Aku memarkir sepeda motor di samping rumah Ayu, di bawah sebuah pohon rambutan. Malam ini, aku hanya pergi bersama kedua anakku. Bang Roni kutinggal di rumah, dan aku tak peduli dia mau datang ke sini atau tidak.Dengan penuh percaya diri aku melangkah masuk ke dalam sambil mengucapkan salam. Terdengar beberapa orang membalas salamku. Dari ekor mata, dapat kulihat ada Riya yang sedang duduk bersama beberapa anggota keluarga yang lain.“Sini Kak....” Ayu melambai padaku sambil tetap menggendong bayi mungil yang baru saja ia lahirkan seminggu lalu.Aku duduk di depan Ayu sambil mengatur posisi duduk untuk Erin dan Erlan agar tak mengganggu orang lewat.“Lucunya.... Harum bayi emang enak ya...” kataku sambil menciumi bayi lelaki di pangkuan Ayu.“Eh, ini siapa ya? Kok kayak kenal?” tanya seorang kerabat jauh Bang Roni yang berbadan gemuk.“Ini loh istrinya Roni. Masa’ nggak ingat?” jawab Ayu.“Ah masa’? Perasaan istrinya Roni nggak secantik ini.” Pere
“Iya, ini aku dengar dari salah satu bestie-nya Riya. Kakak kenal sama yang namanya Maryana kan? Masih sepupu Roni juga. Riya pernah cerita sama dia, katanya pernah selingkuh dengan Roni. Mereka seharian di hotel Cuma berdua-duaan pas Riya kabur dari rumah gara-gara berantem sama Bang Sarip. Pikir aja coba, kalau Cuma berdua di hotel, mereka mau ngapain? Masa Cuma pandang-pandangan? Soal ini sih nggak banyak orang yang tahu, karena Riya cerita sama orang-orang terdekatnya aja. Tapi namanya dari mulut ke mulut, nyampai juga ke telingaku.” Kata Ayu menjelaskan. Aku sejenak terdiam beberapa saat.Apa maksud Riya menceritakan ke sana-sini soal dia yang berduaan dengan Bang Roni di losmen kemarin? Bukankah hal seperti itu harusnya ia tutupi karena menyangkut aib? Kenapa Riya sangat tak tahu malu jadi perempuan?“Jadi Riya baru-baru ini keguguran?” tanyaku memastikan.“Iya. Waktu kemarin aku masih di rumah sakit, Riya juga ke sana karena dikuret.”“Berarti baru beberap
“Say, Ada Erin nggak di situ?” Suara Riya yang menanyakan keberadaan anak sulungku terdengar, begitu aku mengangkat panggilan telepon darinya. Riya memang memanggilku dengan sebutan ‘Say’. Dan aku pun memanggilnya dengan panggilan yang sama.“Ada tuh lagi main sama adiknya. Kenapa? Mau disuruh jemput Hilda sama Ola? Biar diajak main ke sini?” Tanyaku sambil terus mengetik tuts keyboard laptop. Aku memang sedang mengerjakan pekerjaanku sebagai penulis novel online. Dan naskahku baru saja diterima beberapa hari yang lalu. Jadi sekarang, aku memang sedang lagi semangat-semangatnya menulis.Sementara Hilda dan Ola adalah dua anak perempuan Riya yang hampir setiap hari main ke rumah. Boleh dibilang, aku seperti pengasuh tak resmi yang selalu diminta untuk menjaga anak-anak itu selagi ibu mereka sedang sibuk... Bermain ponsel.“Nggak. Suruh ke sini ya si Erin. Aku ada ikan Sembilang. Tolong masakin asam pedas ya, Say.”Aku menghela napas. Dan kulirik jam dinding. Sudah hampir setengah s
“Eh Say, tolonglah... Jangan bilang, aku takut..!” suara Riya semakin terdengar panik di seberang sana. Aku hanya tertawa kecil. Entah karena menutupi rasa sakit hati atau karena mendengar Riya brengsek itu ketakutan. Bang Roni yang baru saja masuk, melihatku sedang menelepon seseorang sambil tertawa jadi curiga.“Sayank lagi ngomong sama siapa?” tanyanya. Kami memang saling memanggil dengan panggilan ‘Sayank’. Karena usia kami yang hanya terpaut beberapa bulan saja, membuatku merasa enggan memanggilnya dengan sebutan Abang ataupun Mas. Jadi sejak awal pacaran, kami sudah membiasakan diri memanggil dengan panggilan Sayank sampai sekarang, sampai kami sudah punya dua anak.“Oh, ini Riya yang nelfon,” kataku sambil tertawa tawar.“Ngomong apa dia?!” Bang Roni tampak gusar dan sedikit panik. Dia pasti menyangka kalau Riya mengatakan hal yang sebenarnya.“Eh Say, tolonglah jangan bilang. Nanti Roni ngamuk.” Riya masih memohon, dan demi kebaikannya padaku selama ini, aku tak akan menyu
“Dia bilang, kamu itu nggak pandai berdandan. Dia males lama-lama di rumah, soalnya setiap dia pulang ngeliat bininya layu. Katanya, lebih segar mandangin muka aku. Kalau aku, awal pagi dan sore udah dandan Say, udah rapi. Sementara kamu, dari dia bangun tidur sampai dia pulang kerja, katanya ngeliat kamu selalu dalam keadaan acak-acakan. Nggak berbedak, nggak bergincu, pucet, nggak ada cahaya sama sekali di muka kamu. Makanya sejak dia berhubungan sama aku, setiap abis Maghrib dan Isya dia pasti keluar kan? Itu dia datang ke rumah aku Say. Cuma mau ketemu sama aku. Dia bilang muka aku nyenengin.” Tanganku mengepal. Sungguh sangat geram dan sakit hati ini. Mataku mulai terasa panas, tapi belum ada air mata yang jatuh. Aku tak mau anak-anakku melihat ibunya menangis.Dan Bang Roni, bisa-bisanya dia bilang seperti itu. Kok tega dia menjatuhkan harga diriku di hadapan perempuan lain. Membuka aibku, menceritakan keburukanku. Padahal selama ini, tak pernah sekalipun aku menceritakan seg
“Nggak ada. Siapa yang aku datangi? Emang Sayank curiganya sama siapa?” “Ya sebut aja siapa perempuan yang sedang Sayank dekatin.”“Detrin?” ia menyebut nama perempuan yang pernah ia kenal lewat chat dan dulu ia ceritakan padaku. Ia pasti sengaja menyebut nama yang tak ada hubungannya sama sekali. “Nggak tahu. Tapi bukan. Dia orang dekat kok.” Sindirku, kupikir ia akan sadar kalau yang dimaksud adalah Riya.“Siapa ya?” tanyanya berlagak pilon. Sambil memandang ke langit-langit rumah, seolah jawabannya ada di sana.“Sayank akrab sama dia, suka bercanda dan godain dia.”“Siapa? Riya?”DHESSS... Akhirnya ia sebut juga nama itu. “Oh jadi Riya orangnya?”“Nggak. Bukan. Aku nggak ngerti apa maksud Sayank. Katanya yang suka bergurau dengan aku, orang dekat. Aku Cuma asal sebut aja nama Riya.”Aku mengurut pelipis. Tidak bisa seperti ini! Selagi aku tak punya bukti akurat yang bisa membuatnya mati kutu dan mengaku sendiri, selagi itu pula ia akan mati-matian menutupi sampai akhir
“Nasi kotaknya udah diantarkan?” tanyaku pada Bang Roni yang baru saja datang dengan motornya. Dia bilang habis dari warung membeli rokok. Sementara aku baru saja selesai mengaji sehabis shalat Maghrib tadi. Dengan tasbih di tangan, aku sedang menunggu adzan Isya.“Udah. Sayank yakin nih nggak mau ikut acara di TPQ? Ini kan acara Maulid di tempat anak-anak kita ngaji.”“Nggak. Aku di rumah aja. Capek, kepalaku pening.” Kataku sambil menaikkan bawahan mukena yang tadi sempat melorot. “Sayank pergi emangnya?” tanyaku, karena kulihat ia seperti hendak mengganti baju.“Pergi dong. Nggak enak kan kalau orang tua nggak ada yang datang sama sekali? Nanti anak-anak sedih.”“Tumben...”“Kok tumben?”“Iya, selama ini Sayank nggak pernah mau kalau disuruh datang ke acara seperti itu. Biarpun kubilang untuk kepentingan anak-anak. Selalu saja ada alasannya. Tapi sekarang, kok kayak semangat sekali? Bahkan tanpa disuruh. Udah ada janjian kah sama seseorang?” sindirku sinis. Aku tahu, kalau
Aku mendadak terkejut dan langsung membuka mata. Kulayangkan pandangan ke sekeliling kamar yang gelap. Tanganku meraba-raba ke bawah bantal, tempat di mana aku biasa menyimpan ponselku.Kulihat waktu menunjukkan hampir pukul tiga pagi. Ah, ternyata aku ketiduran. Padahal tadi niatku hanya akan menemani Erin dan Erlan sampai tidur. Dan setelah itu mau keluar menunggu Bang Roni pulang yang tadi izin ke rumah Mas Indra. Namun ternyata aku justru ikut terlelap. Mungkin saking lelahnya setelah beraktivitas seharian. Aku beringsut pelan dan turun dari tempat tidur. Aku mau mengecek apakah Bang Roni sudah pulang? Sebab biasanya dia kalau sudah nongkrong di tempat Mas Indra, bisa sampai menjejak ke subuh.Aku keluar dan kulihat Bang Roni sudah tertidur pulas di depan TV. Entah kapan ia pulang, aku tak mendengarnya. Ia pun tak membangunkanku. Aku duduk di samping ia tidur sambil memandangi Bang Roni lekat. Kejadian tadi siang mulai dari telepon dari Riy