LOGINGery masuk kedalam kantor tanpa mendengarkan ucapan Sindy."Please Gery, kita perlu bicara!" pekik Sindy menarik lengan Gery.Gery menghentikan langkahnya, ekor matanya melirik ke sekitar ruangan yang ramai."Ini masalah penting. Ini masalah pernikahanmu dengan Tiara." ucap Sindy.'Kenapa dia bisa tahu tentang pernikahanku. Atau jangan-jangan Tiara yang membongkar semua atau wanita bayarannya yang memberitahunya?' batin Gery."Aku sudah tahu semuanya dan aku butuh penjelasan darimu. Bisa-bisanya kamu menikah dengan wanita gila harta dan haus belaian itu. Padahal, sebentar lagi kita akan menikah!" ucap Sindy emosi.Gery menghembuskan napasnya panjang, dia membawa Sindy masuk kedalam ruangannya."Kenapa, kamu malu kalau semua karyawanmu tahu tentang pernikahanmu dengan Tiara?" sindir Sindy."Kamu tidak tahu apa-apa. Jadi, jangan ikut campur urusan pribadiku." tegas Gery."Jelas aku harus ikut campur. Kita mau menikah, Gery. Bahkan, persiapan pernikahan kita hampir selesai. Aku tidak ter
"Apa? Saya di pecat? Ta-tapi apa alasannya, Pak? Saya tidak pernah melanggar peraturan atau perintah dari anda?" tanya Renata syok. "Jangan pecat saya, Pak. Saya butuh pekerjaan ini. Saya mohon." pinta Renata memohon. "Jangan pecat Renata. Kamu bisa menegurnya kalau dia buat kesalahan." titah Tiara. "Diam. Tidak ada yang mengajakmu bicara." ketus Gery. Renata bersujud dihadapan Gery. "Pak, saya mohon, jangan pecat saya. Saya tidak tahu lagi, harus mencari pekerjaan kemana lagi." Gery memicingkan matanya. "Kau sudah bolos kantor." "Tapi saya tidak bolos kantor. Saya hanya ingin mengecek kondisi Tiara. Bukankah Pak Gery yang meminta saya untuk memantau keadaan Tiara?" jawab Renata sembari mengatupkan tangannya di dada. "Itu dulu." ketus Gery. "Untuk sekarang dan seterusnya, dia bukan tanggung jawabmu!" ujar Gery. Tiara menundukkan wajahnya sembari menghapus air mata yang hampir saja menetes. "Ta-tapi, Pak—" "Saya tidak mau mendengar apapun lagi. Kalau kamu masih m
"Aku tidak tahu tapi kita tidak boleh menuduh orang tanpa bukti." jawab Tiara.Di sisi lain.Juna menjatuhkan pantatnya di warung makan pinggir jalan."Es teh satu!" ucapnya kepada ibu penjual."Huh, dasar wanita pengkhianat. Bisa-bisanya dia hamil dengan Bos nya sendiri. Mentang-mentang, aku tidak sekaya bos nya, jadi dia tidak mau hamil anakku. Awas saja, Tiara. Sampai kapanpun aku akan tetap menerormu. Kamu harus menerima pembalasanku." gumam Juna sembari memainkan ponselnya.Sindy menghentikkan mobilnya di perempatan. Tak sengaja dia melihat Juna yang sedang bersantai."Kebetulan, ada pria itu." gumamnya lalu memarkirkan mobilnya di depan warung makan.Juna melototkan matanya saat melihat seorang wanita turun dari mobil."Dia … bukankah dia wanita—" ucapan Juna terhenti saat melihat Sindy berdiri di hadapannya."Es teh nya, Mas." ucap ibu pemilik warung."Oh iya," jawab Juna lalu menyeruput es teh nya.Sindy tersenyum sinis, "Tolong bersihkan tempat duduk itu!" pintanya sembari me
"Itu—" Tiara mengambil tespek yang dilempar Juna dan tak sengaja dia melihat gari dua di tespek. "Astaga." ucapnya terkejut."Perselingkuhanmu yang menyebabkan kematian ibumu, dan sekarang kamu sampai hamil anak dia. Dasar wanita gatal dan pengkhianat!" teriak Juna."A-aku hamil?" ucapnya tak percaya. "Ta-tapi bagaimana bisa?""Jangan pura-pura syok, Tiara!" bentak Juna lalu mendorong tubuh Tiara sampai terbentur tembok."Ta-tapi aku—" Tiara tiba-tiba merasakan perutnya yang sakit. "Perutku tiba-tiba sakit, Jun. Tolong aku.""Jangan sandiwara." ketus Juna. "Aku tahu, kau berbohong.""Aw … a-aku tidak sandiwara. Perutku benar-benar sakit. Perutku sangat sakit." lirih Tiara yang memegang perutnya."Aku tidak perduli. Sekarang, buatkan aku jus mangga. Aku haus!" pinta Juna memaksa."Aw … sakit, Jun. Tolong!" pinta Tiara dengan mata berkaca-kaca. "Juna, tolong antarkan aku ke rumah sakit. Aku mohon. Aku sudah tidak tahan lagi, Jun."Bugh!"Urusan kita belum selesai. Aku akan datang lagi."
"Ju-juna. Untuk apa kamu datang kemari, ha?" tanya Tiara lalu berusaha menutup pintu rumah. "Pergi, kita sudah tidak ada urusan lagi. Jangan ganggu aku lagi." "Kamu tidak bisa menghindar dariku, Tiara." jawab Juna yang menahan pintu rumah. Dia berjalan masuk dan duduk di ruang tamu.Tiara memegang dadanya. "Huh, untuk apa kamu datang kemari!" ucapnya lalu menutup pintu rumah. "Cepat pergi dari rumahku. Aku tidak mau, tetangga memergoki kamu disini." usirnya."Aku tidak akan pergi dari sini, Tiara. Jangan memaksaku." jawab Juna yang meluruskan kakinya di sofa. "Jun, please! Jangan membuat masalah lagi. Aku—""BERISIK!" bentak Juna membuat Tiara terdiam sejenak. "Apa kamu lupa, aku punya fotomu di hotel. Apa kamu mau, aku sebar luaskan fotomu ke tetangga rumahmu, ha?"'Ya Tuhan, mau sampai kapan Juna mengancamku?' batin Tiara."Buatkan aku jus mangga, Cepat, aku haus!" teriak Juna."A-aku tidak punya stok mangga." jawab Tiara ketakutan."Astaga, Tiara. Kalau tidak ada stok mangga itu
"Ini tespek, kan? Kenapa kamu beli ini?" tanya Tiara kebingungan. "Kamu hamil sama siapa? Setahuku, kamu belum menikah dan aku tidak pernah dengar kedekatanmu dengan seorang pria. Atau jangan-jangan, selama ini kamu menyembunyikan statusmu dari semua orang. Sebenarnya, kamu sudah menikah?" tebak Tiara."Itu bukan punyaku, Ti. Dan aku tidak pernah menyembunyikan statusku kepada siapapun. Aku masih single dan belum punya pasangan." jawab Renata yang menatap lekat mata Tiara."Lalu, ini punya siapa? Apa pegawai apoteknya salah ambil obat?" tanya Tiara kebingungan."Pegawai apoteknya tidak salah, kok. Dokter sengaja menyelipkan di resep obatnya. Kamu coba cek, ya?" titah Renata lirih."Aku?" Tiara menunjuk dirinya sendiri. "Kenapa harus aku. Aku cuma sakit perut biasa dan kenapa aku harus tes urine?""Iya, kita turuti saja perintah dokter," jawab Renata sembari memaksa senyumnya. "Jangan takut, ada aku disini.""Siapa yang takut, Re.







