Hannah keluar dari mobil dan langsung terkesiap saat melihat keindahan yang menyambutnya. Mulutnya menganga lebar hingga ia takut akan robek. Bagaimana mungkin ada tempat seindah ini?
Hannah dengan takjub menatap villa mewah Sebastian. Undakan kerikil kecil menjadi jalan yang harus mereka lewati agar bisa memasuki villa itu. Pohon-pohon rindang, bunga daffodil bahkan pansy terlihat mekar dan menghiasi bagian depan villa.Indah.Kata itu bahkan terlalu remeh untuk mendefinisikan tempat ini.“Ayo.”Hannah mengangguk, tidak sanggup berkata-kata. Ia melepas kaca mata anti suryanya. Sisilia selalu menjadi tempat yang indah tapi inilah pertama kalinya ia menginjakkan kaki di sini. Di sebuah villa mewah dengan kolam renang dan juga pantai pribadi.Sapuan angin lembut menyapu kulitnya yang terbuka. Hannah tersenyum lebar. Terlepas dari keengganannya untuk berbulan madu tempat ini terlalu indah untuk diabaikan.Sebastian menggeser pintu kaca yang membawa mereka memasuki villa. Tempat ini terawat dan juga tua, batin Hannah. Ada perapian tradisional dan kursi kayu di ruang tamu.“Villa ini memiliki beberapa kamar. Pilih yang membuatmu merasa nyaman.”Hannah mengangguk.“Apa tidak ada orang di tempat ini?” tanyanya penasaran.Sebastian melepas kaca matanya. Pria itu tampil lebih santai dengan jeans dan kemeja yang dibalut sweater rajut. Jelas Sebastian tahu bagaimana caranya berpakaian dengan gaya.“Tidak.”“Kenapa?”“Aku membutuhkan privasi.”Mulut Hannah membentuk huruf O besar.“Kau tahu memasak?”Pertanyaan remeh dan terkesan merendahkan. Hannah mengangkat dagunya tinggi-tinggi. “Tentu saja aku bisa,” balasnya angkuh.“Bagus, karena tidak ada tukang masak selama seminggu di sini.”“Tidak masalah selama kau mau mencuci piring.”Ucapannya membuat Sebastian berhenti. Pria itu menatapnya seakan ia berbicara dalam bahasa yang sulit dipahami.“Ouh baiklah, aku akan memasak dan mencuci piring,” tukas Hannah jengkel, sadar kalau Sebastian pasti tidak pernah menyentuh peralatan dapur.“Bagus.”Hannah menatap punggung Sebastian yang mengecil saat pria itu berjalan menaiki tangga kayu menuju lantai dua. Hannah mengedarkan pandangan. Senyumnya merekah. Ia bergegas menyusuri lorong dan menjelajah lantai satu. Begitu melihat kolam renang keperakan dan berkilauan Hannah sudah tidak bisa menghentikan pekikannya. Ia tertawa cekikikan seperti gadis remaja.Hannah menggeser pintu kaca dan bergegas meletakkan tas selempangnya di atas gazebo. Ia sudah tidak sabar menikmati air kolam yang rasanya begitu mengundang.Hannah melipat lututnya dan mengulurkan tangan untuk menyentuh air yang sekarang benar-benar terlihat menakjubkan dengan warna biru keperakannya.“Apa yang kau lakukan?”Hannah berjengit, menatap Sebastian yang berdiri di ujung pintu menatapnya penasaran.“Airnya cantik.”“Lalu?”“Aku ingin menikmatinya,” balasnya gugup.Sebastian sudah melepas sweaternya, menunjukkan kemeja ketat yang membungkus ototnya yang sempurna. Pemandangan yang berhasil membuat wajahnya memanas. Kenapa oh kenapa Sebastian bisa setenang dan sesantai itu sementara ia sendiri di sini kepanasan dan gugup? Efek seorang Sebastian ternyata sebesar itu, pikir Hannah muram.“Kita baru saja sampai. Tubuhmu butuh istirahat dan aku lapar.”Hannah mencibir. Ia kembali menatap kolam renang dengan tatapan mendamba. Baiklah sepertinya acara berenang hari ini terpaksa ditunda.Hannah berjalan dan memasuki villa. Sebastian duduk di pantry yang ada di dapur dan sedang menikmati minumannya.Hannah berusaha mengabaikannya. Ia memeriksa kulkas dan membeku. Isinya penuh. Waw.“Apa seseorang selalu datang ke villa ini secara berkala?”Sebastian sedang menyesap minumannya. “Ya.”“Itu menjelaskan kenapa tempat ini terlihat terawat dan lemari es penuh.”Sebastian menatap Hannah saat wanita itu tidak menyadarinya. Rambut panjang cokelat gelap itu digerai sehingga memberi kesan berantakan pada Hannah dengan cara yang baik. Mata cokelat madu itulah yang paling menarik dari Hannah, batin Sebastian. Mata cokelat dengan iris biru yang gelap membuatnya terlihat memukau. Seperti permata yang memancarkan daya pikatnya.“Kau mau memasak apa?” tanyanya saat melihat Hannah mengeluarkan isi kulkas.“Risotto,” ujar Hannah saat tangannya cekatan mengeluarkan keju dan daging segar.“Butuh bantuan?”“Kau pernah memasak?”“Rrrr … tidak.”Hannah menahan senyumnya. “Biar aku yang mengurusnya.”Sebastian mengedikkan bahu. Ia kembali sibuk dengan minumannya. Keheningan diantara mereka terpecah saat ponsel Sebastian berdering. Lengkungan alisnya meninggi saat melihat nama yang tertera di layar. Tanpa kata ia berjalan dan menjauhi Hannah.“Ada apa Kit?” tanyanya langsung begitu berada dalam jarak jauh dari Hannah.“Dia menjualnya, Sir.”Butuh beberapa detik untuk mencernanya. “Maksudmu, Tara?”“Ya, Sir. Miss Tara menjual semua perhiasan yang Anda berikan berikut perhiasan yang ada di apartemennya.”Brengsek! Jadi wanita itu hanya mengincar hartanya?“Kalian berhasil menemukannya?” tanyanya tajam.“Tidak, Sir. Dia menggunakan pihak ketiga untuk menjualnya. Dan …”Apalagi yang lebih buruk sekarang?“Ada apa Kit?” tanyanya tidak sabar.“Cincin yang Anda berikan sudah dijual dan—“Sial!Sebastian memejamkan matanya. Wanita itu menipunya habis-habisan. Satu tangannya yang bebas terkepal erat sampai menyakiti buku-buku tangannya. Kemarahannya sendiri sepertinya siap membakar habis dirinya.“Aku tidak mau tahu! Cari cincin itu, Kit. Itu prioritas utama. Tawar berapapun harganya. Biarkan saja wanita itu membusuk aku membutuhkan cincin itu. Cari sampai ketemu dan aku menunggu kabar baik secepatnya!” bentaknya kasar dan segera memutuskan sambungan.Ini buruk. Amat sangat buruk. Setelah semua pengalaman yang ia alami bagaimana bisa ia ditipu seperti orang bodoh? Sebastian memijit pelipisnya. Cincin itu …“Sebastian kau mau—“Sebastian menoleh sengit sampai membuat Hannah terlonjak. Kemarahannya pasti menguar dan terlihat jelas. Hannah menatapnya dengan ekspresi ketakutan.“Ma-maaf, aku ti-tidak bermaksud. Mungkin …”“Keluar!”Hannah langsung berbalik saat itu juga, meninggalkan Sebastian dengan kemarahannya sendiri. Kesal pada dirinya dan juga marah dengan apa yang terjadi padanya membuat emosi membuncah memenuhi dadanya. Tangannya yang terkepal erat meninju jendela kaca yang ada di sampingnya sampai pecah. Bunyi kaca berserakan seketika memenuhi lantai.“Ya, Tuhan!”Pekikan terkejut itu sama sekali tidak mampu mengurangi kemarahan Sebastian.“Kau baik-baik saja? Tanganmu berdarah!”Sebastian menatap tangannya yang terluka. Luka ini sama sekali tidak mengusiknya. Rasa sakit dalam dadanyalah yang membuatnya nyaris kehilangan akal sehat. Apa memang pengaruh harta selalu seperti itu?Wanita itu pergi setelah mendapatkan apa yang dia inginkan, menipunya habis-habisan dan membuatnya terlihat seperti orang bodoh. Sebastian menatap Hannah. Bukankah wanita ini juga menyetujui pernikahan mereka karena kekayaan yang ia janjikan? Pada akhirnya itulah yang terpenting bukan? Orang-orang akan melakukan apa pun demi uang. Tidak peduli akibat apa yang timbul dari kecurangan menjijikkan itu.Dan kali ini Sebastian akan memastikan kejadian mengerikan ini tidak akan terjadi padanya lagi.“Aku akan mengobati lukamu.”Sebastian menepis tangan Hannah yang ingin menyentuhnya.“Pergi.”“Sebastian kau terluka. Aku …,”“Brengsek!” umpatnya kasar dan segera menjauh sebelum ia melakukan sesuatu yang akan membuat mereka berdua menyesal.“Apa ini tentang Tara?”Hannah menatap kupu-kupu yang beterbangan dari satu bunga ke bunga yang lainnya yang ada di taman. Beberapa kumbang tertarik mengikuti jejak si kupu-kupu. Seulas senyum membayang di wajahnya, senang menikmati pemandangan dari tempatnya berbaring.Angin berembus, menerbangkan rambutnya ke segala arah, tapi Hannah sama sekali tidak keberatan dengannya. Ia sedang diliputi kebahagiaan. Siapa menyangka, impian yang dulu hanya bisa ia tanam dalam benaknya tanpa berani ia ucapkan kini terwujud nyata dalam hidupnya.Mereka tinggal di sebuah rumah yang dikelilingi pepohonan, memisahkan mereka dari dunia luar, tapi Hannah menyukainya. Tempat ini, rumah ini, padang rumput dan juga pepohonan yang mengelilingi rumah besar mereka cukup menjadi gelembung kebahagiaan yang membuatnya merasa menjadi orang paling beruntung di dunia.“Mammah! Phoebe baru saja mendorongku dan membuatku terjatuh.”Hannah berbalik, tersenyum melihat anak kecil berusia 4 tahun berlari menghampirinya. Wajahnya cemberut dan pa
Dia menunggu momen seperti ini seumur hidup atau seperti itulah yang ia rasa. Hari-hari yang ia lewati hanya memupuk kerinduannya terhadap wanita ini. Wanita yang kehadirannya membuatnya merasa utuh.“Kau cantik.”Cantik terlalu sederhana tapi ia terlalu gugup dan bersemangat hingga tidak menemukan kata yang tepat untuk menunjukkan kekagumannya. Sesaat ia pikir ini pasti mimpi. Bagaimana mungkin wanita cantik dan mengagumkan ini datang padanya?Hannah terlihat memukau dan meluluhkan. Dan ia merasa lututnya lemas.Kekagumannya pada wanita ini hanya semakin meningkat setiap harinya. Dan sekarang ia sungguh berharap bisa menghentikan waktu hanya agar bisa menikmati momen berharga ini seumur hidupnya.Matanya berkaca-kaca dan ia bisa melihat hal yang sama di mata Hannah.“Sebastian.”Detik namanya disebut perasaan hangat membanjiri tubuhnya. Rasanya seolah kembang api meledak dalam dadanya. Tidak ada yang membuka suara. Anehnya momen hening ini terasa begitu mendamaikan hingga segala sesu
Hannah memandang langit biru dari balkon apartemennya. Seulas senyum membayang diwajah berbentuk hatinya saat sinar matahari menerpa wajahnya. Ia memejamkan mata, menikmati suasana hangat yang membalut kulitnya, merasa damai. Syal yang membalut lehernya membantu mengurangi rasa dingin yang menusuk-nusuk kulitnya. Meski matahari menunjukkan digdayanya, cuaca musim dingin nyatanya membuat udara terasa sejuk. Hannah sedang menyeruput tehnya saat mendengar ponselnya berbunyi.“Ada apa, Tina?” tanyanya langsung. Ia berdiri, meraih tasnya dengan telepon menempel diantara telinga dan bahunya.“Ya, aku akan ke sana sekitar …” Hannah menatap rolex yang melekat indah dipergelangan tangannya. “Tiga puluh menit. Beri aku waktu tiga puluh menit. Baik, siapkan saja semuanya, aku akan melakukannya. Sampai jumpa Tina.”Angin kencang menyambutnya begitu ia menapakkan kaki di luar apartemen dengan tumitnya yang tinggi. Hannah berjalan kaki menuju stasiun bawah tanah seperti yang selama ini ia lakukan s
Persetan!Sebastian melempar ponselnya dan setengah berlari menuruni tangga. Tanpa repot mengetuk ia membuka pintu dan membantingnya. Sebastian mengedarkan pandangan. Hannah tidak ada di kamar mereka. Kecemasan menyusup membuat jantungnya berhenti berdetak.Ia melangkah menuju kamar mandi dan mendapati Hannah tengah berendam di dalam jacuzzi tanpa melepaskan pakaiannya. Pandangan wanita itu kosong.“Hannah!” teriaknya ketakutan.Hannah tidak meresponnya.Kalut membuat Sebastian ingin segera menelepon dokter tapi ketika melihat air mata Hannah semua ide untuk membawa Hannah seketika menguap.“Ayo, kita keluar dari sini,” ujarnya serak, membawa Hannah dengan kedua lengannya.Sebastian mendudukkan Hannah di sofa, bergegas membuka wardrobe dan memilih pakaian ganti untuk Hannah.“Ayo, Sayang, kita harus melepaskan pakaian ini. Kau kedinginan.”Hannah sama sekali tidak bereaksi.Sebastian membuka satu persatu kancing kemeja Hannah, melepas semua pakaian yang melekat di tubuh wanita itu yan
“Kau menjadi sangat pendiam sekarang.”Hannah menyeret kepalanya yang sedang memandang jalanan dari mobil yang membawa mereka pulang sehingga bisa melihat Sebastian.“Tidak banyak yang bisa dikatakan,” sahutnya pelan, kembali memalingkan pandangan.“Kau baik-baik saja?”Sebastian menarik tangan Hannah, mencium satu persatu jari-jari tangannya.“Aku baik,” balasnya singkat.Baik? Setidaknya ia masih bisa bernapas itu artinya baik bukan? Meski sekarang ada lubang dalam dadanya. Hannah menggeleng samar, tidak ingin pikirannya menyeretnya pada kenangan yang hanya akan membuatnya merasa kesulitan bernapas.“Bagaimana kalau kita jalan-jalan? Hanya kita berdua. Ada tempat tertentu yang ingin kau kunjungi, Sayang?”Hannah menggeleng. “Aku ingin istirahat.”Sebastian menatap Hannah lamat, tapi akhirnya menyerah. Tidak mengatakan apa pun setelahnya. Keheningan menenangkan di dalam mobil kembali menyeret Hannah ke dalam kenangan pahit yang baru saja ia alami.“Kumohon, jangan menangis, Sayang. K
Sebastian sudah berdiri beberapa lamanya di depan ruangan Hannah. Namun, ia ragu untuk membukanya. Sebastian mendaratkan keningnya di daun pintu dengan mata setengah terpejam. Mereka berdua terluka tapi seperti yang dikatakan Grace, ia harus kuat. Demi Hannah.Sebastian membuka pintu dan mendapati Hannah memandang langit-langit ruangan nyaris tanpa berkedip. Pemandangan yang ia lihat begitu menyesakkan sampai setengah dari keberaniannya menghilang tanpa jejak.Hannah tidak menyadari kedatangannya bahkan jika iya, ia ragu Hannah mau memandangnya.“Hannah …” ujarnya lembut, setengah berbisik.Tidak ada sahutan.“Hei,” gumamnya kembali saat berdiri di sisi Hannah. Pandangan wanita itu sama sekali tidak berpindah ke arahnya.Sebastian menarik kursi dan mendaratkan tubuhnya di sana. Tidak mengatakan apa pun. Hanya terus memandang wajah pucat Hannah. Keheningan menjadi nyanyian pilu yang menemani diam mereka. Sebastian masih terus menatap Hannah meski wanita itu tidak membalas tatapannya.“