共有

BAB 171

作者: Rayna Velyse
last update 最終更新日: 2025-05-31 20:51:56

Tenda itu sunyi. Hanya suara napas Elian yang berat dan terputus-putus memenuhi ruang kecil itu. Api lentera berkedip pelan, memantulkan cahaya kuning pucat pada kulitnya yang semakin memutih. Dinding tenda tipis bergetar oleh angin malam yang melolong lirih di luar, menambah dingin menusuk yang meresap dari tanah lembap. Udara di dalam seperti tertahan padat, dingin, dan menggantungkan aroma logam samar dari darah yang mengering.

Selimut wol tipis membungkus tubuhnya, namun tetap tak mampu menahan dingin yang menjalari tulangnya. Ujung-ujung jarinya membiru. Setiap detik yang berlalu, menggigilnya makin kuat. Elian membuka mata perlahan mata merahnya tampak kusam, sayu, dan nyaris kehilangan fokus.

Ethan duduk di sebelahnya, tubuhnya membungkuk, satu tangan memegang tangan Elian yang dingin bagai es, sementara tangan satunya sibuk menyiapkan ramuan hangat yang diberikan Caine sebelumnya.

“Elian… dengar aku.” Suara Ethan lembut namun tertekan. “Kau haru
この本を無料で読み続ける
コードをスキャンしてアプリをダウンロード
ロックされたチャプター

最新チャプター

  • Sisa Takdir   BAB 172

    Pagi datang lambat. Langit di luar tenda berubah dari hitam kelam menjadi abu-abu pucat, namun cahaya mentari belum cukup kuat menembus dinding kain. Angin sudah tidak melolong lagi, tapi udara tetap dingin, menusuk seperti belati halus. Embun mengembun di setiap sudut, membasahi tanah di bawah mereka. Ethan masih duduk dalam posisi yang sama. Ia belum tidur sedetik pun. Lengannya tetap memeluk Elian, menjaga suhu tubuh pemuda itu agar tidak terus merosot. Ia tahu tubuhnya sendiri mulai berteriak lelah, tapi dibanding rasa takut kehilangan Elian, nyeri itu tak berarti. Berkali-kali ia bertanya dalam diam, Apakah ia sudah cukup melindungi Elian? Atau hanya menjadi saksi bisu saat Elian kembali menderita? Ia bisa merasakan setiap detak lemah dari dada Elian, setiap hembusan napas yang nyaris menghilang, dan sesekali tubuh Elian menggigil meski sudah lebih tenang dibanding malam sebelumnya. Tubuh Ethan sendiri terasa kaku, punggungnya nyeri, namun ia tak b

  • Sisa Takdir   BAB 171

    Tenda itu sunyi. Hanya suara napas Elian yang berat dan terputus-putus memenuhi ruang kecil itu. Api lentera berkedip pelan, memantulkan cahaya kuning pucat pada kulitnya yang semakin memutih. Dinding tenda tipis bergetar oleh angin malam yang melolong lirih di luar, menambah dingin menusuk yang meresap dari tanah lembap. Udara di dalam seperti tertahan padat, dingin, dan menggantungkan aroma logam samar dari darah yang mengering. Selimut wol tipis membungkus tubuhnya, namun tetap tak mampu menahan dingin yang menjalari tulangnya. Ujung-ujung jarinya membiru. Setiap detik yang berlalu, menggigilnya makin kuat. Elian membuka mata perlahan mata merahnya tampak kusam, sayu, dan nyaris kehilangan fokus. Ethan duduk di sebelahnya, tubuhnya membungkuk, satu tangan memegang tangan Elian yang dingin bagai es, sementara tangan satunya sibuk menyiapkan ramuan hangat yang diberikan Caine sebelumnya. “Elian… dengar aku.” Suara Ethan lembut namun tertekan. “Kau haru

  • Sisa Takdir   BAB 170

    “...Elian?” Suara Ethan lirih namun penuh tekanan emosi terdengar di antara deras hujan yang perlahan mulai reda. Elian membuka mata perlahan, kelopak matanya terasa berat, dan tubuhnya dingin seperti es. “Aku... baik-baik saja,” gumam Elian pelan, meski darah masih merembes dari luka di sisi perutnya. “Tidak, kau tidak baik-baik saja!” seru Caine, nyaris mengguncang tubuh Elian. “Luka tusuk ini dalam... terlalu dalam, dan darahmu tidak berhenti mengalir!” Elian mencoba tersenyum, tapi itu hanya membuatnya meringis. “Kalau aku bisa bicara... artinya aku belum mati, bukan?” “Bodoh...” desis Ethan. Ia merobek bagian bawah jubahnya tanpa ragu, lalu dengan cepat menekannya ke luka Elian yang masih mengucur darah. Ia tidak peduli tangan dan lututnya sudah berlumur merah. “Kau tidak boleh kehilangan lebih banyak darah...” ucapnya, nyaris seperti doa. “Tolong... bertahanlah...” Caine bergerak cepat, mengeluarkan ramuan d

  • Sisa Takdir   BAB 169

    Hujan turun pelan-pelan dari langit yang semula kelabu, kini berubah menjadi abu-abu pucat yang menenangkan. Aroma tanah basah bercampur dengan debu dan darah. Titik-titik hujan jatuh ke wajah-wajah lelah yang terangkat ke langit sebagai tanda bahwa semuanya… telah usai. Pasukan Azrael tersisa hanya sedikit, dan yang ada kini mulai tumbang satu demi satu. Beberapa melarikan diri, namun tertelan kabut aether yang masih tersisa. Yang tersisa dari barisan pengkhianat, hanya ketakutan dan penyesalan. Di sisi utara, di bawah bendera yang hampir sobek, beberapa bangsawan yang sempat berdiri di pihak Azrael kini berlutut dengan wajah tertunduk. Tanpa senjata, tanpa sihir. Di hadapan Caelum sang pangeran ketiga yang kini berdiri tegak walau tubuhnya dipenuhi luka dan darah kering. "Pengkhianatan kalian akan diadili," ucap Caelum dengan suara parau. Hujan membasahi rambut peraknya yang menempel di wajah. Meski tulang rusuknya terasa seperti retak parah, ia tetap

  • Sisa Takdir   BAB 168

    Angin mati, udara terasa beku seolah waktu sendiri menolak bergerak. Langit kelabu membentang, berat dan penuh luka, seakan menahan tangisan. Tanah retak membentang di bawah kaki, retakan panjang yang menjerit dalam diam. Asap putih keperakan menggantung berat di udara, mengendap seperti tirai usang yang tak kunjung terbuka. Aroma tajam ozon bercampur bau darah membakar hidung, menusuk paru-paru hingga dada sesak. Debu sihir beterbangan perlahan, melayang seperti kepingan salju kotor yang tak mau hilang. Elian terhuyung lalu jatuh berlutut, lututnya menghantam tanah hangus yang retak dan berselimut abu. Debu tipis terangkat perlahan, menari-nari di udara pekat. Tangannya yang gemetar mencengkeram gagang Luceor, pedang suci yang kini nyaris padam, hanya menyisakan kilau biru yang redup, bagaikan bara kecil yang tersisa di ujung malam yang panjang dan dingin. Detak jantungnya masih berdentam keras di telinga, menenggelamkan dunia. Di hadapannya, tubuh Azr

  • Sisa Takdir   BAB 167

    Asap sihir masih mengepul di antara mereka, menggulung perlahan seperti ular perak yang enggan menghilang. Bau logam dan tanah terbakar memenuhi udara, menyusup ke paru-paru. Di antara kepulan itu, Luceor menyala pelan, denyutnya mengikuti irama napas Elian yang mulai berat, seolah pedang itu turut merasakan beban yang ia pikul. Azrael masih berdiri, walau sebagian jubahnya hangus dan darah hitam menetes dari bibirnya. Namun, bukan luka fisik yang membuat Elian waspada. Itu adalah tatapan mata pamannya mata yang tidak gentar, tidak gentar sedikit pun bahkan setelah dihantam sihir murni. "Bagus," Azrael melangkah pelan ke depan. Kabut mengikuti langkahnya seperti jubah hidup. "Akhirnya, aku bisa melihat kekuatan aslimu." "Dan aku melihat wajah iblis yang bersembunyi di balik nama keluarga kami," balas Elian. Suaranya tetap tenang meskipun jantungnya berdentam. Ethan bergerak mendekat, posisinya melindungi sisi kanan Elian. Caelum dan Caine menj

続きを読む
無料で面白い小説を探して読んでみましょう
GoodNovel アプリで人気小説に無料で!お好きな本をダウンロードして、いつでもどこでも読みましょう!
アプリで無料で本を読む
コードをスキャンしてアプリで読む
DMCA.com Protection Status