“Besok persiapan untuk wawancara, Mama udah persiapkan untuk bajunya. Sudah Mama setrika juga.”
Anjani mencoba untuk bersikap tenang, pasalnya besok akan diwawancara di salah satu perusahaan yang cukup besar. Yang selalu mengingatkannya siapa lagi kalau bukan ibu tirinya yang sudah mengasuhnya sedari ia masih kecil.
Sementara ibunya Anjani telah tiada ketika dirinya berusia beberapa bulan. Anjani yang sedang makan kemudian mengiyakan. “Thanks, Ma.”
“Papa kamu pulang lusa katanya. Maaf nggak bisa antarin kamu wawancara. Besok Mama yang nyetir. Mama yang antar kamu ke perusahaan itu.”
“Ma, aku bisa pergi sendirian.”
“Nggak bisa. Papa kamu sudah pesan ke Mama kalau kamu nggak boleh ke mana-mana sendirian.”
Anjani sudah tahu bagaimana sikap dari ibu tirinya sedari dulu yang pasti akan posesif juga kepadanya. Tidak ada saudara perempuan yang membuatnya dijadikan anak perempuan tunggal yang paling dijaga. Apalagi adik-adiknya yang lain akan bersikap sama kalau mereka ada di sini.
“Aku besok pakai taksi online, aku kabari kalau aku sudah sampai. Mama nggak masalah?”
Dewi yang akhirnya mengalah kepada putrinya untuk pergi sendirian. “Ya udah, kamu langsung kabari Mama besok, ya!”
Sembari menghabiskan makan malamnya, Anjani pun mendapatkan persetujuan dari mamanya.
Besok adalah hari wawancara keduanya Anjani, setelah melewati wawancara tahap pertama dengan para perektrut, yang kedua ini adalah dengan bos besar mereka langsung. Tidak sabar untuk bisa bekerja sama dengan perusahaan itu. Sedangkan ia sudah tidak mau jadi pengangguran lagi dan menjadi beban bagi orangtuanya. Hanya rebahan dan menunggu uang dari papanya.
Pagi-pagi sekali dia sudah bangun dan menyiapkan semuanya. Kedua adiknya juga ternyata ada di rumah. “Semangat wawancaranya, Kak.”
“Pasti dong, biar nanti bantu kalian untuk biaya kuliah.”
Sedangkan Dewi sudah menyiapkan sarapan di atas meja. “Ma, aku berangkat dulu, ya.”
“Sarapan kamu, Sayang?”
“Aku bawa, Ma. Takutnya nanti macet. Mama kan tahu sendiri kayak apa.”
Dewi akhirnya mengambilkan kotak nasi dan memasukkan dua potong roti ke dalam kotak itu yang sudah diolesi dengan selai. Kemudian mengambilkan susu kedelai dan air mineral kemasan kecil kepada Anjani. “Taksinya sudah kamu pesan?”
“Sudah, Ma.”
“Ya sudah kamu berangkatnya hati-hati, ya!”
Anjani keluar dari ruang makan tapi tetap diantar oleh ibu tiri dan juga kedua adiknya.
“Ayo semangat, kak. Mana tahu ketemu sama jodohnya di sana.”
Anjani malah menertawakan kedua adiknya. “Pantang nikah kalau kalian belum bahagia, oke. Ingat tuh ucapan kakak.”
Dia langsung pergi karena taksi menunggu cukup lama. Wawancara di perusahaan itu sudah jadi incarannya sejak lama. Mendapatkan jenjang karier yang bagus pastinya sudah jadi incarannya Anjani.
Benar seperti dugaannya kalau ini akan macet sekali. Dilihatnya kalau di depan sangat macet dan sebentar lagi akan tiba di perusahaan itu.
“Pak, saya bayar aja, ya. Saya turun di sini.”
Dia kesal kalau tidak bisa ikut wawancara terakhir kali ini akan jadi penolakan besar padanya. Anjani buru-buru mengeluarkan sejumlah uang yang kemudian disebutkan oleh sopir itu. Dia akhirnya turun dari taksi dan malah berjalan kaki. Kalau menunggu keadaan membaik, itu akan sangat sulit sekali apalagi dalam keadaan macet seperti ini. Sulit sekali dihindari seperti yang sudah bisa dibayangkan sendiri oleh Anjani akan jadi seperti apa dirinya jika telat ke wawancaranya hari ini.
Waktu itu Anjani langsung berjalan dengan cukup cepat untuk menghindari keterlambatan dari yang sudah dijanjikan. Apalagi dia harus wawancara di lantai belasan. Maka akan sulit juga ke sana.
Anjani baru saja melewati sebuah toko bunga yang akhirnya melihat seorang nenek-nenek yang terjatuh di sana dengan kakinya yang terluka. Tidak bisa membiarkan kejadian itu begitu saja dia mendekat tanpa peduli soal wawancara itu saat ini. “Nenek baik-baik saja?”
Wanita tua itu akhirnya bangun setelah Anjani bantu. “Kaki saya berdarah.”
Anjani ingat dia membawa kapas make up di dalam tasnya. Ada air mineral yang kemudian dia keluarkan lalu membasuh luka sang nenek untuk kemudian dia bersihkan dengan hati-hati. Dibersihkan dengan kapas itu sisa air yang dilihatnya ada luka goresan kecil yang tidak mengeluarkan darah lagi setelah dibersihkan oleh Anjani.
Ia tidak pernah lupa membawa persediaan untuk plester luka di dalam tasnya. “Udah, nenek bisa jalan lagi? Atau saya carikan kendaraan?”
“Tidak perlu, saya nanti mau dijemput. Kamu buru-buru sekali kelihatannya.”
Anjani mengiyakan lalu berpamitan kepada wanita tua itu. “Maaf saya tidak bisa lama-lama di sini, saya ada keperluan.”
“Sekali lagi terima kasih. Semoga harimu menyenangkan!”
Anjani berlari untuk segera bisa sampai di perusahaan yang jaraknya tidak terlalu jauh dari sini. Sekitar lima ratus meter dari tempatnya berada. Ketimbang harus menunggu taksi yang barusan ternyata satu pun kendaraan tidak ada yang bergerak karena macet.
Tidak lama setelah itu dia tiba di kantor itu. “Peserta wawancara hari ini?” tanya seorang wanita yang membawa dokumen di tangannya.
“Ya, saya ada wawancara hari ini.”
“Silakan ikuti, saya!”
“Yang lainnya sudah?”
“Anda yang terakhir. Yang lainnya sudah pulang.”
Sepagi ini wawancara telah selesai? Memang secepat apa pertanyaan itu sampai membuat mereka semua sudah pulang sedangkan Anjani masih ada di sini.
Ia kemudian dipersilakan untuk masuk. Begitu dia membuka pintu, dilihatnya seorang pria yang sudah berdiri di depan pintu waktu ia masuk ke dalam ruangan itu. “2 menit 37 detik adalah keterlambatan tanpa toleransi.” Pria itu tiba-tiba mengatakan hal yang buruk kepadanya. Pria itu menyenggol bahunya Anjani dan meninggalkannya di ruangan itu sendirian.
“Dua menit, Pak.”
“Dua menit saya berarti. Saya bisa menghasilkan uang puluhan juta dalam jangka waktu dua menit. Tapi kamu telah menyita waktu saya. Pulanglah! Kamu gugur.”
Mata Anjani membelalak menatap pria yang ada di depannya menolaknya tanpa ada wawancara lagi. “Tapi kan, Pak. Saya belum wawancara.”
“Tidak perlu. Kamu sudah ditolak.”
“Saya tidak pernah mendengar sebuah perusahaan menolak calon karyawannya di wawancara terakhir seperti ini. Wawancara yang sebenarnya ada di perekrut.”
“Jangan atur saya, ini perusahaan saya. Ada beberapa orang yang sudah wawancara hari ini dan mereka saya minta untuk pulang. Karena besok sudah resmi jadi karyawan.”
“Pak, kasih saya kesempatan, please!”
Pria itu melihat ke arah jam tangannya. “Apa jadwal saya hari ini?”
Anjani diabaikan oleh pria itu yang sekiranya usianya mungkin masih tiga puluh tahunan. “Untuk hari ini ada acara untuk perusahaan PT. Putra Jaya Abadi, Pak.”
“Kalau begitu hubungi saya satu jam sebelum acara itu. Saya harus bertemu dengan seorang klien terlebih dahulu untuk hari ini. Dia yang akan memberikan sejumlah uangnya untuk kita karena proyek besarnya.”
“Pak, saya...”
Pria itu tidak peduli terhadapnya dan memilih untuk keluar meninggalkan Anjani.
Wanita yang barusan itu diyakini bahwa sekretarisnya sang pria barusan. “Mbak, apa tidak ada kesempatan?”
Dijawab dengan gelengan. “Sayangnya tidak ada kalau Bapak sudah menjawab. Bapak tidak suka orang yang tidak menghargai waktu.”
“Saya ada kepentingan tadi.”
“Tetap tidak ada toleransi. Tadinya Bapak sangat takjub dengan Anda, karena nilai Anda pada tes tulis sempurna. Tidak ada yang pernah bisa mencapai nilai sebagus itu. Lalu pada wawancara pertama juga Anda mendapatkan A+ dari perekrut. Sayangnya Bapak Alvaro tidak bisa berikan kesempatan untuk Anda.”
Anjani menangis sejadi-jadinya di kamar ditemani oleh Vaulia—sahabatnya. “Sabar, pasti ada yang lain lagi.”
“Masalahnya dia bajingan, dia menolakku karena dua menit saja.”
“Dua menit itu lama, Anjani. Bukan waktu yang sebentar.”
Sedangkan Dewi yang dengar anaknya ditolak lantaran terlambat malah tidak bisa berkata apa-apa lagi. Padahal tadi anaknya juga sudah berangkat lebih cepat dari yang sudah diberitahukan.
Tidak bisa memberikan semangat kepada Anjani yang sekarang ada di kamar sambil menangis.
Follow yuk dan tambahkan ke perpustakaan.
Anjani sedang menenangkan hati bersama dengan Vaulia untuk jalan-jalan ke mana saja yang mereka inginkan. Mereka berdua bersahabat sejak lama. Jikalau Vaulia tidak perlu mencari pekerjaan lagi sebab orangtuanya yang terbilang sangat berada. Sayangnya Anjani tidak mau mencoba di perusahaan milik orangtuanya Vaulia. Lebih baik mencari di luar dengan keinginan sendiri dan bisa bekerja sesuai dengan apa yang dia inginkan. Untuk kali ini Vaulia mengajaknya untuk ke salah satu tempat tongkrongan baru yang dikhususkan untuk anak-anak muda dan bernuansa Korea sekali. Mulai dari makanan hingga tempatnya juga punya ciri khas. “Kali ini kita makan pedas gimana? Sama yang lainnya, pokoknya hari ini kita makan sepuasnya. Nggak usah pikirkan gemuk. Kita dari dulu makan banyak nggak gemuk-gemuk.” Anjani mengangguk setuju dan mengangkat jempolnya. “Oke, setuju.” “Hot pot atau grill? Atau keduanya?” “Keduanya, jangan lupa juga makanan yang lain dipesan. Untuk hari ini aku yang traktir. Makan peda
Rasa kesalnya Alvaro bukan main. Pikirannya kacau lantaran ulah dari Anjani dua hari lalu. Masih belum bisa termaafkan apa yang telah dilakukan oleh wanita sialan itu. Bukan karena disiram oleh wanita yang akan menjadi calon istrinya. Tapi lantaran Anjani mengaku hamil di depan orang banyak. Sudah menjatuhkan harga dirinya Alvaro. Tidak bisa dibiarkan begitu saja untuk saat ini. Sebab bagaimana pun juga, Anjani harus menanggung apa yang sudah dia perbuat kepada Alvaro. Tidak akan pernah dibiarkan apa yang sudah dilakukan itu membuat Alvaro harus diinjak-injak oleh wanita itu. Tidak wajar jika Alvaro diinjak harga dirinya oleh seorang wanita. Alvaro menarik napas dan benar-benar sialan Anjani itu sudah merusak namanya di depan umum. Alvaro tidak akan pernah terima dengan kelakuan orang yang sudah ditolaknya bekerja. Waktu dia sedang ada di ruang kerjanya. Ika masuk ke dalam ruangannya tanpa permisi. Untuk pertama kalinya Ika melakukan itu tanpa ada basa-basi terlebih dahulu sekadar
Alvaro terdiam waktu keluar dari rumah orangtuanya, bagaimana ini? Sedangkan dia sama sekali tidak pernah mengurus dirinya sendiri, tidak bisa masak, mencuci apalagi untuk urus rumah. Dia punya rumah namun tidak terlalu besar. Dan hanya ada dua kamar di rumah itu. Rumah yang dibelinya dan berniat untuk direnovasi untuk ditinggali sendirian. Justru tinggal sendirian itu merupakan hal yang terwujud. Semua bajunya ada di mobil yang dibawa keluar. Apartemennya disita oleh orangtuanya, diberikan mobil dan juga sisa uang di tabungan pribadi. Apa-apaan ini? “Tanggung jawab ke wanita yang kamu hamili, bawa dia menghadap ke keluarga ini sampai kamu benar-benar bisa tanggung jawab sama dia.” Sebuah pesan dari orangtuanya untuk mencari tahu soal wanita yang dihamili oleh Alvaro. Padahal tidak seperti itu kenyataannya. Tidak sama sekali untuk melakukan itu. Selesai membereskan rumahnya sendirian dan membersihkan debu sampai dadanya sesak untuk mengatasi debu di rumah itu. Alvaro benar-benar s
Alvaro mendapatkan kabar dari Anjani kalau wanita itu akan segera ke restoran yang sudah diberitahukan olehnya. Sementara saat ini dia sedang menemani sang nenek di sana. Anjani juga memberitahukan kalau dia akan tiba setengah jam lagi karena keadaan yang sedikit macet. “Kamu dengar nggak nenek cerita?” “Ya, Nek. Aku dengar.” “Kamu bisa-bisanya ditendang dari rumah sama Papa kamu. Lagian kamu juga kan mau nikah sama, Rena.” “Jangan bahas dia, Nek. Nenek tahu sendiri kan kalau kesalahan itu nggak akan pernah bisa bikin semua balik.” “Emang masalah apa?” Tidak mungkin cerita untuk saat ini. Apalagi Anjani yang akan datang kemari, kalau Anjani datang sudah pasti digampar oleh neneknya Alvaro yang sudah menghancurkan hubungan pria itu dengan wanita lain. Mereka makan bersama sampai Anjani menghubungi. Alvaro mengangkat tangannya ketika Anjani datang. Wanita itu menghampirinya dan ia mempersilakan wanita itu duduk. “Duduklah!” Anjani melepaskan tasnya dan berkata. “Nenek, kita ket
Anjani sudah selesai menyiapkan semua barang-barangnya. Beruntung juga orangtuanya percaya kalau Anjani bekerja di salah satu restoran dengan memegang beberapa kendali di sana untuk mengurus restoran milik Alvaro, yang sebenarnya dia adalah asisten di rumah pria itu sebagai juru masak pribadinya pria tersebut.Ia memilih taksi online untuk mengantarkannya. Mulai dari pakaian dan juga sepatu serta alat make up sudah disiapkan oleh Anjani, hanya menunggu papanya untuk pulang. Dia ingin meminta izin dengan baik-baik pada papanya. Untuk saat ini Anjani juga sudah bersama dengan kedua adiknya dan juga mama tirinya.Mereka mengobrol sebelum Anjani berangkat.“Pesan Mama hanya satu sama kamu. Jaga diri baik-baik saat kamu lepas dari pengawasan. Jangan kecewakan Mama sama Papa.”Anjani juga tahu bagaimana harus mengurus dirinya dengan baik. Apalagi hanya ada dia di rumah ini yang perempuan. Maka, mau tidak mau harus tetap menjaga diri dengan sangat baik. Wanita itu kemudian tersenyum kepada m
Alvaro sedang menelepon dengan salah satu anak buahnya di kantor sang papa yang sampai saat ini masih ada di sana. Tapi dia juga butuh informasi banyak mengenai perusahaan tersebut. Akan tetapi apa untungnya berharap pada perusahaan sang papa untuk saat ini. Lebih baik fokus untuk mengatur siasat cara agar penjualan di restorannya ini terus meningkat.Namun, saat Alvaro sedang sibuk dengan semua laporan itu. Tiba-tiba saja dia mencium aroma masakan yang sangat enak sekali. Beberapa waktu lalu Anjani mengatakan kalau dia akan masak mulai hari ini untuk Alvaro.Tapi begitu dia sibuk bekerja. Malah tercium sekali masakan itu. Meskipun dia izin untuk tidur tadi.Dia segera menyelesaikan teleponnya dengan anak buahnya. Kemudian keluar dari kamarnya untuk menuju ke dapur. Dilihatnya Anjani sedang menata piring di atas meja dan sudah siap untuk hidangan kali ini.“Apa sudah selesai?” Alvaro menghampiri. Anjani mengangguk mendengar pertanyaan Alvaro.“Ya. Semua sudah selesai. Mau langsung mak
Paginya Anjani tidak dibuat berantakan oleh Alvaro, pria itu juga tidak membuatnya harus buru-buru melakukan apa pun. Malah Alvaro sangat santai sekali saat Anjani menyiapkan sarapan juga menyetrika bajunya tadi. “Lain kali kamu nggak usah nyuci. Laundry saja!” “Ada mesin cuci, nggak usah boros duit.” Pria itu yang santai sekali mendengar jawaban dari Anjani. “Apa kamu tidak lelah?” “Akan lebih lelah kalau aku tidak mengerjakan apa-apa. Gajiku tidak sedikit.” “Gajimu hanya untuk tugas restoran saja sebenarnya. Tapi karena kamu mau mengerjakan tugas rumah. Mau nggak mau aku harus tambahin.” Anjani tidak berharap seperti itu. Numpang hidup di rumah Alvaro bukan berarti dia bebas melakukan apa pun. Sebagai wanita yang sadar kalau dirinya tidak bisa melakukan banyak hal di sini. Maka dia memang harus melakukan pekerjaan rumah. Hidup numpang dengan Alvaro kurang enak apalagi? “Hari ini kita akan pergi ke restoran bukan?” “Tentu saja. Kamu juga harus ke sana, kamu terima banyak tugas
Alvaro datang ke kantor karena permintaan dari papanya. Selesai dari restoran dan sudah mengantarkan Anjani pulang juga. Waktu dia di dalam ruangan, tiba-tiba saja papanya mengatakan. “Kamu sudah temukan wanita yang akan kamu nikahi?”Tapi benar-benar di luar dugaan bahwa orangtuanya masih menganggap itu adalah hal yang serius. Mana mungkin juga Alvaro hancurkan nama baik keluarga dengan cara yang seperti itu. “Aku nggak lakukan itu, Pa.”“Nggak akan ada orang yang teriak-teriak untuk minta tanggung jawab kamu kalau emang nggak kamu lakukan, Al. Siapa yang nggak kaget dengan pernyataan itu? Kamu sendiri udah ngecewain kami semua.”Mau menjelaskan seperti apa lagi? Orangtuanya sudah tidak percaya dengannya. Alvaro sudah melakukan yang terbaik selama menjadi anak, tapi ini yang didapatkan. “Kalau Papa nggak percaya aku nggak masalah.”“Al, yang namanya hamil itu harus kamu pertanggungjawabkan. Papa hanya mau kamu untuk bersikap dewasa, Nak.”Tanggung jawab seperti apa? Menyeret Anjani a