ramuan d

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status