Se connecterEric dengan tanpa ragu menundukkan badannya di hadapan sang adik. Eric lantas menempelkan keningnya ke lantai, dengan pundak yang sedikit bergetar Eric bergumam kepada sang adik.
“Kumohon jangan lakukan ini, aku tak akan bisa memaafkan diriku sendiri jika membiarkan masa depanmu hancur.”
Elise terisak, ia membungkuk dan merangkul tubuh kakaknya. Tangisannya pecah saat ia mencoba untuk membalas kalimat Eric.
“Impianku di dunia ini sangatlah sederhana, aku ingin kakakku hidup sehat dan bahagia. Tolong bantu aku mewujudkannya…”
Sialnya bagi orang miskin, mereka tak memiliki kemampuan untuk memilih keputusan yang menyenangkan. Eric dan Elise lantas saling diam meratapi ketidakberdayaan mereka di atas takdir hidup yang tak pernah bersahabat dengan orang miskin.
Baik Eric maupun Elise belum sepenuhnya menguasai kondisi emosional mereka saat terdengar suara pintu ruang tamu dipukul-pukul.
“Hei, wanita jalang! Waktumu sudah habis, tinggalkan kakak pecundangmu sekarang dan cepat masuk ke mobil!” bentak seorang pria botak berperut buncit yang saat itu sedang berdiri diapit dua bodyguard, dialah Jim.
Elise tergeragap kaget atas kedatangan Jim, namun demikian ia menganggukkan kepala. Sementara itu, menyadari kedatangan Jim, Eric menoleh ke arah pria tambun itu lalu memberinya tatapan tajam yang mengintimidasi.
“Pergi kau dari ini! Elise tak kuizinkan ikut bersamamu!” Eric bangkit berdiri dan menuding Jim untuk pergi.
“Siapa pula yang butuh izinmu, pecundang?”
Mata Eric memerah marah saat melihat Jim sama sekali tak terusik dengan kemarahannya. “Aku tak akan segan-segan melaporkanmu ke polisi jika kau tak segera pergi, bedebah! Cepat pergi dari sini dan jangan pernah berpikir untuk kembali lagi!” teriak Eric seraya mengeluarkan ponselnya dari saku, sepertinya ia akan menghubungi polisi.
Jim tertawa lebar.
“Pria payah sepertimu ingin mengancamku? Ha ha, jangan bermimpi! Sekarang, buka matamu lebar-lebar agar kau semakin sadar betapa lemahnya dirimu di hadapanku!”
Jim lantas memerintahkan dua bodyguardnya untuk memberi pelajaran kepada Eric. Tak tanggung-tanggung, kedua bodyguard Jim nyatanya telah membawa pemukul baseball, menandakan jika Jim memang telah berencana menghajar Eric.
“Paman Jim! Jangan lakukan itu, kau berjanji untuk tak menyakiti kakakku!” Elise menjerit lalu berdiri di depan Eric untuk membuat dirinya menjadi tameng bagi sang kakak yang memang sedang sakit.
Jim terkekeh lalu meludah. “Oh, aku lupa memberitahumu, Elise. Aku memang sering lupa dengan janjiku sendiri ha ha ha!”
“Jangan sentuh kakakku!” teriak Elise saat dua bodyguard Jim berjalan kian mendekat.
Saat itu juga, salah satu bodyguard Jim menyeret tubuh Elise dan membuat gadis itu terbanting ke tanah.
“Elise!” Eric berteriak dan hendak menolong adiknya namun dua bodyguard Jim segera menarik tubuhnya ke belakang.
“Urusanmu bersama kami, Bung!” ucap salah seorang bodyguard lalu menghantamkan pemukul baseball tepat ke tempurung kepala Eric, membuat Eric merasakan sengatan nyeri yang luar biasa hebat.
Darah segar mengucur deras dari kepala Eric yang terluka. Ia tak sempat membalas sebab ia telah dihajar bertubi-tubi oleh dua pria kekar itu menggunakan pemukul baseball. Saat Eric telah benar-benar terkulai tak bergerak, salah seorang bodyguard Jim menyeret Elise untuk memasuki mobil Jim yang terparkir di pekarangan.
Sementara itu, Jim menghampiri Eric yang tergeletak berlumuran darah. Jim tersenyum jahat saat berbisik di telinga Eric.
“Pemuda tak berguna, jujur saja, sudah lama sekali aku menantikan masa-masa ini. Ha ha, kupastikan nanti malam aku adalah orang pertama yang akan merampas keperawanan adikmu. Jika kau mau, aku akan merekam moment indah itu dan mengirim videonya padamu!”
Dalam keadaan setengah kehilangan kesadaran, Eric merasakan darahnya mendidih. Menggunakan sisa tenaga yang dimilikinya, Eric menyemburkan ludah bercampur darah tepat ke mulut Jim.
“Cuh! Bajingan tengkik!” teriak Jim dengan ledakan amarah yang besar. Ia lantas menghantamkan pukulan keras ke pelipis Eric berkali-kali, seolah tak mau berhenti.
“Bocah sialan! Lihat, aku bisa meludahimu lebih dari yang kau lakukan padaku!” bentak Jim lagi sembari meludah, kini kemarahannya berganti menjadi kepuasan setelah melihat Eric benar-benar tak berdaya dan menyedihkan.
“Keponakan sialan, jangan mati dulu karena kau harus melihat bagaimana aku bersenang-senang dengan adikmu nanti malam, ha ha!” ucap Jim seraya bangkit berdiri lalu pergi meninggalkan Eric yang nyaris tak sadarkan diri.
“Cuh!” Eric meludah menggunakan sisa-sisa tenanganya. “Aku akan merebut Elise kembali sebelum kau berhasil menyentuhnya!” teriak Eric, terdengar samar-samar meski ia melakukannya dengan sekuat tenaga.
“Dasar menyedihkan!” hina Jim seraya berjalan pergi.
Di saat yang sama, Eric mendengar ada suara-suara lain yang mendengung di kepalanya. Eric memukul-mukul kepalanya dengan lemah, mengira ia mengalami gegar otak atau sejenisnya.
“Suara apa itu?” gumam Eric kebingungan. “Apakah ini tandanya aku akan segera mati?”
Violet menggigit bibirnya, jelas masih bimbang, apakah mesti menemani Eric atau melanjutkan latihannya. Apa ia perlu menyarankan Eric untuk berhenti dan tidak memaksakan diri, atau malah mendukungnya hingga selesai. Tapi Grace menepuk pundaknya pelan, menyadarkannya kembali. “Jangan khawatir. Tuan Eric terlihat kuat, ia tahu batasnya. Dan lagi, waktu kita juga terbatas, Nona. Jika nanti Tuan Eric selesai, dan tahu bahwa anda sudah bisa bermain golf dengan baik, tentu itu akan menjadi kabar baik untuknya."Violet mengangguk, "Kamu benar. Aku harus lebih fokus juga pada latihan golf ini."Violet melanjutkan latihannya bersama Grace. Ia berusaha lebih sungguh-sungguh agar tidak mengecewakan Eric yang telah mengusahakan dirinya agar bisa bermain golf.Ketika Violet mengayunkan stik golfnya lagi, kali ini ia hampir membuat bolanya masuk ke lubang tujuan. Dengan gemas ia bergumam, "Ah, sedikit lagi!" "Tidak apa-apa, Nona. Itu sangat bagus. Saya yakin, jika anda terus mencoba dan lebih fok
Eric menunjukkan barisan giginya. Ia juga tertawa kecil untuk menghilangkan kegugupannya sendiri. "Itu benar. Tapi, um, sebenarnya aku terbiasa membuat target pribadi. Ya, supaya aku tetap terpacu untuk melakukan lebih. Begitulah..." Eric kembali menutup jawabannya dengan senyum meringis, berharap Violet cukup puas dan tidak memberikan pertanyaan lainnya.Dan sesuai harapan, Violet menyunggingkan senyum, tanpa mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain, tetapi malah memberikan pujian. "Bagus sekali! Aku harus melakukanya juga untuk memacu diri sendiri. Kamu keren, Eric." Eric mengusap lehernya, dengan hati senang ia membalas, "Um, bukan apa-apa." Dan dalam batin ia menambahkan bahwa ia terpaksa 'menyiksa' diri sendiri karena itu adalah misi dengan risiko kegagalan yang super menakutkan.Lantas, agar Violet mendapat kesan baik, dan tidak merasa jenuh dengan kencan pertama mereka, sebuah ide cemerlang muncul di kepala Eric."Violet, apa kamu suka bermain golf?" "Golf?" Violet membuat Eric
Setibanya di kamar Eric, Violet terkesima oleh interiornya yang menawan. Ia tidak bisa menyembunyikan kekagumannya. Kamar itu sangat luas dan nyaman.“Um, Violet, mungkin aku akan menghitung sendiri saja.”Violet yang duduk di sofa segera bertanya, “Kenapa?”“Sebenarnya, aku sudah melakukan latihan fisik ini kemarin. Jadi, tidak masalah jika mesti menghitungnya sendiri.” Ia tidak ingin merepotkan kekasihnya.“Lalu, apa yang harus aku lakukan saat kamu pull up?”Eric duduk di samping Violet. “Kamu bisa bersantai, membaca novel atau buku lainnya di sudut baca itu, atau mungkin mau menonton film, memutar musik. Atau, kalau kamu lelah, jangan sungkan untuk berbaring di ranjang. Anggap saja itu sebagai ranjangmu sendiri.”Pipi Violet seketika memerah. Pasalnya ucapan Eric itu multitafsir.“Ah, maksudku, ka-kamu tidur saja jika ingin. Jangan sungkan. Mau membaca sambil berbaring di sana juga tidak apa-apa. Sungguh, aku… tidak memiliki maksud lain.” Eric meringis lagi setelah menjelaskan.Er
Eric mengangguk-angguk pelan sambil mengupas sebuah jeruk. “Oh, soal itu,” ucapnya dengan suara pelan, tanpa ada perubahan ekspresi di wajahnya.Violet mengerutkan kening melihat Eric yang tampak santai. Ia lalu bertanya, “Kamu tidak kaget?”Eric mengulurkan jeruk yang telah terpisah dari kulitnya kepada Violet yang segera menerimanya. “Tidak, sejak awal mereka memang pantas dipenjara.”Mata Violet terbuka lebar. Ia menelan ludah saat menyadari sesuatu. “Jangan-jangan, kamu yang membuat mereka dipenjara?”Eric tersenyum, tanpa menjawab atau sekadar mengangguk. Akan tetapi, reaksinya itu justru membuat Violet semakin terbelalak karena mengartikannya sebagai suatu pembenaran. Sungguh, Violet tidak menyangka jika Eric akan bertindak demikian serius.“I-itu jelas bukan hal yang mudah. M-mereka bukan orang sembarangan. Tapi kamu…” Violet menyunggingkan senyum haru. Ia yakin Eric melakukannya demi melindunginya. “Katakan, bagaimana kamu melakukannya?”Eric meneguk air putih yang segar. “Seb
Suasana mendadak hening. Violet menunduk cepat, seakan berusaha menyembunyikan ekspresinya, sementara Eric sibuk mengeringkan tubuhnya dengan wajah canggung.Udara di sekitar terasa kaku. Violet mengangkat wajahnya, menatapnya cepat lalu menoleh lagi ke arah lain. Ada senyum tipis yang berusaha ia sembunyikan. “Maaf sudah membuatmu kaget.""Tidak, tidak. Itu bagus. Maksudku, aku senang kamu sudah di sini. Tapi keadaanku sedikit memalukan.""Sama sekali tidak. Kamu hanya terlihat berbeda. Maksudku, sehat, kuat. Ya, begitu..." Violet tersenyum kikuk.Suasana canggung itu terjeda ketika sebuah panggilan membuat ponsel Eric berdering. Rupanya itu dari Chelsea, salah satu anak buahnya yang bertugas menyiapkan hidangan. Chelsea memberitahu bahwa apa yang diminta oleh sang tuan telah siap. Ia juga mengatakan bahwa untuk makan malam nanti, seorang chef profesional yang berpengalaman bekerja di restoran bintang lima akan menjadi juru masaknya.Tentu saja laporan itu membuat hati Eric bungah.
Jantung Eric berdetak begitu cepat hingga seolah hendak melompat keluar dari dadanya. Keringat dingin merembes di pelipis, mengalir turun tanpa henti. Begitu mendengar hukuman mematikan yang bisa menimpanya, pikirannya langsung kosong. Eric bahkan tidak bisa benar-benar membayangkan bagaimana rasanya jika otaknya dihancurkan.Bibir Eric gemetar ketika akhirnya ia memastikan, “Maksudmu, jika aku gagal, kamu akan membuatku terlindas truk? Atau kendaraan berat lainnya? Atau mungkin sebongkah batu besar akan menimpaku? Atau batu meteor akan jatuh mengenai kepalaku?” Ia mengatakan dengan detail segala kemungkinan yang muncul di kepalanya, yang bisa menyebabkan isi kepalanya hancur lebur.[Tidak diperlukan cara sesusah itu untuk menghancurkan otak Host.][System hanya perlu mengalirkan data miliaran bit per detik ke otak Tuan, sampai syaraf Anda terbakar.]System mengatakannya dengan begitu mudah, tanpa beban, tapi Eric yang mendengarnya sampai menelan ludah dengan susah payah. Suara “klik







